Anda di halaman 1dari 64

AURAT PEREPUAN DALAM PERSPEKTIF SHAHRUR

(KAJIAN TEORI BATAS MINIMAL DAN BATAS MAKSIMAL)

SKRIPSI

Oleh:
Martiah
NIM: E93217114

PROGRAM STUDI ILMU AL-QU’A>N DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama yang diyakini para pemeluknya sebagai

agama yang rahmatan lil‘alami>nn(agama yang menebar kasih sayang bagi

alam semesta), salah satu bentuk rahmat itu adalah pengakuan Islam terhadap

keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. Karna Islam

sangat menghormati dan menghargai wanita, maka turunlah aturan dan

perintah untuk menutup aurat. Dengan maksud menjaga harga diri, martabat

dan kehormatannya.1

Hal ini sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’a>n surat al-Ahza>b

ayat 59.

‫ِل‬ ‫ِء‬ ‫ِج‬


‫َياَأُّيَه ا الَّنُّيِب ُق ْل َأِلْز َوا َك َو َبَناِتَك َو ِنَس ا اْلُم ْؤ ِمِنَني ُيْد ِنَني َعَلْيِه َّن ِم ْن َج اَل ِبيِبِه َّن َذ َك‬
‫َأْد ىَن َأْن ُيْع َرْفَن َفاَل ُيْؤ َذْيَن َوَك اَن الَّلُه َغُفوًرا َرِح يًم ا‬
“Wahai nabi! katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin. “hendaklah mereka
menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka” yang demikian itu
agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak
diganggu. Dan Alla>h maha penyayang maha pengam pun.”2
Bagi orang yang beriman, mentaati Alla>h dan Rasul-Nya merupakan

suatu kebahagiaan. Karena, ketaatan itulah yan nantinya akan

membimbingnya menuju kesuksesan dunia dan akhiratnya. Oleh karena itu,

hendaknya setiap orang mukmin berpegang teguh pada perintah Tuhannya

1
Isnawati, Aurat Wanita Muslimah, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing,2020), 6.
2
Kementrian Agama RI, Al-qur’an Tajwid dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul
dan Hadith Sahih, (Jakarta: PT. Madina Raihan Makmur, 2010), 426.

1
2

dengan menjalankan kewajibannya berupa menutup aurat, menjaga kesucian

diri, dan menjaga sifat malu sebagai bentuk ketaatan kepada Alla>h dan

Rasul-Nya.3 Sudah seharusnya seorang Muslim memahami setiap perkara

yang berkaitan dengan agamanya, mengikuti setiap pedoman dan petunjuk

yang disampaikan oleh Nabi terutama dalam masalah kewajiban seperti

menutup aurat.

Menurut kutipan penulis dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, aurat

sendiri merupakan bagian tubuh yang tidak boleh ditampilkan sesuai dengan

arahan agama Islam.4 Secara definitif, aurat adalah bagian dari tubuh

seseorang yang diharamkan untuk diperlihatkan. Sebagaimana yang

dinyatakan dalam banyak riwayat, aurat wanita adalah seluruh tubuh selain

wajah dan kedua telapak tangan. Menurut Fuad Mohd Fachruddin, aurat

adalah sesuatu yang menimbulkan syahwat atau birahi, membangkitkan nafsu

sedangkan ia memiliki kehormatan yang dibawa oleh rasa malu yang harus

ditutup dengan rapi dan dijaga agar tidak mengganggu manusia lain.5

Dalam disilpin ilmu fiqih, lafadz aurat yang diperbincangkan adalah

yang mempunyai arti dalam ayat 31 surat al-Nu>r, yaitu berarti sebagian

anggota tubuh yang dalam pandangan umum buruk atau malu apabila

diperlihatkan dan abila dibiarkan terbuka kemungkinan menimbulkan fitnah

sesksual.6 Menurut Shahrur, aurat adalah apa saja yang jika diperlihatkan

3
Ummu Abdillah, Berhijablah Saudariku, (Surabaya: Pustaka Elba, 2015), 33.
4
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), Cet. 7, 66.
5
Fuad Mohd Fachruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam, (Jakarta: CV Pedoman
Ilmu Jaya, 1984, 1.
6
Husein Muhammad , Fiqih Perempuan, (Yokyakarta: Ircisod, 2019), 124.
3

akan membuat seseorang merasa malu, dan pemahaman ini telah disepakati

oleh mayoritas tokoh yang ahli dalam bahasa Arab, seperti al-Sa'labi. Aurat

adalah bagian tubuh yang tidak bisa dibuka dan diperlihatkan. Berdasarkan

hal tersebut, muncul pendapat bahwa kata tersebut adalah majas tentang aurat

laki-laki dan perempuan yang jika diperlihatkan akan mengganggu pihak lain.

Selain itu, aurat juga berarti aib dan bangkai,7 sebagaimana firman Alla>h:

‫ِخ ِه‬ ‫ِل‬


‫اَأْلْر ِض ِرُيَيُه َك ْي َف ُيَواِري َس ْوَءَة َأ ي َقاَل َياَو ْيَلَت ا َأَعَج ْزُت‬ ‫َفَبَعَث الَّلُه ُغ اًبا َيْبَح ُث يِف‬
‫َر‬
.....‫َفُأَواِرَي َس ْوَءَة َأِخ ي‬ ‫َأْن َأُك وَن ِم ْث َه َذ ا اْلُغ اِب‬
‫َر‬ ‫َل‬
“Kemudian Alla>h mengutus seekor burung gagak menggali-gali
dibumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana
seharusnya menguburkan mayat saudaranya”8
Secara umum, Al-Qur'a>n memuat berbagai tajuk yang memberikan

dasar hukum aurat perempuan, antara lain larangan tabarruj, menutup aurat

dengan kerudung, dan tidak telanjang di tempat umum. Para sarjana telah

menghasilkan berbagai interpretasi dari ayat-ayat ini karena sifat umum dari

redaksi. Hadits yang berfungsi sebagai penjelasan al-Qu’a>n telah

memberikan informasi yang lebih spesifik kepada para ulama untuk

menentukan batas-batas aurat perempuan.

Muhammad Shahrur berpedoman pada firman Alla>h dalam surat al-

Nu>r ayat 31 untuk menentukan aurat wanita:

‫ِإاَّل‬ ‫ِد ِز‬ ‫ِرِه‬ ‫ِم‬ ‫ِل ِم ِت‬


‫َو ُقْل ْلُم ْؤ َنا َيْغُضْض َن ْن َأْبَص ا َّن َوْحَيَف ْظَن ُفُروَجُه َّن َواَل ُيْب يَن يَنَتُه َّن َم ا َظَه َر‬
‫ِرِه َّن َلى وِهِبَّن اَل ِد ي ِزي َّن ِإاَّل ِل وَلِتِه َّن َأ آ اِئِه َّن َأ آ اِء‬ ‫ِم‬
‫ْو َب‬ ‫ْو َب‬ ‫ُبُع‬ ‫ْنَه ا َو ْلَيْض ِرْبَن ُخِبُم َع ُجُي َو ُيْب َن َنَتُه‬
7
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer terj. Sahiron Syamsuddin dan
Burhanuddin, (Yokyakarta: Elsaq Press), 484.
8
Kementrian Agama RI, Al-qur’an Tajwid dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul
dan Hadith S}ahih, (Jakarta: PT. Madina Raihan Makmur, 2010),
4

‫ِهِت‬ ‫ِإ ِهِن‬ ‫ِإ ِهِن‬ ‫ِت‬ ‫ِئ‬ ‫ِت‬


‫ُبُع وَل ِه َّن َأْو َأْبَن ا ِه َّن َأْو َأْبَن اءُبُعوَل ِه َّن َأْو ْخ َوا َّن َأْو َبيِن ْخ َوا َّن َأْو َبيِن َأَخ َوا َّن َأْو‬
‫َّلِذ‬ ‫ِل‬ ‫ِة ِم‬ ‫ِبِع ِرْي‬ ‫ِن ِئِه‬
‫َس ا َّن َأْو َم ا َم َلَك ْت َأَمْياُنُه َّن َأِو الَّتا َني َغ ُأويِل اِإْل ْرَب َن الِّرَج ا َأِو الِّطْف ِل ا يَن‬
‫ْمَل َيْظَه ُروا َعَلى َع ْوَراِت الِّنَس اِء َواَل َيْض ِرْبَن ِب َأْرُج ِلِه َّن ِلُيْع َلَم َم ا ْخُيِف َني ِم ْن ِزيَنِتِه َّن َو ُتوُبوا‬
.‫ِإىَل الَّلِه ِمَج يًعا َأُّيَه اْلُم ْؤ ِم ُنوَن َلَعَّلُك ْم ُتْف ِلُح ون‬

Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka


menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-
putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-
putra saudara perempuan mereka, atau pata perempuan (sesama
Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para
pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
perempuan. Dan janganlah menghentakkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua
kepada Alla>h, agar kamu beruntung.9
Shahrur mengkategorikan ayat diatas kedalam salah satu teori batas,

yaitu batas minimal. Batas minimal merupakan batas terendah yang

ditentukan Alla>h dalam al-Qu’a>n. batas minimal menurut Shahrur adalah

al-Juyu>b, yang meliputi kemaluan, bokong, area antara payudara, payudara

bagian bawah, dan bagian bawah ketiak.10

Nabi Muhammad membolehkan perempuan untuk menutupi seluruh

tubuh mereka sebagai batas maksimal, tetapi dalam kondisi tertentu, seperti

dalam kegiatan sosial tidak diperbolehkan bagi mereka untuk menutupi wajah

9
Kementrian Agama RI, Al-qur’a>n Tajwid dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzu>l
dan Hadi>th S{ahi>h, 353.
10
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer terj. Sahiron Syamsuddin dan
Burhanuddin, 257.
5

dan telapak tangan, karena wajah merupakan ciri manusia. Jika seorang

wanita keluar dengan hanya menutup aurat atau hanya aurat yang merupakan

aurat kasar, maka hal itu dianggap telah melewati batas minimal Alla>h.

Begitu juga ketika mereka keluar tanpa memperlihatkan sedikit pun anggota

tubuh mereka, itu juga dianggap telah keluar dari batas maksimal Nabi

Muhammad.11

Para ulama sepakat bahwa setiap wanita wajib menutupi auratnya,

namun mereka berbeda pendapat tentang sejauh mana hal ini dapat diterima.

Hal ini dapat dipahami karena dipengaruhi oleh pendidikan keilmuan, kondisi

sosiokultural, atau kerangka teori yang mereka gunakan untuk memahami

teks-teks keagamaan, khususnya firman Alla>h berikut ini:

...‫ِإاَّل َم ا َظَه َر ِم ْنَه ا‬...


“Kecuali yang (biasa) terlihat” (QS al-Nu>r: 31)

Apabila yang dimaksud merupakan sesuatu yang biasa terlihat

menurut kebiasaan, maka itu adalah anggota-anggota badan, seperti wajah,

kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki. Tetapi jika yang dimaksud itu

anggota badan yang tampak karna tidak sengaja maka yang diinginkan oleh

ayat tersebut adalah bahwa anggota tubuh perempuan merupakan aurat.12

Sangat menarik untuk dideskripsikan dan ditelaah pendekatan Shahrur

dalam menafsirkan al-Qur’a>n, bukan sebagai ilmu yang harus diamalkan

11
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer terj. Sahiron Syamsuddin dan
Burhanuddin 259.
12
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer terj, 260.
6

melainkan sebagai ilmu dan contoh pemikiran yang menyimpang dari makna

al-Qur’a>n.

Terdapat beberapa alasan akademik, mengapa penulis memilih

penelitian ini dengan judul “AURAT PEREMPUAN DALAM

PERSPEKTIF SHAHRUR (KAJIAN TEORI BATAS MINIMAL DAN

BATAS MAKSIMAL)” Pertama, tema tentang aurat dalam perspektif

Shahrur telah banyak dibahas baik itu berupa jurnal, skripsi, artikel dan

bacaan-bacaan yang lainnya. Namun, belum ada yang membahas secara

khusus mengenai batas minimal dan maksimal aurat perempuan dalam

perspektif Shahrur. Kedua, judul ini merupakan judul yang didalamnya

mengundang kontroversi dikalangan Mufassir. Ketiga, Penafsiran terhadap

ayat-ayat aurat yang dipahami Shahrur sangat kontroversial dengan

pemahaman ulama sebelumnya, tetapi Shahrur memiliki pemikiran sendiri

terkait batasan aurat, meskipun banyak ulama yang menentangnya.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Untuk menguraikan permasalahan yang terkait dengan tema

pembahasan penelitian, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan

sebagai berikut:

1. Aurat perempuan dalam perspektif Shahrur

2. Teori Batas minimal dan batas maksimal

3. Faktor munculnya kontroversi mengenai batasan aurat dikalangan ulama

4. Ulama Tidak Mengenal Istilah Batas Mnimal dan Maksimal


7

5. Penafsiran Muhammad Shahrur terhadap ayat 31 surat al-Nu>r

Mengacu pada identifikasi masalah diatas, Kajian ini mengkaji teori

batas minimal dan maksimal, dengan membatasi pembahasan hanya pada alat

kelamin perempuan dari sudut pandang Shahrur.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, berikut adalah

rumusan masalah yang relevan:

1. Bagaimana penafsiran Shahrur terhadap ayat 31 surat al-Nu>r?

2. Bagaimana batas minimal dan batas maksimal aurat perempuan dalam

perspektif Shahrur

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang ada, maka diharapkan menjadi

tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis penafsiran syharur terhadap ayat aurat dalam surat al-Nu>r

ayat 31

3. Mejelaskan dan menaganalisis pandangan Shahrur menganai batas

minimal dan batas maksimal aurat perempuan

E. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis
8

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan keilmuan

mengenai batas aurat minimal dan maksimal bagi perempuan menurut

Muhammad Shahrur. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi

bahan bacaan, referensi, dan rujukan bagi penelitian selanjutnya.

