Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

METODOLOGI STUDI ISLAM

“HADITS DAN IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM”

Dosen Pengampu : Dr.Nursyalim MS., MA

DISUSUN OLEH :

Magfira (FTK.11.21.039)

PAI NON REGULER SEMESTER III

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM AL-MAWADDAH WARRAHMAH

2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. yang masih memberikan kesehatan dan
kesempatan-Nya kepada kita semua, terutama kepada penulis. Sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini.
Berikut ini, penulis mempersembahkan sebuah makalah (karya tulis) yang
berjudul “Hadits dan Ijtihad Sebagai Sumber Ajaran Islam” Penulis
mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua, terutama bagi
penulis sendiri.
Kepada pembaca yang budiman, jika terdapat kekurangan atau kekeliruan
dalam makalah ini, penulis mohon maaf, karena penulis sendiri dalam tahap
belajar. Dengan demikian, tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada para
pembaca. Semoga Allah memberkahi makalah ini sehinga benar-benar
bermanfaat.

Kolaka, 02 Desember 2022

MAGFIRA

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul.......................................................................................................i

Kata Pengantar........................................................................................................ii

Daftar Isi................................................................................................................iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang….........................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................4
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................4

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits.........................................................................................5
B. Sejarah Pertumbuhan Hadits Masa Rasulullah dan Sahabat........................5
C. Istilah-Istilah Seputar Hadits......................................................................12
D. Keududkan dan Fungsi Hadits...................................................................18
E. Dasar-Dasar Ijtihad…................................................................................20

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................26

Daftar Pustaka........................................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Islam sebagai syariat penutup dari semua syariat yang telah Allah Swt.
turunkan dimuka bumi ini, merupakan satu-satunya ajaran yang cocok dan sesuai
untuk semua ruang, waktu dan kondisi. Ajarannya sangat agung dan mulia karena
mengatur dan mengarahkan kehidupan manusia dan alam semesta sesuai dengan
asas keadilan yang menjadi harapan. Islam tidak hanya mengatur masalah yang
terbatas pada masa tertentu, akan tetapi ajarannya mampu tampil sebagai wasit
dalam memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi manusia dan
alam semesta termasuk masalah-masalah kalasik dan kontemporer. Hal itu karena
pintu ijtihad selalu terbuka dan memberi peluang bagi segenap para cendikia
untuk memberi terobosan hukum baru yang dibutuhkan.
Sumber-sumber hukum Islam merupakan dalil-dalil tempat berpijaknya setiap
kebijakan hukum Islam. Menurut Imam al-Amidiy, dalil yang merupakan bentuk
tunggal dari al-Adillah menurut bahasa adalah pedoman yang dapat mengarahkan
kepada sesuatu baik secara eksplisit maupun secara implisit. Sedangkan secara
istilah, dalil adalah sesuatu yang bisa menyampaikan kepada kesimpulan hukum
melalui serangkaian perangkat teori yang teruji.
Dalil hukum dalam Islam terbagi dua: pertama, adalah dalil yang mendapat
kesepakatan mayoritas ulama, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadis, al-Ijmȃ’ dan al-Qiyȃs.
Kedua adalah dalil yang diperselisihkan oleh para ulama tentang keabsahannya
sebagai pijakan hukum. Dalil ini cukup banyak akan tetapi yang populer
berjumlah sepuluh. Yaitu, alistihsȃn, al-Mashalih al-Mursalah atau al-Istishlah, al-
Istishhab, al-‘Uruf, Mazhab Sahabat, Syar’u Manqoblana, saddu al-Zarȃ’i, amal
ahli al- Madinah, al-Akhdzu Bi al-Aqol dan alIstiqrȃ’. Namun realitanya,
sesungguhnya semua sumber hukum dalam Islam hanya bertumpu pada satu
landasan utama yaitu segala sesuatu yang hanya bersumber dari wahyu baik al-
Qur’an maupun al- Sunnah. Adapun akal, bukanlah merupakan sumber hukum
melainkan sebagai sarana dalam rangka menalar teks-teks suci untuk sampai pada
kesimpulan hukum meskipun terkadang disebut sebagai sumber hukum.

