Anda di halaman 1dari 10

KEWAJIBAN MENUTUP AURAT DAN BATASANNYA

Oleh
Ustadz Haikal Basyarahil, Lc
Jika melihat kehidupan masyarakat di sekitar, banyak kita
jumpai kaum wanita keluar rumahnya dengan tidak mengenakan
jilbab, atau bahkan memakai rok mini yang mengumbar aurat
mereka, begitu pula kaum pria, banyak di antara mereka tidak
menutup aurat. Anehnya, keadaan itu dianggap biasa, tidak
dianggap sebuah kemaksiatan yang perlu di ingkari. Seakan
menutup aurat bukan sebuah kewajiban dan membuka aurat
bukan sebuah dosa. Bahkan sebaliknya, terkadang orang yang
menutup auratnya di anggap aneh, lucu dan asing. Inilah fakta
yang aneh pada zaman sekarang. Kenapa bisa seperti itu ?
Jawabnya, karena jauhnya mereka dari agama Islam sehingga
mereka tidak mengerti apa yang menjadi kewajiban termasuk
kewajiban menjaga aurat. Oleh kerena itu, pada kesempatan kali
ini, kami akan mencoba membahas tentang kewajiban menutup
aurat, batasan-batasanya dan siapa yang bertanggung jawab
menjaganya ?

PENGERTIAN AURAT DAN KEWAJIBAN MENUTUPNYA.


Aurat adalah suatu angggota badan yang tidak boleh di
tampakkan dan di perlihatkan oleh lelaki atau perempuan
kepada orang lain. [Lihat al-Mausû’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah,
31/44]
Menutup aurat hukumnya wajib sebagaimana kesepakatan para
ulama berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla:

‫َو ُقْل ِلْلُمْؤ ِم َن اِت َي ْغ ُضْض َن ِمْن َأْب َص اِر ِهَّن َو َي ْح َف ْظ َن ُفُروَج ُهَّن َو اَل ُيْبِديَن ِز يَنَت ُهَّن ِإاَّل َم ا َظ َهَر ِم ْن َه اۖ َو ْلَي ْض ِر ْب َن ِبُخ ُم ِر ِهَّن‬
‫َع َلٰى ُجُيوِبِه َّن ۖ َو اَل ُيْبِديَن ِز يَنَت ُهَّن ِإاَّل ِلُبُعوَلِتِه َّن َأْو آَباِئِه َّن َأْو آَب اِء ُبُعوَلِتِه َّن َأْو َأْب َن اِئِه َّن َأْو َأْب َن اِء ُبُعوَلِتِه َّن َأْو ِإْخ َو اِنِه َّن‬
‫ُأ‬
‫َأْو َب ِني ِإْخ َو اِنِه َّن َأْو َب ِني َأَخ َو اِتِه َّن َأْو ِنَس اِئِه َّن َأْو َم ا َم َلَكْت َأْي َم اُنُهَّن َأِو الَّت اِبِعيَن َغ ْي ِر وِلي اِإْلْر َبِة ِمَن الِّر َج اِل َأِو‬
‫الِّط ْف ِل اَّلِذيَن َلْم َي ْظ َه ُروا َع َلٰى َع ْو َر اِت الِّن َس اِء ۖ َو اَل َي ْض ِر ْب َن ِبَأْر ُجِلِه َّن ِلُيْع َلَم َم ا ُيْخ ِفيَن ِمْن ِز يَن ِتِه َّن ۚ َو ُتوُبوا ِإَلى ِهَّللا‬
‫َج ِميًع ا َأُّي َه اْلُمْؤ ِم ُنوَن َلَع َّلُك ْم ُتْف ِلُحوَن‬
Katakanlah kepada orang laki–laki yang beriman, “Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allâh maha mengatahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah
kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putera–putera mereka, atau putera–putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-
anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allâh, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
[an-Nûr/24:31]