2. Secara Praktis

a. Bagi penulis penelitian ini bermanfaat dalam menambahkan

khazanah keilmuan penulis dan mengembangkan teori keilmuan

yang telah didapatkan selama perkualiahan terutama mengenai

pemikiran-pemikiran tokoh Islam dan madhhab-madhhab yang

berkembang hingga saat ini.

b. Bagi akademisi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan

referensi dan saran pemikiran dalam menujang penelitian selanjutnya

yang diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan perbandingan bagi

penelitian yang lain.

c. Bagi masyarakat umum, penelitian ini mampu menjawab persoalan

yang timbul di masyarakat dan menambah wawasan masyarakat

mengenai batas aurat minimal dan maksimal bagi perempuan dalam

pandangan Shahrur yang dibahas dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teoritik

1. Aurat

Aurat merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang berasal dari

kata ara>-yauru-aurat yang bermakna tampak, lahir atau muncul. Kata


9

ini juga bisa bermkna aib atau cela, juga bisa bermakna menimbun

dengan tanah hingga terhambat mata airnya. 13 Sesuai dengan ini dapat

diartikan bahwa aurat adalah sesuatu yang dapat ditutup agar tidak dilihat

dan dipandang.14 Sedangkan kata saw’ah berasal dari sa’a-yasu’u-saw’an

yang bermakna jelek, buruk atau jahat. Kata saw’ah memiliki arti

konotatif dan denotatif. Secara denotatif kata ini memiliki makna

keburukan (al-qubh), seperti dalam hadis: saw’ah maulu>dun khayrun

min hasna’a ‘a>qimi>n (perempuan yang buruk rupa namun subur lebih

baik dari pada perempuan cantik tapi mandul). Secara konotatif, kata

saw’ah berarti aurat, yaitu bagian tubuh yang tidak boleh diperlihatkan.15

2. Muhammad Shahrur

Muhammad Shahrur adalah sosok yang fenomenal, ia dilahirkan

di Damaskus Syiria pada tanggal 11 April 1938. Syiria merupakan salah

satu Negara yang pernah mengalami problem modernitas khususnya

benturan keagamaan dengan gerakan modernitas barat. Problem ini

muncul karena disamping Syiria pernah di invasi oleh Prancis dampak

dari gerakan modernisasi Turki, di Syiria pernah menjadi region dari

dinasti Turki Uthmani. Promlema ini memunculkan tokoh-tokoh

misalnya jamal al-Din, al-Qasimy (1866-1914).16

13
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 984.
14
Fuad Mohd Fachruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam, (Jakarta: CV Pedoman
Ilmu Jaya, 1984), 10-11.
15
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsuddin dan
Burhanuddin, ((Yokyakarta: Elsaq Press), 484.

16
Ahmad Sharqawi> Ismai>l, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur, (Yokyakarta:
Elsaq Press, 2003), 43.
10

Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di Syiria sampai

memperoleh ijazah sekolah menengah pada tahun 1957 dari lembaga

pendidikan Abdur Rahman al-Kawa>kibi, Damaskus. Pada tahun 1958

dia mmeperoleh beasiswa dari pemerintah dan berangkat ke saratow di

Moskow, Uni Soviet untuk mempelajari teknik sipil, dan pada tahun

1964 berhasil menyelesaikan program diploma teknik sipil. Kemudian

pada tahun 1965 Shahrur kembali ke Syiria dengan gelar sarjana teknik

sipil dan mengajar di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus.

Selanjutnya pada tahun 1968, dikirim ke Ireland Nationl University,

Irlandia yang kemudian memperoleh gelar Magister pada tahun 1969 dan

memperoleh gelar Doktor pada tahun 1972 dalam spesialisasi Mekanika

Pertahanan dan Fondasi. Kemudian Shahrur diangkat menjadi Profesor

jurusan teknik sipil di Universitas Damaskus pada tahun 1972-1999.

Kemudian pada tahun 1982-1983 Shahrur dikirim oleh Universitas

Damaskus untuk menjadi tenaga ahli pada al-Sand Consult di Arab

Saudi. Selain itu bersama rekan-rekannya, dia membuka Biro konsultan

Teknik Dar al Istisharah al Handasiyah di Damaskus.17

G. Kajian Pustaka

Sebelum melakukan penelitian ini, penulis melakukan penelusuran

mengenai batas aurat perempuan, sebenarnya telah banyak dikaji dan diteliti

oleh beberapa peneliti sebelumnya. Namun, dalam pemebahasan tema

17
M. Aunul Abied Shah, Isla>m Garda Depan: Mosaik Pemeikiran Isla>m Timur Tengah,
(Bandung: Mizan , 2000), 237.
11

tersebut penulis di sini merujuk kepada beberapa sumber yang berhubungan

dengan judul penulis antara lain sebagai berikut:

1. Skripsi yang berjudul “batas aurat wanita (studi perbandingan pemikiran

buya Hamka dan Muhammad Shahrur)” yang ditulis oleh Teuku Bordan

Todiadi mahasiswa perbandingan madhhab fakultas Shari’ah dan hukum

UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh 2017. Skripsi ini menjelaskan

bagaimana interpretasi Muhammad Shahrur dan Buya Hamka tentang

batas-batas aurat perempuan dibandingkan satu sama lain untuk

membandingkan dan membedakan perspektif mereka tentang topik

tersebut. 18

2. Skirpsi yang berjudul “Aurat dalam al-Qu’a>n Perspektif M. Quraish

Shihab dan Ahmad Mustafa al-Maraghi (surah al-A’raf: 26, al-Nu>r: 31,

dan al-Ahza>b:59)” ditulis oleh Muhammad Hamzah Ainul Yaqin

mahasiswa Tafsir Hadis fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan

Ampel Surabaya. Menjelaskan bahwa model pakaian semakin jauh dari

ajaran al-Qu’an. sebab berdalih seni dan trend masakini. Pakaian bukan

lagi sebagai penutup aurat naumun, sebagai perhiasan tubuh tanpa

perduli pada ketentuan dalam al-Qu’a>n.19

3. Skripsi berjudul “Konsep Aurat Perempuan Menurut Muhammad

Shahrur (Kajian atas Tafsir Q.S an-Nu>r Ayat 31). Yang ditulis oleh Octri

Amelia Suryani mahasiswa dari ilmu al-Qu’a>n dan tafsir Fakultas

18
Teuku Bordan Toniadi, Batas Aurat Wanita (studi perbandingan pemikiran Buya Hamka dan
Muhammad Shahrur), Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Darussalam Banda
Aceh 2017.
19
12

Ushuluddin dan Peikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yokakarta 2017.

Skripsi ini membahas penafsiran Shahrur tentang aurat perempuan dalam

surat an-Nu>r ayat 31 serta argumentasinya untuk membagun teori batas

untuk merelevasikan dengan pemikiran Islam kontemporer.20

4. Skripsi berjudul “Pakaian Wanita Dalam Perspektif Muhammad Shahrur

(Kajian Tafsir Ayat Pakaian Wanita Dalam al-Qu’a>n)” ditulis oleh Tri

Arni Paramita mahasiswa jurusan Ilmu al-Qu’a>n Dan Tafsir Fakultas

Ushuluddin dan Studi Agama Uin Raden Intan Lampung 2022. Skripsi

membahas tentang seputar pakaian menurut Muhammad Shahrur dan

batas minimal dan maksimal pakaian menurut Muhammad Shahrur.21

5. Jurnal sosial, politik, kajian Islam dan Tafsir yang berjudul “kritik

terhadap teori hudud Muhammad Shahrur dan implementasinya dalam

ayat-ayat hudud” ditulis oleh Mohammad Rasyid Rid}o mahasiswa dari

fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Mataram

2018. Jurnal ini membahas tentang teori-teori hudud secara global. 22

Dari ulasan judul-judul di atas terdapat beberapa temuan kajian

tentang auat perempuan yang sudah pernah diteliti, namun mereka punya

fokus kajian masing-masing dan peneliti rasa belum ada yang secara spesifik

membahas tentang batas aurat minimal dan maksimal menurut Shahrur.

20
Octri Amelia Suryani, Konsep Aurat Perempuan Menurut Muhammad Shahrur (Kajian atas
Tafsir Q.S An-Nur Ayat 31), Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Peikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
Yokakarta 2017.
21
Tri Arni Paramita, Pakaian Wanita Dalam Perspektif Muhammad Shahrur (Kajian Tafsir Ayat
Pakaian Wanita Dalam Al-Qur’an), Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Uin Raden
Intan Lampung 2022.
22
Mohammad Rasid Ridho, Kritik terhadap teori hudud Muhammad Shahrur dan implementasinya
dalam ayat-ayat hudud, Jurnal sosial, politik, kajian Islam dan Tafsir, Vol. 1, No. 2, Desember
2018.
13

Namun berdasarkan pemahaman dan wacana pada judul-judul di atas,

sungguh memberikan kontribusi positif yang dapat membantu peneliti dalam

menyusun skripsi ini dengan membantu mereka memahami dan menciptakan

wacana baru.

H. Metodologi Penelitian

Peneliti perlu mengetahui bagaimana metode penelitian yang jelas

agar penelitian ini menjadi lebih sistematis. Adapun dalam metode penelitian

terdiri dari tiga unsur yaitu: metode penelitian, pendekatan penelitian, dan

teori penelitian.

1. Model penelitian

Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif. Metode

penelitian yang diupayakan untuk mengamati sebuah penelitian secara

mendalam.23 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi data

terkait tentang batas aurat menurut Shahrur. Penelitian ini bersifat

deskriptif analitik dengan jenis penelitian kepustakaan yang diperoleh

dari dari analisis dokumen atau data-data kepustakaan sebagai sumber

penelitian yang valid.

2. Pendekatan Penelitian

Terdapat macam-macam pendekatan penelitian diantaranya

pendekatan tafsir, linguistik, sosiologis, historis dan lai-lain. Dalam


23
Jusuf Soewadji, Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta:Mitra Wacana Media, 2012), 52.
14

penelitian ini akan menggunakan pendekatan sosio-historis yang

digunkan untuk menelusuri kehidupan Muhammad Shahrur serta

mendeskripsikan diskursus penafsiran al-Qu’a>n konremporer, dan

kondisi sosial yang terjadi pada saat pernerimaan al-Qu’a>n pertama kali.

3. Sumber Data

Karena penelitian ini adalah penelitian kepustakaan maka sumber

data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yakni sumber

primer dan skunder. Sumber primer adalah karya pemikiran Muhammad

Shahrur yaitu kitab nya yang berjudul al-Kita>b wa al-Qu’a>n: Qira'ah

wa al-Mu'as}irah diterjemahkan oleh Sahiron Shamsuddin dan

Burhanuddin ke dalam Prinsip dan Dasar Hermeneutika, al-Qu’a>n

Kontemporer dan Nahwa Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> ke dalam

Metodologi Fiqh Islam Kontemporer.

Sedangkan data skunder penelitian ini berasal dari karya lain

yang berkaitan dengan topik yang dibahas, seperti buku, tesis, disertasi,

artikel, atau publikasi ilmiah lainnya. Dalam penelitian ini, sumber data

sekunder antara lain: ensiklopedia al-Munanawir, Islam Garda Depan:

Mosaik Pemeikiran Islam Timur Tengah karya M aunul Abiel Shah,

Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur karya Ahmad

Sharqawi> Ismai>l dan lain-lain.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini berupa

dokumentasi yakni dengan mencari dan mengumpulkan informasi dari


15

sumber bahan kepustakaan yang berkaitan dengan penelitian seperti

buku, jurnal, dan karya ilmiah lainnya.

5. Teknis Analisis Data

Analisis data ini dilakukan agar dapat memperoleh kesimpulan

yang jelas mengenai permasalahan yang diteliti. Dalam hal ini, penulis

menggunakan teknik analisis deskriptif dengan terlebih dahulu

mendeskripsikan data yang dapat menjawab permasalahan yang diangkat

kemudian menganalisis data tersebut sebelum menuangkannya ke dalam

suatu gagasan untuk sampai pada kesimpulan.


BAB II
LANDASAN TEORI

A. Definisi dan Makna Aurat

Dalam bahasa Arab, kata aurat berasal dari kata ara>-yauru-aurat,

yang memiliki beberapa makna. pertama, kata tersebut dapat mengacu pada

arti tampak, lahir, atau muncul, yang mengindikasikan sesuatu yang dapat

terlihat atau diamati secara fisik. Dalam konteks menutup aurat, arti ini

menunjukkan bahwa aurat adalah bagian tubuh yang seharusnya tidak terbuka

atau terlihat oleh orang lain. Selain itu, kata aurat juga dapat memiliki makna

aib atau cela, yang menggambarkan sesuatu yang dianggap memalukan atau

tidak pantas untuk diperlihatkan. Ini menunjukkan bahwa menutup aurat

adalah upaya menjaga kehormatan dan kemuliaan individu serta menghindari

tampilan yang dianggap tidak sopan. Dan juga dalam konteks yang berbeda,

kata aurat juga dapat merujuk pada menimbun tanah sehingga mata airnya

terhambat. Namun, dalam konteks menutup aurat, makna ini tidak relevan

dan tidak berkaitan dengan pengertian aurat sebagai bagian tubuh yang perlu

ditutup.24 Dengan demikian, berdasarkan pemahaman ini, aurat dapat

didefinisikan sebagai sesuatu yang perlu ditutup agar tidak terlihat atau

diamati oleh orang lain, dengan tujuan menjaga kehormatan dan kemuliaan

individu serta menjauhkan diri dari tampilam yang di anggap tidak sopan.25

24
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 984.
25
Fuad Mohd Fachruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam, (Jakarta: CV Pedoman
Ilmu Jaya, 1984), 10-11.

