Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebelum Islam datang, para wanita pada khususnya sudah menjadikan


kerudung sebagai busana. Hanya saja pemakaiannya sekedar untuk hiasan dan
adat kebiasaan pada saat itu. Dimana seorang wanita dinilai baik dan terhormat
jika menggunakan kerudung.

Setelah agama Islam datang, hukum demi hukum ditetapkan termasuk


perintah menutup aurat ini. Menutup aurat khususnya bagi wanita muslimah
adalah dengan berbusana muslimah, salah satu cerminannya adalah memakai
kerudung, sedangkan di masa jahiliah pun wanita sudah berkerudung menurut
adat kebiasaannya. Lalu apakah berkerudung ini merupakan warisan wanita
jahiliah? Oleh karena itu, di dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai perintah
menutup aurat hingga apa saja hikmah yang dikandungnya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalahnya


adalah “Bagaimanakah kajian tentang aurat perempuan?”

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan masalahnya adalah


mengetahui dan memahami kajian mengenai aurat perempuan.

2
3

BAB II

KAJIAN TENTANG AURAT PEREMPUAN

A. QS. An-Nûr [24]: 30-31


1. Teks Ayat

           

          

           

           

          

            

            

            

   

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga


pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih
suci bagi mereka. Sungguh, Allah maha mengetahui apa yang mereka
perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar
mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa)
terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-
putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-
laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra
saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam)
mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-
laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah
4

mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka


sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-
orang yang beriman, agar kamu beruntung.”

2. Kajian Kosa Kata


‫ يغضُ ا‬: ‫ يغضُ ا‬adalah bentuk mudhâri‟ dari kata ghadhdha (‫ )غض‬yang
berarti mengurangi pandangan mata atau suara. Bisa juga dalam arti hissi atau
materi seperti mengurangi air di dalam wadah. Dari pengertian ini, maka
pengertian ‫ يغضُ ا‬sebagaimana pada ayat di atas ialah mengurangi pandangan
mata terhadap hal yang tidak boleh dilihat seperti aurat. Adanya tambahan ‫من‬
‫ أ ص م‬setelah kata ‫ يغضُ ا‬mengartikan bahwa hendaklah pandangan mata
seseorang tersebut dikurangi. Dengan demikian dia sebenarnya masih bisa
melihat apa yang ada di sekelilingnya. Dia seakan-akan tidak mengetahui apa
yang ada di depannya. Hal ini berbeda dengan ungkapan memejamkan.
Memejamkan mata berarti dia tidak bisa melihat sekelilingnya.1 Adapun
menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni, ‫ يغضُ ا‬berarti menurunkan pandangan
dan menundukkannya. Makna asalnya ialah mengatupkan kelopak mata
dengan yang lain.2
‫ ا ي ين ي ت ن‬: Kata ‫ ي ين‬adalah bentuk mudhâri‟ dari kata badâ (‫) ا‬.
Artinya muncul dengan jelas. Akar katanya ialah ( - - ). Orang Arab
menyebut yang hidup di perkampungan disebut badui karena rumah
penduduknya terlihat dengan jelas. Berbeda dengan orang yang hidup
diperkotaan yang disebut hadhari karena rumah diperkotaan biasanya
berhipitan satu sama lainnya sehingga tidak tertutup. Dari pengertian ini
maka yang dimaksud dengan ‫ ا ي ين ي ت ن‬ialah janganlah menampakkan
anggota tubuh yang menjadi tempat perhiasan itu seperti kalung yang ada di
leher mereka.3
‫ م ن‬: Kerudung-kerudung, sesuatu untuk menutupi kepala wanita.4

1
Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Tafisrnya, Jilid 6, (Jakarta: Lembaga Percetakan Al-
Qur`an Departemen Agama, 2009), Cet. ke-4, h. 594
2
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafâsir, jilid 3, terj. KH. Yasin, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2011), Cet. ke-1, h. 608
3
Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Tafisrnya, h. 594
4
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafâsir, h. 608
5