Dan Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

‫َي ا َب ِني آَد َم ُخ ُذ وا ِز يَنَت ُك ْم ِع ْن َد ُك ِّل َم ْس ِج ٍد َو ُك ُلوا َو اْش َر ُبوا َو اَل ُتْس ِر ُفواۚ ِإَّن ُه اَل ُيِحُّب اْلُمْس ِر ِفيَن‬
Wahai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang
berlebihan. [al-A’râf/7:31]

Sebab turunnya ayat ini sebagaimana yang di sebutkan dalam


Shahîh Muslim dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma, beliau
berkata:

‫َك اَنْت اْلَم ْر َأُة َت ُط وُف ِباْلَبْيِت َو ِهَي ُعْر َي اَن ٌة … َفَنَز َلْت َهِذِه اآْل َي ُة ُخ ُذ وا ِز يَنَت ُك ْم ِع ْن َد ُك ِّل َم ْس ِج ٍد‬

Dahulu para wanita tawaf di Ka’bah tanpa mengenakan busana


… kemudian Allâh menurunkan ayat :

‫َي ا َب ِني آَد َم ُخ ُذ وا ِز يَنَت ُك ْم ِع ْن َد ُك ِّل َم ْس ِج ٍد‬

Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap


(memasuki) masjid…[HR. Muslim, no. 3028]

Bahkan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada istri-istri


nabi dan wanita beriman untuk menutup aurat mereka
sebagaimana firman-Nya :

ۗ ‫َي ا َأُّي َه ا الَّن ِبُّي ُقْل َأِلْز َو اِج َك َو َب َن اِتَك َو ِنَس اِء اْلُمْؤ ِمِنيَن ُيْد ِنيَن َع َلْي ِه َّن ِمْن َج اَل ِبيِبِه َّن ۚ َٰذ ِلَك َأْد َنٰى َأْن ُيْع َر ْف َن َف اَل ُيْؤ َذ ْي َن‬
‫َو َك اَن ُهَّللا َغ ُفوًر ا َر ِحيًما‬

Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak


perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin, “Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka !” Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak di ganggu. dan Allâh adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. [al-Ahzâb/33:59]

Dengan menutup aurat hati seorang terjaga dari kejelekan Allâh


Azza wa Jalla berfrman :

‫َو ِإَذ ا َس َأْلُتُموُهَّن َم َت اًع ا َف اْس َأُلوُهَّن ِمْن َو َر اِء ِحَج اٍبۚ َٰذ ِلُك ْم َأْط َه ُر ِلُقُلوِبُك ْم َو ُقُلوِبِه َّن‬
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-
istri nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.
[al-Ahzâb/33:53]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menegur Asma


binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma ketika beliau datang ke
rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengenakan
busana yang agak tipis. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun memalingkan mukanya sambil berkata :

‫َي ا َأْس َم اُء ِإَّن اْلَم ْر َأَة ِإَذ ا َب َلَغ ِت اْلَم ِحيَض َلْم َي ْص ُلْح َأْن ُيَر ى ِم ْن َه ا ِإاَّل َه َذ ا َو َه َذ ا‬

Wahai Asma ! Sesungguhnya wanita jika sudah baligh maka tidak


boleh nampak dari anggota badannya kecuali ini dan ini (beliau
mengisyaratkan ke muka dan telapak tangan).[HR. Abu Dâwud,
no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218. Hadist ini di shahihkan oleh
syaikh al-Albâni rahimahullah]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah didatangi oleh


seseorang yang menanyakan perihal aurat yang harus di tutup
dan yang boleh di tampakkan, maka beliau pun menjawab :

‫اْح َف ْظ َع ْو َر َت َك إاَّل ِمْن َز ْو ِجَك َأْو َم ا َم َلَكْت َي ِميُنَك‬.


