Anda di halaman 1dari 37

Cadar, Wajibkah?

Oleh: Farid Nu'man

Wajib tidaknya cadar, tentu terkait dengan status wajah wanita, aurat atau bukan. Sejak lama
para ulama kita berselisih pendapat. Namun, mayoritas ulama mengatakan bahwa wajah dan
telapak tangan wanita bukan termasuk aurat yang harus ditutup.

Berikut ini penjelasannya.

Dalil-Dalil Al Quran

Berikut ini adalah ayat-ayat yang memerintahkan kaum wanita menutup aurat:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan
janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki,
atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-
anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur (24): 31)

Ayat ini tegas mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya, kecuali yang biasa tampak. Tegas
pula disebutkan bahwa hendaknya memanjangkan jilbabnya hingga menutup dadanya. Tak satu
pun kata yang menyebut perintah menutup wajah. Ditambah lagi, sebelumnya Allah Ta’ala
memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukkan pandangannya. Maka, perintah tersebut
menjadi tidak relevan jika wajah wanita ditutup, mau nunduk dari apa, sementara tidak nunduk
saja sudah tidak terlihat apa-apa?

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang surat An nuur ayat 31 di atas:

‫ أي وﻻ‬،(‫ ﻣﺎ ﻋﺪا اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﯿﻦ ﻗﺎل اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ )وﻻ ﯾﺒﺪﯾﻦ زﯾﻨﺘﮭﻦ إﻻ ﻣﺎ ﻇﮭﺮ ﻣﻨﮭﺎ‬،‫ﺑﺪن اﻟﻤﺮأة ﻛﻠﮫ ﻋﻮرة ﯾﺠﺐ ﻋﻠﯿﮭﺎ ﺳﺘﺮه‬
‫ ﻛﻤﺎ ﺟﺎء ذﻟﻚ ﺻﺤﯿﺤﺎ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس واﺑﻦ ﻋﻤﺮ وﻋﺎﺋﺸﺔ‬،‫ إﻻ اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﯿﻦ‬،‫ﯾﻈﮭﺮن ﻣﻮاﺿﻊ اﻟﺰﯾﻨﺔ‬
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat, wajib atasnya untuk menutupnya kecuali wajah dan kedua
telapak tangannya, Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah para wanita
menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya.”, yaitu jangan menampakkan
tempat-tempat perhiasannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana yang
diriwayatkan hal itu secara shahih dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah.” [1]

Mayoritas para ulama mengatakan wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat. Sebagaimana
tertera dalam tafsir Ibnu katsir berikut, ketika menafsirkan makna “Kecuali yang biasa nampak
darinya”:

‫ وھﺬا ھﻮ اﻟﻤﺸﮭﻮر ﻋﻨﺪ اﻟﺠﻤﮭﻮر‬،‫وﯾﺤﺘﻤﻞ أن اﺑﻦ ﻋﺒﺎس وﻣﻦ ﺗﺎﺑﻌﮫ أرادوا ﺗﻔﺴﯿﺮ ﻣﺎ ﻇﮭﺮ ﻣﻨﮭﺎ ﺑﺎﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﯿﻦ‬

“Ibnu Abbas dan orang-orang yang mengikutinya memaknai maksud “Maa zhahara minha (apa-
apa yang biasa nampak darinya)” adalah wajah dan kedua telapak tangan, inilah yang masyhur
menurut mayoritas ulama. “ [2] Ini juga pendapat Ibnu Umar, Atha’, Ikrimah, Adh Dhahak, Abu
Sya’tsa’, Said bin Jubeir, dan lain-lain. Sementara Az Zuhri mengatakan: cincin dan gelang
kaki.[3]

Sementara Abdullah bin Mas’ud, Ibrahim An Nakha’i, Hasan Al Bashri, Ibnu Sirrin, Abu Al
Jauzaa, dan lain-lain, mereka menafsirkan makna “Kecuali yang biasa nampak darinya” adalah
pakaian dan selendang.[4] Dengan kata lain menurut mereka, wajah wanita adalah aurat.
Namun, dalam riwayat lain dari Hasan Al Bashri, beliau menafsirkan: wajah dan pakaian.

Abdullah bin Abbas mengatakan maksud kalimat itu adalah celak, pewarna tangan, dan cincin.
Sementara Said bin Jubeir dan Atha’ mengatakan: wajah dan kedua telapak
tangan. Qatadah mengatakan: celak, gelang, dan cincin. Al Miswar bin
Mukhramah mengatakan: cincin, celak, dan gelang. Mujahid berkata: cincin, pewarna tangan,
dan celak mata. Ibnu Zaid mengatakan: celak mata, pewarna tangan, dan cincin, mereka
mengatakan demikianlah yang dilihat oleh manusia. Al Auza’i mengatakan: wajah dan dua
telapak tangan. Adh Dhahak berkata: wajah dan dua telapak tangan. Sementara Hasan Al
Bashri mengatakan: wajah dan pakaian. Sedangkan Imam Ibnu Jarir, setelah dia memaparkan
berbagai tafsir ini, beliau mengatakan:

،‫ واﻟﺨﺎﺗﻢ‬،‫ اﻟﻜﺤﻞ‬:‫ ﯾﺪﺧﻞ ﻓﻲ ذﻟﻚ إذا ﻛﺎن ﻛﺬﻟﻚ‬،‫ اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﺎن‬:‫ ﻋﻨﻰ ﺑﺬﻟﻚ‬:‫ ﻗﻮل ﻣﻦ ﻗﺎل‬:‫وأوﻟﻰ اﻷﻗﻮال ﻓﻲ ذﻟﻚ ﺑﺎﻟﺼﻮاب‬
.‫ واﻟﺨﻀﺎب‬،‫واﻟﺴﻮار‬
“Pendapat yang paling unggul dan benar adalah pendapat yang mengartikannya dengan wajah
dan dua telapak tangan, dan jika demikian maka celak, cincin, gelang, dan pewarna tangan
termasuk di dalamnya.”[5]
Imam Al Muzani Rahimahullah juga mengatakan makna “Kecuali yang biasa nampak
darinya” adalah wajah dan dua telapak tangan.[6]

Demikianlah pendapat pilihan mayoritas ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan).

Ayat lainnya:

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang
mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)

Benarkah surat Al Ahzab ayat 59 ini tentang wajibnya cadar (menutup wajah)? Imam Ibnu
Katsir berkata:

،‫ إﻧﻤﺎ ﯾﻨﮭﻰ ﻋﻦ ذﻟﻚ ﻟﺨﻮف اﻟﻔﺘﻨﺔ؛ ﻻ ﻟﺤﺮﻣﺘﮭﻦ‬،‫ ﻻ ﺑﺄس ﺑﺎﻟﻨﻈﺮ إﻟﻰ زﯾﻨﺔ ﻧﺴﺎء أھﻞ اﻟﺬﻣﺔ‬:‫وروي ﻋﻦ ﺳﻔﯿﺎن اﻟﺜﻮري أﻧﮫ ﻗﺎل‬
. { َ‫ } وَﻧِﺴَﺎءِ اﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﯿﻦ‬:‫واﺳﺘﺪل ﺑﻘﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬

“Diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri, bahwa dia berkata: “Tidak apa-apa memandang perhiasan
wanita ahlu dzimmah (orang kafir yang berada dalam perlindungan penguasa Islam).
sesungguhnya larangan tersebut lantaran ditakutkan lahirnya fitnah, bukan karena haramnya
mereka,” dia berdalil dengan firmanNya: dan wanita-wanita beriman ..”[7]

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah berkata dalam kitabnya, Al Muhalla:

‫ وﻓﯿﮫ ﻧﺺ ﻋﻠﻰ إﺑﺎﺣﺔ ﻛﺸﻒ‬،‫ وھﺬا ﻧﺺ ﻋﻠﻰ ﺳﺘﺮ اﻟﻌﻮرة واﻟﻌﻨﻖ واﻟﺼﺪر‬،‫ﻓﺄﻣﺮھﻦ اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﺎﻟﻀﺮب ﺑﺎﻟﺨﻤﺎر ﻋﻠﻰ اﻟﺠﯿﻮب‬
‫ ﻻ ﯾﻤﻜﻦ ﻏﯿﺮ ذﻟﻚ أﺻﻼ‬،‫اﻟﻮﺟﮫ‬

“Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka (kaum wanita) menjulurkan kerudung mereka
hingga ke dada. Ini adalah nash (dalil) tentang wajibnya menutup aurat, leher, dan dada. Dan di
dalamnya juga terdapat nash kebolehan membuka wajah, sama sekali tidak mungkin memaknai
selain itu.” [8] Ya, sama sekali tidak menyebutkan menutup wajah.

Imam Ibnu Jarir dalam tafsir Jami’ul Bayan-nya menyebutkan bahwa Ibnu Abbas dan ‘Ubaidah
As Salmani mengatakan hendaknya kaum wanita merdeka jika keluar rumah mereka menutup
kepala, dan wajah mereka, dan menampakkan satu mata saja. Sementara yang lain menafsirkan
agar kaum wanita mengikat jilbabnya pada jidatnya, dan melabuhkan hingga ke hidungnya.[9]

Imam Asy Syaukani, dalam Fathul Qadir mengatakan bahwa para Ahli Tafsir menafsirkan
kalimat: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka", hendaknya
kaum wanita menutup kepala dan wajahnya kecuali satu mata, agar mereka sebagai wanita
merdeka bisa dibedakan dengan para budak dan mereka pun tidak disakiti. Al Hasan
mengatakan hendaknya menutup setengah wajahnya. Sementara Qatadah mengatakan
melilitkan pada jidatnya dan mengikatnya lalu menjulurkan hingga hidung, meskipun nampak
kedua matanya, ia menutup sebagian besar wajahnya dan dadanya. [10]

Imam Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masir mengutip dari Ibnu Qutaibah, maksud kalimat itu adalah:
menjulurkan selendang. Sementara yang lain: menutup kepala dan wajah, agar dikenal sebagai
wanita merdeka.[11]

Imam Abul Hasan Ali bin Ahmad Al Wahidi dalam tafsir Al Wajiz-nya berkata: hendaknya
mereka menjulurkan selendang dan selimut mereka agar mereka diketahui bahwa mereka
adalah wanita merdeka.[12]

Imam Ibnu Hayyan dalam tafsir Al Bahrul Muhith meyebutkan, bahwa jilbab lebih lebar
dari khimar (kerudung). Sementara ‘Ubaidah As Salmani mengatakan, hendaknya wanita
meletakkan selendangnya diatas hijabnya, lalu dililitkan, hingga mejulur ke hidungnya. As Sudi
berkata, menutup salah satu matanya, jidatnya, dan bagian lain kecuali mata. Sedangkan Al
Kisa’i berkata, hendaknya wanita menutupi dengan selendang yang meliputi mereka. Yang
dimaksud dengan ‘meliputi’ di sini adalah idna’ (menjulurkan).[13]

Dari penjelasan para mufassir di atas, kita bisa dapati bahwa maksud menjulurkan jilbab ke
seluruh tubuh adalah pertama, menutup kepala dan wajah dengan menampakkan satu mata,
sebagaimana kata Ibnu Abbas, Ubaidah As Salmani, dan As Sudi. Ini amat menyulitkan bagi
wanita, sebab dia harus memegangi terus jilbabnya agar tetap terlihat satu mata, padahal
tangannya dibutuhkan untuk aktifitas lain seperti menggendong anak, belanja, mencuci, shalat,
dan lain-lain. Ada pun pihak yang mewajibkan cadar, tidak bisa berdalil dengan tafsiran ini
sebab cadar masih menampakkan dua mata, bukan satu mata. Kedua, mengikat jilbab pada
jidat dan melabuhkan hingga hidung, sebagaimana kata Qatadah. Ketiga, menutup wajah dan
menampakkan kedua matanya, sebagian besar wajah dan dadanya, sebagaimana kata Qatadah
pula. Keempat, menutup sebagian wajah saja, sebagaimana kata Hasan Al
Bashri. Kelima, menjulurkan selendang dan selimutnya, sebagaimana kata Ibnu Qutaibah
dan Al Kisa’i.
Maka, Klaim bahwa ayat tersebut hanya bermakna adalah tentang wajibnya menutup wajah
atau cadar adalah keliru, sebab para imam kaum muslimin, berbeda dalam menafsirkannya. Jika
dikatakan bahwa menutup wajah merupakan salah satu kebiasaan sebagian wanita saat itu,
bisa jadi benar. Yang jelas, tak ada satu keutamaan pendapat manusia di atas manusia lainnya,
sebab ucapan manusia selain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bisa diterima atau ditolak.

Anggaplah benar bahwa makna ayat ini adalah menutup wajah, tetapi apakah perintah ini
menunjukkan wajib atau anjuran semata? Imam Ibnu Rusyd telah menjawab demikian:

‫ أو اﻟﻨﮭﻲ ﻗﺮﯾﻨﺔ ﺗﻨﻘﻞ اﻻﻣﺮ ﻣﻦ‬،‫ ھﻞ ﺗﻠﻚ اﻟﻌﻠﺔ اﻟﻤﻔﮭﻮﻣﺔ ﻣﻦ ذﻟﻚ اﻻﻣﺮ‬،‫اﺧﺘﻼﻓﮭﻢ ﻓﻲ اﻻﻣﺮ واﻟﻨﮭﻲ اﻟﻮارد ﻟﻌﻠﺔ ﻣﻌﻘﻮﻟﺔ اﻟﻤﻌﻨﻰ‬
‫ واﻟﻨﮭﻲ ﻣﻦ اﻟﺤﻈﺮ إﻟﻰ اﻟﻜﺮاھﺔ؟ أم ﻟﯿﺴﺖ ﻗﺮﯾﻨﺔ؟ وأﻧﮫ ﻻ ﻓﺮق ﻓﻲ ذﻟﻚ ﺑﯿﻦ اﻟﻌﺒﺎدة اﻟﻤﻌﻘﻮﻟﺔ وﻏﯿﺮ‬،‫اﻟﻮﺟﻮب إﻟﻰ اﻟﻨﺪب‬
‫ ﻻن اﻻﺣﻜﺎم اﻟﻤﻌﻘﻮﻟﺔ اﻟﻤﻌﺎﻧﻲ ﻓﻲ اﻟﺸﺮع أﻛﺜﺮھﺎ ھﻲ ﻣﻦ ﺑﺎب ﻣﺤﺎﺳﻦ‬،‫اﻟﻤﻌﻘﻮﻟﺔ؟ وإ ﻧﻤﺎ ﺻﺎر ﻣﻦ ﺻﺎر إﻟﻰ اﻟﻔﺮﻗﻔﻲ ذﻟﻚ‬
‫ أو ﻣﻦ ﺑﺎب اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ وھﺬه ﻓﻲ اﻻﻛﺜﺮ ھﻲ ﻣﻨﺪوب إﻟﯿﮫ‬،‫اﻻﺧﻼق‬

“Mereka berbeda pendapat tentang perintah dan larangan yang maknanya bisa difahami
dengan ‘illat (alasan) yang rasional, apakah alasan yang bisa difahami itu baik dalam hal
perintah atau larangan, memiliki qarinah (indikasi) berubahnya hukum perintah dari wajib
menjadi sunah, atau hukum larangan dari haram menjadi makhruh? Ataukah alasan tersebut
bukanlah indikasi perubahan hukum? bahwa dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara ibadah
yang bisa difahami dan tidak bisa difahami ? Sesungguhnya hukum-hukum yang bisa difahami
maknanya dalam syariat sebagian besar masuk dalam Bab Mahasinul Akhlak (Keindahan
Akhlak), atau Bab kemaslahatan, dan yang seperti ini kebanyakan
menunjukkan mandub (anjuran) saja.”[14]

Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, imamnya para ahli tafsir, telah mengunggulkan bahwa
pendapat yang benar adalah wajah dan dua telapak angan bukanlah aurat. Beliau telah
menyimpulkan dari semua penafsiran, dan memberikan tarjih (mengunggulkan yang paling
benar) dengan berkata:

،‫ واﻟﺨﺎﺗﻢ‬،‫ اﻟﻜﺤﻞ‬:‫ ﯾﺪﺧﻞ ﻓﻲ ذﻟﻚ إذا ﻛﺎن ﻛﺬﻟﻚ‬،‫ اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﺎن‬:‫ ﻋﻨﻰ ﺑﺬﻟﻚ‬:‫ ﻗﻮل ﻣﻦ ﻗﺎل‬:‫وأوﻟﻰ اﻷﻗﻮال ﻓﻲ ذﻟﻚ ﺑﺎﻟﺼﻮاب‬
.‫ واﻟﺨﻀﺎب‬،‫واﻟﺴﻮار‬
‫ وأن ﻟﻠﻤﺮأة‬،‫وإﻧﻤﺎ ﻗﻠﻨﺎ ذﻟﻚ أوﻟﻰ اﻷﻗﻮال ﻓﻲ ذﻟﻚ ﺑﺎﻟﺘﺄوﯾﻞ؛ ﻹﺟﻤﺎع اﻟﺠﻤﯿﻊ ﻋﻠﻰ أن ﻋﻠﻰ ﻛﻞّ ﻣﺼﻞ أن ﯾﺴﺘﺮ ﻋﻮرﺗﮫ ﻓﻲ ﺻﻼﺗﮫ‬
‫ إﻻ ﻣﺎ روي ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬،‫ وأن ﻋﻠﯿﮭﺎ أن ﺗﺴﺘﺮ ﻣﺎ ﻋﺪا ذﻟﻚ ﻣﻦ ﺑﺪﻧﮭﺎ‬،‫أن ﺗﻜﺸﻒ وﺟﮭﮭﺎ وﻛﻔﯿﮭﺎ ﻓﻲ ﺻﻼﺗﮭﺎ‬
‫ ﻛﺎن ﻣﻌﻠﻮﻣﺎ ﺑﺬﻟﻚ أن ﻟﮭﺎ أن ﺗﺒﺪي ﻣﻦ‬،‫ ﻓﺈذا ﻛﺎن ذﻟﻚ ﻣﻦ ﺟﻤﯿﻌﮭﻢ إﺟﻤﺎﻋﺎ‬.‫أﻧﮫ أﺑﺎح ﻟﮭﺎ أن ﺗﺒﺪﯾﮫ ﻣﻦ ذراﻋﮭﺎ إﻟﻰ ﻗﺪر اﻟﻨﺼﻒ‬
‫ ﻛﻤﺎ ذﻟﻚ ﻟﻠﺮﺟﺎل; ﻷن ﻣﺎ ﻟﻢ ﯾﻜﻦ ﻋﻮرة ﻓﻐﯿﺮ ﺣﺮام إﻇﮭﺎره‬،‫ﺑﺪﻧﮭﺎﻣﺎ ﻟﻢ ﯾﻜﻦ ﻋﻮرة‬
“Pendapat yang paling unggul dan benar adalah pendapat yang mengartikannya dengan wajah
dan dua telapak tangan, dan jika demikian maka celak, cincin, gelang, dan pewarna tangan
termasuk di dalamnya.”

Kami katakan bahwa yang demikian mendekati kebenaran adalah dengan mentakwilkan
terhadap ijma’ semua orang bahwa manusia harus menutup auratnya dalam shalat, dan
bahwa bagi wanita boleh membuka wajah dan dua telapak tangannya dalam shalat dan harus
menutup bagian badan yang lain. Kecuali yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dibolehkannya bagi wanita menampakkan setengah hastanya. Jika yang demikian
sudah ijma’ semua manusia, maka bisa dimaklumi bahwa wanita dibolehkan menampakkan
badannya yang bukan aurat, sebagaimana yang berlaku bagi laki-laki, sebab yang bukan aurat
tidak haram untuk menampakkannya.” [15]

Ayat lainnya:

“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula)
mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik
hatimu kecuali perempuan- perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. dan adalah Allah
Maha mengawasi segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab (33):52)

Lihatlah ayat ini baik-baik, khususnya kalimat, “meskipun kecantikannya menarik hatimu.” Dari
manakah kita mengetahui bahwa wanita itu cantik? Apakah wanita yang tertutup wajahnya
bisa diketahui kecantikannya? Nah, ayat ini menunjukkan bahwa wajah wanita pada saat itu
terbuka, sehingga bisa diketahui kecantikan mereka.

Oleh karena itu Imam Al Jashash mengomentari ayat tersebut:

. َّ‫وَﻟَﺎ ﯾُﻌْﺠِﺒُﮫُ ﺣُﺴْﻨُﮭُﻦَّ إﻟَّﺎ ﺑَﻌْﺪَ رُؤْﯾَﺔِ وُﺟُﻮھِﮭِﻦ‬

“Tidaklah dia kagum dengan kecantikan mereka melainkan setelah melihat pada wajah-wajah
mereka.”[16]

Maka tidak ragu lagi bahwa, wajah dan dua telapak tangan wanita bukanlah aurat. Wallahu
A’lam

Dalil-Dalil As Sunnah
Berikut adalah dalil-dalil dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
semakin menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah aurat.

1. Hadits Asma binti Abu Bakar Radhiallahu ‘Anha

‫ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ رَﺿِﻲَ اﻟﻠَّﮫُ ﻋَﻨْﮭَﺎ‬


‫أَنَّ أَﺳْﻤَﺎءَ ﺑِﻨْﺖَ أَﺑِﻲ ﺑَﻜْﺮٍ دَﺧَﻠَﺖْ ﻋَﻠَﻰ رَﺳُﻮلِ اﻟﻠَّﮫِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﮫُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠَّﻢَ وَﻋَﻠَﯿْﮭَﺎ ﺛِﯿَﺎبٌ رِﻗَﺎقٌ ﻓَﺄَﻋْﺮَضَ ﻋَﻨْﮭَﺎ رَﺳُﻮ ُل اﻟﻠَّﮫِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّ ُﮫ‬
ِ‫ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠَّﻢَ وَﻗَﺎلَ ﯾَﺎ أَﺳْﻤَﺎءُ إِنَّ اﻟْﻤَﺮْأَةَ إِذَا ﺑَﻠَﻐَﺖْ اﻟْﻤَﺤِﯿﺾَ ﻟَﻢْ ﺗَﺼْﻠُﺢْ أَنْ ﯾُﺮَى ﻣِﻨْﮭَﺎ إِﻟَّﺎ ھَﺬَا وَھَﺬَا وَأَﺷَﺎرَ إِﻟَﻰ وَﺟْﮭِﮫِ وَﻛَﻔَّﯿْﮫ‬
‫ﻗَﺎلَ أَﺑُﻮ دَاوُد ھَﺬَا ﻣُﺮْﺳَ ٌﻞ ﺧَﺎﻟِﺪُ ﺑْﻦُ دُرَﯾْﻚٍ ﻟَﻢْ ﯾُﺪْرِكْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ رَﺿِﻲَ اﻟﻠَّﮫُ ﻋَﻨْﮭَﺎ‬

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha dia berkata, bahwa Asma’ binti Abu bakar masuk kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia menggunakan pakaian yang tipis, maka Rasulullah
berpaling darinya dan bersabda: “Wahai Asma’, sesungguhnya wanitu itu jika dia sudah
mengalami haidh maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini, dia mengisyaratkan
wajah dan telapak tangan.” Abu Daud berkata: Hadits ini mursal, karena Khalid bin Duraik
belum pernah berjumpa ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha. [17]

Namun, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menguatkan hadits ini lantaran


banyaknya syawahid (penguat) hadits ini, sehingga menurutnya derajatnya naik
menjadi shahih.

2. Hadits-Hadits tentang Perintah Menahan Pandangan

Haditsnya cukup banyak, kami akan ringkas. Dari Abu Said Al Khudri, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada para sahabat tentang hak jalanan, di
antaranya: “Tundukan pandangan ...”[18] s

Hadits tentang macam-macam zina, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Zinanya mata adalah memandang .. dan seterusnya.”[19]

Hadits dari Jabir bin Abdullah, “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang pandangan spontan,
lalu beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandangan.”[20]

Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, bahwa pada zaman nabi, di Madinah ada
seorang anak muda memandang seorang wanita, keduanya sama-sama tertarik karena
bisikan setan kepada dua-duanya, hingga akhirnya si pemuda menabrak tembok dan
hidungnya berdarah. Dia berkata: “Demi Allah aku tidak akan membersihkan darah ini sebelum
mengadu kepada Rasulullah atas peristiwa ini.” Setelah ia menemui nabi dan bercerita, maka
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Itu adalah hukuman atas dosamu.” Lalu beliau
membaca ayat: “Katakanlah kepada mukmin laki-laki, hendaknya tundukanlah pandangan
mereka.”[21]

Riwayat-riwayat ini dan yang semisalnya, menunjukkan bahwa kebiasaan wanita pada zaman
itu adalah tidak menutup wajahnya. Sebab, jika mereka menutup seluruh tubuhnya termasuk
wajah dan telapak tangannya, tidak akan ada perintah menundukkan pandangan kepada kaum
laki-laki mukmin sebab hal itu menjadi tidak relevan. Jika wanita menutup seluruh tubuh serta
wajahnya, maka tidak akan ada seorang laki-laki yang saling pandang terhadap wanita hingga
dia terbentur wajahnya. Intinya, apakah ada laki-laki bersyahwat, atau lahir rasa tertarik,
dengan wanita yang lewat yang berpakaian serba hitam dari atas hingga ke bawah tanpa celah
sedikit pun, hingga akhirnya mereka diperintah menundukkan pandangan? Menunduk dari
apakah? Akhirnya, kenapa harus menundukan pandangan, bukankah wanita tersebut sudah
tertutup semua dari ujung kaki ke ujung rambut, depan, belakang, atas, dan bawah? Maka,
mustahil syariat memintahkan sesuatu yang tidak ada ‘sebab’ atau latar belakangnya. Kami kira
berbagai keterangan ini sudah sangat jelas bahwa, menutup wajah bukanlah kewajiban bagi
seorang wanita muslimah.

3. Hadits-Hadits yang Menunjukkan Kekaguman Terhadap Wanita

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, aku dengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:

“Apabila diantara kamu tertarik dengan wanita, hingga terkesan di hatinya, maka datangilah
isterinya dan bergaulah dengannya, sebab yang demikian itu akan menolak gangguan yang ada
di dalam jiwanya.”[22]

Jabir bin Abdullah pun meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melihat
seorang wanita, lalu dia mendatangi Zainab yang saat itu sedang menyamak kulit, maka dia
penuhi keinginannya terhadap Zainab.[23]

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa wajah wanita tidaklah tertutup. Dari manakah lahirnya
ketertarikan awal laki-laki kepada wanita? Sebab apakah syahwat laki-laki kepada
wanita? apakah Rasulullah lahir keinginan terhadap wanita hingga akhirnya dia memenuhi
hajatnya kepada Zainab? Sungguh, kaum laki-laki tertarik kepada wanita bukan karena jempol
kakinya!

4. Hadits Tentang Anggota Wajah Yang Sujud


Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Aku
diperintahkan sujud di atas tujuh tulang: di atas jidat, dan beliau mengisyaratkan dengan
tangan kanan beliau ke hidung, dua tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua telapak kaki.”[24]

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah memberikan keterangan sebagai berikut:

‫ وَذَھَﺐَ اﻟْﺠُﻤْﮭُﻮر إِﻟَﻰ أَﻧَّﮫُ ﯾُﺠْﺰِئُ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﺠَﺒْﮭَﺔ‬، ‫وَﻧَﻘَﻞَ اِﺑْﻦ اﻟْﻤُﻨْﺬِرِ إِﺟْﻤَﺎع اﻟﺼَّﺤَﺎﺑَﺔ ﻋَﻠَﻰ أَﻧَّﮫُ ﻟَﺎ ﯾُﺠْﺰِئ اﻟﺴُّﺠُﻮد ﻋَﻠَﻰ اﻟْﺄَﻧْﻒ وَﺣْﺪه‬
‫ وَﻋَﻦْ اﻟْﺄَوْزَاﻋِﻲِّ وَأَﺣْﻤَﺪ وَإِﺳْﺤَﺎق وَاﺑْﻦ ﺣَﺒِﯿﺐ ﻣِﻦْ اﻟْﻤَﺎﻟِﻜِﯿَّﺔ وَﻏَﯿْﺮھﻢْ ﯾَﺠِﺐ أَنْ ﯾَﺠْﻤَﻌﮭُﻤَﺎ وَھُﻮَ ﻗَﻮْلٌ ﻟِﻠﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ أَﯾْﻀًﺎ‬، ‫وَﺣْﺪھَﺎ‬

“Dikutip dari Ibnul Mundzir adanya ijma’ (kesepakatan) sahabat nabi bahwa menempelkan
hidung saja tidaklah cukup ketika sujud. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat
bahwa menempelkan jidat saja sudah cukup. Sedangkan dari Al Auza’i, Ahmad, Ishaq, Ibnu
Habib dari kalangan Malikiyah dan selain mereka mewajibkan menggabungkan antara jidat dan
hidung. Ini juga pendapat Asy Syafi’i.”[25]

Maka, menurut hadits ini wajah harus terbuka. Bagaimana bisa orang menempelkan jidat dan
hidungnya jika wajah tertutup? Padahal shalat adalah keadaan yang lebih layak bagi aurat
untuk ditutup. Maka, ketika jidat dan hidung disyariatkan harus menempel, maka itu
membuktikan bahwa dia bukan aurat, jika wajah aurat, tidak mungkin diperintahkan untuk
dibuka ketika shalat.

Memang ada ulama zaman ini yang tetap mewajibkan wanita menutup wajahnya ketika shalat
jika ada kaum laki-laki sebab khawatir mengundang fitnah. Namun, pendapat ini menyelisihi
nash (teks) hadits di atas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

َ‫وَأَﻣَّﺎ ﺳَﺘْﺮُ ذَﻟِﻚَ ﻓِﻲ اﻟﺼَّﻠَﺎةِ ﻓَﻠَﺎ ﯾَﺠِﺐُ ﺑِﺎﺗِّﻔَﺎقِ اﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﯿﻦَ ﺑَﻞْ ﯾَﺠُﻮزُ ﻟَﮭَﺎ إﺑْﺪَاؤُ ُھﻤَﺎ ﻓِﻲ اﻟﺼَّﻠَﺎةِ ﻋِﻨْﺪَ ﺟُﻤْﮭُﻮرِ اﻟْﻌُﻠَﻤَﺎءِ ﻛَﺄَﺑِﻲ ﺣَﻨِﯿﻔَﺔ‬
‫وَاﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ وَﻏَﯿْﺮِھِﻤَﺎ وَھُﻮَ إﺣْﺪَى اﻟﺮِّوَاﯾَﺘَﯿْﻦِ ﻋَﻦْ أَﺣْﻤَﺪ‬

“Ada pun menutup wajah dalam shalat tidaklah wajib dengan kesepakatan kaum muslimin,
bahkan boleh bagi wanita menampakkan wajah dan kedua telapak tangan dalam shalat
menurut jumhur ulama, seperti Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan lainnya, serta satu riwayat dari
Ahmad.”[26]

Imam Al Bahuti Rahimahullah berkata:


. ِ‫ﻟَﺎ ﺧِﻠَﺎفَ ﻓِﻲ اﻟْﻤَﺬْھَﺐِ أَﻧَّﮫُ ﯾَﺠُﻮزُ ﻟِﻠْﻤَﺮْأَةِ اﻟْﺤُﺮَّةِ ﻛَﺸْﻒُ وَﺟْﮭِﮭَﺎ ﻓِﻲ اﻟﺼَّﻠَﺎةِ ذَﻛَﺮَهُ ﻓِﻲ اﻟْﻤُﻐْﻨِﻲ وَﻏَﯿْﺮِه‬

“Tidak ada perbedaan pendapat dalam madzhab (Hambali), bahwa boleh bagi wanita merdeka
membuka wajahnya dalam shalat, sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni dan lainnya.”[27]
Sementara Imam An Nawawi mengatakan, jika membuka wajah itu wajib, maka itu musykil,
maka untuk kehati-hatian lebih baik memang wajah dan telapak tangan dibuka, paling tidak
salah satunya.[28] Sementara ulama lain mengatakan makruh bagi wanita menutup wajahnya
ketika shalat, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid dan Ibnu Qudamah
dalam Asy Syarh Al Kabir.