‫ن‬ ‫ جي‬: Dada mereka.5


‫ اار ة‬: Membutuhkan wanita.6
3. Sebab Turunnya Ayat

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muqatil bahwa mereka mendapat


kabar bahwa Jabir bin Abdillah menceritakan bahwa Asma‟ binti Martsad
ketika itu sedang berada di kebun kurmanya. Tiba-tiba beberapa wanita
masuk ke kebun tanpa mengenakan busana sehingga terlihat perhiasan (yakni
gelang) di kaki mereka, juga terlihat dada dan rambut mereka. Maka Asma‟
berkata, “alangkah buruknya hal ini!” Maka Allah menurunkan ayat
mengenai hal itu.” (disebutkan oleh Ibnu Katsir (3/398)

Ibnu Jarir meriwayatkan dari seseorang yang berasal dari Hadhramaut


bahwa seorang wanita memasang dua gelang perak dan mengenakan batu
kumala, lalu ia lewat di depan sekelompok orang dan ia menghentakkan
kakinya sehingga gelang kakinya membentur batu kuala dan mengeluarkan
suara. Maka Allah menurunkan ayat ini.” (Al-Qurthubi (6/4774)7

4. Tafsir Ayat
QS. An-Nûr [24]: 30

Setelah ayat sebelumnya berbicara mengenai kunjungan ke rumah-rumah


yang intinya adalah melarang melihat apa yang dirahasiakan atau enggan
dipertunjukkan oleh penghuni rumah, ayat ini kemudian dilanjutkan dengan
perintah memelihara pandangan dan kemaluan. Selanjutnya Thâhir Ibn „Asyûr
menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya yakni mengenai ketentuan
memasuki rumah, di sini diuraikan etika yang harus diperhatikan bila
seseorang telah berada di dalam rumah, yakni tidak mengarahkan seluruh
pandangan kepadanya dan membatasi diri dalam pembicaraan serta tidak
mengarahkan pandangan kepadanya kecuali pandangan yang sukar dihindari.

5
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafâsir, h. 608
6
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafâsir, h. 608
7
Jalaluddin as-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur`an, h. 402-403
6

Ayat ini merupakan perintah kepada pria mukmin untuk menahan


sebagian pandangan mereka, yakni tidak membukanya lebar-lebar untuk
melihat segala sesuatu yang terlarang, seperti aurat wanita, hal yang kurang
baik untuk dilihat seperti tempat-tempat yang memungkinkan dapat
melengahkan. Di samping memelihara pandangan, agar mereka juga
memelihara secara utuh dan sempurna kemaluannya sehingga sama sekali
tidak menggunakannya kecuali pada yang halal, tidak juga membiarkan
kelihatan kecuali kepada siapa yang boleh melihatnya, bahkan jika bisa agar
tidak memperlihatkannya sama sekali walaupun terhadap istri-istri mereka.
Dengan demikian, mereka akan lebih suci dan terhormat karena telah menutup
rapat-rapat salah satu pintu kedurhakaan yang besar yakni perzinaan.8

Al-Qurthubi di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kalimat - ‫غض ص‬


‫غض‬- ُ‫ يغض‬berarti dia menundukkan pandangannya dengan sebenar-benarnya.9
Kata ‫ غض‬juga bisa berarti mengurangi, yakni mengalihkan arah pandangan
serta tidak memantapkan pandangan dalam waktu yang lama kepada sesuatu
yang terlarang atau kurang baik.10