16
17

Dalam bahasa Arab aurat juga disebut as-saw’ah, yang memiliki akar

kata sa’a yasu’u saw’an yang berarti buruk atau jelek. Dalam kontek

penelitian ini, kata tersebut digunakan dalam konotasi yang merujuk pada

aurat, yaitu bagian tubuh yang seharusnya tidak boleh dilihat oleh orang lain.

Penggunaan kata saw’ah dalam konteks aurat mengacu pada pemahaman

bahwa aurat merupakan sesuatu yang dianggap buruk atau tidak pantas

dipertontonkan. Dalam hadis yang disebutkan, sawu’uh wauludu>n khayrun

min hasna’a ‘aqimi>n (perempuan yang buruk rupa tetapi subur lebih baik

daripada perempuan cantik tapi mandul), kata saw’ah digunakan untuk

menggambarkan sifat fisik yang dianggap buruk atau tidak menarik secara

konvensional, namun pentingnya kesuburan dan potensi kehidupan yang

melekat pada perempuan tersebut.

Dalam konteks ini, penggunaan saw’ah mengingatkan bahwa

penilaian tentang keindahan fisik tidak boleh mengesampingkan nilai-nilai

dan aspek kehidupan yang lebih penting, seperti kesuburan dan keturunan.

Namun, penting untuk diingat bahwa penggunaan kata saw’ah dalam hadis

tersebut tidak secara langsung berkaitan dengan konsep aurat atau menutup

aurat, melainkan lebih terkait dengan nilai-nilai konteks kecantikan fisik.

Jadi, kata saw’ah dalam konteks aurat menekankan pentingnya menjaga aurat

sebagai bagian tubuh yang tidak boleh diperlihatkan, sejalan dengan

pemahaman bahwa aurat dianggap buruk atau tidak pantas untuk dilihat oleh

orang lain.26

26
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsuddin dan
Burhanuddin, ((Yokyakarta: Elsq Press), 484.
18

Didalam al-Qu’a>n kata aurat disebut sebanyak empat kali, dua kali

dalam bentuk mufrad dan dua kali dalam bentuk jama’. Berikut makna aurat

dalam al-Qu’a>n: Pertama, bermakna celah yang terbuka terhadap musuh,

atau celah yang memungkinkan orang lain mengambil kesempatan untuk

menyerang. Makna ini terdapat dalam surat al-Ahza>b ayat 13. Kedua, aurat

diartikan sebagai sesuatu dari anggota tubuh manusia yang apabila di

pandang akan membuat malu, atau dianggap buruk jika diperlihatkan. Makna

ini terdapat dalam surat al-Nu>r ayat 31 dan juga surat al-Nu>r ayat 58.27

B. Dasar Hukum Aurat

Tujuan dari menutup aurat wanita adalah untuk menjaga kehormatan

dan kesucian diri serta melindungi dari fitnah dan godaan seksual. Dalam

agama Islam, aurat wanita mencakup bagian tubuh tertentu yang harus

ditutupi dengan pakaian yang longgar dan tidak transparan di hadapan orang-

orang yag bukan mahram. Prinsip ini bertujuan untuk memelihara moralitas

dan menjaga kesucian hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Terkait bukti dan dasar-dasar hukum aurat, dapat ditemukan dalam

sumber-sumber utama seperti al-Qu’a>n dan Hadith. Ayat-ayat al-Qu’a>n dan

hadis mengandung petunjuk dan nasehat mengenai aurat, sopan santun, dan

etika berpakaian bagi umat Islam. Referensi sejarah mengenai aurat dalam

konteks kisah Nabi Adam adalah salah satu cara untuk menjelaskan bahwa

pemahaman tentang menutup aurat merupakan fitrah manusia yang berasal

27
A. Halil T}ahir, Ijitihad Maqa>sidi> Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas
Masalah, (Yokyakarta: LkiS, 2015), 146.
19

dari kesadaran dan pengertian akan kehormatan diri. Dalam Islam, dianggap

bahwa manusia dilahirkan dengan naluri untuk menjaga auratnya, dan

kesadaran akan hal tersebut menjadi bagian fitrah yang ada dalam diri

manusia.

Dalam al-Qu’a>n surat al-A’ra>f ayat 20, Alla>h berfirman:

‫َفَوْس َوَس ُهَلَم ا الَّش ْيٰطُن ِلُيْب ِدَي ُهَلَم ا َم ا وِٗرَي َعْنُه َم ا ِم ْن َس ْوٰء ِهِتَم ا َو َق اَل َم ا َنٰه ىُك َم ا‬
‫َرُّبُك َم ا َعْن ٰه ِذِه الَّش َج َرِة ِآاَّل َاْن َتُك ْو َنا َم َلَك ِنْي َاْو َتُك ْو َنا ِم َن اٰخْلِلِد ْين‬
“Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepada mereka agat
menampakan aurat mereka (yang selama ini tertutup). Dan (setan)
berkata, “Tuhanmu hanya melarang kamu berdua mendekati pohon
ini, agar kamu kamu berdua tidak menjadi malaikat atau menjadi
orang yang kekal (dalam surga).”
Pada ayat diatas Alla>h menggambarkan bagaimana setan

menpengaruhi Nabi Adam dan Hawa untuk mendekati pohon terlarang

dengan berbagai tipu daya. Salah satu tipu daya tersebut adalah dengan

membisikkan pikiran jahat kepada mereka agar menampakkkan aurat yang

sebelumnya tertutup. Ayat ini menunjukkan bahwa sejak awal, Nabi Adam

dan Hawa memiliki kesadaran akan aurat mereka yang harus tetap tertutup,

dan mereka tidak melihat aurat satu sama lain sebelum terpengaruh oleh

setan. Setan menggoda mereka dengan memberikan janji palsu bahwa dengan

memakan buah dari pohon terlarang tersebut, mereka akan menjadi malaikat

dan orang yang kekal di surga. Setan berusaha memanfaatkan keinginan

manusia untuk menjadi lebih, memancing mereka untuk melakukan


20

pelanggaran terhadap perintah Alla>h dengan harapan agar aurat mereka

terbuka.28

Kemudian ayat 22 surat al-A’ra>f Alla>h berfiman:

‫َفَد ّٰلى ا ِبُغ ٍۚر َلَّم ا َذاَقا الَّش َة َدْت ا ٰء ا َطِف َق ا ْخَيِص ٰفِن َل ِه ا ِم َّو ِق‬
‫َع ْي َم ْن َر‬ ‫َج َر َب ُهَلَم َسْو ُتُه َم َو‬ ‫ُه َم ُرْو َف‬
‫ا َّنِۗة‬
‫َجْل‬
“Dia (setan) membujuk mereka dengan tipu daya. Ketika mereka
mencicipi (buah) pohon itu, tampaklah oleh mereka auratnya, maka
mulailah mereka menutupinya dengan daun-daun surga.”
Dalam penggalan ayat diatas, Alla>h menggambarkan bahwa setelah

Nabi Adam dan Hawa memakan buah dari pohon terlarang, mereka

menyadari bahwa aurat mereka terbuka dan mereka merasa malu. Dalam

usaha menutupi aurat mereka, mereka mulai menutupinya dengan daun-daun

surga. Hal ini menunjukkan bahwa naluri rasa malu dan kesadaran akan

kebutuha n untuk menutup aurat telah ada pada manusia sejak awal.

Meskipun pada saat itu belum ada aturan atau petunjuk tentang pakaian atau

syariat berpakaian. Nabi Adam dan Hawa menggunakan daun-daun surga

sebagai penutup aurat mereka. Tindakan mereka untuk menutup aurat dengan

cara menempelkan banyak lembar daun menunjukkan bahwa mereka

berusaha menciptakan suatu penutup yang tebal agar aurat mereka tidak

tembus pandang. Hal ini menggambarkan pentingnya menutupi sesuatu yang

dapat menyebakan rasa malu, bahkan jika tidak ada orang lain yang melihat

pada saat itu.29

28
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: 2007), 159.
29
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik…, 159.
21

Dalam konteks ini, ayat tersebut memberikan pelajaran bahwa

menutup aurat merupakan bagian dari kesadaran dan naluri rasa malu yang

dimiliki manusia.

Dan dasar hukum aurat yang lain adalah surat al-Nu>r ayat 30-31,

Alla>h berfirman:

‫ِإاَّل‬ ‫ِد ِز‬ ‫ِرِه‬ ‫ِم‬ ‫ِل ِم ِت‬


‫َو ُقْل ْلُم ْؤ َنا َيْغُضْض َن ْن َأْبَص ا َّن َوْحَيَف ْظَن ُفُروَجُه َّن َواَل ُيْب يَن يَنَتُه َّن َم ا َظَه َر‬
‫ِرِه َّن َلى وِهِبَّن اَل ِد ي ِزي َّن ِإاَّل ِل وَلِتِه َّن َأ آ اِئِه َّن َأ آ اِء‬ ‫ِم‬
‫ْو َب‬ ‫ْو َب‬ ‫ُبُع‬ ‫ْنَه ا َو ْلَيْض ِرْبَن ُخِبُم َع ُجُي َو ُيْب َن َنَتُه‬
‫ِهِت‬ ‫ِإ ِهِن‬ ‫ِإ ِهِن‬ ‫ِت‬ ‫ِئ‬ ‫ِت‬
‫ُبُع وَل ِه َّن َأْو َأْبَن ا ِه َّن َأْو َأْبَن اءُبُعوَل ِه َّن َأْو ْخ َوا َّن َأْو َبيِن ْخ َوا َّن َأْو َبيِن َأَخ َوا َّن َأْو‬
‫َّلِذ‬ ‫ِل‬ ‫ِة ِم‬ ‫ِبِع ِرْي‬ ‫ِن ِئِه‬
‫َس ا َّن َأْو َم ا َم َلَك ْت َأَمْياُنُه َّن َأِو الَّتا َني َغ ُأويِل اِإْل ْرَب َن الِّرَج ا َأِو الِّطْف ِل ا يَن‬
‫ْمَل َيْظَه ُروا َعَلى َع ْوَراِت الِّنَس اِء َواَل َيْض ِرْبَن ِب َأْرُج ِلِه َّن ِلُيْع َلَم َم ا ْخُيِف َني ِم ْن ِزيَنِتِه َّن َو ُتوُبوا‬
.‫ِإىَل الَّلِه ِمَج يًعا َأُّيَه اْلُم ْؤ ِم ُنوَن َلَعَّلُك ْم ُتْف ِلُح ون‬

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka


menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-
putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-
putra saudara perempuan mereka, atau pata perempuan (sesama
Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para
pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
perempuan. Dan janganlah menghentakkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua
kepada Alla>h, agar kamu beruntung.”30
Ayat 31 surat al-Nu>r ini menekankan pada beberapa aspek yang

harus ditutupi oleh perempuan Muslim. Pertama, menjaga pandangan agar

30
Kementrian Agama RI, al-qur’a>n Tajwi>d dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Asbabun
Nuzul dan Hadith Sahih, 353.
22

tidak melihat hal-hal yang tidak senonoh atau melihat dengan penuh nafsu

kepada orang yang bukan mahramnya. Kedua, menjaga kemaluan, yaitu

bagian tubuh perempuan yang harus dijaga dengan menutupinya, baik dengan

pakaian atau dengan penutup yang sesuai. Ketiga, perempuan tidak boleh

menampakkan perhiasan yang mereka kenakan, kecuali pada mahramnya. Ini

termasuk perhiasan seperti emas, perak, atau perhiasan lainnya yang menarik

perhatian. Keempat, ayat ini juga menekankan penggunaan kain kerudung

yang menutupi dada.

Kemudian Alla>h kembali mempertegas dengan ayat 59 surat al-

Ahzab:

‫ِل‬ ‫ِء‬ ‫ِج‬


‫َياَأُّيَه ا الَّنُّيِب ُق ْل َأِلْز َوا َك َو َبَناِتَك َو ِنَس ا اْلُم ْؤ ِمِنَني ُيْد ِنَني َعَلْيِه َّن ِم ْن َج اَل ِبيِبِه َّن َذ َك‬
‫َأْد ىَن َأْن ُيْع َرْفَن َفاَل ُيْؤ َذْيَن َوَك اَن الَّلُه َغُفوًرا َرِح يًم ا‬

“Wahai Nabi, beritahukanlah kepada isterimu, putri-putrimu, dan


isteri-isteri orang beriman. "Mereka harus menutupi seluruh tubuh
mereka dengan jilbab" untuk memudahkan mereka dikenali dan
menghindari pelecehan. Dan Alla>h maha penyayang dan pemaaf.”31
Ayat diatas berfungsi sebagai instruksi kepada perempuan muslim

untuk menggunakan jilbab yang menutupi seluruh tubuh mereka. Tujuan

pemakaian jilbab ini adalah agar mereka dapat dikenali sebagai perempuan

yang beriman dan agar terhindar dari gangguan atau pelecehan. Dalam

konteks ini, jilbab merujuk pada pakaian yang meliputi seluruh tubuh

perempuan, menutupi rambut, leher, dan dada, serta longgar sehingga tidak

terlalu menggambarkan tubuh. Hal ini memberikan perlindungan dan

menjaga kehormatan perempuan muslim.


