َ ب ْال ِع ْل ِم فَ ِر ي
ِّْضةٌ َعلَى ُكل َ َطل ْ ُصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا
َ طلُبُوْ ا ْال ِع ْل َم َولَوْ بِالصِّي ِن فَِإ َّن َ ِ ك قَا َل َرسُو ُل هَّللا ِ ع َْن َأ ن
ٍ َِس ب ِْن َمال
)طلُبُ (أخرحه ابن عبد البر ْ َب ْال ِع ْل ِم ِرضًابِ َما ي
ِ ِض ُع َأجْ نِ َحـتَهَا لِطَال َ َُم ْسلِ ٍم ِإ َّن ْال َماَل ِئ َكةَ ت
Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SAW bersabda :”Carilah ilmu walaupun
dinegeri Cina. Sesungguhnya mencari ilmu itu wajib atas setiap muslim.
Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya bagi pencari ilmu karena rida dengan
apa yang dicari.” (HR. Ibnu Abd al-Barr) .
ب ْال ِع ْل ِم يَ ْستَ ْغفِ ُر لَهُ ُكلُّ َش ْيٍئ َحتَّى ْال ِح ْيتَانُ فِى ْالبَحْ ِر َ طَلَبُل ِع ْل ِم فَ ِري: وفى روا يت
َ ضةٌ َعلَى ُكلِّ ُم ْسلِ ٍم َو ِإ َّن طَا ِل
)(ابن عبد البرفي العلم عن أنس حد يث صحيح
Dalam riwayat:”Mencari Ilmu wajib terhadap setiap orang Islam. Sesungguhnya
pencari ilmu dimohonkan kepadanya oleh segala sesuatu sehingga ikan dalam
lautan.”(HR. Ibn Abdil Barr dari Anas Hadis Shahih).
Hadis diatas ditampilkan dalam hadis tarbawi sebagai referensi sekalipun di
perselisihkan kualitasnya oleh para ulama tetapi terkenal dikalangan para pelajar,
santri dan mahasiswa dimana saja berada. Dalam ilmu hadis disebut masyhur non-
isthilahiy artinya terkenal dikalangan kelompok tertentu sekalipun perawinya kurang
dari tiga orang pada setiap tingkatan sanad .
Ada beberapa pokok pesan dalam hadis di atas, sebagi berikut:
الصِّين
ِ ْ ُا
ِطلُبُوْ ا ْال ِع ْل َم َولَوْ ب
“Carilah ilmu walaupun di negeri China.”
Mencari ilmu suatu keajaiban sekalipun dimana saja dan dalam keadaan
bagaimanapun pula, tidak ada alasan seseorang meninggalkan ilmu atau tidak
mencarinya. Makna walaw dalam bahasa Arab menunjuk batas maksimal apapun
yang terjadi (li al-ghayah). para ulama memberi penjelasan makna walaupun dinegeri
china dalam hadis tersebut antara lain:
1. Al-Manawiy dalam kitab al-Taysir Syarah al-Jami’ al-Shaghir memberikan arti
kesimpulan sangat jauh (mubalaghah fi al-bu’di) dengan alasan kewajiban
menuntutnya sebagaimana hadis lanjutannya. Oleh karena itu, Jabir bin Abdillah
seorang sahabat Rasulullah mengadakan rihlah (perjalanan) yang jauh dari Madinah
ke Mesir hanya untuk mendapatkan satu hadis dari seseorang disana selama satu
bulan.
2. Faydh al-Qadir memberikan arti yang sama, yakni walaupun tercapainya ilmu
harus mengadakan perjalanan yang sangat jauh seperti perjalanan ke China dan
sangat menderita. Orang yang tidak sabar penderitaan dalam mencari ilmu
kehidupannya buta dalam kebodohan dan orang yang sabar atasnya akan meraih
kemuliaan dunia akhirat.
3. Abdullah bin Baz dalam Majmu’ Fatawanya; anjuran mencari ilmu walaupun di
tempat yang sangat jauh bukan berarti Chinanya. Hadis menyebutkan walau di negeri
China, karena China negeri yang jauh dari Arab. Ini jika benar khabar shahih.
4. Muhammad Abduh dalam al-Manar memberikan komentar mencari ilmu dengan
siapa saja atau darimana saja sekalipun bukan negeri muslim. Di China pada saat itu
belum ada seorang Muslim, penduduknya penyembah berhala (watsaniyun) tidak
Majusi. Bahkan Syekh Yusuf al-Qardhawi menunjuk makna hadis belajar ilmu
pengetahuan sekalipun di Barat atau negara maju tingkat ilmu pengetahuan atau sains
dan tekhnologinya .