5. Hadits Larangan Menutup Wajah Bagi Wanita Ketika Ihram

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ُ‫وَﻟَﺎ ﺗَﻨْﺘَﻘِﺐْ اﻟْﻤَﺮْأَةُ اﻟْﻤُﺤْﺮِﻣَﺔ‬

“Wanita yang berihram janganlah memakai cadar.”[29]

Berkata Imam Ibnul Mundzir Rahimahullah:

َ‫ وَﻟَﮭَﺎ أَنْ ﺗُﻐَﻄِّﻲَ رَأْﺳﮭَﺎ ﻟَﺎ وَﺟْﮭﮫ‬، ‫أَﺟْﻤَﻌُﻮا ﻋَﻠَﻰ أَنَّ اﻟْﻤَﺮْأَة ﺗَﻠْﺒَﺲ اﻟْﻤَﺨِﯿﻂ وَاﻟْﺨِﻔَﺎف‬

“Mereka telah ijma’ (sepakat) bahwa bagi wanita memakai pakaian berjahit, khuf (sepatu yang
ringan), dan baginya menutup kepalanya bukan wajahnya.”[30]

Berkata Imam Ibnu Hajar Rahimahullah:

َ‫وَﻣَﻌْﻨَﻰ ﻗَﻮْﻟﮫ " وَﻟَﺎ ﺗَﻨْﺘَﻘِﺐ " أَيْ ﻟَﺎ ﺗَﺴْﺘُﺮ وَﺟْﮭﮭَﺎ ﻛَﻤَﺎ ﺗَﻘَﺪَّم‬

“Makna dari sabdanya: “jangan bercadar” yaitu jangan menutup wajahnya, sebagaimana
penjelasan terdahulu.”[31]

Sebagaimana shalat, ihram adalah kondisi lebih tepat untuk menutup aurat, ternyata justru
dilarang menutup wajah. Ini membuktikan wajah bukanlah aurat.

Bahkan Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

‫وﻻﻧﮫ ﯾﺤﺮم ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺤﺮﻣﺔ ﺳﺘﺮھﻤﺎ ﺑﺎﻟﻘﻔﺎزﯾﻦ ﻛﻤﺎ ﯾﺤﺮم ﺳﺘﺮ اﻟﻮﺟﮫ ﺑﺎﻟﻨﻘﺎب‬
“Karena sesungguhnya diharamkan bagi wanita yang sedang ihram menutup kedua telapak
tangannya dengan sarung tangan, sebagaimana diharamkan menutup wajah dengan
cadar.”[32]
Sementara dalam kitabnya yang lain, beliau berkata:

‫ﻓَﺄَﺟْﻤَﻊَ أَﻛْﺜَﺮُھُﻢْ ﻋَﻠَﻰ أَنَّ ﻟَﮭَﺎ أَنْ ﺗُﺼَﻠِّﻲَ ﻣَﻜْﺸُﻮﻓَﺔَ اﻟْﻮَﺟْ ِﮫ‬
“Maka, kebanyakan ulama telah sepakat bahwa bagi kaum wanita shalatnya dengan membuka
wajah.”[33]

6. Hadits Perintah Melihat Wanita Yang Akan Dipinang

Abu Hurairah menceritakan, ketika bersama dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ada
seorang laki-laki datang dan mengatakan akan menikahi wanita Anshar, nabi menanyakan
apakah laki-laki sudah melihat wanita itu?, laki-laki itu menjawab: “Belum.” Maka,
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Pergilah, dan lihatlah, karena pada mata orang Anshar terdapat sesuatu.”[34]

Imam Muslim meletakkan hadits ini dalam Bab An Nadb An Nazhar ilal Wajhil Mar’ah wa
Kaffaiha Liman Turidu Tazawwujaha (Bab Anjuran Melihat Wajah Wanita dan Kedua Telapak
Tangannya Bagi Yang Hendak Menikahinya). Nah, perintah melihat wajah wanita yang akan
dinikahi menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, sebab sangat mustahil Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memerintahkan sahabatnya untuk sengaja melihat aurat. Jika benar wajah
adalah aurat, maka aurat tetaplah aurat, tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing kapan
pun, kecuali untuk keperluan darurat.

Selain itu, perintah melihat wajah ini juga menjadi tidak bermanfaat, jika ternyata si wanita
menutup wajahnya, apanya yang dilihat? Hal ini juga menunjukkan bahwa membuka wajah
merupakan kebiasaan pada saat itu. Dan, jika wajah ditutup, bagaimana bisa seorang laki-laki
mengenal yang mana wanita yang akan dinikahinya?

Bahkan, jika wajah ditutup, dari mana seseorang mengetahui identitas tetangganya?
Bagaimana Rasulullah mengetahui wanita ini adalah si anu? Banyak riwayat menyebutkan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berbicara dengan kaum wanita yang sudah
dikenalnya, dan bukan mahramnya, seperti Ummu Hani’ (anak Abu Thalib, statusnya adalah
sepupu dan bukan mahram), Dhiba’ah binti Zubeir bin Abdul Muthalib (anak paman dari pihak
ayah, statusnya sepupu dan bukan mahram), Asma’ bin Umais (isteri dari sepupu, statusnya
bukan mahram), Halah bnti Khuwaild (ipar beliau, statusnya bukan mahram). Ini semua
diriwayatkan dalam hadits-hadits shahih.

Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan:

‫وﻻ ﺧﻼف ﺑﯿﻦ أھﻞ اﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ اﺑﺎﺣﺔ اﻟﻨﻈﺮ إﻟﻰ وﺟﮭﮭﺎ ﻻﻧﮫ ﻟﯿﺲ ﺑﻌﻮرة وھﻮ ﻣﺠﻤﻊ اﻟﻤﺤﺎﺳﻦ وﻣﻮﺿﻊ اﻟﻨﻈﺮ وﻻ ﯾﺒﺎح ﻟﮫ اﻟﻨﻈﺮ‬
‫إﻟﻰ ﻣﺎ ﯾﻈﮭﺮ ﻋﺎدة وﺣﻜﻲ ﻋﻦ اﻻوزاﻋﻲ أﻧﮫ ﯾﻨﻈﺮ إﻟﻰ ﻣﻮاﺿﻊ اﻟﻠﺤﻢ وﻋﻦ داود أﻧﮫ ﯾﻨﻈﺮ إﻟﻰ ﺟﻤﯿﻌﮭﺎ ﻟﻈﺎھﺮ ﻗﻮﻟﮫ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺴﻼم‬
‫" اﻧﻈﺮ إﻟﯿﮭﺎ " وﻟﻨﺎ ﻗﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ )وﻻ ﯾﺒﺪﯾﻦ زﯾﻨﺘﮭﻦ اﻻ ﻣﺎ ﻇﮭﺮ ﻣﻨﮭﺎ( روى ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس أﻧﮫ ﻗﺎل ھﻮ اﻟﻮﺟﮫ وﺑﺎﻃﻦ اﻟﻜﻒ‬
‫وﻻن اﻟﻨﻈﺮ أﺑﯿﺢ ﻟﻠﺤﺎﺟﺔ ﻓﯿﺨﺘﺺ ﺑﻤﺎ ﺗﺪﻋﻮا اﻟﺤﺎﺟﺔ إﻟﯿﮫ‬

“Tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama tentang kebolehan melihat wajah wanita
(yang dilamar) karena itu bukan termasuk aurat, dan wajah merupakan tempat berkumpulnya
keindahan dan tempat bagi pandangan, dan tidak dibolehkan melihat bagian yang tidak biasa
tampak. Diceritakan dari Al Auza’i bahwa melihat itu adalah pada bagian isinya. Dari Daud Azh
Zhahiri bahwa melihat itu pada seluruh tubuhnya, sesuai zhahir hadits: “lihatlah
kepadanya.” Dan pendapat kami adalah firmanNya, “Jangan mereka menampakkan
perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa itu
adalah wajah dan bagian dalam telapak tangan, karena melihat dibolehkan karena adanya
kebutuhan, maka dikhususkan hal ini karena adanya kebutuhan untuk memandangnya.”[35]

7. Hadits-hadits Tentang Kebiasaan Membuka Wajah Bagi Para Wanita pada Zaman Nabi,
walau ayat Hijab untuk Para Isteri Nabi sudah turun

Ayat yang memerintahkan agar isteri-isteri nabi menggunakan hijab (penghalang) ketika
berbicara dengan laki-laki lain sudah diturunkan. Namun, kenyataannya para wanita lain tetap
membuka wajahnya. Ini menunjukkan menutup wajah adalah kekhususan bagi isteri-isteri
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berikut ini adalah bukti-buktinya.

- Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu berkata, ketika hari ‘Id Rasulullah mendatangi
jamaah kaum wanita dan menasehati mereka agar banyak sedekah, karena kebanyakan mereka
menjadi bahan bakar neraka. Maka berdirilah seorang wanita yang pipinya kemerah-merahan,
lalu bertanya: “Kenapa Ya Rasulullah?”, Nabi menjawab: karena kalian banyak mengeluh dan
mengkufuri pergaulan dari suami.”[36]

Inilah riwayat yang sangat jelas dan terang, tak mungkin diingkari kecuali, bahwa wajah wanita
tersebut jelas terbuka. Tahu dari mana bahwa wanita itu pipinya kemerah-merahan?
- Zaid bin Aslam, dari ayahnya dia berkata: “Saya pernah keluar bersama Umar bin Al
Khathab ke pasar, maka seorang wanita muda menemui Umar lalu berkata: ...dst.”[37]

Kisah ini juga menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak menutup wajah. Sebab jika ditutup,
maka tidak akan diketahui, apakah wanita muda atau tua.

- Kisah tenar, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, menceritakan tentang Al Fadhl bin
Abbas yang berboncengan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan Al Fadhl bin
Abbas adalah seorang pemuda yang tampan. Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam mendatangi kumpulan manusia untuk memberikan fatwa, lalu datanglah seorang
wanita Khats’amiyah yang berparas cantik, dan mereka berdua saling berpandangan, lalu
Rasulullah memegang dagu Al Fadhl dan memalingkan wajahnya dari wanita itu.[38]

Kisah ini juga menunjukkan bahwa wanita tersebut terbuka wajahnya, jika tertutup maka tidak
akan ada saling memandang antara mereka berdua. Ini juga menunjukkan bahwa wajah wanita
itu bukan aurat, jika itu aurat maka pastilah Rasulullah langsung akan memerintahkan
menutupnya, bukan sekadar memalingkan wajah Al Fadhl bin Abbas.

Imam Ibnu Hajar mengutip dari Imam Ibnu Baththal sebagai berikut:

‫ وَﻣُﻘْﺘَﻀَﺎهُ أَﻧَّﮫُ إِذَا أُﻣِﻨَﺖْ اﻟْﻔِﺘْﻨَﺔ ﻟَﻢْ ﯾَﻤْﺘَﻨِﻊ‬، ‫ ﻓِﻲ اﻟْﺤَﺪِﯾﺚ اﻟْﺄَﻣْﺮ ﺑِﻐَﺾِّ اﻟْﺒَﺼَﺮ ﺧَﺸْﯿَﺔ اﻟْﻔِﺘْﻨَﺔ‬: ‫ﻗَﺎلَ اِﺑْﻦ ﺑَﻄَّﺎل‬

“Dalam hadits ini terdapat petunjuk perintah untuk menundukkan pandangan karena
dikhawatirkan fitnah dan segala akibatnya, tapi jika aman dari fitnah maka tidak dilarang
memandang.”

Lalu beliau melanjutkan:

‫ إِذْ ﻟَﻮْ ﻟَﺰِمَ ذَﻟِﻚَ ﺟَﻤِﯿﻊ‬، َ‫وَﻓِﯿﮫِ دَﻟِﯿﻞ ﻋَﻠَﻰ أَنَّ ﻧِﺴَﺎء اﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﯿﻦَ ﻟَﯿْﺲَ ﻋَﻠَﯿْﮭِﻦَّ ﻣِﻦْ اﻟْﺤِﺠَﺎب ﻣَﺎ ﯾَﻠْﺰَم أَزْوَاج اﻟﻨَّﺒِﻲّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﮫ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠَّﻢ‬
‫ وَﻓِﯿﮫِ دَﻟِﯿﻞ ﻋَﻠَﻰ أَنَّ ﺳَﺘْﺮ اﻟْﻤَﺮْأَة‬: َ‫ ﻗَﺎل‬، ‫اﻟﻨِّﺴَﺎء ﻟَﺄَﻣَﺮَ اﻟﻨَّﺒِﻲّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﮫ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠَّﻢَ اﻟْﺨَﺜْﻌَﻤِﯿَّﺔ ﺑِﺎﻟِﺎﺳْﺘِﺘَﺎرِ وَﻟَﻤَﺎ ﺻَﺮَفَ وَﺟْﮫ اﻟْﻔَﻀْﻞ‬
‫وَﺟْﮭﮭَﺎ ﻟَﯿْﺲَ ﻓَﺮْﺿًﺎ ﻟِﺈِﺟْﻤَﺎﻋِﮭِﻢْ ﻋَﻠَﻰ أَنَّ ﻟِﻠْﻤَﺮْأَةِ أَنْ ﺗُﺒْﺪِي وَﺟْﮭﮭَﺎ ﻓِﻲ اﻟﺼَّﻠَﺎة وَﻟَﻮْ رَآهُ اﻟْﻐُﺮَﺑَﺎء‬

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa bagi wanita mukmin tidaklah diwajibkan berhijab
(wajahnya) sebagaimana lazimnya isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seandainya itu
lazim bagi semua wanita, niscaya Nabi akan memerintahkan wanita Khats’amiyah itu untuk
menutup wajahnya, tidak perlu memalingkan wajah Al Fadhl. Ini juga dalil bahwa bagi wanita,
menutup wajah tidaklah wajib, karena menurut kesepakatan mereka (para ulama) bahwa
wanita harus menampakkan wajahnya ketika shalat, walau dilihat oleh orang asing.”[39]
- Atha bin Rabah berkata, Ibnu Abbas berkata kepadaku: “Maukah aku tunjukkan seorang
wanita calon penghuni surga? “ Saya jawab: “Tentu.” Dia berkata: “Wanita yang hitam inilah
....”[40]

Riwayat ini, dan riwayat lain yang menceritakan sifat wanita; cantik, putih, hitam, atau
kemerahan, menunjukkan bahwa hal yang biasa mereka menampakkan wajahnya. Walau,
memang ada riwayat shahih pula yang menunjukkan tentang wanita yang memakai cadar,
tetapi itu jumlahnya sedikit dan tidak lazim.

Masih banyak lagi riwayat yang senada dengan ini, tetapi kami kira dalil-dalil Al Quran dan As
Sunnah ini sudah lebih dari cukup menunjukkan bahwa wajah wanita bukan aurat, dan tidak
wajib bercadar.

Pandangan Para Imam Ahlus Sunnah

Berikut adalah pandangan para fuqaha dari madzhab terkenal umat Islam, khususnya Ahlus
Sunnah wal Jamaah.