31
Kementrian Agama RI, Al-qur’an Tajwid dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul
dan Hadis Shahih, 426.
23

Dalil-dalil tentang aurat juga dapat ditemukan dalam hadis Nabi

Muhammad s}allalla>hu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu

Daud dari Aishah rad}iyalla>huanha, yang meriwayatkan perkataan Nabi

Muhammad s}allalla>hu ‘alaihi wasallam:

‫َعْن َعاِئَشَة َرِض َي الَّلُه َعْنَه ا َأَّن َأَمْساَء ِبْنَت َأيِب َبْك ٍر َدَخ َلْت َعَلى َرُس وِل الَّلِه َص َّلى‬
‫ا وُل الَّل ِه َّلى الَّل َل ِه‬ ‫ِث‬ ‫ِه‬
‫ُه َع ْي‬ ‫َص‬ ‫الَّل ُه َعَلْي َوَس َّلَم َو َعَلْيَه ا َي اٌب ِرَق اٌق َف َأْع َرَض َعْنَه َرُس‬
‫َوَس َّل َو َق اَل َي ا َأَمْسا ِإَّن اْلَم ْرَأَة ِإَذا َبَلَغْت اْلَم ِح يَض ْمَل َتْص ُلْح َأْن ُي ى ِم ْنَه ا ِإاَّل‬
‫َر‬ ‫ُء‬ ‫َم‬
‫َه َذ ا َوَه َذ ا َوَأَش اَر ِإىَل َوْج ِه ِه َوَك َّف ْيه‬
“Dari Aisyah Rad}ialla>hu ‘anha bahwa sesungguhya Asma binti
Abu Bakar masuk kerumah Rasulullah dan ia memamaki baju
yang tipis, lalu Rasulullah berpaling padanya dan bersabda: wahai
Asma, jika seorang perempuan telah datang masa haidlnya ia
tidak dibenarkan menampakkan auratnya kecuali dan inisambil
menunjukkan kereng dan pergelangan tangannya.” (H.R. Abu
Daud)32
Hadis di atas memberikan pedoman bagi perempuan yang telah

mencapai masa dewasa dan mengalami haid untuk menutup aurat mereka.

C. Kriteria busana Penutup Aurat

Muhammad Nasiruddin al-Albani menyatakan bahwa dalam

berbusana sesuai dengan prinsip islam.33 Beberapa kriteria yang harus di

perhatikan oleh wanita Muslimah adalah:

1. Menutupi seluruh tubuh. Kecuali bagian yang dikecualikan. Tujuannya

adalah untuk menjaga perhiasan dan tidak menunjukkanya kepada laki-

32
Nuraini dan Dhianuddin, Islam dan Batas Aurat Wanita, (Yokyakarta: Kaukaba, 2013), 25.
33
Syekh Muhammad Nashiruddin Albani, Jilbab Wanita Muslimah, (Solo: At-Thibyan, 2016), 143.
24

laki yang bukan mahram. Namun, jika ada bagian yang terlihat tanpa

sengaja, wanita tidak berdosa jika segera menutupinya.

2. Tidak menggunakan yang tampak seperti perhiasan. Islam melarang

tegas praktik tabarruj. Yang mencakup memperlihatkan perhiasan dan

kecantkan wanita yang seharusnya ditutup. Praktik ini dihubungkan

dengan larangan shirik, berzina, dan tindakan-tindakan terlarang lainnya.

3. Pakaian harus tebal dan tidak transparan agar tujuan menutup aurat

tercapai. Kain tipis hanya akan menambah godaan dan meperlihatkan

bentuk tubuh wanita.

4. Pakaian tidak boleh ketat sehingga mengungkapakn bentuk tubuh tujuan

berbusana adalah untuk menghindar godaan, dan ini hanya bisa tercapai

dengan pakaian yang longgar dan tidak memperlihatkna lekuk tubuh.

5. Tidak boleh menggunakan wewangian atau parfum, karena dapat

membangkitkan hasrat pria.

6. Tidak boleh meniru pakaian laki-laki atau perempuan kafir. Ini untuk

menjaga identitas Muslimin dan Muslimat dan menghindari pengarus

buruk.

7. Tidak boleh menggunakan pakaian yang mencari perhatian, baik dengan

tujuan memperlihatkan kekayaan atau ketidakmampuan. Hal ini untuk

menghindari riya.

Namun Islam tidak mengatur pakaian secara spesifik, tetapi hanya

memberkan prinsip-prinsip dasar dalam aturan berpakaian. Islam juga

mengharuskan umatnya untuk patuh terhadap prinsip-prinsip tersebut. Jadi,


25

pakaian yang sesuai dengan syariat adalah yang memenuhi kaidah-kaidah

tersebut, tanpa perlu menilai bentuk, jahitan, atau modelnya. Yang penting

pakaian harus menutupi aurat dan tidak di haramkan baik secara fisik mau

lainnya.34

D. Macam-Macam Pendapat Ulama Mengenai Batas Aurat

Islam dianggap sebagai agama yang sempurna dalam mengatur

kehidupan sehari-hari umatnya. Berbagai peraturan yang ditetapkan oleh

Islam memiliki dampak positif bagi individu dan lingkungan

disekitarnya.salah satu aspek yang diatur adalah terkait batasan aurat laki-laki

dan perempuan. Islam mengajarkan agar umatnya menjaga kehormatan

dengan menutup aurat-aurat mereka, bertujuan untuk mencegah munculnya

potensi fitnah atau godaan yang dapat menganggu ketentraman dan kesucian

antara individu.

Meskipun terdapat banyak hukum dan aturan dalam ajaran Islam,

beberapa diantaranya masih memmerlukan penjelasan lebih rinci dan ini

sering menyebabkan perbedaan pandangan dikalangan banyak ulama, salah

satunya dalam hal batasan aurat wanita, walaupun para ulama sepakat

megenai larangan membuka aurat, tetapi mereka memiliki pandangan berbeda

mengenai batasan-batasannya.

Al-Qu’a>n tidak secara rinci menentukan batasan aurat, sehingga

ketidakpastian ini mengakibatkan perbedaan pendapat dikalangan ulama. Jika

34
Shekh Abdul Wahab Abdussalam Thawilah, Adab Berpakaian dan Berhias, (Jakarta:
Darussalam, 2006), 13.
26

terdapat ketentuan pasti dan batasan yang jelas, kemungkinan perbedaan

pandangan akan lebih minim. Meskipun pada dasarnya ada kesepakatan

mengenai kewajiban menutup aurat. Perbedaan muncul terkait batas-batas

aurat dan bagian tubuh yang boleh terlihat, terutama pada perempuan. Para

fuqaha memiliki pend apat berbeda dalam menentukan batasan aurat, baik

bagi laki-laki dan perempuan. Rincian penjelasan mengenai batasan aurat

laki-laki dan perempuan akan dijelaskan pada pembahasan sebagai berikut:

1. Batas Aurat Laki-laki

Kesepakatan dari semua imam madhhab bahwa salah satu sharat

sahnya s}alat adalah menutup aurat, dan juga wajib menutup aurat diluar

s}alat. Dalam konteks madhhab Hanafi, batasan aurat laki-laki dimulai

dari area bawah pusar hingga bawah lutut. Menurut pandangan yang

as}ah, lutut termasuk dalam wilayah aurat.35

Dalam pandangan ulama Hanafi, apabila seseorang secara tidak

sengaja membuka seperempat bagian dari anggota auratnya ketika

sedang melakukan salah satu rukun shalat, baik itu bagian yang dianggap

berat seperti kemaluan depan dan belakang, atau yang dianggap ringan

seperti bagian aurat lainnya, maka s}alatnya danggap tidak sah. Mereka

berpendapat bahwa membuka seperempat bagian aurat mempunyai efek

yang sama dengan membuka seluruh aurat dalam konteks pelaksanaan

shalat.36

35
Wahbah al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, (Jakarta:
Gema Insani, 2010), jilid 1, 617.
36
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam…, 618.
27

Menurut madhhab Shafi’i, aurat laki-laki ketika shalat, thawaf,

dan saat berhadapan dengan laki-laki asing atau perempuan mahramnya

adalah bagian tubuhnya antara pusar dan lutut. Ash-Shfi’i juga

berpendapat bahwa bagi laki-laki merdeka dan budak auratnya adalah

atara pusar dan lututnya, tetapi pusar dan lutut tidak dianggap sebagai

aurat menurut pandangan yang kuat di kalangan ulama Shafi’i.

Madhhab Hambali berpendapat bahwa aurat laki-laki adalah

bagian tubuh yang terletak antara pusar dan lutut, tanpa memasukkan

pusar dan lutut itu sendiri sebagai bagian dari aurat. Selain itu, menurut

madhhab Hambali, agar shalat laki-laki sah, disarankan untuk menutup

salah satu bahunya, bahkan dengan menggunakan kain tipis yang

mempelihatkan warna kulitnya.

An-Nawawi telah menyampaikan bahwa terdapat lima pandangan

yang berbeda mengenai ketentuan hukum terkait aurat laki-laki. Pertama,

pandangan yang shahih adalah bahwa aurat laki-laki adalah bagian tubuh

antara pusar dan lutut, tetapi pusar dan lutut tidak termasuk bagian aurat.

Pendapat ini diterima secara luas. Kedua, ada pandangan yang

berpendapat bahwa pusar dan luttu juga termasuk aurat laki-laki. Ketiga,

pandangan lain menyatakan bahwa hanya pusar yang termasuk aurat,

sementara lutut bukan aurat. Keempat, pandangan yang berbeda

menyebutkan bahwa pusar bukanlah aurat, akan tetapi lutut dianggap

sebagai aurat. Kelima, pandangan yang lebih ketat, yaitu aurat laki-laki

hanya mencakup organ kelamin dan anus. Namun Imam Nawawi


28

menolak pandangan ini dan menganggapnya tidak dapat diterima, baik

untuk laki-laki merdeka, budak, atau anak kecil.

Imam Nawawi menyatakan bahwa dalam madhhab terdapat lima

pandangan mengenai aurat laki-laki, namun yang dianggap benar dan

sesuai dengan pandangan yang terdapat dalam kitab Imam Shafi’i adalah

bahwa aurat laki-laki terletak antara pusar dan lutut, sementara pusar dan

lutut tidak termasuk bagian dari aurat laki-laki. Lebih lanjut, disebutkan

bahwa jika seorang laki-laki sedang menjalankan shalat dan lututnya

terlihat,maka shalat laki-laki tersebut masih dianggap sah dan tidak

menjadi batal.

2. Batas aurat perempuan

Secara umum, mayoritas ulama Fiqih memandang bahwa aurat

wanita yang tidak boleh terlihat oleh laki-laki yang bukan mahram

meliputi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya

hingga pergelangan tangan. Namun, rincian batasan aurat wanita dapat

bervariasi tergantung pada tempat dan situasi.

a. Aurat perempuan dalam shalat

Aurat perempuan dalam shalat berbeda dengan saat di luar

shalat. Menutup aurat saat shalat merupakan persyaratan penting

agar shalatnya diterima, jika aurat terbuka maka shalatnya dianggap

tidak sah. Hadis Nabi Muhammad mengindikasikan kewajibanbagi

perempuan untuk menutup aurat saat mengerjakan shalat. Beberap

hadis tersebut adalah sebagai berikut:


29

1) Hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud

‫ ال‬:‫عن صفية بنت احلرث عن عائشة قال رسول اهلل صلى اهلل علي ه وسلم‬
)‫يقبل اهلل صالة حائض اال خبمار (رواه أبو داود‬
“Dari S}afiyah binti al-Haris dari Aishah, Rasulullah bersabda:
s}alat seorang perempuan yang telah memasuki masa haidnya
tidak akan diterima kecuali dengan memakai kerudung.” (HR.
Abu Daud)
Dalam hadis ini, dengan jelas disampaikan bahwa

seorang perempuan wajib mengenakan kerudung saat s}alat, jika

tidak mengenakannya maka tidak sah s}alatnya.

2) Hadis Ummu salamah yang diriwayakan oleh Abu Daud

‫عن ام سلمه أ هنا سألت النيب صلى اهلل علي ه وسلم أن تصلي املرأة يف درع‬
‫ اذا كان الدرع سابغا يعطي ظهور قدميها (رواه‬:‫ومخار ليس عليها ازار؟ قال‬
)‫أبو داود‬
“Dari Ummu Salamah bahwa ia telah bertanya kepada Nabi
apakah seorang perempuan diperbolehkan untuk shalat hanya
dengan mengenakan hijab kepala tanpa mengenakan kain
sarung? Nabi menjawab: selama baju yang dikenakan itu cukup
panjang untuk menutupi bagian atas telapak kaki”. (HR. Abu
Daud).
Dari hadis ini, dapat disimpulkan bahwa Nabi

memperbolehkan perempuan shalat tanpa kain sarung, asalkan

auratnya tertutup dengan baik dengan mengenakan hijab dan

baju panjang yang menutupi bagian atas telapak kaki. Ini

menggarisbawahi bahwa yang krusial dalam shalat adalah


30

menjaga aurat yang layak, sehingga syarat sah shalat terpenuhi

ketika aurat telah tertutup dengan baik.