Jagalah auratmu kecuali terhadap (penglihatan) istrimu atau
budak yang kamu miliki.[HR. Abu Dâwud, no.4017; Tirmidzi, no.
2794; Nasa’i dalam kitabnya Sunan al-Kubrâ, no. 8923; Ibnu
Mâjah, no. 1920. Hadist ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni]

Wanita yang tidak menutup auratnya di ancam tidak akan


mencium bau surga sebagaimana yang di riwayatkan oleh Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu beliau berkata :

‫ َقْو ٌم َمَع ُهْم ِس َي اٌط َك َأْذ َن اِب اْلَب َق ِر َي ْض ِر ُبوَن ِبَه ا‬،‫ ِص ْن َف اِن ِمْن َأْه ِل الَّن اِر َلْم َأَر ُه َم ا‬: ‫َق اَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫ اَل َي ْد ُخ ْلَن اْلَج َّنَة َو اَل َي ِج ْد َن‬،‫ٌت ُمِم ياَل ٌت ُرُءوُسُهَّن َك َأْم َث اِل َأْس ِنَمِة اْلُبْخ ِت اْلَماِئَلِة‬ ‫ َو ِنَس اٌء َك اِس َي اٌت َع اِر َي اٌت َم اِئاَل‬، ‫الَّن اَس‬
‫ َو ِإَّن ِر يَح َه ا َلُتوَج ُد ِمْن َمِس ْيرٍة َك َذ ا َو َك َذ ا‬،‫ِر يَح َه ا‬

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua


golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat:
(yang pertama adalah) Suatu kaum yang memiliki cambuk
seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (yang kedua
adalah) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berpaling
dari ketaatan dan mengajak lainnya untuk mengikuti mereka,
kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu
tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya,
walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”
[HR. Muslim, no. 2128]
Dalam riwayat lain Abu Hurairah menjelaskan. bahwasanya
aroma Surga bisa dicium dari jarak 500 tahun. [HR. Malik dari
riwayat Yahya Al-Laisiy, no. 1626]

Dan diharamkan pula seorang lelaki melihat aurat lelaki lainnya


atau wanita melihat aurat wanita lainnya, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :

،‫ َو َال ُيْف ِض ي الَّر ُجُل ِإَلى الَّر ُج ِل ِفي الَّث ْو ِب اْلَو ا ِحِد‬،‫ َو َال اْلَم ْر َأُة ِإَلى َع ْو َر ِة اْلَم ْر َأِة‬، ‫َال َي ْن ُظ ُر الَّر ُجُل ِإَلى َع ْو َر ِة الَّر ُج ِل‬
‫َو َال ُتْف ِض ي اْلَم ْر َأُة ِإَلى اْلَم ْر َأَة ِفي الَّث ْو ِب اْلَو ِحِد‬

Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya), dan


janganlah pula seorang wanita melihat aurat wanita (lainnya).
Seorang pria tidak boleh bersama pria lain dalam satu kain, dan
tidak boleh pula seorang wanita bersama wanita lainnya dalam
satu kain.” [HR. Muslim, no. 338 dan yang lainnya]

Begitu pentingngnya menjaga aurat dalam agama Islam sehingga


seseorang di perbolehkan melempar dengan kerikil orang yang
berusaha melihat atau mengintip aurat keluarganya di rumahnya,
sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫ْأ‬ ‫ْأ‬ ‫َأ‬ ‫َّط‬
‫َلْو ا َلَع ِفي َب ْي ِتَك َح ٌد َو َلْم َت َذ ْن َلُه َخ َذ ْف َت ُه ِبَح َص اٍة َفَفَق َت َع ْي َن ُه َم ا َك اَن َع َلْي َك ِمْن ُج َن اٍح‬
Jika ada orang yang berusaha melihat (aurat keluargamu) di
rumahmu dan kamu tidak mengizinkannya lantas kamu
melemparnya dengan kerikil sehingga membutakan matanya
maka tidak ada dosa bagimu. [HR. Al-Bukhâri, no. 688, dan
Muslim, no. 2158].