1. Madzhab Hanafiyah

Imam As Sarkhasi mengatakan dalam Al Mabsuth, tentang Ihram-nya wanita:

‫ﻓﻠﮭﺬا ﺗﻠﺒﺲ اﻟﻤﺨﯿﻂ واﻟﺨﻔﯿﻦ وﺗﻐﻄﻲ رأﺳﮭﺎ وﻻ ﺗﻐﻄﻲ وﺟﮭﮭﺎ ﻷن اﻟﺮأس ﻣﻨﮭﺎ ﻋﻮر‬

Oleh karena itu, hendaknya memakai pakaian berjahit, khuf (alas kaki yang sampai menutupi
mata kaki), menutup kepalanya, tidak menutup wajahnya, sebab kepala wanita adalah
aurat.[41]

Imam Kamaluddin bin Al Hummam berkata dalam Fathul Qadir-nya:

ُ‫أَيْ إﺣْﺮَاﻣُﮫُ ﻓِﻲ رَأْﺳِﮫِ ﻓَﯿَﻜْﺸِﻔُﮫُ وَإِﺣْﺮَاﻣُﮭَﺎ ﻓِﻲ وَﺟْﮭِﮭَﺎ ﻓَﺘَﻜْﺸِﻔُﮫ‬

“Yaitu ihram-nya laki-laki adalah pada kepalanya maka ia harus membukanya, dan ihramnya
wanita adalah pada wajahnya, maka dia harus membukannya.”[42]

Dia juga mengatakan:


ِ‫وَﺑَﺪَنُ اﻟْﺤُﺮَّةِ ﻛُﻠِّﮭَﺎ ﻋَﻮْرَ ٌة إﻟَّﺎ وَﺟْﮭَﮭَﺎ وَﻛَﻔَّﯿْﮭَﺎ ﻟِﻘَﻮْﻟِﮫِ ﻋَﻠَﯿْﮫِ اﻟﺼَّﻠَﺎةُ وَاﻟﺴَّﻠَﺎمُ } اﻟْﻤَﺮْأَةُ ﻋَﻮْرَةٌ ﻣَﺴْﺘُﻮرَةٌ { وَاﺳْﺘِﺜْﻨَﺎءُ اﻟْ ُﻌﻀْﻮَﯾْﻦِ ﻟِﻠِﺎﺑْﺘِﺪَاء‬
. ‫ﺑِﺈِﺑْﺪَاﺋِﮭِﻤَﺎ‬

“Tubuh wanita merdeka semuanya adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangannya,
sesuai hadits: “Wanita adalah aurat yang tertutup” dikecualikan dua anggota badan itu sebagai
ujian dengan menampakkannya.”[43]

Bahkan Beliau mengatakan bahwa tumit hingga telapak kaki bukanlah aurat, katanya:

ُّ‫وَﯾُﺮْوَى أَﻧَّﮭَﺎ ﻟَﯿْﺴَﺖْ ﺑِﻌَﻮْرَةٍ وَھُﻮَ اﻟْﺄَﺻَﺢ‬

“Diriwayatkan bahwa telapak kaki bukanlah aurat, dan itulah yang lebih benar.”[44]

Imam Abu Hanifah berpendapat bagian tumit ke bawah dari kaki wanita bukanlah aurat dan
boleh terlihat, agar mereka tidak mengalami kesulitan dalam berinteraksi sosial, seperti jual
beli. Bahkan pendapat ini didukung oleh Imam Ibnu Taimiyah. Beliau berkata:

‫ وھﻮ اﻷﻗﻮي‬،‫ﻓﻜﺬﻟﻚ اﻟﻘﺪم ﯾﺠﻮز إﺑﺪاؤه ﻋﻨﺪ أﺑﻲ ﺣﻨﯿﻔﺔ‬

“Demikian pula dengan tumit, boleh ditampakkan menurut Abu Hanifah, dan itu pendapat yang
lebih kuat.”[45]

Demikianlah Pendapat fuqaha madzhab Hanafiyah.

2. Madzhab Malikiyah

Imam Abui Walid Sulaiman bin Khalaf Al Baji mengatakan dalam Syarah Al Muwaththa’:

ِ‫وَذَﻟِﻚَ أَنَّ ﺟَﻤِﯿﻊَ ﺑَﺪَنِ اﻟْﻤَﺮْأَةِ ﻋَﻮْرَ ٌة إِﻟَّﺎ اﻟْﻮَﺟْﮫَ وَاﻟْﻜَﻔَّﯿْﻦ‬

“Dan, yang demikian itu, sesungguhnya tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua
telapak tangan.”[46]

Dalam Bidayatul Mujtahid disebutkan oleh Imam Ibnu Rusyd:

‫ وذھﺐ أﺑﻮ ﺣﻨﯿﻔﺔ إﻟﻰ أن ﻗﺪﻣﮭﺎ‬.‫ واﻟﻜﻔﯿﻦ‬،‫ ﻣﺎ ﺧﻼ اﻟﻮﺟﮫ‬،‫ ﻓﺄﻛﺜﺮ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻋﻠﻰ أن ﺑﺪﻧﮭﺎ ﻛﻠﮫ ﻋﻮرة‬،‫وھﻲ ﺣﺪ اﻟﻌﻮرة ﻣﻦ اﻟﻤﺮأة‬
.‫ﻟﯿﺴﺖ ﺑﻌﻮرة‬
“Itu adalah batasan aurat bagi wanita, maka mayoritas ulama menyatakan bahwa seluruh
badannya adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangan. Sedangkan menurut Abu
Hanifah tumitnya bukan aurat.”[47]

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah berkata:

ٌ‫ وَأَﻣَّﺎ اﻟﻨَّﻈَﺮُ ﻟِﻠﺸَّﮭْﻮَةِ ﻓَﺤَﺮَام‬، ٍ‫وَﺟْﮫُ اﻟْﻤَﺮْأَةِ وَﻛَﻔَّﺎھَﺎ ﻏَﯿْﺮُ ﻋَﻮْرَةٍ وَﺟَﺎﺋِ ٌﺰ أَنْ ﯾَﻨْﻈُﺮَ ذَﻟِﻚَ ﻣِﻨْﮭَﺎ ﻛُﻞُّ ﻣَﻦْ ﻧَﻈَﺮَ إﻟَﯿْﮭَﺎ ﺑِﻐَﯿْﺮِ رِﯾﺒَﺔٍ وَﻟَﺎ ﻣَﻜْﺮُوه‬
‫ﻦ ﻓَﻮْقِ ﺛِﯿَﺎﺑِﮭَﺎ ﻓَﻜَﯿْﻒَ ﺑِﺎﻟﻨَّﻈَﺮِ إﻟَﻰ وَﺟْﮭِﮭَﺎ ؟‬ ْ ِ‫وَﻟَﻮْ ﻣ‬

“Wajah wanita dan dua telapak tangannya bukanlah aurat, dan boleh melihatnya, jika tiap kali
melihatnya tanpa ada kebimbangan, dan itu tidak dimakruhkan. Ada pun melihat dengan
syahwat, maka haram walau hanya melihat pakaian luarnya, maka apalagi melihat
wajahnya?”[48]

Imam Al Haththab berkata, dalam Mawahib Al Jalil :

ِ‫وَذَﻟِﻚَ اﻟْﻮَﺟْﮫُ وَاﻟْﻜَﻔَّﺎنِ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻗَﺎﻟَﮫُ أَھْﻞُ اﻟﺘَّﺄْوِﯾﻞِ ﻓَﺠَﺎﺋِﺰٌ ﻟِﻠﺮَّﺟُﻞِ أَنْ ﯾَﻨْﻈُﺮَ إﻟَﻰ ذَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ اﻟْﻤَﺮْأَةِ ﻋِﻨْﺪَ اﻟْﺤَﺎﺟَﺔِ وَاﻟﻀَّﺮُورَة‬

“Demikian pula wajah dan dua telapak tangan, seperti apa yang dikatakan ahli takwil, bahwa
dibolehkan bagi laki-laki memandangnya ketika ada keperluan dan darurat.”[49]
Imam Al Kharrasyi berkata dalam Syarh Mukhtashar Khalil:

‫وَاﻟْﻤَﻌْﻨَﻰ أَنَّ ﻋَﻮْرَةَ اﻟْﺤُﺮَّةِ ﻣَﻊَ اﻟﺮَّﺟُﻞِ اﻟْﺄَﺟْﻨَﺒِﻲِّ ﺟَﻤِﯿﻊُ ﺑَﺪَﻧِﮭَﺎ ﺣَﺘَّﻰ دَﻟَﺎﻟِﯿّﮭَﺎ وَﻗُﺼَّﺘُﮭَﺎ ﻣَﺎ ﻋَﺪَا اﻟْﻮَﺟْﮫَ وَاﻟْﻜَﻔَّﯿْﻦِ ﻇَﺎھِﺮَھُﻤَﺎ وَﺑَﺎﻃِﻨَﮭُﻤَﺎ‬
ْ‫ﻓَﯿَﺠُﻮزُ اﻟﻨَّﻈَﺮُ ﻟَﮭُﻤَﺎ ﺑِﻠَﺎ ﻟَﺬَّةٍ وَﻟَﺎ ﺧَﺸْﯿَﺔِ ﻓِﺘْﻨَﺔٍ ﻣِﻦْ ﻏَﯿْﺮِ ﻋُﺬْرٍ وَﻟَﻮْ ﺷَﺎﺑَّﺔً وَﻗَﺎلَ ﻣَﺎﻟِﻚٌ ﺗَﺄْﻛُﻞُ اﻟْﻤَﺮْأَةُ ﻣَﻊَ ﻏَﯿْﺮِ ذِي ﻣَﺤْﺮَمٍ وَﻣَﻊَ ﻏُﻠَﺎﻣِﮭَﺎ وَﻗَﺪ‬
‫ﺗَﺄْﻛُﻞُ ﻣَﻊَ زَوْﺟِﮭَﺎ وَﻏَﯿْﺮِه‬

“Maknanya adalah bahwa aurat wanita merdeka di depan laki-laki asing adalah adalah seluruh
tubuhnya, kecuali wajah dan dua telapak tangan, baik bagian luar atau dalam. Maka, boleh
melihatnya tanpa berlezat-lezat, dan tidak dikhawatiri lahirnya fitnah, boleh tanpa ada udzur
walau pun masih muda. Imam Malik berkata: Wanita boleh makan bersama orang lain tanpa
mahramnya namun ditemani oleh anaknya, dan dia makan bersama suaminya dan orang
lain.”[50]

Imam Muhammad bin Ahmad ‘Alisy Al Maliki berkata dalam Manahal Jalil Syarh
Mukhtashar Khalil:

ٍ‫ﻓَﺎﻟْﻮَﺟْﮫُ وَاﻟْﻜَﻔَّﺎنِ ﻟَﯿْﺴَﺎ ﻋَﻮْرَةً ﻓَﯿَﺠُﻮزُ ﻟَﮭَﺎ ﻛَﺸْﻔُﮭُﻤَﺎ ﻟِﻠْﺄَﺟْﻨَﺒِﻲِّ وَﻟَﮫُ ﻧَﻈَﺮُھُﻤَﺎ إنْ ﻟَﻢْ ُﺗﺨْﺶَ اﻟْﻔِﺘْﻨَﺔُ ﻓَﺈِنْ ﺧِﯿﻔَﺖْ اﻟْﻔِﺘْﻨَﺔُ ﺑِﮫِ ﻓَﻘَﺎلَ اﺑْﻦُ ﻣَﺮْزُوق‬
ِ‫ﻣَﺸْﮭُﻮرُ اﻟْﻤَﺬْھَﺐِ وُﺟُﻮبُ ﺳَﺘْﺮِھِﻤَﺎ وَﻗَﺎلَ ﻋِﯿَﺎضٌ ﻟَﺎ ﯾَﺠِﺐُ ﺳَﺘْﺮُھُﻤَﺎ وَﯾَﺠِﺐُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ ﻏَﺾُّ ﺑَﺼَﺮِه‬
“Maka, wajah dan dua telapak tangan bukanlah aurat, boleh keduanya dibuka didepan laki-
laki ajnabi (asing), dan dia melihat keduanya jika tidak khawatir timbul fitnah. Jika takut lahirnya
fitnah, maka Ibnu Marzuq berkata –ini merupakan pendapat terkenal dalam madzhab (Malik)-
wajib baginya menutup keduanya. Berkata ‘Iyadh: Tidak wajib menutupnya, tetapi wajib bagi si
laki-laki menundukkan pandangannya.”[51]

Demikianlah pendapat fuqaha madzhab Malikiyah.

3. Madzhab Asy Syafi’iyah

Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu berkata:

‫وﻋﻠﻰ اﻟﻤﺮاة ان ﺗﻐﻄﻲ ﻓﻲ اﻟﺼﻼة ﻛﻞ ﺑﺪﺗﮭﺎ ﻣﺎ ﻋﺪا ﻛﻔﮭﺎ ووﺟﮭﮭﺎ‬

“Dan wajib bag wanita menutup seluruh tubuhnya dalam shalat, kecuali telapak tangan wajah
wajahnya.”

Lalu beliau berkata lagi:

‫وأﻧﮫ ﯾﺠﺰي اﻟﺮﺟﻞ واﻟﻤﺮأة ﻛﻞ واﺣﺪ أن ﯾﺼﻠﻰ ﻣﺘﻮارى اﻟﻌﻮرة وﻋﻮرة اﻟﺮﺟﻞ ﻣﺎ وﺻﻔﺖ وﻛﻞ اﻟﻤﺮأة ﻋﻮرة إﻻ ﻛﻔﯿﮭﺎ ووﺟﮭﮭﺎ‬

“Cukuplah bagi masing-masing laki-laki dan wanita melaksanakan shalat dengan menutup
auratnya. Aurat bagi laki-laki seperti yang sudah saya jelaskan. Wanita semua bagian tubuhnya
adalah aurat kecuali telapak tangan dan wajahnya.”[52]
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan dalam Raudhatuth Thalibin sebagai berikut:

‫ﻧﻈﺮ اﻟﺮﺟﻞ إﻟﻰ اﻟﻤﺮأة ﻓﯿﺤﺮم ﻧﻈﺮه إﻟﻰ ﻋﻮرﺗﮭﺎ ﻣﻄﻠﻘﺎ وإﻟﻰ وﺟﮭﮭﺎ وﻛﻔﯿﮭﺎ إن ﺧﺎف ﻓﺘﻨﺔ وإن ﻟﻢ ﯾﺨﻒ ﻓﻮﺟﮭﺎن ﻗﺎل أﻛﺜﺮ‬
‫اﻷﺻﺤﺎب ﻻ ﺳﯿﻤﺎ اﻟﻤﺘﻘﺪﻣﻮن ﻻ ﯾﺤﺮم ﻟﻘﻮل اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ وﻻ ﯾﺒﺪﯾﻦ زﯾﻨﺘﮭﻦ إﻻ ﻣﺎ ﻇﮭﺮ ﻣﻨﮭﺎ وھﻮ ﻣﻔﺴﺮ ﺑﺎﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﯿﻦ ﻟﻜﻦ‬
‫ﯾﻜﺮه ﻗﺎﻟﮫ اﻟﺸﯿﺦ أﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ وﻏﯿﺮه‬

“Laki-laki melihat wanita, maka diharamkan melihat auratnya secara mutlak dan juga melihat
ke wajah dan dua telapak tangannya jika khawatir mengundang fitnah. Jika tidak khawatir
mengundang fitnah, maka ada dua pendapat, kebanyakan para sahabat kami apalagi generasi
terdahulu mengatakan tidaklah haram, sesuai firman Allah Ta’ala, “Kecuali yang biasa nampak
darinya,” yang ditafsirkan sebagai wajah dan dua telapak tangan, tetapi Abu Hamid (Al Ghazali)
dan lainnya memakruhkan.”[53]

Dalam kitabnya yang lain, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Imam An Nawawi mengatakan:
‫وأﻣﺎ اﻟﺤﺮة ﻓﺠﻤﯿﻊ ﺑﺪﻧﮭﺎ ﻋﻮرة اﻻ اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﯿﻦ ﻟﻘﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎﻟﻲ )وﻻ ﯾﺒﺪﯾﻦ زﯾﻨﺘﮭﻦ اﻻ ﻣﺎ ﻇﮭﺮ ﻣﻨﮭﺎ( ﻗﺎل اﺑﻦ ﻋﺒﺎس وﺟﮭﮭﺎ‬
‫وﻛﻔﯿﮭﺎ وﻻن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ " ﻧﮭﻲ اﻟﻤﺮأة اﻟﺤﺮام ﻋﻦ ﻟﺒﺲ اﻟﻘﻔﺎزﯾﻦ واﻟﻨﻘﺎب " وﻟﻮ ﻛﺎن اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻒ ﻋﻮرة ﻟﻤﺎ‬
‫ﺣﺮم ﺳﺘﺮھﻤﺎ وﻻن اﻟﺤﺎﺟﺔ ﺗﺪﻋﻮ اﻟﻲ اﺑﺮاز اﻟﻮﺟﮫ ﻟﻠﺒﯿﻊ واﻟﺸﺮاء واﻟﻲ إﺑﺮاز اﻟﻜﻠﻒ ﻟﻼﺧﺬ واﻟﻌﻄﺎء ﻓﻠﻢ ﯾﺠﻌﻞ ذﻟﻚ ﻋﻮرة‬