Adapun kata ‫ من ا ص ر م‬yang mana huruf ‫ من‬pada kalimat ini adalah huruf
tambahan. Menurut salah satu pendapat, huruf tambahan tersebut adalah mîn li
at-tab‟îdh (mîn yang menunjukkan makna sebagian), sebab ada sebagian
pandangan yang dibolehkan. Meski demikian, dikatakan bahwa penglihatan
adalah pintu terbesar menuju hati dan indera tercepat untuk menuju ke sana.
Oleh karena itu, banyak terjadi kesalahan akibat dari penglihatan ini. Selain
itu, penglihatan harus diwaspadai dan menahannya dari hal-hal yang
diharamkan dan dikhawatirkan menimbulkan fitnah.11

8
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, Volume
VIII, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), Cet. ke-1, h. 524
9
Al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`ân, terj. Ahmad Khotib, jilid XII, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), Cet. Ke-1, h. 561
10
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, Volume
VIII, h. 524
11
Al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`ân, terj. Ahmad Khotib, jilid XII, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), Cet. Ke-1, h. 561-563
7

QS. An-Nûr [24]: 31

Setelah perintah kepada lelaki mukmin, selanjutnya perintah serupa


ditujukan kepada wanita-wanita mukminah untuk menahan pandangan dan
memelihara kemaluannya. Di samping hal tersebut, wanita mukminah juga
dilarang untuk menampakkan perhiasannya, yakni bagian tubuh mereka yang
dapat merangsang laki-laki, kecuali yang biasa nampak ( ‫م‬ ‫ )اا م ظ‬atau
kecuali yang terlihat tanpa maksud untuk ditampakkan, seperti wajah dan
talapak tangan.12 Menurut Ibn „Athiyyah, pengecualian ini juga termasuk
karena adanya darurat yang pasti terjadi saat melakukan gerakan,
memperbaiki sesuatu, atau lainnya. Dengan demikian, jika berdasarkan pada
pandangan ini, maka yang biasa nampak pada perempuan akibat darurat
adalah sesuatu yang dimaafkan.

Al-Qurthubi kemudian mendukung pendapat Ibn „Athiyyah dengan


mengatakan bahwa pendapatnya adalah baik. Hanya saja ia kembali
menjelaskan bahwa karena wajah dan kedua telapak tangan itu biasa terbuka
saat menjalankan aktifitas biasa dan saat menunaikan ibadah, misalnya saat
salat dan haji, maka sepatutnya pengecualiaan ini kembali kepada keduanya.
Hal ini ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari „Âisyah
bahwa Asma‟ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah dengan
mengenakan pakaian tipis. Melihat itu, Rasulullah berpaling darinya dan
bersabda kepadanya, “Wahai Asma‟, apabila seorang sudah haid, maka dia
tidak pantas terlihat kecuali ini.” Beliau lantas memberi isyarat ke wajah dan
kedua telapak tangannya. Meskipun hadis ini dhaif, namun lebih kuat daripada
pendapatnya Ibn „Athiyyah di atas dalam hal kehati-hatian dan mencegah
kerusakan manusia.13

Selanjutnya, Allah juga memerintahkan untuk menutupkan kain kerudung


mereka ke dada mereka. Kalimat ‫م ن‬ ‫ليض ن‬ menurut Al-Biqâ‟i

12
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, Volume
VIII, h. 526
13
Al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`ân, terj. Ahmad Khotib, jilid XII, h. 577-578
8

sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab di dalam tafsirnya bahwa yang


dimaksud dengan kalimat ini adalah pemakaian kerudung itu hendaknya
diletakkan dengan sungguh-sungguh untuk tujuan menutupinya, bahkan, huruf
bâ pada kata ‫م ن‬ dipahami oleh ulama berfungsi sebagai al-ilshâq
(kesertaan dan ketertempelan). Ini juga menekankan agar kerudung tersebut
tidak berpisah dari bagian badan yang harus ditutup.14 Al-Qurthubi
menjelaskan bahwa mayoritas ulama membaca lafaz tersebut dengan sukûn
huruf lâm yang menunjukkan bahwa kata tersebut merupakan (amr)
perintah.15