BATASAN-BATASAN AURAT.
1. Pertama. Aurat Sesama Lelaki
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama tentang
batasan aurat sesama lelaki, baik dengan kerabat atau orang
lain. Pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat
jumhur Ulama yang mengatakan bahwa aurat sesama lelaki
adalah antara pusar sampai lutut. Artinya pusar dan lutut sendiri
bukanlah aurat sedangkan paha dan yang lainnya adalah aurat.
Adapun dalil dalam hal ini, semua hadistnya terdapat kelemahan
pada sisi sanadnya , tetapi dengan berkumpulnya semua jalur
sanad tersebut menjadikan hadist tersebut bisa di kuatkan
redaksi matannya sehingga dapat menjadi hujjah. [Lihat
perkataan Syaikh al-Albâni dalam kitabnya Irwâ’ 1/297-298, dan
Fatawa al-Lajnah ad-Dâimah, no. 2252]
2. Kedua. Aurat Lelaki Dengan Wanita
Jumhur Ulama sepakat bahwasanya batasan aurat lelaki dengan
wanita mahramnya ataupun yang bukan mahramnya sama
dengan batasan aurat sesama lelaki. Tetapi mereka berselisih
tentang masalah hukum wanita memandang lelaki. Pendapat
yang paling kuat dalam masalah ini ada dua pendapat.
Pendapat pertama, Ulama Syafiiyah berpendapat bahwasanya
tidak boleh seorang wanita melihat aurat lelaki dan bagian
lainnya tanpa ada sebab. Dalil mereka adalah keumuman firman
Allâh Azza wa Jalla :

‫َو ُقْل ِلْلُمْؤ ِم َن اِت َي ْغ ُضْض َن ِمْن َأْب َص اِر ِهَّن‬

Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka


menahan pandangannya. [an-Nûr/24:31]

Dan hadist Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia berkata :

‫ُكْن ُت ِع ْن َد َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو ِع ْن َد ُه َم ْيُم وَن ُة َف َأْق َبَل اْبُن ُأِّم َم ْك ُتوٍم َو َذ ِلَك َب ْع َد َأْن ُأِمْر َن ا ِباْلِحَج اِب َفَق اَل‬
‫ اْح َت ِج َب ا ِم ْن ُه ! َف ُقْلَن ا َي ا َر ُسوَل ِهَّللا َأَلْي َس َأْع َم ى َال ُيْبِص ُر َن ا َو َال َي ْع ِر ُفَن ا َفَق اَل الَّن ِبُّى َص َّلى‬: ‫الَّن ِبُّى َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫ َأَفَع ْم َي اَو اِن َأْنُتَم ا َأَلْس ُتَم ا ُتْبِص َر اِنِه‬: ‫ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬

Aku berada di sisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika


Maimunah sedang bersamanya. Lalu masuklah Ibnu Ummi
Maktum Radhiyallahu anhu -yaitu ketika perintah hijab telah
turun-. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
“Berhijablah kalian berdua darinya.” Kami bertanya, “Wahai
Rasûlullâh, bukankah ia buta sehingga tidak bisa melihat dan
mengetahui kami?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik
bertanya, “Apakah kalian berdua buta ? Bukankah kalian berdua
dapat melihat dia ?. [HR. Abu Dâwud, no. 4112; Tirmidzi, no.
2778; Nasa’i dalam Sunan al- Kubrâ, no.9197, 9198) dan yang
lainnya namun riwayat ini adalah riwayat yang dha’îf, dilemahkan
oleh Syaikh al-Albâni]

Dan mereka juga berdalil dengan qiyas: yaitu sebagaimana di


haramkan para lelaki melihat wanita seperti itu pula di haramkan
para wanita melihat lelaki.