“Ada pun wanita merdeka, maka seluruh badannya adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak
tangan, karena firmanNya: “Jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa
nampak darinya,” berkata Ibnu Abbas yakni wajahnya dan dua telapak tangannya, karena
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “melarang wanita yang ihram memakai sarung tangan dan
cadar”. Seandai pun wajah dan dua telapak tangan adalah aurat, maka karena adanya
kebutuhan bagi wanita maka wanita menampakkan wajah dalam jual beli, mengangkat beban,
mengambil dan memberi. Maka, hal ini membuatnya tidak termasuk dalam aurat.”[54]

Sementara, Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Rahimahullah mengatakan:

‫ )وﻻ ﯾﺒﺪﯾﻦ زﯾﻨﺘﮭﻦ إﻻ ﻣﺎ ﻇﮭﺮ‬:‫ وذﻟﻚ ﻟﻘﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬،‫ﯾﺠﺐ أن ﺗﺴﺘﺮ ﺳﺎﺋﺮ ﺑﺪﻧﮭﺎ ﺣﺘﻰ ﺑﺎﻃﻦ ﻗﺪﻣﮭﺎ ﻣﺎ ﻋﺪا وﺟﮭﮭﺎ وﻛﻔﯿﮭﺎ‬
.‫ ھﻮ اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﺎن‬:‫ﻣﻨﮭﺎ( ﻗﺎل اﺑﻦ ﻋﺒﺎس وﻋﺎﺋﺸﺔ‬

“Wajib bagi wanita menutup seluruh badannya hingga bawah telapak kakinya, kecuali wajah
dan dua telapak tangannya. Demikian itu karena Allah Ta’ala berfirman: “Jangan mereka
menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” berkata Ibnu Abbas dan
‘Aisyah: itu adalah wajah dan dua telapak tangan.”[55]

Imam Zakaria Al Anshari Rahimahullah mengatakan dalam Fathul Wahhab:

‫ )وﻻ ﯾﺒﺪﯾﻦ زﯾﻨﺘﮭﻦ إﻻ ﻣﺎ ﻇﮭﺮ ﻣﻨﮭﺎ( وھﻮ ﻣﻔﺴﺮ‬:‫)و( ﻋﻮرة )ﺣﺮة ﻏﯿﺮ وﺟﮫ وﻛﻔﯿﻦ( ﻇﮭﺮا وﺑﻄﻨﺎ إﻟﻰ اﻟﻜﻮﻋﯿﻦ ﻟﻘﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬
‫ﺑﺎﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﯿﻦ وإﻧﻤﺎ ﻟﻢ ﯾﻜﻮﻧﺎ ﻋﻮرة ﻻن اﻟﺤﺎﺟﺔ ﺗﺪﻋﻮ إﻟﻰ إﺑﺮازھﻤﺎ‬

“Dan aurat wanita merdeka adalah selain wajah dan dua telapak tangannya, baik luar atau
dalamnya hingga ke pergelangan tangan, karena Allah Ta’ala berfirman: “Jangan mereka
menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” yang ditafsirkan dengan
wajah dan dua telapak tangan, sesungguhnya keduanya tidak dikategorikan aurat karena
kebutuhan si wanita untuk menampakkannya.”[56]

Dalam kitabnya yang lain, Asnal Mathalib, Imam Zakaria Al Anshari mengatakan:
‫ وَاﻟْﻜَﻔَّﯿْﻦِ ( ﻇَﮭْﺮًا وَﺑَﻄْﻨًﺎ إﻟَﻰ اﻟْﻜُﻮﻋَﯿْﻦِ ﻟِﻘَﻮْﻟِ ِﮫ‬، َ‫) وَﻋَﻮْرَةُ اﻟْﺤُﺮَّةِ ﻓِﻲ اﻟﺼَّﻠَﺎةِ وَﻋِﻨْﺪَ اﻟْﺄَﺟْﻨَﺒِﻲِّ ( وَﻟَﻮْ ﺧَﺎرِﺟَﮭَﺎ ) ﺟَﻤِﯿﻊُ ﺑَﺪَﻧِﮭَﺎ إﻟَّﺎ اﻟْﻮَﺟْﮫ‬
َّ‫ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ } وَﻟَﺎ ﯾُﺒْﺪِﯾﻦَ زِﯾﻨَﺘَﮭُﻦَّ إﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﻇَﮭَﺮَ ﻣِﻨْﮭَﺎ { ﻗَﺎلَ اﺑْﻦُ ﻋَﺒَّﺎسٍ وَﻏَﯿْﺮُهُ ﻣَﺎ ﻇَﮭَﺮَ ﻣِﻨْﮭَﺎ وَﺟْﮭُﮭَﺎ وَﻛَﻔَّﺎھَﺎ وَإِﻧَّﻤَﺎ ﻟَﻢْ ﯾَﻜُﻮﻧَﺎ ﻋَﻮْرَةً ؛ ﻟِﺄَن‬
ِ‫اﻟْﺤَﺎﺟَﺔَ ﺗَﺪْﻋُﻮ إﻟَﻰ إﺑْﺮَازِھِﻤَﺎ وَإِﻧَّﻤَﺎ ﺣُﺮِّمَ اﻟﻨَّﻈَﺮُ إﻟَﯿْﮭِﻤَﺎ ؛ ﻟِﺄَﻧَّﮭُﻤَﺎ ﻣَﻈِﻨَّﺔُ اﻟْﻔِﺘْﻨَﺔ‬

“Aurat wanita merdeka dalam shalat di depan laki-laki asing, dan juga diluar shalat, adalah
seluruh badannya kecuali wajah dan dua telapak tangan baik bagian luar atau dalamnya hingga
pergelangan tangan, karena Allah Ta’ala berfirman: “Jangan mereka menampakkan
perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” berkata Ibnu Abbas dan lainnya, yang biasa
tampak darinya adalah wajah dan telapak tangan. Keduanya bukan termasuk aurat, karena
adanya kebutuhan menampakkan keduanya. Sesungguhnya diharamkan melihatnya lantaran
adanya kekhawatiran lahirnya fitnah.”[57]

Imam Abdul Karim Ar Rafi’i Rahimahullah mengatakan dalam Fathul ‘Aziz Syarh Al Wajiz:

(‫اﻣﺎ اﻟﻤﺮأة ﻓﺎن ﻛﺎﻧﺖ ﺣﺮة ﻓﺠﻤﯿﻊ ﺑﺪﻧﮭﺎ ﻋﻮرة اﻻ اﻟﻮﺟﮫ واﻟﯿﺪﯾﻦ ﻟﻘﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎﻟﻲ )وﻻ ﯾﺒﺪﯾﻦ زﯾﻨﺘﮭﻦ اﻻ ﻣﺎ ﻇﮭﺮ ﻣﻨﮭﺎ‬
‫ﻗﺎل اﻟﻤﻔﺴﺮون ھﻮ اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﺎن‬

“Adapun wanita, jika dia wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah
dan dua telapak tangan, karena Allah Ta’ala berfirman: “Jangan mereka menampakkan
perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” para ahli tafsir mengatakan itu adalah wajah
dan dua telapak tangan.”[58]

Nampaknya, jika saya sebutkan satu persatu akan sangat banyak. Berikut adalah kitab-kitab
madzhab Syafi’iyah yang berpendapat sama dengan di atas:

- Syarh Al Bahjah Al Wardiyah, Juz. 3, Hal. 456, karya Imam Zakaria Al Anshari
- Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Juz. 6, Hal. 238, karya Imam Ibnu Hajar Al Haitami
- Mughni Muhtaj ila Ma’rifati AlFazh Al Minhaj, Juz. 2, Hal. 453, karya Imam Muhammad Al
Khathib Asy Syarbini
- Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Juz. 4, Hal. 424, karya Imam Syihabuddin Ar Ramli
- Hasyiah Al Bajirumi ‘alal Minhaj, Juz. 4, Hal. 78, karya Imam Sulaiman bin Umar bin
Muhammad Al Bajirumi Asy Syafi’i
Dan lain-lain.

4. Madzhab Hambaliyah

Berkata Imam Musa Al Hijawi Rahimahullah dalam Al Iqna’ :


‫ )وﻻ ﯾﺒﺪﯾﻦ زﯾﻨﺘﮭﻦ إﻻ ﻣﺎ‬:‫اﻟﻘﻮل ﻓﻲ ﻋﻮرة اﻟﺤﺮة وﻋﻮرة اﻟﺤﺮة ﻏﯿﺮ اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﯿﻦ ﻇﮭﺮا وﺑﻄﻨﺎ إﻟﻰ اﻟﻜﻮﻋﯿﻦ ﻟﻘﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬
‫ وإﻧﻤﺎ ﻟﻢ ﯾﻜﻮﻧﺎ ﻋﻮرة ﻻن اﻟﺤﺎﺟﺔ ﺗﺪﻋﻮ إﻟﻰ اﺑﺮازھﻤﺎ‬،‫ﻇﮭﺮ ﻣﻨﮭﺎ( وھﻮ ﻣﻔﺴﺮ ﺑﺎﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﯿﻦ‬

“Pendapat tentang aurat wanita merdeka. Aurat wanita merdeka adalah selain wajah dan dua
telapak tangan baik luar atau dalamnya hingga ke pergelangan tangan, sesuai
firmanNya: “Jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak
darinya,” ini ditafsirkan dengan wajah dan dua telapak tangan. Sesungguhnya keduanya tidak
termasuk aurat karena adanya kebutuhan untuk menampakkan keduanya.”[59]

Selanjutnya, Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan dalam Asy Syarh Al Kabir:

‫وﻻ ﺧﻼف ﺑﯿﻦ أھﻞ اﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ اﺑﺎﺣﺔ اﻟﻨﻈﺮ إﻟﻰ وﺟﮭﮭﺎ ﻻﻧﮫ ﻟﯿﺲ ﺑﻌﻮرة وھﻮ ﻣﺠﻤﻊ اﻟﻤﺤﺎﺳﻦ وﻣﻮﺿﻊ اﻟﻨﻈﺮ وﻻ ﯾﺒﺎح ﻟﮫ اﻟﻨﻈﺮ‬
‫إﻟﻰ ﻣﺎ ﯾﻈﮭﺮ ﻋﺎدة وﺣﻜﻲ ﻋﻦ اﻻوزاﻋﻲ أﻧﮫ ﯾﻨﻈﺮ إﻟﻰ ﻣﻮاﺿﻊ اﻟﻠﺤﻢ وﻋﻦ داود أﻧﮫ ﯾﻨﻈﺮ إﻟﻰ ﺟﻤﯿﻌﮭﺎ ﻟﻈﺎھﺮ ﻗﻮﻟﮫ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺴﻼم‬
‫" اﻧﻈﺮ إﻟﯿﮭﺎ " وﻟﻨﺎ ﻗﻮﻟﮫ ﺗﻌﺎﻟﻰ )وﻻ ﯾﺒﺪﯾﻦ زﯾﻨﺘﮭﻦ اﻻ ﻣﺎ ﻇﮭﺮ ﻣﻨﮭﺎ( روى ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس أﻧﮫ ﻗﺎل ھﻮ اﻟﻮﺟﮫ وﺑﺎﻃﻦ اﻟﻜﻒ‬
‫وﻻن اﻟﻨﻈﺮ أﺑﯿﺢ ﻟﻠﺤﺎﺟﺔ ﻓﯿﺨﺘﺺ ﺑﻤﺎ ﺗﺪﻋﻮا اﻟﺤﺎﺟﺔ إﻟﯿﮫ‬

“Tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama tentang kebolehan melihat wajah wanita
(yang dilamar) karena itu bukan termasuk aurat, dan wajah merupakan tempat berkumpulnya
keindahan dan tempat bagi pandangan, dan tidak dibolehkan melihat bagian yang tidak biasa
tampak. Diceritakan dari Al Auza’i bahwa melihat itu adalah pada bagian isinya. Dari Daud Azh
Zhahiri bahwa melihat itu pada seluruh tubuhnya, sesuai zhahir hadits: “lihatlah
kepadanya.” Dan pendapat kami adalah firmanNya, “Jangan mereka menampakkan
perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa itu
adalah wajah dan bagian dalam telapak tangan, karena melihat dibolehkan karena adanya
kebutuhan, maka dikhususkan hal ini karena adanya kebutuhan untuk memandangnya.”[60]

Beliau juga berkata:

. ِ‫ وَأُﺑِﯿﺢَ اﻟﻨَّﻈَﺮُ إﻟَﯿْﮫِ ﻟِﺄَﺟْﻞِ اﻟْﺨِﻄْﺒَﺔِ ؛ ﻟِﺄَﻧَّﮫُ ﻣَﺠْﻤَﻊُ اﻟْﻤَﺤَﺎﺳِﻦ‬، ِ‫رُﺧِّﺺَ ﻟَﮭَﺎ ﻓِﻲ ﻛَﺸْﻒِ وَﺟْﮭِﮭَﺎ وَﻛَﻔَّﯿْﮭَﺎ ؛ ﻟِﻤَﺎ ﻓِﻲ ﺗَﻐْﻄِﯿَﺘِﮫِ ﻣِﻦْ اﻟْﻤَﺸَﻘَّﺔ‬

“Diberikan keringanan buat wanita untuk menampakkan wajahnya dan kedua telapak
tangannya, lantaran jika ditutup akan membawa kesulitan. Dan dibolehkan pula
memandangnya karena untuk melamarnya, sebab wajah merupakan tempat berkumpulnya
keindahan.”[61]

Imam Al Bahuti Rahimahullah berkata:

. ِ‫ﻟَﺎ ﺧِﻠَﺎفَ ﻓِﻲ اﻟْﻤَﺬْھَﺐِ أَﻧَّﮫُ ﯾَﺠُﻮزُ ﻟِﻠْﻤَﺮْأَةِ اﻟْﺤُﺮَّةِ ﻛَﺸْﻒُ وَﺟْﮭِﮭَﺎ ﻓِﻲ اﻟﺼَّﻠَﺎةِ ذَﻛَﺮَهُ ﻓِﻲ اﻟْﻤُﻐْﻨِﻲ وَﻏَﯿْﺮِه‬
“Tidak ada perbedaan pendapat dalam madzhab (Hambali), bahwa boleh bagi wanita merdeka
membuka wajahnya dalam shalat, sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni dan
lainnya.”[62] Menurut Imam Ar Rahibani ini adalah pendapat jumhur ulama.[63]

Demikian pendapat para Imam dalam Madzhab Hambaliah.

5. Madzhab Zhahiriyah

Ini adalah salah satu madzhab yang pernah ada di kalangan Ahlus Sunnah, dengan tokohnya
Imam Daud Azh Zhahiri dan Imam Abu Muhammad bin Hazm.