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa makna mencari ilmu
sekalipun di negeri China adalah sekalipun jauh dari tempat tinggal, sekalipun
menderita dan sulit, sekalipun datang dari non-Muslim atau sekalipun dinegara
minoritas muslim yang sudah maju. Sebagian pendapat China sudah mengalami
kemajuan pada waktu itu seperti membuat kertas dan lain-lain. Dr. Luthfi Fathullah
memberi komentar bahwa matan hadis ini banyak dipertanyakan dan diragukan orang
dengan mempertanyakannya, benarkah Nabi Muhammad SAW mengetahuinya
adalah sangat besar. Pertama, dari sudut sejarah, baginda adalah pedangang antar
bangsa, beliau waktu usia muda pernah dua kali minimal pergi ke Syam sebagai kota
perdagangan. Di kota itu sudah ada kebudayaan Romawi dan tentu saja sudah
berinteraksi dengan budaya lain. Jadi, tidak mustahil dalam perjalanan itu baginda
mendengar tentang peradaban negeri Cina yang sudah tinggi . Kedua, apa yang
disampaikan oleh Rasulullah SAW, tidaklah berhenti pada pengetahuan beliau saja,
tetapi ada unsur wahyu Allah yang berperan. Jika kemungkinan ini diambil, dan hal
ini sangatlah mungkin, maka unsur kejanggalan matan. Hadis ini tidak akan muncul
lagi. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari kata negeri China disini. Pertama, negeri
atau kekaisaran yang populer dikalangan awam pada saat itu adalah Romawi dan
Kisra. Jarak kekuasaan kedua kekaisaran ini tidaklah terlalu jauh dari dunia islam.
Bahkan Rasulullah sendiri pernah menuliskan surat untuk mereka dan kerajaan dan
kekaisaran lain. Walhasil, Nabi ingin memberitakan kepada umat islam bahwa ada
negeri lain yang juga sudah memiliki peradaban yang maju .
Hukum menuntut ilmu sebagaimana disebutkan pada hadis berikut:
َ طَلَبُل ِع ْل ِم فَ ِري
ضةٌ َعلَى ُك ِّل ُم ْسلِ ٍم
“Sesungguhnya mencari ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”
Hukum mencari ilmu wajib bagi seluruh kaum Muslimin baik laki-laki dan
perempuan, makna wajib disini adakalanya wajib’ ain dan adakalanya wajib kifayah.
Kata “Muslim” berbentuk mudzakar (laki-laki), tetapi maknanya mencakup mudzakar
dan muannats (perempuan). Maksudnya orang Muslim yang mukalaf yakni Muslim,
berakal, balig, laki-laki, dan perempuan. Dari sekian banyak buku hadis penulis tidak
menjumpai kata muslimatiin setelah kata Muslim diatas. Hukum mencari ilmu fardhu
bagi setiap orang islam baik laki-laki maupun perempuan.
Hukum mencari ilmu wajib sebagaimana hadis diatas. Masa mencari ilmu
seumur hidup (long life of education) sebagaimana kata Ki Hajar Dewantara, bahwa
menuntut ilmu sejak lahir sampai mati. Sebagian ulama salaf berkata:
ب ْال ِع ْل ِم ِمنَ ْال َم ْه ِد ِإلَى اللَّحْ ِد ْ ُا
ِ ُ طل
“Carilah ilmu dari ayunan sampai lubang kubur.”
Sedang diantara manfaat menuntut ilmu untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat. Imam Syafi’i berkata sebagaimana yang dikutip oleh al-Nawawi dalam
kitabnya Tahdzib al-Asma wa al-Lughat (1): 74):
َو َم ْن َأ َرا َداآْل ِخ َرةَ فَ َعلَ ْي ِه بِ ْال ِع ْل ِم,َم ْن َأ َرا َد ْال َّد ْنيَا فَ َعلَ ْي ِه بِ ْال ِع ْل ِم
“Barang siapa yang menghendaki dunia hendaknya dengan ilmu dan barang siapa
yang menghendaki akhirat hendaknya dengan ilmu”.