Pendapat yang kedua adalah pendapat Ulama di kalangan


mazhab Hambali, boleh bagi wanita melihat pria lain selain
auratnya. Mereka berdalil dengan sebuah hadits yang di
riwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata :

‫ َح َّت ى َأُك وَن َأَن ا اَّلِذى‬، ‫ َو َأَن ا َأْن ُظ ُر ِإَلى اْلَح َب َش ِة َي ْلَع ُبوَن ِفى اْلَم ْس ِج ِد‬، ‫َر َأْي ُت الَّن ِبَّى َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َي ْس ُتُرِنى ِبِر َداِئِه‬
‫ َف اْق ُد ُروا َقْد َر اْلَج اِر َيِة اْلَح ِد يَث ِة الِّسِّن اْلَح ِر يَص ِة َع َلى الَّلْه ِو‬، ‫َأْس َأُم‬
Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupiku
dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang
Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku
sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian
bisa seperti gadis belia yang suka bercanda [HR. Al-Bukhâri,
no.5236; Muslim, no.892 dan yang lainnya]
3. Ketiga. Aurat Lelaki Dihadapan Istri
Suami adalah mahram wanita yang terjadi akibat pernikahan,
dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para Ulama
bahwasanya seorang suami atau istri boleh melihat seluruh
anggota tubuh pasangannya. Adapun hal ini berdasarkan
keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
‫﴾ ِإاَّل َع َلٰى َأْز َو اِجِه ْم َأْو َم ا َم َلَكْت َأْي َم اُنُهْم َف ِإَّن ُهْم َغ ْيُر َم ُلوِميَن‬٢٩﴿ ‫َو اَّلِذيَن ُه ْم ِلُفُروِجِه ْم َح اِفُظ وَن‬
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki,
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. [al-
Ma’ârij/70:29-30]

Dan hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu


anhuma berkata:

‫ ُكْن ُت َأْغ َت ِس ُل َأَن ا َو الَّن ِبُّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِمْن ِإَن اٍء َو اِحٍد ِمْن َج َن اَب ٍة‬: ‫َق اَلْت‬

“Aku mandi bersama dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa


sallam dari satu bejana dalam keadaan junub. [HR. Al-Bukhâri,
no. 263 dan Muslim, no. 43]

4. Keempat. Aurat Wanita Dihadapan Para Lelaki Yang Bukan


Mahramnya
Diantara sebab mulianya seorang wanita adalah dengan menjaga
auratnya dari pandangan lelaki yang bukan mahramnya. Oleh
kerena itu agama Islam memberikan rambu-rambu batasan aurat
wanita yang harus di tutup dan tidak boleh ditampakkan. Para
Ulama sepakat bahwa seluruh anggota tubuh wanita adalah
aurat yang harus di tutup, kecuali wajah dan telapak tangan
yang masih diperselisihkanoleh para Ulama tentang kewajiban
menutupnya. Dalil tentang wajibnya seorang wanita menutup
auratnya di hadapan para lelaki yang bukan mahramnya adalah
firman Allâh Azza wa Jalla :
ۗ ‫َي ا َأُّي َه ا الَّن ِبُّي ُقْل َأِلْز َو اِج َك َو َب َن اِتَك َو ِنَس اِء اْلُمْؤ ِمِنيَن ُيْد ِنيَن َع َلْي ِه َّن ِمْن َج اَل ِبيِبِه َّن ۚ َٰذ ِلَك َأْد َنٰى َأْن ُيْع َر ْف َن َف اَل ُيْؤ َذ ْي َن‬
‫َو َك اَن ُهَّللا َغ ُفوًر ا َر ِحيًما‬

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak


perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin, “Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak di ganggu. dan Allâh adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” [al-Ahzâb/33:59]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan bahwa


seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat yang harus di tutup.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫ َو ِإَّن َه ا ِإَذ ا َخ َر َج ْت ِمْن َب ْيِتـَه ا اْس َت ْش ـَر َفَه ا الَّش ْيـَط اُن‬،‫اْلَم ْر َأُة َع ْو َر ٌة‬
Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan
akan menghiasinya [HR. Tirmidzi,no. 1173; Ibnu Khuzaimah, no.
1686; ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabîr, no. 10115 dan yang
lainnya]