Quraish Shihab kemudian menjelaskan bahwa penggalan ayat ini berpesan


agar dada ditutup dengan kerudung (penutup kepala). Apakah ini berarti
bahwa kepala (rambut) juga harus ditutup? Jawabannya, “Ya.” Demikian
pendapat yang logis, apalagi jika disadari bahwa “Rambut adalah
hiasan/mahkota wanita.” Bahwa ayat ini tidak menyebut secara tegas perlunya
rambut ditutup, hal ini agaknya tidak perlu disebut. Bukankah mereka telah
memakai kerudung yang tujuannya adalah menutup aurat? Memang Ibn
„Asyûr berpendapat bahwa di samping wajah dan kedua telapak tangan, juga
termasuk kaki dan rambut harus ditutupi.16

Selain perintah berkerudung, diperintahkan juga untuk tidak


menampakkan perhiasan, yakni keindahan tubuh mereka kecuali kepada
beberapa orang berikut ini:

a. Suami, karena memang salah satu tujuan perkawinan adalah


menikmati hiasan itu.
b. Ayah, karena ayah sedemikian cinta kepada anak-anaknya sehingga
tidak mungkin timbul berahi kepada mereka bahkan ayah selalu
menjaga kehormatan anak-anaknya.

14
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, Volume
VIII, h. 534
15
Al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`ân, terj. Ahmad Khotib, jilid XII, h. 580
16
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, Volume
VIII, h. 534
9

c. Ayah suami, karena kasih sayangnya kepada anaknya menghalangi


mereka melakukan yang tidak senonoh kepada menantu-menantunya.
d. Putra-putra mereka, karena anak tidak memiliki berahi kepada ibunya.
e. Putra-putra suami, yakni anak tiri, karena mereka bagaikan anak
apalagi rasa takutnya kepada ayah mereka menghalangi mereka usil.
f. Saudara-saudara laki-laki, putra-putra saudara laki-laki, atau putra-
putra saudara perempuan, karena mereka itu bagaikan anak kandung
sendiri.
g. Wanita-wanita, yakni mereka yang beragama Islam. karena mereka
wanita dan keislamannya menghalangi mereka menceritakan rahasia
tubuh wanita yang dilihatnya kepada orang lain. berbeda dengan
wanita non muslim yang boleh jadi mengungkap rahasia keindahan
tubuh mereka.
h. Budak-budak yang dimiliki baik lelaki maupun perempuan, atau yang
perempuan saja karena wibawa tuannya akan menghalangi mereka
usil.
i. Pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan, yakni
berahi kepada wanita, seperti orang tua atau anak-anak yang belum
dewasa karena belum mengerti tentang aurat-aurat wanita sehingga
belum memahaminya.17

Penggalan sebelumnya dalam ayat ini melarang penampakan yang jelas,


kini dilarangnya pula penampakan tersembunyi dengan melakukan sesuatu
yang dapat menarik perhatian kaum lelaki, misalnya dengan menghentakkan
kaki bagi yang memakai gelang kaki atau hiasan lainnya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan yakni anggota tubuh mereka akibat suara
yang lahir dari cara berjalan mereka, yang pada akhirnya dapat merangsang.

17
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, Volume
VIII, h. 526-527
10

Demikian juga janganlah mereka memakai wewangian yang dapat


merangsang siapa saja yang ada di sekitarnya.18

B. QS. Al-Ahzâb [33]: 59


1. Teks Ayat

         

             
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk
dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah maha pengampun,
maha penyayang.”