Ketentuan ini mengatur cara perempuan harus menutup

auratnya saat melaksakan shalat, dan prinsip ini sama dengan yang

diterapkan saat berada dalam ihram haji dan umrah. Jika perempuan

tidak memenuhi syarat-syarat dalam menutup aurat maka shalatnya

dianggap tidak sah. Prinsip serupa berlaku untuk pedoman umum

dalam menutup aurat yaitu melarang pengguna an kain tipis yang

membuat aurat tetap terlihat.

b. Aurat perempuan di luar s}alat

Pertama, aurat perempuan ketika sendirian

Jika seorang perempuan telah mencapai usia haidnya, maka

seharusnya tidak menampakkan auratnya, sebagaimana yang telah

disebutkan dalam hadis sebelumnya. Terkait dengan hal ini,

Rasulullah menyatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu

Majah, sebagai berikut:

‫حدثنا امسا عيل بن ابرهيم عن هبز بن حكيم عن أبيه عن جده قال قلت‬
‫يا رسول اهلل عوراتنا ما نأيت منها وما نذر قال أحفظ عورتك اال من‬
‫زوجتك أوما ملكت ميينك قلت فاذا أكان القوم بعضهم يف بعض قال ان‬
‫استطعت أن اليراها أحد فال يراها قلت أرايت ان كان أحد نا خاليا قال‬
.)‫فا هلل تبارك وتعاىل أحق أن يستحيا (رواه أمحد‬
“Isma’il bin Ibrahim menceriakan bahwa Bahz bin Hakim,
dari Ayahnya, yang juga menceritakan dari kakeknya, pernah
bertanya kepada Rasulullah, Dimana seharusnya kami
menutup aurat kami dan dimana kami boleh melepaskannya?
31

Rasulullah menjawab, kamu harus menjaga auratmu kecuali


dihadapan isteri atau budak perempuanmu. Kemudian dia
bertanya lagi, bagaimana jika dihadapan sesama jenis?
Rasulullah menjawab, jika kamu mampu maka usahakan
jangan ada yang melihatnya. Kemudia dia bertanya lagi,
bagaimana jika kami berada dalam keadaan sendiri?
Rasulullah menjawab, di hadapan Alla>h, yang mulia, kamu
seharusnya lebih merasa malu daripada dihadapan manusia.”
(HR. Ahmad).
Berdasarkan hadis ini, dapat disimpulkan bahkan ketika

seseorang berada dalam situasi di mana tidak ada orang lain yang

dapat melihatnya, seperti di dalam kamar tidur atau kamar mandi, ia

harus menjaga auratnya meskipun tidak seluruhnya tertutup. Ini

disebabkan oleh rasa malu yang tidak hanya berlaku terhadap

manusia, tetapi juga terhadap Alla>h, dan kewajiban untuk menjaga

aurat ini lebih utama daripada pertimbangan manusia.

Kedua, Aurat perempuan di depan Mahram

Islam menegaskan larangan bagi wanita membuka auratnya

karena dapat memicu dampak negatif dan perbuatan tidak terpuji.

Agama ini memberikan pedoman mengenai berpakaian sebagai

upaya menjaga kesopanan, menciptakan ketentraman, dan harmoni

dalam kehidupan. Dengan mematuhi aturan berpakain sesuai ajaran

Islam, wanita dapat mencegah perbuatan tercela, bahkan di hadapan

mahramnya. Kewajiban menutup aurat tetap berlaku, dan Islam

memberikan ruang fleksibilitas tergantung pada hubungan wanita

dengan mahramnya. Madhhab fiqih sepakat bahwa terlihatnya

rambut dan kaki boleh, namun dengan batasan yang bervariasi sesuai
32

dengan pandangan masing-masing madhhab.37 Adapun batas yang

perlu ditutup adalah dari pusar hingga lutut, sebagaimana yang

disampaikan oleh Abdurrahman Al-Jaziri. Akan tetapi, madhhab

Maliki dan Hambali berpendapat bahwa bagian aurat yang dapat

terlihat mencakup wajah, leher, kepala, kedua tangan, betis, dan

telapak kaki.38

Dalam madhhab Hanafi, terdapat perbedaan pendapat

mengenai aurat wanita di depan mahram. Sebagian menyamakan

aurat wanita denga aurat laki-laki terhadap laki-laki lainnya, yaitu

hanya dari pusar hingga lutut. Sementara sebagian lainnya

berpendapat bahwa yang boleh terlihat dari wanita di depan mahram

hanya bagian yang umumnya terlihat seperti kepala, leher dada,

lengan, betis, dan kaki.

Dalam madhhab Maliki, diungkapkan bahwa yang dapat

terlihat dari perempuan di depan mahramnya adalah bagian-bagian

tubuh yang biasa terlihat di rumah, seperti kepala, tangan, dan kaki.

Sementara bagian-bagian yang lain seperti dada, perut, punggung,

dan paha seharusnya tidak terlihat. Ulama Malikiyah, seperti Ad-

Dardir, menjelaskan bahwa aurat perempuandi hadapan mahramnya,

selain wajah dan bagian-bagian tersebut, melibatkan kepala, kedua

tangan, dan kaki. menegaskan bahwa wanita tidak diperbolehkan

37
Isnawati, Aurat Wanita Muslimah, (Jakarta: Rumah Fiqh Publishing, 2020), 18.
38
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madhahibi al-Arba‘ah, 335.
33

menampilkan dada, payudara, dan bagian lain di depan mahramnya,

bahkan jika hanya untuk melihat tanpa adanya syahwat.

Dalam pandangan Madhhab Hambali, perempuan dihadapan

mahramya diperbolehkan menampakkan seluruh tubuhnya, kecuali

bagia-bagian yang biasanya terlihat, seperti leher, kepala, tangan,

dan kaki. Bagian-bagian yang biasanya tertutup tetep harus diajaga

privasinya.

Dalam kitabnya al-Mughni, Ibnu Qadamah menyatakan

bahwa “laki-laki diperbolehkan melihat anggota tubuh mahramnya,

seperti kedua telapak kaki, kedua telapak tangan, dan leher, atau

bagian lain yang biasanya terlihat.namun, dilarang melihat bagian

yang biasanya tertutup,seperti ounggung, dada, dan sebagainya.39

Adapun dalam madhhab Shafi’i sejalan dengan pandangan

Madhhab Hanafi, bahwa aurat perempuan dihadapan mahramnya

dibatasi dari pusar hingga lutut, sementara bagian lainnya boleh

terlihat oleh mahramnya. Ini adalah pendapat yang umum diterima

dalam Madhhab Shafi’i.

Ketiga, Aurat Perempuan Terhadap Non Mahram

Mahram disini adalah mahram Muabbad yaitu merujuk pada

laki-laki yang diharamkan menikahi seorang perempuan karena

hubungan kekerabatan atau ikatan atau ikatan tertentu. Sedangkan

non mahram adalah laki-laki yang memungkinkan untuk menikahi

perempuan tersebut. Terdapat aturan tentang aurat (bagian tubuh


39
Ibnu Qadamah, al-Mughni, (Beirut:Darel Kutub al-Ilmiyah, 1983), 98.
34

yang harus ditutup) antara perempuan muslimah dengan laki-laki

non mahram. Mayoritas ulama sepakat bahwa seluruh tubuh

perempuan adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Pendapat

ini dianut oleh beberapa ulama, seperti imam Malik dan Imam

Ahmad, serta merupakan pandangan umum dalam Madhhab Shafi’i.

sebagaimana firman Alla>h dalam surat al-Nu>r ayat 31: Janganlah

mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa terlihat.

Ibnu Abbas menafsirkan bahwa “yang biasa terlihat”

mencakup wajah dan kedua telapak tangan. Namun, saat perempuan

melakukan ihram, Nabi Muhammad melarang menutup wajah dan

telapak tangannya. Meskipun wajah dan telapak tangan termasuk

dalam aurat, larangan ini sebagai pertimbangan praktis, seperti

identifikasi melalui wajah dan peran penting kedua telapak tangan

dalam bertransaksi dan interaksi sosial. Oleh karena itu, larangan ini

dipahami sebagai pengecualian yang dapat dimaklumi dalam situasi

tertentu.

Abu Hanifah, Ath-Thauri, dan al-Muzanni berpendapat

bahwa seuruh tubuh perempuan merupakan aurat, kecuali wajah,

telapak tangan, dan kaki. Menurut pandangan mereka, ketiga bagian

tubuh tersebut sering terlihat atau umunya terbuka pada perempuan,

sejalan dengan isi surat al-Nu>r ayat 31.

Sedangkan menurut al-Mawardi, al-Mutawalli melalui

riwayat Abu Bakar bin Abdurrahman at-Tabi’i, dan salah saut


35

pendapat dari Imam Ahmad, disampaikan bahwa seluruh tubuh

perempuan dianggap sebagai aurat, kecuali bagian wajah.

ke empat, aurat perempuan dihadapan perempuan non Muslim

Mengenai aurat perempuan muslimah di hadapan perempuan

non musli, mayoritas ulama berpendapat adalah seluruh tubuh selain

wajah dan telapak tangan. Ada pandangan lain, seperti dari madhhab

Hambali dan sebagian Shafi’iyah, yang menyatakan bahwa batasan

aurat perempuan muslimah di hadapan perempuan non muslim sama

dengan di hadapan perempuan muslimah, yaitu antara pusar dan

lutut, karna keduanya memiliki jenis kelamin yang sama.40

Imad Zaki al-Barudi menyatakan bahwa bagi seorang

Muslimah, tidak disarankan untuk menampakkan perhiasan kepada

ahli dhimmah (perempuan non muslim). Umar bin Khattab pernah

menulis surat kepada Abu Ubaidah bin Jarrah, memperingatkan agar

muslimah tidak masuk bersama perempuan ahli kitab ke tempat

pemandian dan menetapkan batas aurat antara keduanya. Ibnu

Abdullah, dalam tafsirnya, menyebutkan bahwa Muslimah tidak

boleh menampakkan auratnya di hadapan perempuan yahudi atau

kristen, termasuk leher, anting-anting, selempang, dan bagian tubuh

lainnyayang seharusnya hanya terlihat oleh mahram. Pendapat

serupa juga diungkapkan oleh al-Qurthubi, Al-T}abari, dan Ash-

Shaukani dalam tafsir mereka.41

40
Imam Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita, (Jakarta: Pustaka al-Kauthar, 2007), 580.
41
Imam Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita, 202.
BAB III

BIOGRAFI MUHAMMAD SHAHRUR, KARYA, DAN PENAFSIRANNYA

A. Riwayat hidup Muhammad Shahrur

Muhammad Shahrur adalah seorang intelektual yang lahir di

Damaskus, Syria. Pada 11 April 1938. Ayahnya bernama Deyb Ibn Deyb

Shahrur dan ibunya adalah Siddiqah Binti Salih Filyun. Karir akademiknya

dimulai dari pendidikan dasar dan menengah di sekolah-sekolah di damaskus.

Pada usia 19 tahun, tahun 1957, ia mendapatkan ijazah sekolah menengah

dari lembaga pendidikan Abd al-Rahman al-Kawa>kibi> di Damaskus. Pada

tahun berikutnya, pada bulan maret 1958, ia berangkat ke Moskow, Uni

Soviet (sekarang Rusia), untuk belajar Teknik Sipil dengan beasiswa

pemerintah. Shahrur menempuh pendidikan ini selama lima tahun, dimulai

dari tahun 1959 hingga berhasil meraih gelar Diploma pada tahun 1964.

Setelah itu, ia kembali ke negaranya dan mengabdikan diri sebagai dosen di

Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus pada tahun 1965. Ia juga

mendapat kesempatan untuk melakukan penelitian di Imperial College di

London, Inggris, karena hubungan diplomatik Shria dengan Inggris terputus

setelah kejadian “Perang Juni” antara Shria dan Israel sehingga kesempatan

itu tidak terwujud. Namun tidak lama kemudian, Universitas Damskus

mengutusnya ke Ireland National University di Irlandia untuk melanjutkan

studi pascasarjana dalam bidang Mekanika Tanah dan Geologi.

36
37

Pada taun 1969, Shahrur meraih gelar Magister. Dan pada tahun 1972,

ia menyelesaikan program Doktoralnya. Dengan kompetensi keilmuannya

yang kuat, pada tahun yang sama, Univertas Damaskus secara resmi

mengangkatnya sebagai dosen untuk mengajar mata kuliah Mekanika Tanah

dan Geologi di Fakultas Teknik.42

Sampai saat ini, Shahrur menjadi dosen di Fakultas Teknik Sipil

Universitas Damaskus dengan fokus pada Mekanika Tanah dan Geologi.

Selain itu, Shahrur mendirikan Dar al-Istisharat al-Handasiyya, sebuah biro

konsultasi teknik di Damaskus. Dia memiliki minat dalam ilmu filsafat

humanisme, filsafat bahasa, dan sistematika bahasa Arab, yang kemudian

menjadi dasar bagi Shahrur dalam membaca dan menafsiran ayat-ayat al-

Qu’a>n.

B. Karya-karya Muhammad Shahrur

Muhammad Shahrur telah menghasilkan berbagai karya tulis yang

mencakup berbagai bidang, termasuk pemikiran keagamaan, pemahaman al-

Qu’a>n, ilmu sosial, politik, serta teknik sipil dan arsitektur. Berikut adalah

karya terkenal dari Shahrur:

1. Al-kita>b wa al-Qu’a>n: Qira’ah Mu’as}irah (1990)

Buku monumental ini merupakan studi komprehensif tentang al-

Qu’a>n, yang menggunakan pendekatan ilmu linguistik dan gagasan

dekonstruksi untuk mengkaji tema-tema penting dalam kitab suci Islam.

42
Muhyar Fanani, Fiqih Madani: Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern (Yokyakarta: Lkis,
2009), 32.
38

Buku ini adalah karya pertama Shahrur, terdiri dari 822 halaman dan

memiliki empat bab pembahasan. Buku Shahrur meraih kesuksesan besar

sebagai best seller dengan penjualan ribuan eksemplar. Tercatat bahwa

buku ini telah mengalami beberapa percetakan ulang, yang pertama

dicetak pada tahun 1990, dan kemudian dicetak ulang pada tahun 1992.

Eickleman mencatat bahwa pada tahun 1993, buku ini berhasil terjual

sebanyak 13.000 eksemplar di Syiria, 3000 eksemplar di Mesir, 10.000

eksemplar di Arab Saudi, dan beberapa eksemplar di cetak secara ilegal.43

2. Dirasat Islamiyyah Mu’as}irah fi al-Daulah wa al-Mujtama (1994)

Muhammad Shahrur menyelesaikan buku keduanya pada tahun

1994. Buku ini terdiri dari sembilan pembahasan dengan 375 halaman.

Dalam buku ini membahas isu-isu sosial dan politik yang terkait dengan

warga negara. Dengan konsistensi, Shahrur mengungkapkan topik-topik

seperti keluarga , masyarakat, suku bahngsa, demokrasi, dan negara, serta

jihad. Semua ini selalu dihubungkan dengan kerangka teoritis yang telah

diajukan dalam bukunya yang pertama, dan konsep-konsep ini akan terus

berkembang dalam karya berikutnya.