Maksud ilmu di sini secara umum baik ilmu Syara’ maupun ilmu
pengetahuan. Keduanya penting untuk mencari kemaslahatan dunia dan akhirat.
Sedang maksud ilmu yang wajib dituntut sebagaimana hadis diatas adalah ilmu syara’
dan kewajibannya adakalanya fardu’ain dan adkalanya fardu kifayah. Ibn al-Mubarak
ketika ditanya tentang makna hadis di atas menjawab; maknanya tidak seperti yang
mereka duga, tetapi apa yang terjadi pada seseorang dari urusan agamanya akan
dimintai pertanggungjawaban sehingga ia harus mengetahui ilmunya. Al-Baydhawiy
menjelaskan bahwa maksud ilmu disini adalah ilmu yang tidak ada jalan lain kecuali
harus mengetahuinya seperti mengetahui sang pencipta alam dan ke-Esaan-Nya,
mengetahui kenabian Muhammad SAW dan mengetahui cara shalat, semua ini
hukumnya fardu’ain. Al-Gazali dalam al-Manhaj menjelaskan bahwa mencari ilmu
ada tiga ilmu sebagai berikut :
1. Ilmu tauhid, ilmu mengetahui pokok-pokok agama seperti mengetahui sifat-sifat
Tuhan Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Menghendak, dan Maha
Mendengar. Tuhan memiliki segala sifat kesempurnaan dan suci dari segala sifat
alam. Ilmu juga mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan
membenarkan segala apa yang disampaikan.
2. Ilmu sirr, ilmu hati dan pergerakannya, yakni mengetahui kewajiban hati serta
mengetahui larangan-larangan sehingga mendapatkan keikhlasan niat dan keabsahan
amal.
3. Ilmu Syari’ah, segala ilmu yang wajib diketahui untuk melaksanakan syari’ah dan
ibadah. Selain tiga di atas hukumnya wajib kifayah.
4. Di antara para ulama seperti al-Zarnuzjiy dalam kitabnya Ta’alim al-Muta’allim,
al-Gazali dalam kitabnya Ihya Ulum al-din dan al-Manawiy dalam al-Taysir bi Syarh
al-Jami al-Shaghir membagi hukum mencari ilmu adakalanya wajib, haram, sunah,
mubah, dan makruh bergantung manfaat dan mudaratnya. Hukum wajib’ain seperti
ilmu wudhu’, puasa, dan lain-lain yang menyangkut amal wajib. Seseorang yang
berharta wajib mengetahui ilmu zakat, seorang yang melakukan transaksi jual beli
wajib mengetahui hukum muamalah, seorang beristri wajib mengetahui pergaulan
dengan wanita dengan baik dan lain-lain.
Al-Zarnujiy menyebutnya ilmu al-hal, yakni ilmu yang wajib dilakukan sekarang baik
menyangkut akidah, ibadah, dan akhlak atau diartikan ilmu tingkah laku. Sedang
wajib kifayah, jika sudah ada sebagian di antara umat islam yang melakukannya,
maka yang lain gugur dosanya seperti ilmu falak atau ilmu astronomi untuk
mengetahui rukyat al-hilal melihat bulan sebagai penetapan awal bulan dan lain-lain,
ilmu saintek atau pendukung tegaknya pelaksanaan agama atau untuk kemajuan umat
islam dan lain-lain. Menurut al-Zarnujiy termasuk wajib kifayah adalah ilmu
mustaqbal, yakni belajar ilmu yang tidak segera dikerjakan seperti orang miskin
belajar tentang zakat dan haji atau mempelajari ilmu sekalipun syara’ tetapi tidak
untuk diamalkan segera. Penyebutan istilah ilmu itu tersebut ahli didik beragam Ibnu
Khaldun menyebut ilmu aqliyah dan naqliyah, al-Gazali menyebut ilmu syariat dan
aqliyah, al-Attas menyebutkan ilmu fardu’ain dan ilmu fardu kifayah, sedangkan
seminar pendidikan internasional di Mekkah al-Mukarramah 1977 menyebutkan ilmu
wahyu dan ilmu muktasab (ilmu yang diperoleh hasil research).
Demikian urgensi ilmu yang amat tinggi bagi keselamatan jiwa manusia dan alam
jagad raya. Dengan ilmu alam tenang dan jika lenyap ilmu, maka lenyap pula alam.
Karena ilmu inilah pencari dan pengajarnya dimuliakan Allah dan dimuliakan seluruh
makhluk, diampuni segala dosanya dan didengar doanya .