2. Kajian Kosa Kata

‫ جل ي ن‬: ‫ الجا ي‬adalah jamak dari kata ‫جل‬, yakni baju kurung yang
meliputi seluruh tubuh wanita, lebih dari sekedar baju biasa dan kerudung.19
Pujangga berkata:

Burung nasar menuju ke arahnya tanpa waspada


Seperti jalan gadis yang memakai jilbab20
‫ ي نين‬: Mengulurkan dan menguraikan. Kepada wanita yang kainnya
tersingkap dari wajahnya, orang berkata:

‫ا نى ث ك على ج ك‬
“Ulurkanlah kainmu pada wajahmu.”21
‫ ا نى‬: lebih dekat.22

‫ يع فن‬: Dikenal, sehingga terhindar dari gangguan.23

18
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, Volume
VIII, h. 527
19
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi, juz, 22, terj. Bahrun Abu Bakar, Lc. dkk.,
(Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1992), Cet. ke-2, h. 61
20
Ibnu Manzhûr, Lisân al-„Arab
21
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi, h. 61
22
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi, h. 61
11

3. Sebab Turunnya Ayat

Ibnu Sa‟ad, dalam kitab Ath-Thabaqât, meriwayatkan dari Abu Malik


yang berkata, “para istri Rasulullah biasa keluar rumah di malam hari
untuk menunaikan hajat. Akan tetapai, beberapa orang munafik kemudian
mengganggu mereka di perjalanan sehingga mereka merasa tidak nyaman.
Ketika hal tersebut dilaporkan (kepada Rasulullah), beliau lantas menegur
orang-orang tersebut. Akan tetapi, mereka balik berkata, „sesungguhnya
kami hanya melakukan dengan isyarat tangan (menunjuk-nunjuk dengan
jari).‟ Setelah kejadian itu, turunlah ayat ini.”

Ibnu Sa‟ad juga meriwayatkan hal serupa dari al-Hasan dan


Muhammad bin Ka‟ab al-Qurazhi.24

4. Tafsir Ayat

Setelah ayat sebelumnya melarang siapapun mengganggu dan menyakiti


Nabi saw. bersama dengan kaum mukminin dan mukminat, kini secara
khusus ditujukan kepada kaum mukminat—bermula dari istri Nabi
Muhammad saw---diperintahkan untuk menghindari sebab-sebab yang dapat
menimbulkan penghinaan dan pelecehan.

Kalimat ‫ نس ء المؤم ين‬oleh Quraish Shihab diterjemahkan dengan wanita-


wanita orang mukmin sehingga ayat ini mencakup juga gadis-gadis semua
orang mukmin.25

Adapun kalimat ‫ جل‬diperselisihkan maknanya oleh ulama. Al-Biqâ‟i


menyebut beberapa pendapat. Antara lain ialah baju yang longgar atau
kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan
kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi wanita.
Menurutnya, semua pendapat ini merupakan maknanya. Kalau yang
23
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi, h. 61
24
Jalaluddin as-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur`an, terj. Tim Abdul Hayyie, (Jakarta:
Gema Insani, 2008), Cet. ke-1, h. 466-467
25
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, Volume
X, h. 533
12

dimaksud dengannya adalah baju, ia adalah menutupi tangan dan kakinya,


kalau kerudung, perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan
lehernya. Kalau maknanya adalah pakaian yang menutupi baju, perintah
mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua
badan dan pakaian. Sedangkan Ath-Thabaththabâ‟i memahami bahwa kata
jilbâb dalam arti pakaian yang menutupi seluruh badan atau kerudung yang
menutupi kepala dan wajah wanita.

Ibn „Asyûr memahami kata jilbâb dalam arti pakaian yang lebih kecil dari
jubah tetapi lebih besar dari kerudung atau penutup wajah. Ini diletakkan
wanita di atas kepala dan terulur kedua sisi kerudung itu melalui pipi hingga
ke seluruh bahu dan belakangnya. Ia menambahkan bahwa model jilbab bisa
bermacam-macam sesuai perbedaan keadaan (selera) wanita dan diarahkan
oleh adat kebiasaan.

