Anda di halaman 1dari 9

IMAMAH

Sorban atau serban atau turban adalah salah satu jenis pakaian yang dikenakan di kepala,
biasanya berupa kain yang digelung atau diikat di kepala. Dalam bahasa arab disebut
imamah. Yang sejenis dengan imamah juga ghuthrah dan syimagh. Ghuthrah biasanya
berwarna putih, di pakai di atas peci. Sedangkan syimagh itu mirip seperti ghuthrah, namun
ada corak-corak merah.

Hadits-Hadits Imamah
Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa
memakai imamah. Diantaranya sahabat ‘Amr bin Harits menyatakan:

‫أَّن رسوَل ِهللا صَّلى ُهللا عليه وسَّلَم خطب الناَس وعليه عمامٌة سوداُء‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berkhutbah di hadapan orang-orang dengan
memakai sorban hitam di kepalanya” (HR. Muslim 1359)

Demikian juga hadits mengenai mengusap imamah ketika wudhu, dari Al Mughirah bin
Syu’bah beliau mengatakan:

‫ وعلى الُخ َّفيِن‬. ‫ وعلى العماَم ِة‬. ‫ فمسح بناصيِته‬. ‫أَّن النبَّي صَّلى ُهللا عليِه وسَّلَم توضأ‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berwudhu beliau mengusap jidatnya dan
imamah-nya serta mengusap kedua khuf-nya” (HR. Muslim 274)

Juga hadits dari Abu Sa’id Al Khudri mengenai doa memakai baju baru:

‫كان رسوُل ِهللا صلى هللا عليه وسلم إذا استجّد ثوبا سّم اُه باسمِه عمامًة أو قميصا أو رداًء ثم يقول‬
‫اللهّم لَك الحمُد أن كسوتِنيِه أسألُك خيرُه وخيَر ما ُص ِنَع لُه وأعوُذ بَك من شّر ِه وشّر ما ُص ِنَع لُه‬
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika memakai pakaian baru, beliau
menamainya, baik itu imamah, gamis atau rida, kemudian berdoa: ”Ya Allah segala puji bagi-
Mu atas apa yang engkau pakaikan padaku ini. Aku memohon kebaikan darinya dan dari apa
yang dibuatnya. Dan aku memohon perlindungan dari kejelekannya dan kejelekan yang
dibuatnya” (HR. At Tirmidzi 1767, ia berkata: “hasan gharib shahih”)
dan hadits-hadits lainnya.
Hukum Memakai Imamah
Pada asalnya, hukum suatu model pakaian adalah mubah-mubah saja. Namun
mengingat adanya beberapa hadits yang menyebutkan kebiasaan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam memakai imamah, para ulama berbeda pendapat mengenai
hukumnya apakah mubah saja ataukah sunnah?
Sebagian ulama menyatakan hukumnya sunnah, dalam rangka meneladani Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun yang rajih, hukum memakai imamah adalah mubah
saja, tidak sampai sunnah dan tidak bernilai ibadah. Karena Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam memakai imamah hanya sekedar kebiasaan atau adat orang setempat, bukan
dalam rangka taqarrub atau ibadah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “Imamah, paling maksimal
bisa jadi hukumnya mustahab (sunnah). Namun yang rajih, memakai imamah adalah
termasuk sunnah ‘adah (adat kebiasaan), bukan sunnah ibadah (Silsilah Adh Dha’ifah, 1/253,
dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani, 480).

Apakah Memakai Imamah Lebih Utama?


Jika seseorang tinggal di daerah yang mayoritas masyarakatnya biasa memakai
sorban atau sejenisnya, atau jika tidak memakai sorban di daerah tersebut malah jadi
perhatian orang-orang, maka lebih utama memakai sorban. Adapun jika masyarakat
setempat tidak biasa dengan sorban, maka ketika itu tidak utama memakai sorban, karena
membuat pemakainya menjadi perhatian sehingga termasuk dalam ancaman pakaian
syuhrah. Sebagaimana hadits:

