Anda di halaman 1dari 5

Nama: Nur asia

TUGAS RESUME HUKUM CADAR DAN ISBAL

A. CADAR

- Mazhab Syafii: Pendapat sebagian madzhab Syafi’i tentang hukum memakai cadar, aurat
wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka
mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi

- Mazhab Hambali: Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut
kepalanya, kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat,
semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di
hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha”

ADA BEBERAPA DALIL YANG MEWAJIBKAN

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

‫َو ُقل ِّلْلُم ْؤ ِم َناِت َيْغ ُضْض َن ِم ْن َأْبَص اِر ِهَّن َو َيْح َفْظَن ُفُروَج ُهَّن‬

Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara
kemaluan mereka. [An Nur/24: 31]

Allah Ta’ala memerintahkan kaum mukminat untuk memelihara kemaluan mereka, hal itu juga mencakup perintah
melakukan sarana-sarana untuk memelihara kemaluan. Karena menutup wajah termasuk sarana untuk memelihara
kemaluan, maka juga diperintahkan, karena sarana memiliki hukum tujuan

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

‫َو اْلَقَو اِع ُد ِم َن الِّنَس آِء اَّالِتي َالَيْر ُجوَن ِنَك اًح ا َفَلْيَس َع َلْيِهَّن ُج َن اٌح َأن َيَض ْع َن ِثَي اَبُهَّن‬
‫َغْيَر ُم َتَبِّر َج اٍت ِبِزيَنٍة َو َأن َيْسَتْع ِفْفَن َخ ْيٌر َّلُهَّن َو ُهللا َسِم يٌع َع ِليٌم‬
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi),
tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan
berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [An Nur/24: 60]
ADA BEBERAPA DALIL YANG TIDAKK MEWAJIBKAN CADAR

1. Firman Allah

‫َو َال ُيْبِد يَن ِز يَنَتُهَّن ِإَّال َم ا َظَهَر ِم ْنَها‬

Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. [An Nur/24 :31]

Tentang perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu Abbas berkata, “Wajah dan telapak tangan.” [1]

Perkataan serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar. [2].

Berdasarkan penafsiran kedua sahabat ini jelas bahwa wajah dan telapak tangan wanita boleh kelihatan, sehingga
bukan merupakan aurat yang wajib ditutup.

2. Firman Allah.

‫َو ْلَيْض ِر ْبَن ِبُخ ُم ِر ِهَّن َع َلى ُجُيوِبِهَّن‬


Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka. [An Nur/24 : 31]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala memerintahkan para wanita menutupkan khimar (kerudung) pada
belahan-belahan baju (dada dan lehernya), maka ini merupakan nash menutupi aurat, leher dan dada. Dalam firman
Allah ini juga terdapat nash bolehnya membuka wajah, tidak mungkin selain itu.”

Karena memang makna khimar (kerudung) adalah penutup kepala. Demikian diterangkan oleh para ulama, seperti
tersebut dalam An Nihayah karya Imam Ibnul Atsir, tafsir Al Qur’anil ‘Azhim karya Al Hafizh Ibnu Katsir, tafsir
Fathul Qadir karya Asy Syaukani, dan lainnya. [4]

‫َع ْن َأِبي َسِع يٍد اْلُخ ْد ِرِّي َأَّن َر ُسوَل ِهللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل ِإَّياُك ْم َو اْلُج ُلوَس ِبالُّطُر َقاِت َقاُلوا َيا َر ُسوَل ِهللا َم ا‬
‫ُبَّد َلَنا ِم ْن َم َج اِلِس َنا َنَتَح َّد ُث ِفيَها َفَقاَل َر ُسوُل ِهللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإْن َأَبْيُتْم َفَأْع ُطوا الَّطِر يَق َح َّقُه َقاُلوا َو َم ا َح ُّق‬
‫الَّطِر يِق َيا َر ُسوَل ِهللا َقاَل َغُّض اْلَبَص ِر َو َكُّف اَألَذ ى َو َر ُّد الَّس َالِم َو ْاَألْم ُر ِباْلَم ْعُروِف َو الَّنْهُي َع ِن اْلُم ْنَك ِر‬
Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah
kamu duduk-duduk di jalan.” Maka para Sahabat berkata, ”Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan
tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian enggan
(meninggalkan bermajeleis di jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau
menjawab, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintakan kebaikan dan
mencegah kemungkaran.” [5]
B. ISBAL

Pertama, mengharamkan isbal jika karena sombong.

Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ إن أحد شقي ثوبي‬: ‫ فقال أبو بكر‬. ‫ لم ينظر هللا إليه يوم القيامة‬، ‫من جر ثوبه خيالء‬
‫ إنك لن‬: ‫ إال أن أتعاهد ذلك منه ؟ فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬، ‫يسترخي‬
‫ لم‬: ‫ من جر إزاره ؟ قال‬: ‫ أذكر عبد هللا‬: ‫ فقلت لسالم‬: ‫ قال موسى‬. ‫تصنع ذلك خيالء‬
‫أسمعه ذكر إال ثوبه‬
“Barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada hari
kiamat. Abu Bakar lalu berkata: ‘Salah satu sisi pakaianku akan melorot kecuali aku ikat
dengan benar’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Engkau tidak melakukan itu
karena sombong’.Musa bertanya kepada Salim, apakah Abdullah bin Umar menyebutkan lafadz
‘barangsiapa menjulurkan kainnya’? Salim menjawab, yang saya dengan hanya ‘barangsiapa
menjulurkan pakaiannya’. ”. (HR. Bukhari 3665, Muslim 2085

‫ال ينظر هللا يوم القيامة إلى من جر إزاره بطرًا‬


“Pada hari Kiamat nanti Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya karena
sombong” (HR. Bukhari 5788)

Kedua, hadits-hadits yang mengharamkan isbal secara mutlak baik karena sombong ataupun
tidak.

Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ما أسفل من الكعبين من اإلزار ففي النار‬


“Kain yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Bukhari 5787)

‫ ولو أن تكلم أخاك وأنت منبسط إليه‬، ‫ وال تحقرن من المعروف شيئا‬، ‫ال تسبن أحدا‬
‫ فإن أبيت فإلى‬، ‫ وارفع إزارك إلى نصف الساق‬، ‫ إن ذلك من المعروف‬، ‫وجهك‬
‫ وإن هللا ال يحب المخيلة‬، ‫ وإياك وإسبال اإلزار ؛ فإنه من المخيلة‬، ‫الكعبين‬
“Janganlah kalian mencela orang lain. Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikitpun,
walaupun itu hanya dengan bermuka ceria saat bicara dengan saudaramu. Itu saja sudah
termasuk kebaikan. Dan naikan kain sarungmu sampai pertengahan betis. Kalau engkau
enggan, maka sampai mata kaki. Jauhilah isbal dalam memakai kain sarung. Karena isbal itu
adalah kesombongan. Dan Allah tidak menyukai kesombongan” (HR. Abu Daud 4084,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

‫ َيا َع ْبَد ِهَّللا‬: ‫َم َر ْر ُت َع َلى َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو ِفي ِإَز اِري اْس ِتْر َخ اٌء َفَقاَل‬
: ‫ َفَقاَل َبْعُض اْلَقْو ِم‬. ‫ َفَم ا ِزْلُت َأَتَح َّراَها َبْعُد‬. ‫ ِزْد ! َفِزْد ُت‬: ‫ ُثَّم َقاَل‬.‫اْر َفْع ِإَز اَر َك ! َفَر َفْع ُتُه‬
‫ َأْنَص اِف الَّساَقْيِن‬: ‫ِإَلى َأْيَن ؟ َفَقاَل‬
“Aku (Ibnu Umar) pernah melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kain
sarungku terjurai (sampai ke tanah). Beliau pun bersabda, “Hai Abdullah, naikkan
sarungmu!”. Aku pun langsung menaikkan kain sarungku. Setelah itu Rasulullah bersabda,
“Naikkan lagi!” Aku naikkan lagi. Sejak itu aku selalu menjaga agar kainku setinggi itu.” Ada
beberapa orang yang bertanya, “Sampai di mana batasnya?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai
pertengahan kedua betis.” (HR. Muslim no. 2086)

Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu’anhu beliau berkata:

‫رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أخذ بحجزة سفيان بن أبي سهل فقال يا سفيان ال‬
‫تسبل إزارك فإن هللا ال يحب المسبلين‬
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendatangi kamar Sufyan bin Abi Sahl,
lalu beliau berkata: ‘Wahai Sufyan, janganlah engkau isbal. Karena Allah tidak mencintai
orang-orang yang musbil’” (HR. Ibnu Maajah) no.2892, dishahihkan Al Albani dalam Shahih
Ibni Maajah)

Dari dalil-dalil di atas, para ulama sepakat haramnya isbal karena sombong dan berbeda
pendapat mengenai hukum isbal jika tanpa sombong. Syaikh Alwi bin Abdil Qadir As Segaf
berkata:

“Para ulama bersepakat tentang haramnya isbal karena sombong, namun mereka berbeda
pendapat jika isbal dilakukan tanpa sombong dalam 2 pendapat:

Pertama, hukumnya boleh disertai ketidak-sukaan (makruh), ini adalah pendapat kebanyakan
ulama pengikut madzhab yang empat.

Kedua, hukumnya haram secara mutlak. Ini adalah satu pendapat Imam Ahmad, yang berbeda
dengan pendapat lain yang masyhur dari beliau. Ibnu Muflih berkata : ‘Imam Ahmad
Radhiallahu’anhu Ta’ala berkata, yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah
neraka, tidak boleh menjulurkan sedikitpun bagian dari pakaian melebihi itu. Perkataan ini
zhahirnya adalah pengharaman’ (Al Adab Asy Syari’ah, 3/492). Ini juga pendapat yang dipilih Al
Qadhi ‘Iyadh, Ibnul ‘Arabi ulama madzhab Maliki, dan dari madzhab Syafi’i ada Adz Dzahabi
dan Ibnu Hajar Al Asqalani cenderung menyetujui pendapat beliau. Juga merupakan salah satu
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, pendapat madzhab Zhahiriyyah, Ash Shan’ani, serta
para ulama di masa ini yaitu Syaikh Ibnu Baaz, Al Albani, Ibnu ‘Utsaimin. Pendapat kedua
inilah yang sejalan dengan berbagai dalil yang ada.

Dan kewajiban kita bila ulama berselisih yaitu mengembalikan perkaranya kepada Qur’an dan
Sunnah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

‫َفِإْن َتَناَز ْع ُتْم ِفي َش ْي ٍء َفُر ُّد وُه ِإَلى ِهَّللا َو الَّرُسوِل ِإْن ُك نُتْم ُتْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر َذ ِلَك‬
‫َخ ْيٌر َو َأْح َس ُن َتْأِوياًل‬
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59)

Jadi Islam melarang isbal, baik larangan sampai tingkatan haram atau tidak. Tapi sungguh
disayangkan larangan ini agaknya sudah banyak tidak diindahkan lagi oleh umat Islam. Karena
kurang ilmu dan perhatian mereka terhadap agamanya. Lebih lagi, adanya sebagian oknum yang
menebarkan syubhat (kerancuan) seputar hukum isbal sehingga larangan isbal menjadi aneh dan
tidak lazim di mata umat.

Anda mungkin juga menyukai