5. Kelima. Aurat Wanita Di depan Mahramnya


Mahram adalah seseorang yang haram di nikahi kerena adanya
hubungan nasab, kekerabatan dan persusuan. Pendapat yang
paling kuat tentang aurat wanita di depan mahramnya yaitu
seorang mahram di perbolehkan melihat anggota tubuh wanita
yang biasa nampak ketika dia berada di rumahnya seperti
kepala, muka, leher, lengan, kaki, betis atau dengan kata lain
boleh melihat anggota tubuh yang terkena air wudhu. Hal ini
berdasarkan keumuman ayat dalam surah an-Nûr, ayat ke-31,
insyaAllâh akan datang penjelasannya pada batasan aurat
wanita dengan wanita lainnya. Dan hadist Ibnu Umar
Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma berkata :
‫َك اَن الِّر َج اُل والِّن َس اُء َي َت َو َّض ُئْو َن ِفْي َز َم اِن َر ُسْو ِل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َج ِمْيًع ا‬

Dahulu kaum lelaki dan wanita pada zaman Nabi Shallallahu


‘alaihi wa sallam melakukan wudhu’ secara bersamaan [HR. Al-
Bukhâri, no.193 dan yang lainnya]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Bisa jadi, kejadian ini sebelum


turunnya ayat hijab dan tidak dilarang pada saat itu kaum lelaki
dan wanita melakukan wudhu secara bersamaan. Jika hal ini
terjadi setelah turunya ayat hijab, maka hadist ini di bawa pada
kondisi khusus yaitu bagi para istri dan mahram (di mana para
mahram boleh melihat anggota wudhu wanita). [Lihat Fathul
Bâri, 1/300]

6. Keenam. Aurat Wanita Di Depan Wanita Lainnya


Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama tentang
aurat wanita yang wajib di tutup ketika berada di depan wanita
lain. Ada dua pendapat yang masyhûr dalam masalah ini :
• Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa aurat wanita di depan
wanita lainnya seperti aurat lelaki dengan lelaki yaitu dari bawah
pusar sampai lutut, dengan syarat aman dari fitnah dan tidak
menimbulkan syahwat bagi orang yang memandangnya.

• Batasan aurat wanita dengan wanita lain, adalah sama dengan


batasan sama mahramnya, yaitu boleh memperlihatkan bagian
tubuh yang menjadi tempat perhiasan, seperti rambut, leher,
dada bagian atas, lengan tangan, kaki dan betis. Dalilnya adalah
keumuman ayat dalam surah an-Nûr, ayat ke-31. Allâh Azza wa
Jalla berfirman :
‫َو اَل ُيْبِديَن ِز يَنَت ُهَّن ِإاَّل ِلُبُعوَلِتِه َّن َأْو آَباِئِه َّن َأْو آَب اِء ُبُعوَلِتِه َّن َأْو َأْب َن اِئِه َّن َأْو َأْب َن اِء ُبُعوَلِتِه َّن َأْو ِإْخ َو اِنِه َّن َأْو َب ِني ِإْخ َو اِنِه َّن‬
‫َأْو َب ِني َأَخ َو اِتِه َّن َأْو ِنَس اِئِه َّن‬

Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada


suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera–putera mereka, atau putera–putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka,
atau wanita-wanita Islam, [an-Nûr/24:31]

Yang dimaksud dengan perhiasan di dalam ayat di atas adalah


anggota tubuh yang biasanya di pakaikan perhiasan.