3. Al-Islam wa al-Iman: Manzuma al-Qiyam (1996)

Buku ini mengkaji ulang konsep dasar keimanan dan memberikan

kesimpulan baru yang berbeda dari pandangan ulama terdahulu. Buku ini

terdiri dari 401 halaman yang terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama

membahas pengertian Islam dan Iman beserta elemen-elemen intinya,

43
M. In’am Esha, “M. Shahrur; Teori Batas” Pemikiran Islam Kontemporer (Yokyakarta: Jendela,
2003), 295.
39

sementara bagian kedua membahas perbedaan antara al-‘ibad dan

al-‘abid dalam al-Qu’a>n. dan kemudian diakhiri dengan pandangan Sha

hrur yang tgeas dan jelas mengenai aspek politik dalam Islam.

4. Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami (2000)

Buku ini ditulis pada tahun 2000, memiliki 383 halaman yang

terbagi menjadi enam bab. Buku tersebut mencoba untuk mengulas

kembali fiqih Islam Klasik dengan fokus pada isu kesetaraan gender.

Dalam upayanya, buku ini menyajikan suatu model pembacaan khusus

yang berkaitan dengan isu-isu perempuan. Termasuk masalah warisan,

wasiat, poligami, dan kepemimpinan, yang masih relevan dan belum

sepenuhnya terselesaikan hingga saat ini.44 Dalam buku ini, Shahrur juga

bertujuan menjelaskan metode dan pendekatan baru dalam memahami

fiqih, yang disebut sebagai teori limit (hudud). Pendekatan baru dalam

fiqih ini didasarkan pada pemahaman bahwa ajaran Nabi setelah Nabi

Muhammad dapat diterapakn secara relevan untuk setiap tempat dan

waktu, bukan hanya terbatasbpada abad ke-7 hijriyah.

C. Penafsiran Shahrur terhadap ayat-ayat tentang aurat

Sebelum kita mecoba memahami penafsiran Shahrur mengenai aurat

perempuan dalam ayat 31 surat al-Nu>r, mari kita hubungkan juga dengan

ayat 30 surat al-Nu>r yang ada sebelumnya. Kedua ayat ini memiliki

keterkaitan yang sangat erat dan berperan penting dalam membentuk batas-

batas hukum. Berikut firman Alla>h surat al-Nu>r ayat 30:


44
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer , terj. 15
40

‫ُق ْل ِّلْلُم ْؤ ِمِنَنْي َيُغُّض ْواِم ْن َأْبصاِرِه ْم وحيفظوا ُفُرْوَجُه ْم َذِل َك َأْزَك ى ُهَلْم ِاَّن الَّل َه َخ ِبْيٌرَمِبا‬
‫َيْص َنُعْو َن‬
“Siapa yang berbuat demikian dengan cara melanggar aturan dan
berbuat zalim kelak Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Dan surat al-Nu>r ayat 31:

‫ِإاَّل‬ ‫ِد ِز‬ ‫ِرِه‬ ‫ِم‬ ‫ِل ِم ِت‬


‫َو ُقْل ْلُم ْؤ َنا َيْغُضْض َن ْن َأْبَص ا َّن َوْحَيَف ْظَن ُفُروَجُه َّن َواَل ُيْب يَن يَنَتُه َّن َم ا َظَه َر‬
‫ِرِه َّن َلى وِهِبَّن اَل ِد ي ِزي َّن ِإاَّل ِل وَلِتِه َّن َأ آ اِئِه َّن َأ آ اِء‬ ‫ِم‬
‫ْو َب‬ ‫ْو َب‬ ‫ُبُع‬ ‫ْنَه ا َو ْلَيْض ِرْبَن ُخِبُم َع ُجُي َو ُيْب َن َنَتُه‬
‫ِهِت‬ ‫ِإ ِهِن‬ ‫ِإ ِهِن‬ ‫ِت‬ ‫ِئ‬ ‫ِت‬
‫ُبُع وَل ِه َّن َأْو َأْبَن ا ِه َّن َأْو َأْبَن اءُبُعوَل ِه َّن َأْو ْخ َوا َّن َأْو َبيِن ْخ َوا َّن َأْو َبيِن َأَخ َوا َّن َأْو‬
‫َّلِذ‬ ‫ِل‬ ‫ِة ِم‬ ‫ِبِع ِرْي‬ ‫ِن ِئِه‬
‫َس ا َّن َأْو َم ا َم َلَك ْت َأَمْياُنُه َّن َأِو الَّتا َني َغ ُأويِل اِإْل ْرَب َن الِّرَج ا َأِو الِّطْف ِل ا يَن‬
‫ْمَل َيْظَه ُروا َعَلى َع ْوَراِت الِّنَس اِء َواَل َيْض ِرْبَن ِب َأْرُج ِلِه َّن ِلُيْع َلَم َم ا ْخُيِف َني ِم ْن ِزيَنِتِه َّن َو ُتوُبوا‬
.‫ِإىَل الَّلِه ِمَج يًعا َأُّيَه اْلُم ْؤ ِم ُنوَن َلَعَّلُك ْم ُتْف ِلُح ون‬

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka


menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-
putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-
putra saudara perempuan mereka, atau pata perempuan (sesama
Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para
pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
perempuan. Dan janganlah menghentakkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua
kepada Alla>h, agar kamu beruntung.”
Shahrur menerangkan bahwa ayat tersebut, memiliki dua perintah

yang berlaku secara umum tanpa membedakan antara mukmin laki-laki dan

perempuan. Perintah pertama adalah menahan pandangan. Ia menganalisis


41

kata ‫ارهم‬XX‫وا من أبص‬XX‫ يغض‬dalam ayat ini, dimana ada unsur “min”yang

mengindikasikan “sebagian dari suatu hal” atau merujuk pada “sebagian dari

keseluruhan”. Alla>h mengarahkan kita untuk menahan “sebagian”

pandangan, bukan menahan seluruhnya. Ayat di atas tidak menyebutkan objek

secara langsung dari kata kerja ‫يغضوا‬, menunjukakan fleksibilitas sesuai

situasi. Dalam ayat tersebut juga menggunakan kata ‫غض‬ yang dalam

bahasa Arab memiliki arti “tindakan yang lemah lembut” dan tidak

sembarangan. Kata “menahan” dalam‫ الغضاضة‬memiliki arti perlahan-lahan

dan lemah lembut. Seperti dalam kalimat ‫غصن غض‬ yang merujuk pada

“ranting yang lentur dan tidak kaku”45

Shahrur juga memberikan contoh bahwa jika seorang laki-laki

mengubah desain pakaian yang biasa dipakainya dan ia tidak ingin orang lain

melihatnya, meskipun yang melihat adalah juga laki-laki. Sehingga, ketika

sekelompok orang melihatnya, akan muncul perasaan tidak enak dalam hati.

Sama halnya dialami oleh seorang perempuan yang merasa tidak nyaman

ketika bagian tubuhnya dilihat oleh orang lain, meskipun yang melihatnya

juga perempuan. Ini adalah situasi yang ingin Alla>h sampaikan, yakni agar

laki-laki maupun perempuan saling menghindari wilayah yang lebih baik

tidak dilihat. Saat ini, hal ini dikenal sebagai etika sosial yang baik, yang

menuntut kita seolah-olah tidak mengetahui saat sengaja atau tidak sengaja

melihat wilayah tersebut. Inilah makna dari kata ‫غض‬. Shahrur juga sepakat

45
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 512.
42

dengan pandangan yang mengartikan ‫ر‬XX‫ غّض البص‬sebagai larangan bagi

laki-laki melihat perempuan dan sebaliknya berbagai aktivitas sehari-hari,

seperti jual beli.46

Perintah kedua adalah hifz} al-farj (menjaga kemaluan) dalam dua

situasi sesuai dengan ajaran kitab Alla>h. Pertama, menjaga diri dari

perbuatan zina dan segala bentuk hubungan seksual yang tidak sesuai dengan

perintah agama. Kedua, menjaga kemaluan dari pandangan (al-basar). Konsep

ini dijelaskan dalam surat al-Nu>r ayat 30. “memandang” (al-bas}ar) adalah

tindakan mata yang berbeda dari proses “melihat” (an-nazr) dan

“menyaksikan” (ar-ru’yah). Yang kadang-kadang berlangsung dalam pikiran

tanpa perlu ada tindakan memandang secara langsung. Oleh sebab itu Shahrur

memahami bahwa menutupi kemaluan bagi laki-laki termasuk batas minimal

dalam berpakaian.47 Kemudian, Alla>h menutup ayat dengan kalimat ‫اّن هّللا‬

‫ خبير بما يصنعون‬yang artinya “sesungguhnya Alla>h mengetahui apa yang


mereka perbuat” (Q.S. al-Nu>r [24]:30). Penting untuk dicatat bahwa kata as-

sun’u dalam ayat tersebut merujuk pada “hasil dari pekerjaan”, seperti dalam

ayat: wayasna’ul fulk yang berarti “...dan dia membuat perahu” (Q.S. Hud

[11]:38). Atau dapat pula mengacu pada “hasil pendidikan”, seperti dalam

surat Taha ayat 39 waltusna’a ‘ala ‘aini yang artinya “...supaya kamu diasuh

dibawah pengawasanku”. Shahrur berpendapat bahwa dalam penulisan ayat

tersebut, Alla>h tidak menggunakan gaya bahasa yang kasar dan membatasi,

46
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 513.
47
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer,519.
43

tetapi memilih gaya bahasa yang bersifat mendidik. Gaya bahasa ini dianggap

lebih efektif dan mendasar dalam membentuk generasi mukmin dan

mukminah yang memiliki integritas tinggi, menjungjung tinggi kesopanan,

dan menjaga kemurnian. Shahrur juga menjelaskan bahwa dalam ayat dari

surat al-Nu>r yang disebutkan di atas memberikan penjelasan mengenai batas

minimal berpakaian bagi perempuan, dan termasuk dalam kategori

kewajiban.48

Adapun batasan aurat perempuan menurut Shahrur terbagi menjadi

dua bagian. Pertama, bagian tubuh yang terbuka secara alami (qism az} z}ahir

bi al-khalq), seperti kepala, perut, punggung, kedua kaki, dan kedua tangan.

diisyaratkan dalam ayat surat al-Nu>r (24):31, “dan janganlah mereka

menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa terlihat darinya.” Ayat Ini

mengandung makna bahwa pada tubuh perempuan terdapat perhiasan yang

tersembunyi. Perhiasan yang yang secara alami terbuka pada tubuh

perempuan telah Alla>h perlihatkan dalam penciptaan perempuan, seperti

perut, kepala, punggung, kedua tangan, dan kedua kaki. Pandangan ini

berawal dari keyakinan Shahrur bahwa Alla>h menciptakan laki-laki dan

perempuan dalam kondisi telanjang tanpa busana.

Kedua, bagian tubuh yang tidak terlihat secara alami, yang telah

Alla>h sembunyikan dalam srtuktur tubuh perempuan. Bagian yang

tersebunyi ini disebut al-juyub yang dapat diartikan sebagai bagian-bagian

yang berlubang atau bercelah. Kata al-jayb berasal dari kata ja-ya-ba, seperti

dalam penggunaan kalimat jabtu al-Qamisa, yang berarti membuat lubang di


48
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer ,514.
44

saku baju. Istilah al-jayb memiliki makna ganda, mengacu pada lubang pada

suatu benda dan juga pada dialog tanya jawab dalam bahasa Arab. Dalam

konteks tubuh perempuan, istilah al-juyub memiliki dua tingkatan merujuk

pada dua bagian antara payudara, bagian bawah ketiak, area genital dan

pantat. Semua bagian ini, menurut pandangan Shahrur, adalah batas minimal

yang telah disebutkan dalam surat al-Nu>r ayat 31, bagian-bagian tersebut

termasuk perhiasan yang terlihat dan tidak wajib ditutupi. Karena itulah

Alla>h berfirman: ... ‫( َوْلَيْض ِرْبَن ُخِبُم ِرِه َّن َعلَى ُج ُيْو ِهِبَّن‬hendaklah mereka mengulurkan

kerudung mereka di atas bagian juyubmereka). Kata al-khimar memiliki akar

kata kha-ma-ra yang artinya adalah menutup. Istilah al-khimar tidak hanya

terbatas pada arti penutup kepala, tetapi mencakup segala bentuk penutup,

baik itu untuk kepala atau bagian tubuh lainnya. Oleh karena itu, Alla>h

menginstruksikan kepada perempuan yang beriman untuk menutup bagian

tubuh mereka yang termasuk al-juyub. Ini merujuk pada bagian-bagian yang

tersembunyi secara fisik, dan dilarang bagi mereka untuk memperlihatkan

bagian tersebut.49

Menjawab argumen yang mengklaim bahwa hidung, nata, dan telinga

juga termasuk dalam al-juyub, Shahrur memberikan pandangannya bahwa

bagian-bagian tersebut memang dapat dimasukkan dalam kategori al-juyub

karena berada di waja. Meskipun begitu, ia menekankan bahwa bagian kepala

laki-laki dan perempuan merupakan bagian yang paling menonjol secara fisik

dan memiliki peran penting sebagai ciri khas manusia. Beberapa bagian dari

49
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 516.
45

al-juyub ini disebut secara eksplisit oleh Alla>h seperti dalam firman-Nya:

‫ ويحفظن فروجهن‬yang menginstruksikan agar tidak terlihat oleh pandangan


mata. Menurut Shahrur, kemaluan dan pantat perempuan termasuk dalam

kategori al-juyub yang hanya boleh dilihat oleh suaminya.