C. Adab Menuntut Ilmu
Ta’dib secara Etimologi merupakan bentuk masdar kata kerja addaba yang berari
‘mendidik, melatih berdisiplin, memperbaiki, mengambil tindakan, beradab, sopan,
berbudi baik, mengikuti jejak akhlaknya.
Dalam salah satu hadis Rasulullah bersabda:
)أ ًّدبّي َربِّي فأحْ َسنَ تَأديي(أخر جه العسكري عن علي
“Tuhanku mengajarkan adab kepadaku maka Dialah yang memperindah
adabku.”(HR. al-‘Askariy dari Ali)
Al-Zarkasiy dalam Faydh al-Qadir Syarah al-Jami ‘al-Shaghir menyebutkan bahwa
Hadis ini sekalipun dha’if tetapi maknanya shahih.
Kata ta’dib pada umumnya lebih banyak digunakan pada pendidikan yang bersifat
keterapilan lahir yakni latihan dan keterampilan. Ia berasal dari kata adab, yang
berarti etika, sopan santun, dan budi pekerti lebih tepat diartikan mengajarkan adab
atau diartikan memberi pelajaran atau hukuman .
Ayat Al-Quran yang berhubungan dengan adab menuntut ilmu antara lain:
َوا يَ ۡرفَ ِع ٱهَّلل ُ ٱلَّ ِذين ْ ح ٱهَّلل ُ لَ ُكمۡۖ وَِإ َذا قِي َل ٱن ُش ُز
ْ وا فَٱن ُش ُز ۡ ْ س فَ ۡٱف َسح ۡ ْ ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا ِإ َذا قِي َل لَ ُكمۡ تَفَ َّسح
ِ ُِوا فِي ٱل َم ٰ َجل
ِ ُوا يَف َس
١١ ير ٞ ِت َوٱهَّلل ُ بِ َما ت َۡع َملُونَ َخبٖ ۚ وا ۡٱل ِع ۡل َم َد َر ٰ َج
ْ ُوا ِمن ُكمۡ َوٱلَّ ِذينَ ُأوت
ْ َُءا َمن
11. Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah
dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.(QS. Al-Mujadillah:11)
Menurut Ibn Qayyim, kata adab berasal dari kata ma’dubah. Kata ma’dubah
berarti’jamuan atau hidangan’, dengan kata kerja ”adaba-ya’dibu’’ yang berarti
‘menjamu atau menghidangkan makanan. Kata adab dalam tradisi Arab kuno
merupakan symbol kedermawanan, dimana al-Adib (pemiik hidangan) mengundang
banyak orang untuk duduk bersana menyantap hidangan di rumahnya. Sebagaimana
yang terdapat dalam perkataan Tharafah bin Abdul Bakri al-Wa’illi, “Pada musim
paceklik (musim kesulitan pangan), kami mengundang orang-orang ke perjamuan
makan, dan engkau tidak akan melihat para penjamu dari kalangan kami memilih-
milih orang yang diundang”.
Kemudian kata ini berkembang seiring dengan perkembangan peradaban islam,
sebagai sebuah simbol nilai agung yang ada dalam islam. Hal ini bisa kita lihat dalam
hadist berikut ini, yang menjelaskan kata adab sebagai hidangan yang ada di
dalamnya syarat dengan nilai. “sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah
dimuka bumi, oleh karena itu Belajarlah kalian pada sumber peradaban-nya.”
Kata ta’dib atau al-adab ini dipopulerkan oleh Imam al-Bukhari dalam adab al-
mufrad, al-mawardi dalam kitabnya Adab al-Muallimin wa al-Rawi wa Adab al-sami’
serta Ibn Jama’ah dalam kitabnya Tadzkirah al- sami’ wa al-Mutakallim fii Adab al-
Alim wa al-Muta’allim.
Sementara itu, kata adab juga sering dipakai dalam hadits untuk menunjuk kata
pendidikan. Hal itu sebagaimana sabda Nabi saw. Berikut ini, “Tuhan telah
mendidikku, dan telah membuat pendidikanku itu sebaik-baiknya”, “Setiap pendidik
akan menyukai diberikan alat mendidik, dan sesungguhnya pendidikan dari Allah itu
adalah Al-Qur’an, aka janganlah kalian menjauhinya”.