Imam al- Jasshâs rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan


ayat di atas adalah bolehnya seseorang menampakkan
perhiasannya kepada suaminya dan orang-orang yang disebutkan
bersamanya (yaitu mahram) seperti ayah dan yang lainnya. Yang
terpahami, yang dimaksudkan dengan perhiasan disini adalah
anggota tubuh yang biasanya di pakaikan perhiasan sepert
wajah, tangan, lengan yang biasanya di pakaikan gelang, leher,
dada bagian atas yang biasanya di kenakan kalung, dan betis
biasanya tempat gelang kaki. Ini menunjukkan bahwa bagian
tersebut boleh dilihat oleh orang-orang yang disebutkan dalam
ayat di atas (yaitu mahram).[1] Hal senada juga di ungkapkan
oleh imam az-Zaila’i rahimahullah.[2]

Syaikh al-Albâni rahimahullah menukil kesepakatan ahlu tafsir


bahwa yang di maksud pada ayat di atas adalah bagian tubuh
yang biasanya di pakaikan perhiasan seperti anting, gelang
tangan, kalung, dan gelang kaki.[3]

Pendapat Yang terkuat dalam hal ini adalah pendapat terakhir,


yaitu aurat wanita dengan wanita lain adalah seperti aurat
wanita dengan mahramnya karena dalil yang mendukung lebih
kuat. Wallahu a’lam.

SIAPAKAH YANG BERTANGGUNG JAWAB MENJAGA AURAT?


Agama Islam selaras dengan fitrah manusia. Selama fitrah
tersebut masih suci, tidak di nodai dengan maksiat, maka
menjaga aurat bagian dari pembawaan manusia sejak lahir,
sebagaimana nabi Adam q dan istrinya ketika nampak aurat
mereka yang sebelumnya tertutup akibat memakan buah yang
terlarang. Dengan fitrahnya, nabi Adam q dan istrinya menutup
auratnya dengan daun-daun surga, sebagaimana firman Allâh
Azza wa Jalla :
‫َف َد اَّل ُه َم ا ِبُغ ُروٍر ۚ َف َلَّما َذ اَق ا الَّش َج َر َة َب َد ْت َلُهَم ا َس ْو آُتُهَم ا َو َط ِفَق ا َي ْخ ِص َف اِن َع َلْي ِه َم ا ِمْن َو َر ِق اْلَج َّن ِةۖ َو َن اَد اُه َم ا َر ُّبُهَم ا َأَلْم‬
‫َأْن َه ُك َم ا َع ْن ِتْلُك َم ا الَّش َج َر ِة َو َأُقْل َلُك َم ا ِإَّن الَّش ْي َط اَن َلُك َم ا َع ُد ٌّو ُم ِبيٌن‬
Maka syaithan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu)
dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu,
nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah
keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb
mereka menyeru mereka, “Bukankah Aku telah melarang kamu
berdua dari pohon kayu itu dan aku katakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu
berdua ? [al- A’râf/7:22]

Namun, ketika fitrah ini mulai hilang dari bani Adam dan ketika
sifat malu pada diri mereka mulai terkikis, maka harus ada yang
mengontrol dan mengingatkan mereka dalam menjaga aurat.
Sebab, mempertontonkan aurat merupakan sebuah kemungkaran
yang harus di ingkari, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :

‫ َو َذ ِلَك َأْض َع ُف اِإْليَم اِن‬،‫ َف ِإْن َلْم َي ْس َت ِط ْع َف ِبَق ْلِبِه‬،‫ َفِإْن َلْم َي ْس َت ِط ْع َف ِبِلَس اِنِه‬،‫َم ْن َر َأى ِم ْنُك ْم ُم ْن َك ًر ا َف ْلُيَغ ِّيْر ُه ِبَي ِدِه‬
Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran maka
hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya, jika dia tidak
mampu maka dengan lisannya, jika dia tidak bisa maka dengan
hatinya dan itu adalah selemah –lemah iman. [HR. Muslim, no.49
dan yang lainnya]