Sementara dalam surat al-Ahzab [33]:53, sebagai berikut:

‫ِظ ِا‬ ‫ٍم‬ ‫ِاىٰل‬ ‫ِآاَّل‬ ‫ٰٓي َّلِذ‬


‫ٰن ِرْيَن ٰنى ُه‬ ‫َاُّيَه ا ا ْيَن ٰاَم ُنْوا اَل َتْد ُخ ُلْو ا ُبُيْو َت الَّنِّيِب َاْن ُّيْؤ َذَن َلُك ْم َطَع ا َغْيَر‬
‫ٰذ ِلُك ْم َك اَن‬ ‫َو ٰلِكْن ِاَذا ُدِعْيُتْم َفاْد ُخ ُلْوا َفِاَذا َطِعْم ُتْم َفاْنَتِش ُرْو ا َواَل ُمْس َتْأِنِس َنْي َحِلِد ْيٍۗث ِاَّن‬
‫ُيْؤ ِذ ى الَّنَّيِب َفَيْس َتْح ٖي ِم ْنُك ْم ۖ َوالّٰل ُه اَل َيْس َتْح يٖ ِم َن اَحْلِّۗق َوِاَذا َس َاْلُتُمْوُه َّن َم َتاًع ا‬
‫َفْس َٔـ ُلْوُه َّن ِم ْن َّوَرۤاِء ِح َج اٍۗب ٰذ ِلُك ْم َاْطَه ُر ِلُق ُل ْو ِبُك ْم َوُقُل ْو ِهِبَّۗن َوَم ا َك اَن َلُك ْم َاْن ُتْؤ ُذْو ا‬
‫َرُسْو َل الّٰلِه َوٓاَل َاْن َتْنِكُح ْٓو ا َاْز َواَج هٗ ِم ْۢن َبْع ِد هٖٓ َاَبًد ۗا ِاَّن ٰذ ِلُك ْم َك اَن ِعْنَد الّٰلِه َعِظ ْيًم ا‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-
rumah Nabi, kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa
menunggu waktu masak (makanannya),619) tetapi jika kamu
diundang, masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu
tanpa memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mengganggu Nabi sehingga dia malu kepadamu (untuk
menyuruhmu keluar). Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri
Nabi), mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih
suci bagi hatimu dan hati mereka. Kamu tidak boleh menyakiti (hati)
Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-
lamanya setelah Nabi (wafat). Sesungguhnya yang demikian itu
sangat besar (dosanya) di sisi Allah.”
Menurut pandangan Shahrur, ayat tersebut membahas tentang hijab

yang hanya berlaku untuk isteri-isteri Nabi secara spesifik. Dalam

pandangannya, tidak ada indikasi baik secara tegas maupun tersirat yang

menghubungkan ayat ini dengan isteri-isteri orang beriman secara umum.

Dalam ayat tersebut Shahrur melihat ada aspek signifikan saat membicarakan

hijab, dimana Alla>h berbicara tentang rumah-rumah Nabi dalam konteks


46

kanbian (maqam an-nubuwwah) sebagai pengajaran atau ta’lim, dan ketika

mengharamkan orang-orang beriman untuk menikahi para janda Rasulullah,

Alla>h mengacu pada wilayah risalah (maqam ar-risalah) sebagai seorang

Rasul.

Peraturan khusus yang berlaku untuk isteri-isteri Nabi dimaksudkan

agar laki-laki yang beriman berkomunikasi dengan mereka secara hormat

dibalik hijab. Alla>h telah menjelaskan bahwa aturan ini tidak berlaku untuk

perempuan-perempuan yang beriman secara umum, seabagaimana yang

tertulis dalam kitab Alla>h surat al-Ahzab ayat 32:

‫َّل ِذ‬ ‫ِب ِل‬ ‫ِء ِاِن‬ ‫ٍد‬ ‫ِن‬


‫ٰي َس ۤاَء الَّنِّيِب َلْس َّنُت َكَاَح ِّم َن الِّنَس ۤا اَّتَق ْيَّنُت َفاَل ْخَتَض ْع َن اْلَق ْو َفَيْطَم َع ا ْي ْيِف‬
‫َّو ْل اًل َّم ًفۚا‬
‫َقْلِب ٖه َم َرٌض ُق َن َقْو ْع ُرْو‬
“Wahai istri-istri Nabi, kamu tidaklah seperti perempuan-perempuan
yang lain jika kamu bertakwa. Maka, janganlah kamu merendahkan
suara (dengan lemah lembut yang dibuat-buat) sehingga bangkit nafsu
orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan
yang baik.”
Muhammad Shahrur berpendapat bahwa perempuan mukminah tidak

perlu mengikuti ketentuan khusus yang hanya berlaku bagi isteri-isteri Nabi

dengan ketat, terutama dalam interaksi sosial. Jika tetap ingin mencontoh

prilaku isteri-isteri Nabi, sebaiknya berbicara melalui hijab. Namun, aturan

ini tidak berkaitan dengan perhiasan yang tersembunyi atau yang tampak

pada mereka. Baik isteri-isteri Nabi maupun perempuan mukminah umumnya

diwajibkan menjagga perhiasan tersembunyi dan berpakaian sesuai tradisi

serta lingkungan, namun tidak berkaitan dengan cara berbicara melalui hijab.
47

Adapun ayat yang juga termasuk penafsiran Shahrur yaitu surat al-

Ahzab [33] 59, sebagai berikut:

‫َّۗن ِل‬ ‫ِء‬ ‫ِج‬


‫ٰٓيَاُّيَه ا الَّنُّيِب ُق ْل َاِّلْز َوا َك َوَبٰن ِت َك َو ِنَس ۤا اْلُم ْؤ ِمِنَنْي ُي ْد ِنَنْي َعَلْيِه َّن ِم ْن َج اَل ِبْيِبِه ٰذ َك‬
‫َاْد ٰن َاْن ُّيْع َرْفَن َفاَل ُيْؤ َذْيَۗن َوَك اَن الّٰل ُه َغُفْوًرا َّرِح ْيًم ا‬
“Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-
anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka
mengulurkan jilbabnya622) ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian
itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak
diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Muhammad Shahrur menginterpretasikan ayat diatas sebagai

pengajaran mengenai cara perempuan mukminat mengenakan pakaian luar

atau pakaian untuk berintraksi sosial, yang disebut dengan jilbab. Istilah

jilbab berasal dari kata Arab jalaba yang memiliki dua makna pokok:

pertama, membawa sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain, dan kedua,

seuatu yang menutupi dan melindungi yang lain. Istilah al-jalabah merujuk

pada sepotong kain yang digunakan untuk menutup luka agar tidak semakin

parah sebelum berkembang menjadi luka bernanah. Kain medis yang diolesi

obat juga digunakan untuk melindungi dari kotoran luar. Dari makna ini, lahir

istilh al-jilbab yang merujuk pada pakaian luar sebagai bentuk perlindungan,

seperti celana panjang, baju, seragam resmi, mantel, dan sejenisnya. Semua

jenis pakaian seperti ini termasuk dalam kategori al-jalabib.

Shahrur mengatakan bahwa ayat diatas berfungsi sebagai sarana

pengajaran (ta’lim) bukan sebagai penetapan hukum (tasyri’). Dalam ayat

tersebut terdapat dua alasan utama, yaitu untuk pengenalan dan adanya

gangguan. Perempuan mukminah diwajibkan untuk menutup sebagian


48

tubuhnya yang jika terlihat dapat menyebabkan gangguan dan

ketidaknyamanan. Namun, pendekatan ini dimaksudkan sebagai pengajaran

dan bukan sebagai penetapan hukum. Oleh karena itu, perempuan mukminat

hendaknya memakai pakaian yang sesuai dan berpartisipasi dalam kehidupan

sosial sesuai dengan norma yang berlaku, sehingga ia tidak menjadi objek

sindiran dan gangguan dari orang lain. Jika tidak melakukannya, bisa jadi ia

akan mengalami gangguan dalam interaksi sosial. Dalam situasi ini, hukuman

sosial menjadi konsekuensinya, tetapi tidak ada penentuan pahala atau

hukuman khusus dari Alla>h.50

Meskipun Shahrur telah mengemukakan batasan aurat perempuan

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tetapi ia tidak menganjurkan agar

perempuan hanya menutup bagian intim (aurat berat) dan membiarkan bagian

yang lain dari tubuhnya terbuka di depan orang lain. Jika situasi ini terjadi

karena kelalaian atau keadaan terpaksa, maka tidak ada yang dianggap

sebagai hal yang haram di dalamnya.

50
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer 532.
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN SHAHRUR TENTANG AURAT

A. Melacak Teori Shahrur dalam Menafsirkan Ayat-ayat Tentang Aurat

Teori limit atau hudud merujuk pada suatu pendekatan untuk

memahami ayat-ayat hukum dalam Islam, yang disesuaikan dengan konteks

sosio-historis masyarakat kontemporer. Tujuannya adalah agar ajaran al-

Qu’a>n tetap relevan dan kontekstual selama berada dalam batas hukum

Alla>h.

Teori limit ini dikenal sebagai naz}ariyyah al-hudud (teori batas),

yang terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna) dan batas atas (al-hadd al-

a’la). Kontribusi dari teori ini, seperti yang disebutkan dalam buku

Epistemologi Tafsir Kontemporer, pertama terletak pada kemampuan teori

limit untuk membuka ruang baru dalam interpretasi ayat-ayat hukum yang

sebelumnya dianggap sebagai kebenaran final tanpa opsi pemahaman

alternatif. Shahrur berhasil menjelaskan pendekatan ini secara metodologis

dan mengaplikasikannya dalam tafsirnya dengan menggunakan pendekatan

matematis. Kedua, melalui teori limit, seorang mufassir dapat

mempertahankan keagungan teks tanpa harus kehilangan kreativitasnya

dalam melakukan ijthad, membuka peluang interpretasi selama masih berada

dalam batasan hukum Alla>h.

Tindakan yang berada di bawah batas minimal dianggap tidak sah,

sama halnya dengan tindakan yang melampaui batas maksimal. Jika batas-

batas tersebut di langgar, maka hukuman harus diberikan sesuai dengan

49
50

sejauh mana pelanggaran tersebut terjadi. Di samping itu, untuk memahami

esensi teori ini, Shahrur menggunakan analogi bermain bola, di mana para

pemain memiliki hak dan kebebasan untuk menunjukkan keterampilan

mengelola bola mereka selama tetap berada dalam ruang dan batas lapangan

yang telah ditetapkan.

Secara substansial, Shahrur menggariskan batas minimal dan

maksimal sebagai sarana untuk mengungkap ketetapan ilahi dalam al-

Qu’a>n, mencakup segala tindakan manusia, fenomena sosial, dan fenomena

alam. Metode ini merupakan pendekatan inovatif dalam memahami al-

Qu’a>n dengan mengacu pada konteks saat ini. Pendekatan diperlukan agar

al-Qu’a>n tidak dianggap sebagai sesuatu yang tetap, melainkan senantiasa

berubah mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman.

B. Benturan Penafsiran antara Shahrur dengan Penafsir yang Lain

Penjelasan Muhammad Shahrur mengenai ayat-ayat terkait aurat

perempuan mungkin menimbulkan ketidaknyamanan bagi yang berbeda

pendapat. Di sini, penulis berusaha menyajikan dan membandingkan

pandangan Shahrur dengan sudut pandang yang lain.

Setiap wanita memiliki kewajiban menutup aurat, namun pandangan

tentang batasan aurat bisa bervariasi karena Ipengaruhi oleh latar belakang

keilmuan, kondisi sosio-kultural, atau landasan teoritis yang mereka gunakan

untuk memahami teks keagamaan, terutama dalam memahami arti dari firman

Alla>h: ....‫منها‬ ‫اّال ما ظهر‬.... “kecuali yang (biasa) tampak dari padanya”
51

(Q.S. al-Nu>r: 31. Para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai

penentuan bagian tubuh mana yang termasuk aurat pada wanita. Beberapa

pandangan yang berbeda antara lain:

Pandangan pertama menyatakan bahwa wajah dan kedua telapak

tangan tidak termasuk aurat. Penda pat ini didukung oleh mayoritas ulama,

seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, Imam Malik, dan Imam Shafi’i. dalil

yang digunakan untuk mendukung pendapat ini adalah

..‫ وليضربن خبمرهن على جيوهبن‬.… ‫وال يضربن بأرجلهن ليعلم ما خيفني من زينتهن‬

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya….dan


janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan.” (QS. Al-Nu>r: 31)

‫ِل ِه‬ ‫ِئ ِض‬


‫َعْن َعا َشَة َر َي الَّلُه َعْنَه ا َأَّن َأَمْساَء ِبْنَت َأيِب َبْك ٍر َدَخ َلْت َعَلى َرُس و الَّل َص َّلى الَّلُه‬
‫َعَلْيِه َوَس َّلَم َو َعَلْيَه ا ِثَياٌب ِرَقاٌق َفَأْع َرَض َعْنَه ا َرُس وُل الَّلِه َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َوَس َّلَم َو َقاَل َيا‬
‫َأَمْساُء ِإَّن اْلَم ْرَأَة ِإَذا َبَلَغْت اْلَم ِح يَض ْمَل َتْص ُلْح َأْن ُيَرى ِم ْنَه ا ِإاَّل َه َذ ا َوَه َذ ا َوَأَش اَر ِإىَل‬
‫َوْج ِه ِه َوَك َّف ْيه‬

“Dari Aisyah Rad}ialla>hu ‘anha bahwa sesungguhya Asma binti


Abu Bakar masuk kerumah Rasulullah dan ia memamaki baju yang
tipis, lalu Rasulullah berpaling padanya dan bersabda: wahai Asma,
jika seorang perempuan telah datang masa haidlnya ia tidak
dibenarkan menampakkan auratnya kecuali dan inisambil
menunjukkan kereng dan pergelangan tangannya.” (H.R. Abu Daud)

Pendapat kedua menyatakan bahwa wajah, kedua telapak tangan dan

kedua kaki tidak termasuk aurat. Pendapat ini di anut beberapa ulama, seperti

Sufyan al-Tsauri, Abu Abbas, dan Imam Abu Hanifah. Argumen yang

digunakan adalah dengan membandingkan kedua kaki dengan wajah dan

kedua telapak tangan, karena nash-nash yang relevan terkait dengan


52

keperluan mendesak, dimana kaki diperlukan untuk berjalan dan melakukan

aktivitas.