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah berkata dalam kitabnya, Al Muhalla:

‫ وﻓﯿﮫ ﻧﺺ ﻋﻠﻰ إﺑﺎﺣﺔ ﻛﺸﻒ‬،‫ وھﺬا ﻧﺺ ﻋﻠﻰ ﺳﺘﺮ اﻟﻌﻮرة واﻟﻌﻨﻖ واﻟﺼﺪر‬،‫ﻓﺄﻣﺮھﻦ اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﺎﻟﻀﺮب ﺑﺎﻟﺨﻤﺎر ﻋﻠﻰ اﻟﺠﯿﻮب‬
‫ ﻻ ﯾﻤﻜﻦ ﻏﯿﺮ ذﻟﻚ أﺻﻼ‬،‫اﻟﻮﺟﮫ‬

“Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka (kaum wanita) enjulurkan kerudung mereka hingga
ke dada. Ini adalah nash (dalil) wajibnya menutup aurat, leher, dan dada. Dan di dalamnya juga
terdapat nash kebolehan membuka wajah, sama sekali tidak mungkin memaknai selain
itu.” [64]

Setelah beliau menyampaikan hadits Ibnu Abbas, ketika shalat ‘Id, katanya: “Maka aku melihat
mereka menurunkan tangan mereka untuk melemparkan (perhiasannya) ke baju Bilal.” Imam
Ibnu Hazm berkata:

‫ وﻣﺎ‬،‫ ﻓﺼﺢ ان اﻟﯿﺪ ﻣﻦ اﻟﻤﺮأة واﻟﻮﺟﮫ ﻟﯿﺴﺎﻋﻮرة‬،‫ﻓﮭﺬا اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﺑﺤﻀﺮة رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ رأى أﯾﺪﯾﮭﻦ‬
‫ﻋﺪاھﻤﺎ ﻓﻔﺮض ﻋﻠﯿﮭﺎ ﺳﺘﺮه‬

“Inilah Ibnu Abbas yang dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat tangan-
tangan mereka, maka benarlah bahwa (telapak) tangan wanita dan wajahnya bukan aurat, ada
pun selain keduanya maka wajib ditutup.”[65]

Selain itu, setelah menyebutkan kisah Al Abbas yang saling berpandangan dengan wanita
cantik, Imam Ibnu Hazm berkata:

‫ وﻟﻮ ﻛﺎن‬،‫ وﻻﻣﺮھﺎ أن ﺗﺴﺒﻞ ﻋﻠﯿﮫ ﻣﻦ ﻓﻮق‬،‫ﻓﻠﻮ ﻛﺎن اﻟﻮﺟﮫ ﻋﻮرة ﯾﻠﺰم ﺳﺘﺮه ﻟﻤﺎ أﻗﺮھﺎ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺴﻼم ﻋﻠﻰ ﻛﺸﻔﮫ ﺑﺤﻀﺮة اﻟﻨﺎس‬
.‫وﺟﮭﮭﺎ ﻣﻐﻄﻰ ﻣﺎ ﻋﺮف اﺑﻦ ﻋﺒﺎس أﺣﺴﻨﺎء ھﻲ أم ﺷﻮھﺎء؟ ﻓﺼﺢ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻗﻠﻨﺎه ﯾﻘﯿﻨﺎ‬
“Seandainya wajah adalah aurat yang mesti ditutup niscaya Nabi tidak akan menyetujuinya
membuka wajah di depan banyak manusia, dan Beliau akan memerintahkan wanita itu untuk
menutupnya dari atas. Dan seandainya wajah wanita itu tertutup, maka Ibnu Abbas tidak akan
tahu apakah ia cantik atau buruk? Maka benarlah semua yang kami katakan secara
meyakinkan.” [66]

Pandangan Para Imam Mufassir

Sebenarnya apa yang sudah kami apaprkan telah mencukupi, namun untuk lebih menguatkan
maka berikut kami paparkan pandangan para pakar tafsir. Mereka adalah para imam yang
diakui kedalaman ilmunya dalam bidang ini, dan telah mendapatkan pengakuan dari zaman ke
zaman.

1. Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari

Dalam tafsir Jami’ul Bayan-nya, yang menjadi kitab induk tafsir Al Quran, ia menegaskan bahwa
wajah dan dua telapak tangan wanita bukanlah aurat. Ini sudah kami paparkan sebelumnya.
2. Imam Al Qurthubi

Beliau berkata ketika menafsirkan “Kecuali yang biasa nampak darinya”:

‫ ﻓﯿﺼﻠﺢ أن ﯾﻜﻮن‬،‫ إﻻ أﻧﮫ ﻟﻤﺎ ﻛﺎن اﻟﻐﺎﻟﺐ ﻣﻦ اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﯿﻦ ﻇﮭﻮرھﻤﺎ ﻋﺎدة وﻋﺒﺎدة وذﻟﻚ ﻓﻲ اﻟﺼﻼة واﻟﺤﺞ‬،‫ھﺬا ﻗﻮل ﺣﺴﻦ‬
.‫اﻻﺳﺘﺜﻨﺎء راﺟﻌﺎ إﻟﯿﮭﻤﺎ‬

“Ini pendapat yang baik, karena menampakkan wajah dan kedua telapak tangan dalam adat
dan ibadah adalah hal biasa, juga saat shalat dan haji, maka selayaknya pengecualian itu
dikembalikan kepada keduanya.”[67]

3. Imam Abu Bakar Ar Razi Al Jashash

Beliau berkata tentang makna “Kecuali yang biasa nampak darinya”:

ِ‫ ﻓَﺈِذْ ﻗَﺪْ أَﺑَﺎحَ اﻟﻨَّﻈَﺮَ إﻟَﻰ زِﯾﻨَﺔ‬، ِّ‫ اﻟْﻤُﺮَادُ اﻟْﻮَﺟْﮫُ وَاﻟْﻜَﻔَّﺎنِ ؛ ﻟِﺄَنَّ اﻟْﻜُﺤْﻞَ زِﯾﻨَﺔُ اﻟْﻮَﺟْﮫِ وَاﻟْﺨِﻀَﺎبَ وَاﻟْﺨَﺎﺗَﻢَ زِﯾﻨَﺔُ اﻟْﻜَﻒ‬: ‫وَﻗَﺎلَ أَﺻْﺤَﺎﺑُﻨَﺎ‬
. ِ‫اﻟْﻮَﺟْﮫِ وَاﻟْﻜَﻒِّ ﻓَﻘَﺪْ اﻗْﺘَﻀَﻰ ذَﻟِﻚَ ﻟَﺎ ﻣَﺤَﺎﻟَﺔَ إﺑَﺎﺣَﺔَ اﻟﻨَّﻈَﺮِ إﻟَﻰ اﻟْﻮَﺟْﮫِ وَاﻟْﻜَﻔَّﯿْﻦ‬
‫ ﻓَﻠَﻮْ ﻛَﺎﻧَﺎ ﻋَﻮْرَةً ﻟَﻜَﺎنَ ﻋَﻠَﯿْﮭَﺎ‬، ِ‫وَﯾَﺪُلُّ ﻋَﻠَﻰ أَنَّ اﻟْﻮَﺟْﮫَ وَاﻟْﻜَﻔَّﯿْﻦِ ﻣِﻦْ اﻟْﻤَﺮْأَةِ ﻟَﯿْﺴَﺎ ﺑِﻌَﻮْرَةٍ أَﯾْﻀًﺎ أَﻧَّﮭَﺎ ﺗُﺼَﻠِّﻲ ﻣَﻜْﺸُﻮﻓَﺔَ اﻟْﻮَﺟْﮫِ وَاﻟْﯿَﺪَﯾْﻦ‬
ٍ‫ﺳَﺘْﺮُھُﻤَﺎ ﻛَﻤَﺎ ﻋَﻠَﯿْﮭَﺎ ﺳَﺘْﺮُ ﻣَﺎ ھُﻮَ ﻋَﻮْرَةٌ ؛ وَإِذَا ﻛَﺎنَ ﻛَﺬَﻟِﻚَ ﺟَﺎزَ ﻟِﻠْﺄَﺟْﻨَﺒِﻲِّ أَنْ ﯾَﻨْﻈُﺮَ ﻣِﻦْ اﻟْﻤَﺮْأَةِ إﻟَﻰ وَﺟْﮭِﮭَﺎ وَﯾَﺪَﯾْﮭَﺎ ﺑِﻐَﯿْﺮِ ﺷَﮭْﻮَة‬

“Para sahabat kami mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah wajah dan dua telapak tangan.
Sesungguhnya selak adalah perhiasan mata, sedangkan gelang dan cincin adalah perhiasan
tangan. Maka jika dibolehkan melihat perhiasan tersebut, maka membawa konsekuensi
kebolehan melihat tempatnya perhiasan tersebut yakni wajah dan dua telapak tangan.

Yang juga menunjukkan bahwa wajah dan dua telapak tangan bukanlah aurat adalah wanita
shalat dengan membuka wajah dan dua telapak tangannya, maka jika keduanya aurat maka
wajib baginya untuk menutupnya sebagaiama menutup bagian yang termasuk aurat. Maka, jika
demikian, dibolehkan bagi laki-laki asing memandang wajah wanita dan dua telapak tangannya
dengan tana syahwat.”[68]

4. Imam Abu Bakar Ibnu Al ‘Arabi

Beliau berkata dalam kitabnya yang berjudul sama dengan Imam Al Jashash, yakni Ahkamul
Quran:

. ِ‫ ﻓَﺈِﻧَّﮭَﺎ اﻟَّﺘِﻲ ﺗَﻈْﮭَﺮُ ﻓِﻲ اﻟﺼَّﻠَﺎة‬، ِ‫وَاﻟﺼَّﺤِﯿﺢُ أَﻧَّﮭَﺎ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ وَﺟْﮫٍ ھِﻲَ اﻟَّﺘِﻲ ﻓِﻲ اﻟْﻮَﺟْﮫِ وَاﻟْﻜَﻔَّﯿْﻦ‬
. ً‫ وَھِﻲَ اﻟَّﺘِﻲ ﺗَﻈْﮭَﺮُ ﻋَﺎدَة‬، ً‫وَﻓِﻲ اﻟْﺈِﺣْﺮَامِ ﻋِﺒَﺎدَة‬

“Yang benar bahwa semua perhiasan wajah dan tangan adalah yang berada pada wajah dan
dua telapak tangan, dan sesungguhnya keduanya ditampakkan dalam shalat dan ibadah ihram,
dan juga ditampakkan pada adat (kebiasaan).”[69]

5. Imam Al Baghawi

Beliau berkata:

‫وإﻧﻤﺎ رُﺧﺺ ﻓﻲ ھﺬا اﻟﻘﺪر أن ﺗﺒﺪﯾﮫ اﻟﻤﺮأة ﻣﻦ ﺑﺪﻧﮭﺎ ﻷﻧﮫ ﻟﯿﺲ ﺑﻌﻮرة وﺗﺆﻣﺮ ﺑﻜﺸﻔﮫ ﻓﻲ اﻟﺼﻼة‬

“Sesungguhnya wanita diberikan keringan untuk menampakkan kadar tertentu dari badannya,
karena itu bukan aurat, dan diperintahkan dibuka di dalam shalat.”[70]

Beliau juga berkata ketika menafsirkan, “janganlah menampakkan perhiasan mereka:

‫ وھﻮ ﻣﺎ ﻋﺪا اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﯿﻦ‬،‫اﻟﺰﯾﻨﺔ اﻟﺨﻔﯿﺔ اﻟﺘﻲ ﻟﻢ ﯾﺒﺢ ﻟﮭﻦ ﻛﺸﻔﮭﺎ ﻓﻲ اﻟﺼﻼة وﻻ ﻟﻸﺟﺎﻧﺐ‬:‫ﯾﻌﻨﻲ‬

Yakni perhiasan yang tersembunyi yang tidak boleh dibuka dalam shalat dan di depan laki-laki
asing, dan itu adalah selain wajah dan dua telapak tangan.”[71]

6. Imam Fakhruddin Ar Razi


Beliau mengutip dari Al Qaffal, ketika menafsirkan “Kecuali yang biasa nampak
darinya” sebagai berikut:

‫ وذﻟﻚ ﻓﻲ اﻟﻨﺴﺎء اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﺎن‬، ‫ﻓﻘﺎل اﻟﻘﻔﺎل ﻣﻌﻨﻰ اﻵﯾﺔ إﻻ ﻣﺎ ﯾﻈﮭﺮه اﻹﻧﺴﺎن ﻓﻲ اﻟﻌﺎدة اﻟﺠﺎرﯾﺔ‬

“Al Qaffal berkata, makna ayat adalah kecuali yang biasa ditampakkan oleh manusia dalam
kebiasaan hariannya, dan hal itu bagi wanita adalah wajah dan dua telapak tangan.”[72]

7. Imam Al Khazin

Beliau berkata ketika menafsirkan, “kecuali yang biasa nampak darinya”:

‫وإﻧﻤﺎ رﺧﺺ ﻓﻲ ھﺬا اﻟﻘﺪر ﻟﻠﻤﺮأة أن ﺗﺒﺪﯾﮫ ﻣﻦ ﺑﺪﻧﮭﺎ ﻷﻧﮫ ﻟﯿﺲ ﺑﻌﻮرة وﺗﺆﻣﺮ ﺑﻜﺸﻔﮫ ﻓﻲ اﻟﺼﻼة‬

“Sesungguhnya wnaita diberikan keringan dalam kadar tertentu untuk menampakkan bagian
tubuhnya karena itu bukan aurat, dan diperintahkan membuka wajah dalam shalat.” [73]

Beliau juga berkata ketika menafsirkan, “Jangan mereka menampakkan perhiasan mereka...”:

‫ﯾﻌﻨﻲ اﻟﺨﻔﯿﺔ اﻟﺘﻲ ﻟﻢ ﯾﺒﺢ ﻟﮭﻦ ﻛﺸﻔﮭﺎ ﻓﻲ اﻟﺼﻼة وﻻ ﻟﻸﺟﺎﻧﺐ وھﻲ ﻣﺎ ﻋﺪا اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﯿﻦ‬

“Yakni perhiasan tersembunyi yang tidak dibolehkan ditampakkannya dalam shalat dan di
depan laki-laki asing, dan itu adalah selain wajah dan kedua telapak tangan.”[74]

8. Syahidul Islam Sayyid Quthb

Beliau berkata:

‫ ﻷن ﻛﺸﻒ اﻟﻮﺟﮫ واﻟﯿﺪﯾﻦ ﻣﺒﺎح ﻟﻘﻮﻟﮫ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻷﺳﻤﺎء‬. ‫ ﻓﯿﺠﻮز ﻛﺸﻔﮫ‬، ‫ﻓﺄﻣﺎ ﻣﺎ ﻇﮭﺮ ﻣﻦ اﻟﺰﯾﻨﺔ ﻓﻲ اﻟﻮﺟﮫ واﻟﯿﺪﯾﻦ‬
. « ‫ ﻟﻢ ﯾﺼﻠﺢ أن ﯾﺮى ﻣﻨﮭﺎ إﻻ ھﺬا وأﺷﺎر إﻟﻰ وﺟﮭﮫ وﻛﻔﯿﮫ‬، ‫ » ﯾﺎ أﺳﻤﺎء إن اﻟﻤﺮأة إذا ﺑﻠﻐﺖ اﻟﻤﺤﯿﺾ‬: ‫ﺑﻨﺖ أﺑﻲ ﺑﻜﺮ‬

“Ada pun apa-apa yang tampak dari perhiasan pada wajah dan tangan, maka dibolehkan untuk
membukanya. Karena membuka wajah dan dua telapak tangan adalah boleh, karena
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda kepada Asma binti Abi Bakar: “Wahai
Asma’, sesungguhnya wanitu itu jika dia sudah mengalami haidh maka tidak boleh terlihat
darinya kecuali ini dan ini, dia mengisyaratkan wajah dan telapak tangan.”[75] Dan lain-lain.

Dalil-Dalil Pihak Yang Mewajibkan dan Tanggapannya


Pihak yang mewajibkan cadar memeliki beberapa alasan. Namun, alasan-alasan mereka tidak
memiliki landasan yang kuat dan pasti, melainkan alasan yang muhtamal (banyak penafsiran),
dhaif dari sisi periwayatan, dan sekali pun shahih tidak ada indikasi perintah tentang cadar.

1. Alasan pertama

Kelompok ini berdalil dengan surat Al Ahzab 59:

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang
mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)

Ayat ini, khususnya kalimat, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka," dijadikan alasan wajibnya menutup wajah, sebab wajah adalah bagian dari tubuh
juga.

Tanggapan:

Ayat ini tidak bisa dijadikan dalil pasti kewajiban bercadar. Telah menjadi kenyataan para imam
ahli tafsir sejak generasi terdahulu memiliki banyak penafsiran. Ini sudah kami jelaskan ada
halaman yang lalu. Sebagai berikut:

Dari penjelasan para mufassir di atas, kita bisa dapati bahwa maksud menjulurkan jilbab ke
seluruh tubuh adalah pertama, menutup kepala dan wajah dengan menampakkan satu mata,
sebagaimana kata Ibnu Abbas, Ubaidah As Salmani, dan As Sudi. Ini amat menyulitkan bagi
wanita, sebab dia harus memegangi terus jilbabnya agar tetap terlihat satu mata, padahal
tangannya dibutuhkan untuk aktifitas lain seperti menggendong anak, belanja, mencuci, shalat,
dan lain-lain. Ada pun pihak yang mewajibkan cadar, tidak bisa berdalil dengan tafsiran ini
sebab cadar masih menampakkan dua mata, bukan satu mata. Lagi pula, terdapat keanehan
yakni pendapat Ibnu Abbas, yang justru beliau berpendapat bahwa wajah dan dua telapak
tangan bukanlah aurat, sebagaimana telah masyhur riwayatnya dalam kitab-kitab tafsir. Kedua,
mengikat jilbab pada jidat dan melabuhkan hingga hidung, sebagaimana kata Qatadah. Ketiga,
menutup wajah dan menampakkan kedua matanya, sebagian besar wajah dan dadanya,
sebagaimana kata Qatadah pula. Keempat, menutup sebagian wajah saja, sebagaimana kata
Hasan Al Bashri. Kelima, menjulurkan selendang dan selimutnya, sebagaimana kata Ibnu
Qutaibah dan Al Kisa’i.
Maka, Klaim bahwa ayat tersebut hanya bermakna adalah tentang wajibnya menutup wajah
atau cadar adalah keliru, sebab para imam kaum muslimin, berbeda dalam menafsirkannya. Jika
dikatakan bahwa menutup wajah merupakan salah satu kebiasaan sebagian wanita saat itu,
bisa jadi benar. Yang jelas, tak ada satu keutamaan pendapat manusia di atas manusia lainnya,
sebab ucapan manusia selain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bisa diterima atau ditolak.