Al-Qurthubi menjelaskan bahwa diperintahkan untuk menutupi tubuhnya


dengan pakaian yang panjang, dan pakaian yang dikenakannya juga harus
longgar hingga tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya. Kecuali, jika wanita
itu sedang berada di rumahnya saja bersama suaminya, maka mereka boleh
mengenakan pakaian apa saja yang mereka sukai. Sebab suaminya berhak
terhadap istrinya.26

Tujuan sebenarnya yang dikehendaki dari ayat ini ialah menjadikan


mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Namun
bukan berarti ini bertujuan untuk mengenali identitas wanita itu sendiri, atau
boleh melepasnya jika sudah dapat dibedakan antara para wanita yang
merdeka dengan para wanita yang hamba sahaya.27 Sebelum turunnya ayat
ini, cara berpakaian wanita merdeka atau budak, yang baik-baik atau kurang
sopan, hampir dapat dikatakan sama. Karena itu, lelaki usil seringkali
mengganggu wanita, khususnya yang mereka ketahui sebagai hamba sahaya.

26
Al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`ân, terj. Ahmad Khotib, jilid XIV, h. 584
27
Al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`ân, terj. Ahmad Khotib, jilid XIV, h. 587
13

Untuk menghindarkan gangguan tersebut serta menampakkan kehormatan


wanita muslimah, ayat di atas turun menyatakan hal ini.28

Ayat ini menurut Quraish Shihab tidak memerintahkan wanita muslimah


memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah
memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang
dikehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di atas yang
menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah hendaklah
mengulurkan. Ini berarti mereka telah memakai jilbab tetapi belum lagi
mengulurkannya.29

Potongan terakhir dari ayat ini memberi penghibur hati bagi para wanita
yang tidak mengenakan jilbab sebelum diturunkannya ayat ini, dimana Allah
swt. akan mengampuni ketidaktahuan mereka dan akan tetap menyayangi
mereka.30 Dapat juga dikatakan bahwa kalimat itu sebagai isyarat untuk
mengampuni wanita-wanita masa kini yang pernah terbuka auratnya apabila
mereka segera menutup auratnya, atau Allah mengampuni mereka yang tidak
sepenuhnya melaksanakan tuntunan Allah dan nabi selama mereka sadar akan
kesalahannya dan berusaha sekuat tenaga untuk menyesuaikan diri dengan
petunjuk-petunjuk-Nya.31

C. Istimbath Hukum

Berdasarkan penafsiran dari ayat-ayat yang berkaitan dengan menutup aurat,


sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Ahzâb [33]: 59 dan QS. An-Nûr [24]:
30-31, maka berikut kesimpulan hukumnya:

28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, Volume
X, h. 533
29
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, Volume
X, h. 533-534
30
Al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`ân, terj. Ahmad Khotib, jilid XIV, h. 588
31
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, Volume
X, h. 534
14

1. Hukum Menutup Aurat

Pada ayat-ayat yang telah disebutkan, ditemukan bahwa semuanya


berbentuk amr (perintah) dan nahi (larangan) yang menurut ilmu ushûl al-fiqh
akan dapat menghasilkan hukum wâjib „ain ta‟abbudi, yakni suatu kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim tanpa harus bertanya alasannya.
Meski demikian, apabila diteliti lebih lanjut, kewajiban menutup aurat ini ada
hubungannya dengan kewajiban lain yang Allah perintahkan demi
kemaslahatan manusia, berikut penjelasannya:

a. Menutup aurat itu merupakan faktor penunjang dari kewajiban


menahan pandangan sebagaimana diperintahkan Allah dalam QS. An-
Nûr [24]: 30-31.
b. Menutup aurat sebagai faktor penunjang dari larangan berzina
sebagaimana QS. Al-Isrâ‟ [17]: 32.
c. Menutup aurat hukumnya menjadi wajib karena alasan sad adz-
dzarâ‟i, yaitu menutup pintu kepada dosa yang lebih besar.