Mengubah kemungkaran dengan tangan adalah hak dari ulill amri


(pemerintah) atau orang yang memiliki kekuasan, seperti ayah
kepada anaknya, atau suami terhadap istrinya. Seorang bapak
berkewajiban menjaga aurat anak perempuannya jika dia sudah
baligh. Mereka berkewajiban melarang anak perempuan mereka
berdandan atau berpakaian yang tidak menutup aurat ketika
keluar rumah. Begitu pula seorang suami, ia juga berkewajiban
menjaga aurat istrinya, seperti menyuruhnya berbusana yang
menutup anggota tubuhnya, menyuruhnya berjilbab jika keluar
rumah. Dan jika sudah diberi nasehat dengan cara yang baik,
suami boleh memberikan sangsi kepada istrinya yang tetap
membuka auratnya, yaitu dengan pisah ranjang, atau
memukulnya dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas.
Karena membuka aurat bagian dari nusyûz (meninggalkan salah
satu kewajiban) seorang istri kepada suaminya. Allâh Azza wa
Jalla berfirman tentang sangsi nusyûz :

‫َو الاَّل ِتي َتَخ اُفوَن ُنُشوَز ُهَّن َفِع ُظ وُهَّن َو اْه ُجُروُهَّن ِفي اْلَمَض اِج ِع َو اْض ِر ُبوُهَّن ۖ َفِإْن َأَط ْع َن ُك ْم َف اَل َت ْب ُغ وا َع َلْي ِه َّن َس ِبياًل ۗ ِإَّن‬
‫َهَّللا َك اَن َع ِلًّيا َك ِبيًر ا‬

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyûz maka nasehatilah


mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allâh Maha Tinggi lagi maha besar. [An-Nisâ’/4:34]

Pemerintah juga mempunyai peranan penting dalam menjaga


aurat masyarakat, sehingga mereka tidak seenaknya berpakaian
dan berpenampilan yang mengumbar aurat di depan umum.
Tatanan sebuah masyarakat akan rusak jika hal ini tidak
dilarang, sebab akan terjadi berbagai macam kemungkaran
seperti perzinahan, pemerkosaan dan yang lainnya. Pemerintah
harus ikut andil dalam menjaga aurat masyarakat kerena itu
merupakan kewajiban dan tanggung jawab mereka sebagai pihak
yang berwenang. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :

‫ َف اَأْلِميُر اَّلِذي َع َلى الَّن اِس َر اٍع َع َلْي ِه ْم َو ُه َو َم ْس ُئوٌل َع ْن ُهْم‬،‫ َو ُك ُّلُك ْم َم ْس ُئوٌل َع ْن َر ِع َّيِتِه‬، ‫ ُك ُّلُك ْم َر اٍع‬.
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan di tanya
tentang kepemimpinannya, seorang amir maka dia adalah
pemimpin bagi rakyatnya dan akan ditanya tentang
kepemimpinannya. [HR. al-Bukhâri , no. 893,2409,2554; dan
Muslim, no.1829]

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Wajib bagi waliyul amri


(pemerintah) melarang perempuan yang keluar (rumahnya)
dengan berdandan dan bersolek, dan juga melarang mereka
berpakaian yang menampakkan auratnya. [at-Thuruq al-Hukmiah,
hlm. 238]

Jika terjadi pelangggaran dalam masalah ini pemerintah boleh


memberikan sangsi terhadap pelakunnya, dan hal ini di benarkan
dalam agama Islam. Masalah jenis sangsi, dikembalikan kepada
kebijakan hakim. Kerena pelanggaran tidak menutup aurat
termasuk hukum ta’zîr dan bukan bagian dari hukum hudud.
Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun


XVII/1435H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footnote
[1]. Lihat Ahkâmul Qur’ân, 5/174
[2]. Lihat Tabyînul Haqâi’q, 6/19
[3]. Lihat ar-Raddul Mufhim 1/75

Sumber: https://almanhaj.or.id/4114-kewajiban-menutup-aurat-
dan-batasannya.html

Anda mungkin juga menyukai