Anggaplah benar bahwa makna ayat ini adalah menutup wajah, tetapi apakah perintah ini
menunjukkan wajib atau anjuran semata? Imam Ibnu Rusyd telah menjawab demikian:

‫ أو اﻟﻨﮭﻲ ﻗﺮﯾﻨﺔ ﺗﻨﻘﻞ اﻻﻣﺮ ﻣﻦ‬،‫ ھﻞ ﺗﻠﻚ اﻟﻌﻠﺔ اﻟﻤﻔﮭﻮﻣﺔ ﻣﻦ ذﻟﻚ اﻻﻣﺮ‬،‫اﺧﺘﻼﻓﮭﻢ ﻓﻲ اﻻﻣﺮ واﻟﻨﮭﻲ اﻟﻮارد ﻟﻌﻠﺔ ﻣﻌﻘﻮﻟﺔ اﻟﻤﻌﻨﻰ‬
‫ واﻟﻨﮭﻲ ﻣﻦ اﻟﺤﻈﺮ إﻟﻰ اﻟﻜﺮاھﺔ؟ أم ﻟﯿﺴﺖ ﻗﺮﯾﻨﺔ؟ وأﻧﮫ ﻻ ﻓﺮق ﻓﻲ ذﻟﻚ ﺑﯿﻦ اﻟﻌﺒﺎدة اﻟﻤﻌﻘﻮﻟﺔ وﻏﯿﺮ‬،‫اﻟﻮﺟﻮب إﻟﻰ اﻟﻨﺪب‬
‫ ﻻن اﻻﺣﻜﺎم اﻟﻤﻌﻘﻮﻟﺔ اﻟﻤﻌﺎﻧﻲ ﻓﻲ اﻟﺸﺮع أﻛﺜﺮھﺎ ھﻲ ﻣﻦ ﺑﺎب ﻣﺤﺎﺳﻦ‬،‫اﻟﻤﻌﻘﻮﻟﺔ؟ وإﻧﻤﺎ ﺻﺎر ﻣﻦ ﺻﺎر إﻟﻰ اﻟﻔﺮﻗﻔﻲ ذﻟﻚ‬
‫ أو ﻣﻦ ﺑﺎب اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ وھﺬه ﻓﻲ اﻻﻛﺜﺮ ھﻲ ﻣﻨﺪوب إﻟﯿﮫ‬،‫اﻻﺧﻼق‬

“Mereka berbeda pendapat tentang perintah dan larangan yang maknanya bisa difahami
dengan ‘illat (alasan) yang rasional, apakah alasan yang bisa difahami itu baik dalam hal
perintah atau larangan, memiliki qarinah (indikasi) berubahnya hukum perintah dari wajib
menjadi sunah, atau hukum larangan dari haram menjadi makhruh? Ataukah alasan tersebut
bukanlah indikasi perubahan hukum? bahwa dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara ibadah
yang bisa difahami dan tidak bisa difahami ? Sesungguhnya hukum-hukum yang bisa difahami
maknanya dalam syariat sebagian besar masuk dalam Bab Mahasinul Akhlaq (Keindahan
Akhlak), atau Bab kemaslahatan, dan yang seperti ini kebanyakan
menunjukkan mandub (anjuran) saja.”[76]

2. Alasan kedua

Mereka juga beralasan dengan ayat:

“ ... apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka
mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka ..”
(QS. Al Ahzab (33): 53)

Tanggapan:

Ayat ini juga tidak bisa dijadikan alasan. Sebab tidak ada sama sekali pembicaraan tentang
wajah wanita adalah aurat yang mesti ditutup. Terlalu jauh membawa makna ayat ini tentang
auratnya wajah wanita. Ayat ini berbicara tentang bagaimana menjaga kesucian hati di antara
isteri-isteri nabi dan para sahabat yang berbicara dengan mereka, yakni berbicara dengan
diberikan penghalang (hijab). Ini pun khusus untuk isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Sebab, jika semua wanita berbicara dengan penghalang, maka hadits-hadits justru
membuktikan para wanita zaman nabi berbicara dan berinteraksi langsung dengan tanpa
penghalang sampai-sampai mereka bisa diketahui kecantikannya, putih, hitam, atau kemerahan
pipinya. Bagaimana mungkin jual beli di pasar menggunakan penghalang antara si pembeli dan
penjual, hanya karena mereka lain jenis? Bagaimana bisa tetangga selalu membawa kain
penghalang ketika ingin berbicara dengan wanita? Jelas itu merupakan kekhususan bagi isteri-
isteri nabi, sesuai ayat lain:

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya] dan ucapkanlah Perkataan yang baik.” (QS. Al Ahzab (33): 32)

Jika, mereka katakan, “Bukankah isteri-isteri nabi adalah teladan bagi kaum wanita
mukminah?” Jawab: Ya! Tetapi nash ayat telah menunjukkan adanya kekhususan buat para
isteri nabi, bukan untuk wanita umum, oleh karena itu dalam lanjutan ayat tersebut disebutkan,
bahwa para isteri Nabi, - dan ini menjadi kekhususan mereka- tidak boleh menikah lagi setelah
Nabi wafat.

“... dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya
selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah Amat besar (dosanya) di
sisi Allah.” (QS. Al Ahzab (33): 53)

Sedangkan, wanita lain selain isteri-isteri nabi, jelas boleh-boleh saja menikah lagi setelah suami
mereka wafat. Maka, jelaslah bahwa ayat tentang ‘meminta di belakang tabir’ itu adalah
kekhususan bagi para isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika itu berlaku untuk umum,
maka bukan hanya ‘meminta di belakang tabir’ yang mesti diteladani, tetapi kaum wanita juga
dilarang untuk menikah lagi jika suami mereka wafat! Jelas ini pemahaman yang sangat jauh
bukan? Tak ada satu nash pun larangan buat kaum muslimah untuk menikah lagi, setelah suami
mereka wafat.

3. Alasan Ketiga

Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al Bahaqi, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha,
dia berkata:
“Ada sekelompok musafir yang melewati kami, tatkala kami sedang berihram bersama
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika mereka mendekati kami, maka salah seorang kami
menjulurkan jilbabnya dari kepala ke wajah, dan jika mereka sudah berlalu maka kami
membukanya kembali.”

Tanggapan:

Hadits ini tidak bisa dijadikan dalil, karena beberapa sebab:

Pertama. Hadits ini dhaif (lemah). Di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Yazid bin Abu
Ziyad. Tentang Yazid ini, Imam Ad Darquthni berkata dalam Al ‘Ilal: “Dia Seorang Syaikh yang
tidak bisa dipercaya.”[77] Imam Ibnu Hajar juga mengatakan dalam taqribut tahdzib, dia adalah
seorang yang dhaif,[78] dan periwayatan darinya tidak bisa dijadikan hujjah (dalil).[79]

Al Hakim mengatakan, bahwa menurut para ulama hadits, Yazid ini bukanlah orang yang kuat.
Ibnu Sa’ad mengatakan, Yazid dahulunya orang yang bisa dipercaya (tsiqah), tetapi pada akhir
hayatnya terjadi campur aduk hapalannya, sehingga banyak keanehan-keanehan dibuatnya. An
Nasa’i mengatakan, Yazid tidak kuat hapalannya.[80] Sementara Imam Adz Dzahabi
mengatakan bahwa Yazid seorang yang buruk hapalannya. Sedangkan Imam Yahya bin Ma’in
mengatakan, tidak kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah.[81]

Maka, hadits ini tidak bisa dijadikan dalil karena kedhaifannya.

Kedua. Sekali pun hadits ini shahih, tidaklah bisa dijadikan hujjah wajibnya bercadar. Sebab itu
hanyalah perilaku dari inisiatif isteri nabi sendiri bukan perintah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Bagaimana bisa perbuatan selain nabi menjadi terhukum wajib, padahal perbuatan
nabi sendiri saja belum tentu menunjukkan wajib?

Ketiga. Sekali pun hadits ini shahih, maka menurut teks hadits, sangat jelas itu adalah perilaku
isteri nabi, yang memang kekhususan buat mereka.

Keempat. Sekali pun hadits ini shahih, justru hadits ini menunjukkan Tidak Wajib-nya bercadar.
Sebab, mereka kembali membuka wajahnya ketika rombongan musafir tersebut menjauh.
Kalau memang wajib, tentu mereka tidak akan membukanya, sebab mereka sedang ihram, dan
ihram itu pasti di luar rumah yang akan berinteraksi dengan masyarakat luas yang terdapat
kaum laki-laki.
Kelima. Sekali pun hadits ini shahih, tidak bisa dijadikan dalil. Sebab hadits ini
hanyalah khabar (informasi) bahwa isteri nabi pernah menutup wajah ketika ada serombongan
laki-laki lewat. Tak ada nash yang menunjukkan perintah wajib bagi muslimah lain untuk
melakukan hal serupa.

Namun, ternyata hadits ini adalah dhaif, maka lengkap sudah kelemahan hujjah mereka.

4. Alasan Keempat

Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫اﻟْﻤَﺮْأَةُ ﻋَﻮْرَةٌ ﻓَﺈِذَا ﺧَﺮَﺟَﺖْ اﺳْﺘَﺸْﺮَﻓَﮭَﺎ اﻟﺸَّﯿْﻄَﺎن‬

“Wanita adalah aurat, jika dia keluar maka syetan akan mengawasinya.”[82]

Imam At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan gharib. Sedangkan Syaikh Al Albani
menshahihkan hadits ini,[83] dan Imam Al Haitsami mengatakan semua rijal (periwayat) hadits
ini tsiqat (bisa dipercaya).[84]

Tanggapan:

Bagaiamanakah memahami hadits ini? Apakah bermakna seluruh tubuhnya adalah aurat?
Tidak. Ini adalah hadits muthlaq dan ‘aam (umum), yang bermakna pada dasarnya wanita
adalah aurat. Dalam kaidah ushul, tidak boleh berdalil dengan hadits muthlaq dan ‘aam, jika
ada hadits yang lebih khusus dan rinci. Oleh karena itu para ahli ushul membuat kaidah, Hamlul
Muthlaq ilal Muqayyad (Dalil yang muthlaq (umum) harus dibatasi oleh yang khusus). Nah,
hadits yang membatasinya adalah:

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha dia berkata, bahwa Asma’ binti Abu bakar masuk kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia menggunakan pakaian yang tipis, maka Rasulullah
berpaling darinya dan bersabda: “Wahai Asma’, sesungguhnya wanitu itu jika dia sudah
mengalami haidh maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini, dia
mengisyaratkan wajah dan telapak tangan.” Abu Daud berkata: Hadits ini mursal, karena Khalid
bin Duraik belum pernah berjumpa ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha. [85]

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menguatkan hadits ini lantaran


banyaknya syawahid (penguat) hadits ini, sehingga menurutnya derajatnya naik
menjadi shahih (lihat Shahih Sunan Abi Daud).
Syaikh Al Albani Rahimahullah mengatakan: “ ... bahwa hadits ini secara fiqih tidak terkait
dengan auratnya wajah wanita, jumhur ulama mengatakan bahwa wajah wanita bukan aurat,
dan saya sudah menjelaskannya dalam kitab Jilbab Mar’ah Muslimah ...”.[86]

5. Alasan kelima

Mereka beralasan dengan hadits larangan bercadar ketika ihram. Dari Ibnu Umar Radhiallahu
‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ُ‫وَﻟَﺎ ﺗَﻨْﺘَﻘِﺐْ اﻟْﻤَﺮْأَةُ اﻟْﻤُﺤْﺮِﻣَﺔ‬

“Wanita yang berihram janganlah memakai cadar.”[87]

Menurut mereka, hadits ini menunjukkan bahwa kebiasaan kaum wanita saat itu adalah
memakai cadar, sebab jika memang sebelumnya tidak bercadar, maka buat apa lagi dilarang
bercadar?

Tanggapan:

Tafsiran dan alasan mereka terhadap hadits ini jelas wajib bagi mereka untuk mendatangkan
dalil dan petunjuknya, jika tidak ada, maka itu mengada-ngada, dan penafsiran yang terlalu
jauh. Justru hadits ini menjadi dalil buat kami. Sebab, menutup aurat ketika beribadah (seperti
shalat dan ihram) tentu lebih ditekankan, dibanding d luar ibadah, sebab saat itu mereka
sedang menghadap Tuhannya. Apakah mungkin mereka menutup aurat ketika di luar ibadah,
tetapi justru membukanya ketika beribadah? Renungkanlah!

Maka, kami kira mereka tidak memiliki dalil yang cukup yang mengatakan wajibnya bercadar.
Masih bagus jika dikatakan itu adalah perbuatan yang disunahkan saja.

Penutup

Demikianlah. Begitu panjang pembahasan ini, yang pasti Al Quran, As Sunnah, umumnya para
sahabat, umumnya para mufassir (ahli tafsir), umumnya para fuqaha (ahli fiqih), serta
mayoritas ulama terdahulu dan belakangan dari lima madzhab fiqih, serta pendapat umumnya
ulama kontemporer seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Syaikh Yusuf Al
Qaradhawi, Syaikh Sayyid Quthb, Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah, Syaikh Muhammad Al
Ghazali, Syaikh Ali Ath Thanthawi, Syaikh Sayyid Ath Thanthawi, Syaikh Ali Jum’ah, dan lain-lain,
mereka telah menggambarkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukanlah aurat.
Ini tidak bisa diingkari, barangsiapa yang mengingkari kenyataan ini, maka dia telah buta
terhadap hakikat, atau lebih menjual dirinya kepada fanatisme hawa nafsu yang kotor. Kami
hanya bisa mengatakan, Laa Haulaa walaa Quwwata Illa billah.

Benar, bahwa sebagian imam kaum muslimin ada yang mengatakan bahwa wajah dan telapak
tangan adalah aurat dan wajib ditutup, itu pun tidak boleh diingkari dan berasal dari
pemahaman yang layak dihargai pula. Namun yang tidak benar adalah sikap menjelek-jelekkan
dan meremehkan ulama seperti yang dilakukan oleh segelintir manusia yang bukan ahli ilmu,
mereka mengatakan, “Itu’kan pendapat ulama.” Padahal para ulama tersebut telah bersusah
payah menggali hukum melalui kajian terhadap Al Quran dan As Sunnah, bukan akal-akalan dan
hawa nafsu mereka.