Menurut al-attas, istilah ta’dib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk
menggambarkan pengertian pendidikan, karena pada dasarnya pendidikan Islam
bertujuan untuk melahirkan manusia yang beradab. Sementara istilah tarbiyah terlalu
luas karena pendidikan, dalam istilah ini mencakup pendidikan untuk hewan.
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa istila Ta’dib merupakan masdar kata kerja addaba
yang berarti pendidikan. Kemudian, dari kata addaba ini diturunkan juga kata adabun.
Menurut al-attas, adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa
pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat
dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam
hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah,
intelektual, maupun rohaniyah seseorang. Al-attas mengatakan bahwa adab adalah
pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang,
dalam rencana susunan berperingkat martabat dan derajat, yang merupakan suatu
hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta. Pengenalan adalah ilmu; pengakuan
adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan, seperti ilmu tanpa amal; dan
pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Keduanya sia-sia karena yang
satu menyifatkan ketiadasadaran dan kejahilan .
Berdasarkan pengerian adab seperti itu, al-Attas mendifinisikan pendidikan menurut
islam sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan
ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam
tatanan wujud, sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan
tempat tuhan yang tepat didalam tatanan wujud tersebut.
Pendapat al-Attas mengenai Ta’dib, dikuatkan oleh Sa’dudin Mansur Muhammad. Ia
beralasan bahwa istilah Ta’dib merupakan istilah yang mencakup semua aspek dalam
pendidikan baik unsure tarbiyah maupun taklim. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa
istilah ta’dib sudah dikenal sejak zaman jahiliah dan dikuatkan setelah datangnya
Nabi Muhammad saw.
Alasan yang lebih mendasar yang melatar belakangi al-Attas memilih istilah ta’dib
adalah, adab berkaitan erat dengan ilmu, sebab ilmu tidak dapat diajarkan atau
ditularkan kepada anak didik, kecuali jika orang tersebut memiliki adab yang tepat
terhadap ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang.
Kemudian, konsep pendidikan Islam yang hanya terbatas pada makna tarbiyah dan
taklim itu telah dirasuki pandangan hidup barat yang berlandaskan nilai-nilai
dualisme, sekularisme, humanism, dan sofisme, sehingga nilai-nilai adab menjadi
kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah Ilahiah. Kekaburan makna adab
tersebut mengakibatkan kezaliman, kebodohan, dan kegilaan. Kezaliman yang
dimaksud disini adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, sementara
kebodohan adalah melakukan cara yang salah untuk mencapai hasil tujuan tertentu,
dan kegilian adalah perjuangan yang berdasarkan tujuan dan maksud yang salah.
Istilah adab juga merupakan salah satu istilah yang identik dengan pendidikan akhlak,
bahkan Ibn Qayyim berpendapat bahwa adab adalah inti dari akhlak, karena
didalamnya mencakup semua kebaikan. Lebih dari itu, konsep adab ini, pada
akhirnya berperan sebagai pembeda antara pendidikan karakter dengan pendidikan
akhlak. Orang berkarakter tidaklah cukup, karena pendidikan karakter hanya
berdimensi pada nilai-nilai dan norma-norma kemanusian aja (makhluk), tanpa
memperhatikan dimensi ketauhidan Ilahiyah (khaliq). Sehingga orang berkarakter
belum bias disebut berakhlak, karena bisa jadi orang berkarakter “toleransi” ia
mengikuti paham pluralism sehingga memukul rata semua agama tanpa batasan
norma syari’at. Sementara dalam pendidikan akhlak mengintegrasikan kedua dimensi
tersebut, yakni nilai kemanusiaan (makhluk) dan nilai uluhiyah (khaliq) adalah hal
yang wajib, dan tidak boleh dipisah-pisahkan. Sehingga orang berakhlak, secara
langsung mencakup orang yang berkarakter. Dengan demikian, pendidikan akhlak
atau adab adalah lebih syumul ‘mencakup’ daripada pendidikan karakter.