1
Dari sudut pandang lain, dalil hukum terbagi kedalam dua kelompok yaitu;
Pertama, dalil naqli yang mencakup al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, dan urf,
syari’at umat terdahulu, mazhab sahabat, amal penduduk Madinah yang juga
digolongkan sebagai bagian dari tiga dalil pertama. kedua, dalil ‘aqli yang
mencakup al-Qiyas, al-Istihsan pada beberapa kesempatan, al-Mashahah al-
Mursalah, dan saddu al- Zari’ah. Kedua jenis dalil hukum ini kendatipun berbeda,
namun tidak dapat dipisahkan bagaikan dua sisi mata uang. Yang demikian itu
karena kesimpulan- kesimpulan hukum yang termasuk dari dalil naqli tidak akan
mungkin terwujud tanpa melalui perangkat akal. Akan tetapi ketika perangkat akal
ini digunakan sebagai sarana dalam menalar teks suci, dan ditemukan kesenjangan
antara kedua dalil diatas, maka yang harus didahulukan adalah dalil pertama
karena kepastian dan kebenarannya tidak diragukan. Kesenjangan ini mungkin
saja terjadi mengingat kemampuan akal yang sangat terbatas dan relatif. Jadi,
kesimpulannya, akal harus tunduk pada wahyu.
Semua referensi hukum diatas baik naqli maupun ‘aqli, merupakan landasan
utama bagi aktifitas ijtihad sebagai sarana dalam upaya menyimpulkan hukum
Islam. Para praktisi hukum Islam telah sepakat bahwa tidak ada hukum yang
diakui keabsahannya kecuali hukum yang bersumber dari Allah swt. Melalui
wahyu baik yang matluw (terbaca) yaitu al-qur’an maupun ghairu al-Matluw
(yang tidak terbaca) yaitu al-Sunnah.
Ijtihad dalam hukum Islam terlahir bersamaan dengan diutusnya Rasulullah
Saw sebagai penyampai pesan-pesan ketuhanan dari langit. Beliau merupakan
mujtahid perdana. Ketika itu, ranah ijtihad hanya terbatas pada masalah-masalah
yang belum dijelaskan oleh wahyu. Bilamana hasil ijtihad beliau benar, maka
turunlah wahyu membenarkannya dan jika selain itu, maka wahyu pun diturunkan
untuk mengarahkan hasil ijtihad tersebut. Hal ini dapat tergambar ketika beliau
dihadapkan pada beberapa kasus baru yang belum termuat dalam teks suci al-
qur’an seperti kasus tawanan perang badr (QS, AlAnfal: 67), kasus pemberian izin
kepada orang yang tidak turut serta dalam perang Tabuk (QS, At-Taubah: 42-43).
Dalam berijtihad, beliau berpegang teguh pada prinsip-prinsip utama Islam
atau melalui diskusi(musyawarah) bersama para sahabat. Dari sinilah konsep
ijtihad

2
jama’I (kolektif) itu terbentuk. Contohnya pada masa sahabat, sepeninggalan
baginda Rasul Saw., ijtihad banyak dipergunakan sebagai acuan dalam
penyelesaikan persoalan-persoalan yang semakin kompleks seiring perkembangan
dan tuntutan zaman, realita ini terjadi karena al-Qur’an dan hadist juga tidak lagi
bertambah sepeninggalan baginda Nabi Saw.. Sementara itu masalah-masalah
terus bertambah dan memerlukan ketentuan hukum. Pada periode inilah sumber
hukum yang sebelumnya hanya dua yaitu al-Qur’an dan al-Hadis bertambah
menjadi tiga, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah dan hasil ijtihad sahabat.
Setelah generasi sahabat, ijtihad semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan
lahirnya para mujtahid besar seperti Ibnu Syihab al-Zuhri, Umar bin Abdul Aziz
dan para pembesar ulama yang lain. Perkembangan pesat ini terus terjadi mulai
abad dua sampai empat hijriah. Masa ini dikenal dengan periode pembukuan
sunnah dan fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid handal yang kemudian
populer dengan sebutan para imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad Bin Hambal. Ketika itu, kawasan Islam
semakin luas dan ajarannya pun semakin mewarnai kehidupan manusia bukan
hanya kehidupan bangsa arab,akan tetapi juga ‘ajam atau non arab. Kondisi ini
memicu timbulnya berbagai persoalan baru yang belum tersentuh oleh teks-teks
al-Qur’an dan al- Hadits secara langsung. Kondisi inilah yang melatari terbukanya
pintu ijtihad secara luas guna mencari solusi hukum yang belum tersentuh dengan
berbagai perangkat ijtihad yang menjadi ciri-khas masing-masing mazhab yang
turut memengaruhi timbulnya perbedaan pendapat dalam menyimpulkan hasil
penalaran mereka. Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya misalnya yang berada
di Irak, landasan hukum mereka selain al-Qur’an, al-Qadis, dan ijma’, mereka
juga menekankan qiyas dan istihsan, sedang Imam Malik, selain menggunakan al-
Qur’an, al-Hadis dan ijma’, beliau lebih memberikan porsi pada penggalian
hukum melalui metode al-Maslahah al- Mursalah dan tradisi penduduk Madinah.