Oleh karena alasan-alasan tersebut, para ulama telah sepakat mengatakan


bahwa menutup aurat merupakan kewajiban bagi perempuan dan laki-laki
dalam ajaran Islam. Khusus untuk perempuan, kewajiban ini diwujudkan
dengan mengenakan jilbab atau yang dikenal dengan busana muslimah.32

2. Batas Aurat

Batas aurat wanita berbeda-beda, perbedaannya tergantung dengan siapa


seorang wanita berhadapan. Secara umum dapat diringkas sebagaimana
berikut ini:

a. Aurat wanita berhadapan dengan Allah (salat), seluruh tubuhnya


kecuali muka dan telapak tangan.

32
Khuzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia, 2010), Cet. Ke-1, h. 14-15
15

b. Aurat wanita berhadapan dengan mahramnya, dalam hal ini ulama


berbeda pendapat:
1) Asy-Syâfi‟iyyah berpendapat bahwa aurat wanita berhadapan
dengan mahramnya adalah antara pusar dan lutut, sama dengan
aurat kaum pria atau aurat wanita berhadapan dengan wanita.
2) Al-Mâlikiyyah dan Al-Hanâbilah berpendapat bahwa aurat wanita
berhadapan dengan mahramnya yang laki-laki adalah seluruh
badannya kecuali muka, kepala, leher, kedua tangan, dan kedua
kakinya.
3) Aurat wanita berhadapan dengan bukan mahramnya. Dalam hal ini,
ulama telah sepakat bahwa selain wajah, kedua telapak tangan, dan
kedua telapak kaki dari seluruh badan wanita adalah aurat, tidak
halal dibuka jika berhadapan dengan lelalki asing berdasarkan
firman Allah pada QS. Al-Ahzâb [33]: 59 dan QS. An-Nûr [24]:
31.33
3. Kriteria Busana Muslimah

Islam tidak menentukan model pakaian untuk wanita. Islam sebagai agama
yang sesuai untuk setiap masa dan berkembang di setiap tempat, memberikan
sebuah kebebasan seluas-luasnya untuk merancang mode pakaian yang sesuai
dengan selera masing-masing, asalkan saja tidak keluar dari kriteria berikut
ini:

a. Busana dapat menutup seluruh aurat yang wajib ditutup.


b. Busana tidak merupakan pakaian untuk dibanggakan atau busana yang
menyolok mata.
c. Busana yang tidak transparan, hal ini dimaksudkan agar kulit
pemakainya tidak tampak dari luar.
d. Busana yang dipakai agar longgar dan tidak ketat, hal ini agar tidak
menampakkan bentuk tubuh.

33
Departemen Agama RI, Kedudukan dan Peran Perempuan, (Jakarta: Lajnah Penshihan
Mushaf Al-Qur`an, 2009), Cet. Ke-1, h. 165-167
16

e. Berbeda dengan pakaian khas pemeluk agama lain.


f. Busana muslimah tidak sama seperti pakaian lelaki, karena Rasulullah
melaknat laki-laki yang memakai pakaian perempuan dan perempuan
yang memakai pakaian laki-laki, begitu pula halnya dengan laki-laki
yang meniru-niru perempuan dan sebaliknya.
g. Busana tidak merupakan bentuk perhiasan kecantikan sebagaimana
firman Allah dalam QS. An-Nûr [24]: 31.34
D. Hikmah Menutup Aurat

Seorang mukmin wajib baginya untuk percaya bahwa apa yang Allah
perintahkan dan larang terhadap suatu perbuatan pasti memiliki hikmah, termasuk
perintah menutup aurat ini. Antara lain hikmah yang dikandungnya adalah sebagai
berikut:

a. Perempuan yang menutup aurat memiliki ganjaran yang berlipat ganda


karena dengan menutup aurat, ia telah menyelamatkan orang lain dari
berzina mata.
b. Busana muslimah adalah identitas seorang muslimah. Dalam artian bahwa
dengan memakainya, berarti ia telah menampakkan identitas lahirnya yang
sekaligus membedakan secara tegas dengan perempuan lainnya. di samping
hal itu, perempuan yang berbusana muslimah akan terlihat sederhana dan
penuh wibawa hingga membuat orang menaruh hormat padanya, segan dan
mengambil jarak antara perempuan dan laki-laki, sehingga godaan bisa
dicegah secara maksimal sebagaimana maksud firman Allah pada Qs. Al-
Ahzâb [33]: 59.
c. Busana muslimah merupakan refleksi dari psikologi berpakaian, sebab
menurut kaidah pokok ilmu jiwa, pakaian adalah cermin diri seseorang.
Maksudnya adalah, kepribadian seseorang dapat dibaca dari cara
berpakaiannya, seseorang yang sederhana, yang bersikap ekstrim, dan
lainnya akan dapat terbaca dari cara ia berpakaian. Perempuan yang
terhormat jelas tidak mau diganggu dengan oleh orang lain, biasanya

34
Departemen Agama RI, Kedudukan dan Peran Perempuan, h. 181-183
17

perempuan yang berbusana kurang sopanlah yang sering mengundang


kerawanan dari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
d. Busana muslimah memiliki kaitan dengan ilmu kesehatan dan kimia.
Menurut penelitian salah seorang dokter ahli kandungan kimia rambut, ia
berkesimpulan bahwa meskipun rambut memerlukan sedikit oksigen (O2),
namun pada dasarnya rambut itu memiliki phospor, kalsium, magnesium,
pigmen, dan kholestryl dengan palmitate yang membentuk kholestryl
palmitate yang sangat labil akibat radiasi, sehingga rambut memerlukan
perlindungan yang dapat memberikan rasa nyaman terhadap rambut dan
kulit kepala. Dalam hal inilah kerudung sebagai bagian dari busana
muslimah memberi andil yang besar.
e. Memakai busana muslimah, ekonomis dan dapat menghemat anggaran
belanja.
f. Memakai busana muslimah dapat menghemat waktu.35

35
Khuzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, h. 15-16
18

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan kepada pembahasan mengenai menutup aurat yang telah


diuraikan pada makalah ini, maka berikut akan dipaparkan beberapa kesimpulan:

1. Mengenai perintah menutup aurat, para ulama sepakat menetapkan


hukumnya wajib bagi laki-laki maupun perempuan. Hal ini dapat dilihat
dari ayat-ayat yang telah disebutkan yakni dalam QS. An-Nûr [24]: 30-31
dan QS. Al-Ahzâb [33]: 59, ditemukan bahwa semuanya berbentuk amr
(perintah) dan nahi (larangan) yang menurut ilmu ushûl al-fiqh akan dapat
menghasilkan hukum wâjib „ain ta‟abbudi.
2. Wanita muslimah memiliki batas terhadap auratnya, yakni batas mana
sajakah yang boleh diperlihatkan. Dalam hal ini, batas aurat wanita
muslimah berbeda-beda, perbedaannya tergantung dengan siapakah ia
berhadapan. Ulama juga berbeda dalam menetapkannya.
3. Setiap orang tinggal di tempat dan di masa yang berbeda sehingga adat
dan kebiasaan juga ikut berbeda sesuai perkembangannya. Hal ini pun
terlihat dari cara wanita muslimah dalam berbusana, mereka boleh saja
menggunakan kebebasannya dalam merancang busana sesuai yang
diinginkan tetapi tetap harus memerhatikan kriteria berbusana muslimah
yang telah ditetapkan.
4. Di balik perintah menutup aurat, terdapat hikmah di dalamnya.
B. Saran

Makalah mengenai menutup aurat yang pemakalah sampaikan ini, tentunya


masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, untuk menutupi kekurangan tersebut
pemakalah harap kepada para rekan-rekan agar mengkajinya lebih dalam lagi.

Anda mungkin juga menyukai