‫من لِبَس ثوَب ُش هرٍة في الُّد نيا ألبَس ه ُهَّللا ثوَب مذَّلٍة يوَم القيامِة‬
“barangsiapa memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah akan memakaikannya pakaian
kehinaan di hari kiamat” (HR. Ahmad 9/87. Ahmad Syakir menyatakan: “shahih”).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, “Memakai imamah bukanlah
sunnah. Bukan sunnah muakkadah ataupun sunnah ghayru muakkadah. Karena Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam dahulu memakainya dalam rangka mengikuti adat pakaian yang
dikenakan orang setempat pada waktu itu.
Oleh karena itu tidak ada satu huruf pun dari hadits yang memerintahkannya. Maka
memakai imamah termasuk perkara adat kebiasaan yang biasa dilakukan orang-orang.
Seseorang memakainya dalam rangka supaya tidak keluar dari kebiasaan orang
setempat, sehingga kalau memakai selain imamah, pakaiannya malah menjadi pakaian
syuhrah. Jika orang-orang setempat tidak biasa menggunakan imamah maka jangan
memakainya. Inilah pendapat yang rajih dalam masalah imamah” (dinukil dari Fatawa
IslamWeb no. 138986).
Memakai imamah di daerah yang masyarakat biasa memakainya itu lebih utama,
dalam rangka menyelisihi orang kafir. Sehingga dari penampilan saja bisa terbedakan mana
orang kafir dan mana orang Muslim.
Syaikh Al Albani menyatakan, “Seorang Muslim lebih butuh untuk memakai imamah
di luar shalat daripada di dalam shalat, Karena imamah adalah bentuk syiar kaum Muslimin
yang membedakan mereka dengan orang kafir. Lebih lagi di zaman ini, dimana model
pakaian kaum Mu’minin tercampur baur dengan orang kafir” (Silsilah Adh Dha’ifah, 1/254,
dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani, 480).

Hukum Ghuthrah, Syimagh dan Penutup Kepala Lainnya


Lalu bagaimana hukum ghuthrah, syimagh dan penutup kepala lainnya yang ada dimasing-
masing daerah?
Syaikh Musthafa Al ‘Adawi menjelaskan, “ghuthrah disebut juga khimar, yaitu
penutup kepala yang umum dipakai (orang Arab dan Mesir). Dan ada hadits bahwa Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam ketika wudhu beliau mengusap khimarnya. Apakah khimar di sini
adalah imamah ataukah sekedar sesuatu yang menutupi kepala? Jawabnya, semuanya
memungkinkan. Maka intinya, memakai ghuthrah hukumnya mubah saja”.
Dari penjelasan Syaikh Musthafa di atas, dapat diambil faidah hukum memakai
ghutrah atau juga syimagh dan juga penutup kepala lainnya itu sama dengan hukum
imamah. Yaitu jika itu merupakan pakaian yang biasa dipakai masyarakat setempat,
hukumnya mubah.
Tentunya selama tidak melanggar aturan syariat, semisal tidak meniru ciri khas orang
kafir, tidak menyerupai wanita dan lainnya. Dan jika menyelisihi kebiasaan masyarakat
setempat atau membuat pemakainya jadi perhatian orang, maka makruh atau bahkan bisa
haram karena termasuk pakaian syuhrah.

Wabillahi at taufiq wa sadaad.


SHALAT TANPA PENUTUP KEPALA
Secara umum, kita dianjurkan untuk berhias dan berpenampilan yang sempurna ketika
hendak shalat. Allah Ta’ala berfirman:

‫َيا َبِني آَد َم ُخ ُذ وا ِز يَنَتُك ْم ِع ْنَد ُك ِّل َم ْس ِج ٍد‬


“Wahai manusia, gunakanlah perhiasanmu ketika memasuki setiap masjid” (QS. Al A’raf: 31).

As Sa’di menjelaskan ayat ini:

‫ كما أن كشفها يدع‬،‫ فإن سترها زينة للبدن‬،‫ فرضها ونفلها‬،‫استروا عوراتكم عند الصالة كلها‬
‫ ويحتمل أن المراد بالزينة هنا ما فوق ذلك من اللباس النظيف الحسن‬.‫البدن قبيحا مشوها‬
“Maksudnya: tutuplah aurat kalian ketika hendak melakukan semua shalat, baik yang fardhu
maupun yang sunnah. Karena menutup aurat itu memperindah raga, sebagaimana
membuka aurat itu membuat raga tampak buruk dan jelek. Dan termasuk dalam kandungan
ayat juga, bahwa makna az zinah di sini adalah yang lebih dari sekedar menutup aurat, yaitu
pakaian yang bersih dan bagus”[1. Taisir Karimirrahman, 287].

Anjuran menutup kepala ketika shalat


Dan di antara bentuk berhias ketika hendak shalat yang dianjurkan pada ulama kepada para
lelaki adalah dengan memakai penutup kepala. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
mengatakan:

،‫ ال‬:‫ «أتخرُج إلى الَّناس حاسَر الَّرأس؟ قال‬:‫وقد سبق في أثر ابن عمر أنه قال لمواله نافع‬
‫ فاهلل أحُّق أن ُيستحى منه» وهو يدُّل على أن األفضل ستر الرأس‬:‫قال‬
“Telah kami sampaikan sebuah atsar dari Ibnu Umar, beliau berkata kepada maula-nya,
Nafi’:‘Apakah engkau keluar menemui orang-orang dengan tanpa penutup kepala? Nafi’
berkata: Tidak. Ibnu Umar berkata: Sungguh malu kepada Allah adalah lebih layak daripada
kepada yang lain‘. Hal ini menunjukkan bahwa menutup kepada itu lebih afdhal” [2. Syarhul
Mumthi’, 2/137].
Memakai penutup kepala pada asalnya adalah kebiasaan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam, para sahabat, para ulama dan orang-orang shalih, baik di luar atau di dalam
shalat. Beberapa riwayat menunjukkan hal ini, diantaranya:

‫ َو َع َلى اْلُخ َّفْيِن‬، ‫ َو َع َلى اْلِع َم اَم ِة‬، ‫ َفَم َسَح ِبَناِصَيِتِه‬، ‫َأَّن الَّنِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َتَو َّض َأ‬
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berwudhu, beliau mengusap ubun-ubunnya, mengusap
imamahnya, dan mengusap khufnya” (HR. Bukhari 182, Muslim 274)

‫أنه كان ُيصِّلي في الِع مامة‬


“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya shalat dengan memakai imamah” (HR. Bukhari
205, Muslim 1359)

Namun anjuran memakai penutup kepala ketika shalat ini melihat pada ‘urf (kebiasaan)
masyarakat setempat. Jika masyarakat setempat biasa menggunakan penutup kepala, maka
lebih afdhal menggunakan penutup kepala. Namun jika masyarakat setempat tidak biasa
menggunakan penutup kepala, maka ketika itu tidak dikatakan lebih afdhal. Karena dalam
ayat di atas, Allah Ta’ala menyebutkan ‫( ِزيَنَتُك ْم‬perhiasan kalian), maka yang dimaksud adalah
segala sesuatu yang dianggap sebagai perhiasan dan keindahan oleh orang-orang. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

‫ من‬:‫)َيا َبِني آَد َم ُخ ُذ وا ِز يَنَتُك ْم ِع ْنَد ُك ِّل َم ْس ِج ٍد )(ألعراف‬:‫إذا طَّبقنا هذه المسألة على قوله تعالى‬
‫ أما‬،‫) تبَّين لنا أن ستر الرأس أفضل في قوم يعتبر ستر الرأس عندهم من أخذ الِّز ينة‬31‫اآلية‬
‫ وال إَّن كشفه أفضل‬،‫ إَّن ستره أفضل‬:‫ فإَّنا ال نقول‬،‫إذا ُكَّنا في قوم ال ُيعتبر ذلك من أخذ الزينة‬

“Jika kita terapkan hal ini pada firman Allah Ta’ala (yang artinya):“Wahai manusia,
gunakanlah perhiasanmu ketika memasuki setiap masjid” (QS. Al A’raf: 31). Akan jelas bagi
kita bahwa menutup kepala itu lebih afdhal bagi masyarakat yang menganggap penutup
kepala itu sebagai penghias penampilan. Namun jika kita berada di suatu masyarakat yang
tidak menganggap demikian maka tidak kita katakan bahwa memakai penutup kepala itu
afdhal, dan juga tidak dikatakan bahwa tidak memakainya itu afdhal” [3. Syarhul Mumthi’,
2/137].
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ketika ditanya tentang hukum shalat tanpa memakai
penutup kepala, beliau menjawab: “Tidak mengapa, karena kepala tidak termasuk aurat.
Yang wajib ketika shalat adalah mengenakan kain yang menutupi pusar ke bawah dan kain
yang menutupi pundak hingga pusar. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

‫ال يصلي أحدكم في الثوب الواحد ليس على عاتقه منه شيء‬
‘Janganlah kalian shalat dengan satu kain saja sehingga pundak kalian tidak tertutup‘
Namun jika seseorang memperbagus pakaiannya (dengan penutup kepala) itu lebih
afdhal. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

‫َيا َبِني آَد َم ُخ ُذ وا ِز يَنَتُك ْم ِع ْنَد ُك ِّل َم ْس ِج ٍد‬


“Wahai manusia, gunakanlah perhiasanmu ketika memasuki setiap masjid” (QS. Al A’raf: 31)
Adapun jika seseorang berada di suatu daerah yang di sana tidak biasa memakai penutup
kepada, maka tidak mengapa shalat tanpa penutup kepala”
Demikian juga jenis penutup kepala yang dipakai, apakah peci songkok, atau ghutrah,
atau imamah, atau peci bundar, atau surban, ini kembali kepada ‘urf (kebiasaan) masyarakat
setempat. Jika orang-orang shalih di masyarakat setempat biasa menggunakan songkok,
maka itulah yang sebaiknya digunakan. Dan hendaknya tidak menyelisihi kebiasaan
masyarakat setempat dengan menggunakan penutup kepala yang tidak biasa atau aneh di
pandangan masyarakat. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya mengenai
hukum menggunakan imamah, penutup kepala dalam kebiasaan orang arab, beliau berkata:

‫ ولهذا لم يأت حرف واحد من‬،‫كان يلبسها اتباعا للعادة التي كان الناس عليها في ذلك الزمن‬
‫السنة يأمر بها فهي من األمور العادية التي إن اعتادها الناس فليلبسها اإلنسان لئال يخرج عن‬
‫ وإن لم يعتدها الناس فال يلبسها‬،‫عادة الناس فيكون لباسه شهرة‬
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dahulu memakai imamah dalam rangka mengikuti adat
pakaian yang dikenakan masyarakat setempat pada waktu itu. Oleh karena itu tidak ada satu
huruf pun dari hadits yang memerintahkannya. Maka memakai imamah termasuk perkara
adat kebiasaan yang biasa dilakukan masyarakat. Seseorang memakainya dalam rangka
supaya tidak keluar dari kebiasaan masyarakat setempat, sehingga kalau memakai selain
imamah, pakaiannya malah menjadi pakaian syuhrah. Jika orang-orang setempat tidak biasa
menggunakan imamah maka jangan memakainya”
Hukum lelaki shalat tanpa penutup kepala
Shalat seorang lelaki tanpa penutup kepala diperselisihkan para ulama hukumnya.
Sebagian ulama mengatakan hukumnya makruh tanzih. Sebagaimana pendapat Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani, ketika mengomentari perkataan Sayyid Sabiq dalam
Fiqhus Sunnah yang mengatakan bahwa tidak ada dalil keutamaan menggunakan penutup
kepala dalam shalat. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan: “Menurut
hemat saya dalam permasalahan ini, shalat tanpa memakai penutup kepala itu makruh.
Karena setiap muslim dianjurkan ketika hendak shalat untuk berpenampilan sebagus dan
seislami mungkin, berdasarkan hadits yang kami bawakan di awal kitab ini:

‫إَّن َهللا أَح ُّق أْن ُيتَز َّيَن له‬


‘Sungguh berhias untuk Allah adalah lebih layak daripada untuk yang lain‘ (HR. Ath Thabrani
dalam Al Ausath, 7/127).
Dan tidak memakai penutup kepala bukan termasuk penampilan yang bagus
menurut kebiasaan para salaf, baik dalam perjalanan, di dalam dan di luar rumah, juga di
tempat-tempat ibadah. Bahkan kebiasaan tidak memakai tutup kepala sebenarnya
merupakan tradisi dari orang-orang di luar Islam. Ide ini sengaja disusupkan ketika mereka
mulai memasuki negara-negara muslim. Mereka mengajarkan kebiasaan buruk ini lalu diikuti
oleh umat Islam yang telah mengenyahkan jati diri mereka dan tradisi Islam yan ada pada
diri mereka. Inilah sebenarnya tujuan buruk yang dipoles dengan sangat halus untuk
merusak tradisi Islami yang ada sejak dahulu. Sehingga hal ini tentu tidak bisa dijadikan
sebagai alasan untuk memperbolehkan shalat tanpa memakai tutup kepala”[6. Tamaamul
Minnah Fii Ta’liq Ala Fiqhis Sunnah, 164].
Sebagian ulama mengatakan tidak mengapa (boleh) shalat tanpa penutup kepada.
Sebagaimana dikatakan Syaikh Abdul Aziz bin Baz di atas. Syaikh Shalih Al Fauzan juga
mengatakan: “tidak wajib seorang laki-laki yang shalat untuk menutup kepalanya. Bahkan
boleh ia shalat tanpa penutup kepala. Karena kepala laki-laki bukanlah aurat yang wajib
ditutup. Namun menutup kepala itu merupakan bentuk memperindah penampilan yang
dianjurkan untuk dilakukan ketika hendak shalat. Berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang
artinya):“Wahai manusia, gunakanlah perhiasanmu ketika memasuki setiap masjid” (QS. Al
A’raf: 31). Maka memperindah penampilan ketika shalat itu perkara yang dituntut dalam
syariat”
Pendapat ini yang lebih tepat insya Allah, yaitu bahwa tidak mengapa (boleh) seorang
lelaki shalat tanpa penutup kepala. Dan ini adalah masalah yang terdapat kelonggaran,
sehingga tidak layak seseorang menyalahkan orang lain yang mengambil pendapat yang
berbeda. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ mengatakan:

‫ واألمر في ذلك واسع‬،‫َس ْتُر رأس الَّرجل في الَّصالة ليس واجًبا‬


“lelaki menutup kepalanya dalam shalat itu tidak wajib, ini masalah yang terdapat
kelonggaran”
Namun hendaknya seseorang lelaki bersemangat untuk menggunakan penutup
kepada ketika shalat dalam rangka mengamalkan firman Alllah Ta’ala dalam surat Al A’raf
ayat 31, dan juga mengingat keutamaan-keutamaan yang telah kami sebut di atas.

Demikian semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.

Anda mungkin juga menyukai