Pandangan yang ketiga berasal dari Imam Ahmad bin Hambal, ia

menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan merupakan aurat. Dalil yang

digunakan adala surat al-Ahzab ayat 59.

‫ِل‬ ‫ِء‬ ‫ِج‬


‫َياَأُّيَه ا الَّنُّيِب ُق ْل َأِلْز َوا َك َو َبَناِتَك َو ِنَس ا اْلُم ْؤ ِمِنَني ُيْد ِنَني َعَلْيِه َّن ِم ْن َج اَل ِبيِبِه َّن َذ َك‬
‫َأْد ىَن َأْن ُيْع َرْفَن َفاَل ُيْؤ َذْيَن َوَك اَن الَّلُه َغُفوًرا َرِح يًم ا‬
“Wahai nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin. “hendaklah mereka
menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka” yang demikian itu
agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak
diganggu. Dan Alla>h maha penyayang maha pengampun”. (QS. al-
Ahzab:59)51
Sedangkan Shahrur memandang bahwa ayat 59 surat al-Ahzab itu

bukanlah dalil melainkan sebagai nubuwwah (informasi) untuk menolak

penyakit moral, manusia memiliki kebebasan untuk mengikutinya atau tidak,

tergantung pada kondisi situasional.

Pandangan yang keempat menyatakan bahwa hanya wajah yang bukan

termasuk aurat. Ini merupakan pendapat dari Imam Ahmad bin Hambal dalam

satu riwayat, juga diperkuat oleh pandangan Daud al-Z{ahiri. Dalil yang

digunkan berasal dari riwayat ketika Nabi Muhammad memalingkan wajah

Fadl bin al-Abbas dari seorang wanita cantik dan setelah itu, tidak pernah

memerintahkan wanita tersebut untuk menutup wajahnya.

51
Kementrian Agama RI, Al-qur’an Tajwid dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul
dan Hadis Shahih.
53

Berdasarkan beragam pandangan di atas, Shahrur dianggap telah

mengubah model hukum Islam terkait batasan aurat perempuan. Terutama

dengan memperkenalkan konsep batasan minimal dan maksimal yang

sebelumnya tidak pernah dibahas oleh ulama. Kritik terhadapnya mencakup

pandangan bahwa pertimbangan terhadap kondisi masyarakat hanya dianggap

sebagai main-main dengan ayat tanpa pemhaman mendalam, sehingga

berpotensi mengurangi keagungan nash-nash agama. Meskipun demikian,

penting diingat bahwa sebelumnya ulama telah mengakui bahwa adat istiadat

dan budaya masyarakat dapat dijadikan pijakan hukum selama sesuai dengan

prinsip-prinsip al-Qur’a>n dan Hadis.

Menurut Hasbi as}-S{iddiqy, pendapat yang paling kuat adalah bahwa

wajah dan kedua telapak tangan tidk termasuk dalam bagian aurat, sehingga

tidak diharamkan untuk dilihat dalam keadaan terbuka, kecuali jika hal itu

dapat menimbulkan kemudaratan. Bahkan, beberapa ulama lain

menambahkan bahwa kedua telapak kaki juga termasuk aurat. Pandangan ini

merujuk pada para sahabat, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah.

Hasbi as}-S{iddiqy menegaskan bahwa membuka wajah dan kedua telapak

tangan dianggap wajar, dan tidak ayat atau hadis yang membatalkan hukum

ini. Dalam kondisi tersebut, perempuan diizinkan untuk melakukan berbagai

pekerjaan, mengahdiri majelis ilmu, serta melaksanakan tugas-tugas resmi

dan tidak resmi di tempat umum. Ini mencerminkan kebebasan dan peran

perempuan di awal Islam dalam aspek politik, ekonomi, dan sosial.


54

Sedangkan Quraish Shihab menyatakan bahwa aurat perempuan

mencakup semua bagian tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. 52 al-

Maraghi menganggap bahwa batasan aurat perempuan adalah bagian tubuh

yang biasa terlihat dengan perhiasannya, yaitu wajah dan kedua telapak

tangan.53 Sementara itu, Hamka menyatakan aurat sebagai bagian tubuh yang

tidak boleh ditampakkan kecuali yang terlihat secara nyata, seperti wajah dan

telapak tangan. Pendapat semua mufassir tersebut diperkuat oleh Imam Malik

dan Imam Shafi’i yang berdasarkan pada pendapat para sahabat dan tabi’in,

bahwa aurat perempuan meliputi wajah dan kedua telapak tangan.

Dalil yang menunjukkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan

bukan bagian dar auratadalah terkait dengan perlunya keadaan mendesak.

Dalam Islam, disampaikan bahwa kesulitan membawa kemudahan, sehingga

dalam situasi tersebut aspek wajah dan telapak tangan dikecualikan dari

konsep aurat. Seperti yang diungkapkan dalam al-Qu’a>n:

….Alla>h menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

kesulitan bagimu….(QS. al-Baqarah :185)

Sesuai dengan ayat yang telah disebutkan di atas, Ibnu Abbas

mengargumentasikan bahwa aurat perempuan yang disebutkan dalam surat

al-Nu>r ayat 31 mencakup wajah dan kedua telapak tangan. Ia merujuk pada

larangan Nabi Muhammad terhadap perempuan yang berihram dalam ibadah

haji menggunakan sarung tangan dan cadar. Jika wajah dan telapak tangan

dianggap sebagai aurat, Nabi Muhammad tidak akan melarang untuk


52
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an (Jakarta: PT.
Lentera Hati, 2000), Vol. 9.
53
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 179.
55

menutupinya. Selain itu, Ibnu Abbas menekankan bahwa membuka wajah

diperlukan saat memberikan kesaksian, sementara membuka kedua telapak

tangan diperlukan dalam transaksi jual-beli.54

Shahrur menetapkan aurat al-Nu>r ayat 31 sebagai batas minimal

untuk menentukan aurat wanita, yakni mencakup bagian al-juyub, dan hadis

yang menyatakan bahwa hanya wajah dan kedua telapak tangan yang boleh

terlihat sebagai batas maksimalnya. Penafsiran Shahrur terhadap dalil tersebut

sejalan dengan pandangan mayoritas ulama yang berasal dari berbagai bidang

keilmuan. Meskipun mayoritas ulama juga mengambil dasar dari hadis untuk

menetapkan batasan tersebut, namun hadis yang digunakan oleh Shahrur

terlihat problematik. Informasi mengenai periwayat hadis tersebut tidak

dicantumkan, dan sumbernya juga tidak jelas. Bahkan, upaya merujuknya

kebeberapa kitab hadis, redaksi hadis tersebut tidak dapt ditemukan.

Tidak ada seorangpun dari kalangan ulama yang mengklasifikasikan

adanya batasan maksimal dalam konsep aurat perempuan. Hadis yang

menyatakan bahwa aurat perempuan mencakup seluruh tubuh kecuali wajah

dan kedua telapak tangan dianggap hanya sebagai penjelasan ulang terhadap

redaksi al-Qu’a>n yang dianggap masih bersifat umum. Selain itu, hadis yang

digunakan Shahrur dalam pendapatnya tidak diakui oleh ulama. Oleh karena

itu, dalam konteks ini, Shahrur dianggap hanya memanipulasi dalil tanpa

melakukan telaah yang cukup. Kejadian ini semakin menegaskan pandangan

terhadap kerancuan penafsiran Shahrur, yang disebabkan oleh kurangnya

54
Abdul Karim Zaidan, Ensiklopedia Hukum Wanita dan Keluarga (Jakarta: Robbani Press,
1997), 243.
56

disiplin ilmu, terutama dalam manafsirkan al-Qu’a>n dan ilmu-ilmu hadis. Ia

tampak memaksa pemahaman keilmuannya untuk menetapkan hukum batas

maksimal aurat perempuan.


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Muhammad Shahrur menafsirkan teori limit, terutama dalam konteks

“naz}ariyat al-hudud dan membahas batasan aurat perempuan berdasarkan

pemahamannya terhadap al-Qu’a>n dan Hadith. Terkait aurat perempuan

terbagi menjadi dua aspek: batas minimal dan batas maksimal.

Shahrur mengklasifikasikan tubuh perempuan menjadi dua bagian.

Bagian pertama mencakup area terbuka secara alami, seperti perut, punngung

dua kaki, kepala, dan dua lengan, sesuai dengan surat al-Nu>r ayat 31. Dalam

perspektif Shahrur, ayat ini menggambarkan ada perhiasan tersembunyi di

dalam tubuh perempuan. Sementara bagian yang kedua, disebut al-juyub,

mencakup area tersembunyi, seperti pantat, kemaluan, antara dua payudara,

bawah payudara, dan bawah katiak. Shahrur menegaskan pentingnya

menutup bagian ini, namun tidak mendesak perempuan untuk menutup

seluruh tubuhnya saat berinteraksi sosial. Batasan pakaian dapat disesuaikan

dengan nroma masyarakat mulai dari batas minimal hingga batas maksimal

yang hanya menampilkan wajah dan dua telapak tangan, tanpa menimbulkan

gangguan sosial.

B. Saran

Setelah menelaah pandangan Muhammad Shahrur mengenai batas

aurat perempuan yang dianggap mengejutkan oleh penulis, disarankan untuk

57
58

menghargai interpretasinya sebagai salah satu kontribusi penting dalam

warisan intelektual Islam.

Perbedaan diantara mufassir terletak pada variasi pandangan manusia

yang mereka sampaikankarena di pengaruhi nalar masing-masing, dan

bukanlah ketentuan hukum Alla>h yang tegas dan pasti. Dapat diakatakan

dengan tepat bahwa masalah batas aurat perempuan termasuk dalam ranah

ijtihadiyah, sehingga tidak seharusnya memunculkan tuduhan saling

menyalahkan, apalagi hingga mencapai pengkafiran.


DAFTAR PUSTAKA

Abdillah,Ummu. Berhijablah Saudariku. Surabaya: Pustaka Elba, 2015.

al-Barudi, Imam Zaki. Tafsir Wanita. Jakarta: Pustaka al-Kauthar, 2007.


al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala Madhahibi al-Arba‘ah.

al-Mara>ghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Mara>ghi. Beirut: Dar al-Fikr, 1993.

Esha, M. In’am. M. Shahrur; Teori Batas Pemikiran Islam Kontemporer.


Yokyakarta: Jendela, 2003.

Fachruddin, Fuad Mohd. Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam.
Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1984.
Fanani, Muhyar. Fiqih Madani: Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern.
Yokyakarta: Lkis, 2009.

Ismai>l, Ahmad Sharqawi>. Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur.


Yokyakarta: Elsaq Press, 2003.
Isnawati. Aurat Wanita Muslimah. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2020.
Kementrian Agama RI. Al-qur’an Tajwid dan Terjemahnya Dilengkapi dengan
Asbabun Nuzul dan Hadith Sahih. Jakarta: PT. Madina Raihan Makmur,
2010.
Muhammad, Husein. Fiqih Perempuan. Yokyakarta: Ircisod, 2019.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif,


1997.
Paramita, Tri Arni. Pakaian Wanita Dalam Perspektif Muhammad Shahrur
(Kajian Tafsir Ayat Pakaian Wanita Dalam Al-Qur’an). Skripsi Fakultas
Ushuluddin dan Studi Agama Uin Raden Intan Lampung 2022.
Rid}ho, Mohammad Rasid. Kritik terhadap teori hudud Muhammad Shahrur dan
implementasinya dalam ayat-ayat hudud. Jurnal sosial, politik, kajian
Islam dan Tafsir. Vol. 1, No. 2. Desember 2018. Soewadji, Jusuf.
Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012.
Shah, M. Aunul Abied. Isla>m Garda Depan: Mosaik Pemeikiran Isla>m Timur
Tengah. Bandung: Mizan, 2000.

Shahrur, Muhammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer terj. Sahiron


Syamsuddin dan Burhanuddin. Yokyakarta: Elsaq Press,

59
60

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an.


Jakarta: PT. Lentera Hati. 2000.
Suryani, Octri Amelia. Konsep Aurat Perempuan Menurut Muhammad Shahrur
(Kajian atas Tafsir Q.S An-Nur Ayat 31). Skripsi Fakultas Ushuluddin dan
Peikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yokakarta 2017.
T}ahir, Halil. Ijitihad Maqa>sidi> Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis
Interkoneksitas Masalah. Yokyakarta: LkiS, 2015.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa. Kamus


Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Toniadi, Teuku Bordan. Batas Aurat Wanita (studi perbandingan pemikiran Buya
Hamka dan Muhammad Shahrur), Skripsi Fakultas Shari’ah dan Hukum
UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh 2017.
Wahab, Shekh Abdul. Abdussalam Thawilah, Adab Berpakaian dan Berhias.
Jakarta: Darussalam, 2006).

Zaidan, Abdul Karim. Ensiklopedia Hukum Wanita dan Keluarga. Jakarta:


Robbani Press, 1997.

Zuhaili, Wahbah . Fiqih Islam Wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk.
Jakarta: Gema Insani, 2010.
61
LAMPIRAN

Batas Minimal aurat menurut Sharur

62
63

Batas Maksimal menurut Sharur

Anda mungkin juga menyukai