Semoga pembahasan ini bermanfaat, bagi siapa saja yang menginginkan kebenaran dan
kebaikan, serta menjadi nasihat bagi kita yang masih berlisan tajam terhadap perbedaan fiqih di
antara ulama. Wallahu A’lam

Daftar Pustaka:
- Al Quran
- Jami’ul Bayan, karya Imam Ibnu Jarir Ath Thabari
- Al Jami’ul Ahkam, karya Imam Al Qurthubi
- Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, karya Imam Ibnu Katsir
- Fathul Qadir, karya Imam Asy Syaukani
- Ahkamul Quran, karya Imam Abu Bakar Al Jashash
- Ahkamul Quran, karya Imam Al Qadhi Abu Bakar bin Al ‘Arabi
- Fi zhilalil Quran, karya Syaikh Sayyid Quthb
- Ma’alim At Tanzil, karya Imam Al Baghawi
- Mafatih Al Ghaib, karya Imam Fakhruddin Ar Razi
- Lubab At Takwil, karya Imam Al Khazin
- Zaadul Masir, karya Imam Abul Faraj bin Al Jauzi
- Al Wajiz fi Tafsiril Quran, karya Imam Abul Hasan Al Wahidi
- Al Bahrul Muhith, karya Imam Abu Hayyan bin Yusuf bin Ali bin Hayyan
- Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari
- Shahih Muslim, karya Imam Muslim
- Sunan Abu Daud, Karya Imam Abu Daud
- Sunan At Tirmdzi, karya Imam At Tirmidzi
- Shahih Ibnu Hibban, Karya Imam Ibnu Hibban
- Shahih Ibnu Khuzaimah, karya Imam Ibnu Khuzaimah
- Al Mushannaf , karya Imam Ibnu Abi Syaibah
- Al Mushannaf , karya Imam Abdurrazzaq
- Silsilah Ash Shahihah, karya Syaikh Al Albani
- Shahih Sunan Abi Daud, karya Syaikh Al Albani
- Lisanul Mizan, karya Imam Ibnu Hajar
- Tahdzibut Tahdzib, karya Imam Ibnu Hajar
- Taqribut Tahdzib, karya Imam Ibnu Hajar
- Mizanul I’tidal, karya Imam Adz Dzahabi
- Fathul Bari, karya Imam Ibnu Hajar
- ‘Aunul Ma’bud, karya Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi
- Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, karya Imam Abul Walid bin Sulaiman Khalaf Al
Baji
- Al Umm, karya Imam Asy Syafi’i
- Fiqhus Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq
- Majmu’ Fatawa, karya Imam Ibnu Taimiyah
- Al Mughni, karya Imam Ibnu Qudamah
- Asy Syarh Al Kabir, karya Imam Ibnu Qudamah
- Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, karya Imam An Nawawi
- Raudhatut Thalibin, karya Imam An Nawawi
- Al Mukhtashar, karya Imam Al Muzani
- Al Muhalla, karya Imam Ibnu Hazm Al Andalusi
- Bidayatul Mujtahid, karya Imam Ibnu Rusyd
- Kasysyaf Al Qina’, karya Imam Al Bahuti
- Al Iqna’, karya Imam Musa Al Hijawi
- Al Mabsuth, karya Imam As Sarkhasi
- Fathul Qadir, karya Imam Kamaluddin Al Hummam
- At Tajj Al Iklil, karya Imam Abu Abdillah bin Yusuf Al Abdari Al Mawwaq
- Syarh Muktashar Khali, karya Imam Al Kharrasi
- Manaha Jalil, karya Imam Muhammad bin Ahmad ‘Alisy Al Maliki
- Mawahib Al Jalil, karya Imam Syamsuddin Al Haththab
- Fathul Wahhab, karya Imam Zakaria Al Anshari
- Asnal Mathalib, karya Imam Zakaria Al Anshari
- Fathul Aziz, karya Imam Abdul Karim Ar Rafi’i
- I’anatuth Thalibin, karya Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi
- Mathalib Ulin Nuha, karya Imam Ar Rahibani
- Syarh Al Bahjah Al Wardiyah, karya Imam Zakaria Al Anshari
- Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, karya Imam Ibnu Hajar Al Haitami
- Mughni Muhtaj, karya Imam Muhammad Al Khathib Asy Syarbini
- Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, karya Imam Syihabuddin Ar Ramli
- Hasyiah Al Bajirumi. Karya Imam Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al Bajirumi

[1] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 127. Darul Kutub al Araby, Beirut Libanon. Al
Maktabah Asy Syamilah

[2] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Juz. 6, Hal. 45 Daru Thayyibah Lin Nasyr wat
Tauzi’, 1999M/1420H. Al Maktabah Asy Syamilah

[3] Ibid

[4] Imam Ibnu Katsir, Ibid. Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 19,
Hal. 156. Al Maktabah Asy Syamilah

[5] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Ibid, Juz. 19, Hal. 156-158.

[6] Imam Al Muzani, Mukhtashar, Hal. 163. Darul Ma’rifah. Al Maktaah Asy Syamilah

[7] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz. 6, Hal. 482. Al Maktabah Asy Syamilah

[8] Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz. 3, Hal. 216. Darul Fikr. Al Maktabah Asy Syamilah

[9] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 20, Hal. 324-325. Al
Maktabah Asy Syamilah

[10] Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, Juz. 6, Hal. 79. Al Maktabah Asy Syamilah

[11] Imam Ibnul Jauzi, Zaadul Masir, Juz. 5, Hal. 150. Al Maktabah Asy Syamilah

[12] Imam Abul Hasan Ali bin Ahmad Al Wahidi, Al Wajiz fi Tafsiril Quran, Juz. 1, Hal. 738. Al Maktabah Asy
Syamilah

[13] Imam Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Hayyan, Al Bahrul Muhith, Juz. 9, Hal. 174. Al
Maktabah Asy Syamilah

[14] Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz. 1, Hal. 65. Al Maktabah Asy Syamilah

[15] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Ibid, Juz. 19, Hal. 158-159. Muasasah Ar risalah. Al Maktabah
Asy Syamilah

[16] Imam Al Jashash, Ahkamul Quran, Juz. 8, Hal. 166. Al Maktabah Asy Syamilah

[17] HR. Abu Daud, dia berkata hadirs ini mursal, yakni perawinya bernama Khalid bin Duraik belum
pernah berjumpa dengan Aisyah. Lihat Sunan Abu Daud, Kitab Al Libas, Bab Fima Tabdi al Mar’ah min Zinatiha, Juz
11, hal. 145. hadits no. 3580. Hadits ini dikuatkan oleh Syaikh Al Albany dalam Shahih Sunan Abu Daud Juz 9, Hal.
104. no. 4104. lihat juga tahqiqnya terhadap Hijab al Mar’ah al Muslimah no.24. Al Maktabah Asy Syamilah

[18] HR. Bukhari, Kitab Al Mazhalim Bab Afniyah Ad Duur wal Julus fiha, No. 2333. Muslim, Kitab Al Libas
waz Zinah Bab An Nahyi ‘anil Julus fi Thuruqat .., No. 2121. Al Mausu’ah Al Hadits

[19] HR. Bukhari, Kitab Al Qadar Bab Wa Haraam ‘ala Qaryatin Ahlaknaaha, No. 6238. Muslim, Kitab Al
Qadar Bab Quddira ‘ala Ibni Adam Hazhzhuhu min Zina wa Ghairihi, No. 2657. Al Mausu’ah Al Hadits

[20] HR. Muslim, Kitab Al Adab Bab Nazharatul Fuja’ah, No. 2159. Al Mausu’ah Al Hadits

[21] Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, Juz. 5, Hal. 211. Al Maktabah Asy Syamilah

[22] HR. Muslim, Kitab An Nikah Bab Nadbi Man Ra’a Imra’atan fawaqa’a fi Nafsihi an Ya’tiya Imra’atahu
aw Jariyatahu Fayuwaqi’aha, No. 1403. Al Mausu’ah Al Hadits

[23] Ibid

[24] HR. Bukhari, Kitabul Abwab Al Adzan Bab As Sujud ‘alal Anfi, Juz.3, Hal. 298, No. 770. Al Maktabah
Asy Syamilah

[25] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 3, Hal. 204, No. 767. Al Maktabah Asy Syamilah

[26] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 22, Hal. 114. Majma’ Al Malik Fahd Lithiba’ah Al Mushhaf
Asy Syarif

[27] Imam Al Bahuti, Kasysyaf Al Qina’, Juz. 2, Hal. 247. Al Maktabah Asy Syamilah

[28] Imam An Nawawi, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Juz. 2, Hal. 52. Al Maktabah Asy Syamilah

[29] HR. Bukhari, Kitab Al Hajj Bab Ma Yanha min Ath Thibi Lil Muhrim wal Muhrimah, No. 1741. Abu
Daud, Kitab Al Manasik Maa Yalbasu Al Muhrim, No. 1826. Malik, Kitab Al Hajj Bab Takhmiril Muhrim Wajhah, No.
717. Al Mausu’ah Al Hadits

[30] Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 5, Hal. 190. Darul Kutub Al
‘Ilmiyah

[31] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 4, Hal. 54. Darul Fikr

[32] Imam Ibnu Qudamah, Asy Syarh Al Kabir, Juz. 1, Hal. 458. Al Maktabah Asy Syamilah

[33] Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz. 3, Hal. 53. Al Maktabah Asy Syamilah

[34] HR. Muslim, Kitab An Nikah Bab An Nadb An Nazhar ilal Wajhil Mar’ah wa Kaffaiha Liman Turidu
Tazawwujaha, No. 1424. Al Mausu’ah Al Hadits
[35] Imam Ibnu Qudamah, Asy Syarh Al Kabir, Juz. 7, Hal. 342. Darul Kutub Al ‘Arabi. Al Maktabah Asy
Syamilah

[36] HR. Muslim, Kitab Ash Shalah ‘Idain, No. 885. Al Mausu’ah Al Hadits.

[37] HR. Bukhari, Kitab Al Maghazi Bab Ghawatul Hudaibiyah, No. 3916. Al Mausu’ah Al Hadits

[38] HR. Bukhari, Kitab Al Isti’dzan Bab Qaulihi: Yaa Ayyuhalladzina amanu Laa tadkhulu Buyuutan ghaira
buyutikum, No. 5874. Muslim, Kitab Al Haj Bab Al Hajj ‘an Al ‘Aajiz Lizzamanah, No.1334. Al Mausu’ah Al Hadits

[39] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 11, Hal. 10. Darul Fikr

[40] HR. Bukhari, Kitab Al Mardha Bab Fadhl Man Yushra’a minar Riih, No. 5328. Muslim, Kitab Al Birr
wash Shilah Bab Tsawwaba Al Mu’min fiimaa tushibuhu min Maradh atau Huzn, No. 2576. Al Mausu’ah Al Hadits

[41] Imam As Sarkhasi, Al Mabsuth, Juz. 4, Hal. 30. Darul Fikr

[42] Imam Kamaluddin bin Al Hummam, Fathul Qadir, Juz. 5, Hal. 87. Al Maktabah Asy Syamilah

[43] Ibid, Juz. 1, Hal. 494

[44] Ibid

[45] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 22, Hal. 114. Majma’ Al Malik Fahd Lithiba’ah Al Mushhaf
Asy Syarif

[46] Imam Abu Sulaiman bin Khalaf Al Baji, Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, Hal. 2, Hal. 252, No. 633. Al
Maktabah Asy Syamilah

[47] Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz. 1, Hal. 95. Al Maktabah Asy Syamilah

[48] Imam Abu Abdillah bin Yusuf Al Abdari Al Mawwaq , At Tajj Al Iklil Li Mukhtashar Khalil, Juz. 1, Hal.
384. Al Maktabah Asy Syamilah

[49] Imam Syamsuddin Al Haththab Ar Ru’yani, Mawahib Al Jalil fi Syarh Mukhtashar Syaikh Al Khalil, Juz.
16, Hal. 91. Al Maktabah Asy Syamilah

[50] Imam Al Kharrasyi, Syarh Mukhtashar Khalil, Juz. 3, Hal. 201. Al Maktabah Asy Syamilah

[51] Imam Muhammad bin Ahmad ‘Alisy Al Maliki, Manahal Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, Juz. 1, Hal. 476.
Al Maktabah Asy Syamilah

[52] Imam Asy Syafi’i, Al Umm, Juz. 1, Hal. 109. Al Maktabah Asy Syamilah

[53] Imam An Nawawi, Raudhatuth Thalibin, Juz. 2, Hal. 455. Al Maktabah Asy Syamilah
[54] Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Juz. 3, Hal. 167. Darul Fikr. Al Maktabah Asy
Syamilah

[55] Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi, I’anatuth Thalibin, Juz. 1, Hal. 133. Al Maktabah Asy Syamilah

[56] Imam Zakaria Al Anshari, Fathul Wahhab, Juz. 1, Hal. 88. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Al Maktabah Asy
Syamilah

[57] Imam Zakaria Al Anshari, Asnal Mathalib, Juz. 3, Hal. 41. Al Maktabah Asy Syamilah

[58] Imam Abdul Karim Ar Rafi’i, Fathul ‘Aziz Syarhul Wajiz, Juz. 4, Hal. 87-88. Darul Fikr. Al Maktabah Asy
Syamilah

[59] Imam Musa Al Hijawi, Al Iqna’, Juz. 1, Hal. 113. Al Maktabah Asy Syamilah

[60] Imam Ibnu Qudamah, Asy Syarh Al Kabir, Juz. 7, Hal. 342. Darul Kutub Al ‘Arabi. Al Maktabah Asy
Syamilah

[61] Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz. 3, Hal. 53. Al Maktabah Asy Syamilah

[62] Imam Al Bahuti, Kasysyaf Al Qina’, Juz. 2, Hal. 247. Al Maktabah Asy Syamilah

[63] Imam Ar Rahibani, Mathalib Ulin Nuha Syarh Ghayah Al Muntaha, Juz. 2, Hal. 321. Al Maktabah Asy
Syamilah

[64] Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz. 3, Hal. 216. Darul Fikr. Al Maktabah Asy Syamilah

[65] Ibid, Juz. 3, Hal. 217.

[66] Ibid, Juz. 3, Hal. 218

[67] Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz.12, Hal. 229. Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi

[68] Imam Abu Bakar Al Jashsash, Ahkamul Quran, Juz. 7, Hal. 494. Al Maktabah Asy Syamilah

[69] Imam Abu Bakar bin Al ‘Arabi, Ahkamul Quran, Juz. 6, Hal. 64. Al Maktabah Asy Syamilah

[70] Imam Al Baghawi, Ma’alim At Tanzil, Juz. 6, Hal. 34. Al Maktabah Asy Syamilah

[71] Ibid

[72] Imam Fakhruddin Ar Razi, Mafatih Al Ghaib, Juz. 11, Hal. 305. Al Maktabah Asy Syamilah

[73] Imam Al Khazin, Lubab At Ta’wil fi Ma’ani At Tanzil, Juz. 4, Hal. 499. Al Maktabah Asy Syamilah

[74] Ibid
[75] Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Quran, Juz. 5, Hal. 277. Al Maktabah Asy Syamilah

[76] Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz. 1, Hal. 65. Al Maktabah Asy Syamilah

[77] Imam Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, Juz. 3, Hal. 123. Al Maktabah Asy Syamilah

[78] Imam Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, Juz. 2, Hal. 324. Darul Maktabah Al ‘Ilmiah. Al Maktabah Asy
Syamilah

[79] Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 7, Hal. 240. Darul Fikr. Al Maktabah Asy Syamilah

[80] Ibid, Juz. 11, Hal. 289

[81] Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 4, Hal. 423. Darul Ma’rifah. Al Maktabah Asy Syamilah

[82] HR. At Tirmidzi, Kitab Ar Radha’ Bab Maa Ja’a fi Karahyatid Dukhul ‘Alal Mughibat, Juz. 4, Hal. 406,
No. 1093. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, Juz. 2, Hal. 227. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, Juz. 8, Hal. 233, No.
9368. Ibnu Hibban, Juz. 23, Hal. 216, No. 5689. Ibnu Khuzaimah, Juz.6, Hal. 256, No. 1593. Al Maktabah Asy
Syamilah

[83] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Ash Shahihah, Juz. 6, Hal. 187. Al Maktabah Asy
Syamilah

[84] Imam Al Haitsami, Majma’ Az Zawaid, Juz. 2, Hal. 35. Al Maktabah Asy Syamilah

[85] HR. Abu Daud, dia berkata hadirs ini mursal, yakni perawinya bernama Khalid bin Duraik belum
pernah berjumpa dengan Aisyah. Lihat Sunan Abu Daud, Kitab Al Libas, Bab Fima Tabdi al Mar’ah min Zinatiha, Juz
11, hal. 145. hadits no. 3580. Hadits ini dikuatkan oleh Syaikh Al Albany dalam Shahih Sunan Abu Daud Juz 9, Hal.
104. no. 4104. lihat juga tahqiqnya terhadap Hijab al Mar’ah al Muslimah no.24. Al Maktabah Asy Syamilah

[86] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Ash Shahihah, Juz. 6, Hal. 187. Al Maktabah Asy
Syamilah

[87] HR. Bukhari, Kitab Al Hajj Bab Ma Yanha min Ath Thibi Lil Muhrim wal Muhrimah, No. 1741. Abu
Daud, Kitab Al Manasik Maa Yalbasu Al Muhrim, No. 1826. Malik, Kitab Al Hajj Bab Takhmiril Muhrim Wajhah, No.
717. Al Mausu’ah Al Hadits

Anda mungkin juga menyukai