Adab menuntut ilmu terbagi antara lain,
1. Adab Penuntut Ilmu terhadap Dirinya Sendiri (Adab al-Muta’allim fii Nafsihi)
a. Menyucikan hati dari segala sifat-sifat tercela, agar mudah menyerap ilmu.
b. Meluruskan niat dalam mencari ilmu, yakni ikhlas hanya karena ingin mendapat
ridha Allah.
c. Menghargai waktu, dengan cara mencurahkan segala perhatian untuk urusan ilmu.
d. Memiliki sifat qana’ah dalam kehidupannya, dengan menerima apa adanya dalam
urusan makan dan pakaian, serta sabar dalam kondisi kekurangan.
e. Membuat jadwal kegiatan harian secara teratur, sehingga alokasi waktu yang
dihabiskan jelas dan tidak terbuang sia-sia.
f. Hendaknya memperhatikan makanan yang dikonsumsi, harus dari yang halal dan
tidak terlalu kenyang sehingga tidak berlebih-lebihan. Karena, makanan haram dan
mengkonsumsi berlebihan menyebabkan terhalang dari ilmu.
g. Bersifat wara’, yaitu menjaga diri dari segala sifatnya syubhat dan syahwat hawa
nafsu.
h. Menghindari diri dari segala makanan yang dapat menyebabkan kebodohan dan
lemahnya hafalan, seperti apel, asam, dan cuka.
i. Mengurangi waktu tidur, karena terlalu banyak tidur dapat menyia-nyiakan usia dan
terhalang dari faedah.
j. Menjaga pergaulan, yaitu hanya bergaul dengan orang-orang saleh yang memiliki
antusias dan cita-cita tinggi dalam ilmu, dan meninggalkan pergaulan dengan orang
yang buruk akhlaknya, karena hal itu berdampak buruk terhadap perkembangan
ilmunya.
2. Adab Penuntut Ilmu terhadap Gurunya (Adab al-Muta’allim Ma,a Syaikhihi)
a. Memilih guru yang berkualitas, baik dari segi keilmuan dan akhlaknya.
b. Menaati perintah dan nasihat guru, sebagaimana taatnya pasien terhadap dokter
sepesialis.
c. Mengagungkan dan menghormati guru sebagaimana para ulama salaf
mengagungkan para guru mereka. Sebagai contohnya adalah apa yang pernah
dilakukan oleh Imam Syafi’i terhadap gurunya (Imam Malik), dimana beliau
membuka buku pelajaran secara perlahan-lahan tanpa terdengar suara lembaran
kertas, karena mengagungkan gurunya, dan agar tidak mengganggu konsentrasi
gurunya yang sedang melangsungkan pengajarannya. Bahkan, di antara ulama salaf
ada yang bersedekah terlebih dahulu sebelum berangkat ke majelis gurunya, seraya
berdo’a, “yea Allah, tutupilah aib guruku dan jangan engkau halangi keberkahan
ilmunya untukku.”
d. Menjaga hak-hak gurunya dan mengingat jasa-jasanya, sepanjang hidupnya, dan
setelah wafatnya, seperti mendoakan kebaikan bagi sang guru dan menghormati
keluarganya.
e. Sabar terhadap perlakuan kasar atau akhlak yang buruk dari gurunya. Jika hal
seperti ini terjadi pada dirinya, hendaknya ia bersikap lapang dada dan
memaafkannya serta tidak berlaku su’uzhan terhadap gurunya tersebut.
f. Menunjukan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada gurunya yang telah
mengasuhnya dalam naungan keilmuan.
g. Meminta izin terlebih dahulu kepada guru, jika ingin mengunjunginya atau duduk
di majelisnya.
h. Hendaknya duduk dengan sopan di hadapan guru. Ibn Jama’ah mencontohkan
duduk sopan tersebut, dengan cara duduk bersila dengan penuh tawadhu’, tenang,
diam, sedapat mungkin mengambil posisi terdekat dengan guru, penuh perhatian
terhadap penjelasan guru, tidak dibenarkan menoleh kesana-kemari tanpa keperluan
yang jelas, dan seterusnya.
i. Berkomunikasi dengan guru secara santun dan lemah lembut.
j. Ketika guru menyampaikan suatu pembahasanyang telah didengar atau sudah
dihafal oleh murid, hendaknya ia tetap mendengarkannya dengan penuh antusias,
seakan-akan dirinya belum pernah mendengar pembahasan tersebut.
k. Penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru menjawab atas pertanyaan, baik dari guru
atau dari peserta, sampai ada isyarat dari guru untuk menjawabnya.
l. Dalam hubungan membantu guru, hendaknya sang murid melakukannya dengan
tangan kanan.
m. Ketika bersama dengan guru dalam perjalanan, hendaknya murid berlaku sopan
dan senantiasa menjaga keamanan serta kenyamanan perjalanan sang guru.
DAFTAR PUSTAKA