3
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Hadits ?
2. Bagaimanakah sejarah pertumbuhan Hadits masa Rasulullah dan Sahabat ?
3. Apa sajakah istilah-istilah seputar Hadits ?
4. Dimanakah posisi dan Apakah Fungsi Hadits ?
5. Apakah Dasar-Dasar Ijtihad ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui makna dari hadits.
2. Untuk mengetahui sejarah bertumbuhnya hadits pada masa Rasulullah
Saw dan Sahabat.
3. Untuk mengetahui istilah-istilah yang sering digunakan dalam ilmu hadits.
4. Untuk mengetahui posisi dan fungsi hadits.
5. Untukm mengetahui dasar-dasar ditetapkannya ijtihad.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits

Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang
dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang
diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah saw,
baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan
mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
 Hadits Qauliyah (ucapan) yaitu hadits-hadits Rasulullah saw, yang
diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persuaian (situasi).
 Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad saw,
seperti pekerjaan melakukan shalat lima waktu dengan tata caranya dan
rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya
mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.
 Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah
diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau
perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya,
dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu, sehingga
dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan suatu
perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada
masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu
menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal
itu merupakan pengakuan dari Nabi.
B. Sejarah Pertumbuhan Hadits Masa Rasulullah dan Sahabat
1. Sejarah Pertumbuhan Hadits Masa Rasulullah Saw.
Pada masa kepemimpinan Rasulullah Saw., kecakapan dalam baca tulis masih
terbilang sangat kurang, maka Nabi menekankan para shahabat untuk menghafal
Hadist, memahami, memelihara, dan memantapkannya dalam bentuk amalan
sehari-hari, serta menyampaikanya kepada orang lain (Endang Soetari, 2008:54).
Masa ini berlangsung selama 23 tahun, mulai tahun 13 sebelum Hijriyah,
bertepatan
5
dengan tahun 610 Masehi sampai dengan tahun 11 Hijriyah, bertepatan dengan
tahun 632 Masehi (Latifah Anwar, 2020:132). Menurut Abd al-Nashr, Allah telah
memberikan keistimewaaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan
kemampuan menghafal. Mereka dapat meriwayatkan al-Quran, hadis dan syair
dengan baik seakan-akan mereka membaca dari sebuah buku (Latifah Anwar,
2020:133). Para shahabat tidak sederajat dalam mengetahui keadaan Nabi SAW.
Ada sahabat yang menerima banyak Hadist, ada pula yang sedikit, hal ini
dipengaruhi oleh faktor tempat tinggal, pekerjaan, usia, dan lainnya. Ada sahabat
yang tinggal di kota, di dusun, berniaga, bertukang, dll. Nabi pun tidak selalu
mengadakan ceramah terbuka. Ceramah terbuka diberikan beliau hanya tiap hari
Jum’at, hari raya dan waktu-waktu yang tidak ditentukan, jika keadaan
menghendaki (AshShiddieqy, 2019, 30).
Salah satu kebijakan terbesar Nabi terkait pemeliharaan hadits adalah dengan
memerintahkan para sahabat untuk menghafal dan menulis Al-Qur’an, serta secara
resmi mengangkat penulis wahyu yang bertugas mencatat setiap ayat al-Qur’an
yang turun atas petunjuk langsung dari Nabi SAW. Nabi juga memerintahkan
sahabat untuk menghafal dan ditablighkan dengan tidak boleh mengubahnya sama
sekali, dan tidak melakukan penulisan Hadist secara resmi seperti al-Qur’an
(Soetari, 2008, 35).
2. Sejarah Pertumbuhan Hadits Masa Sahabat
Setelah Rasulullah SAW Wafat, para sahabat sebenarnya tidak kesulitan
dalam mencari-cari hadis Rasulullah karena masih segar dalam ingatan mereka
tentang kebersamaan mereka bersama Rasululullah SAW. Akan tetapi
kekhawatiran para sahabat akan terjadinya kedustaan terhadap Rasulullah SAW
membuat mereka sangat berhati-hati dalam menerima hadis-hadis walaupun dari
kalangan sahabat sendiri. Hal ini dikarenakan sabda Rasullulah SAW yang
diriwayatkan oleh Al- Bukhari dan Imam Muslim.
Dari Al Mughirah, ia mendengar Rasulullah saw bersabda,
‫مدًا َيتَ َب َع م َن ا نل َّا ِر‬ َ ْ ‫ َح‬hَ‫ك ع ى َك علَى أ‬
‫كذ‬ ‫َّن‬
’ِ ‫عل‬
‫دَُه‬ ‫مَت‬ ‫ى‬ ‫ ن ب‬، ‫ٍد‬ ‫ِذ ل ْيس ِذب‬
‫َع ّو ْأ ْل م ْق‬ ‫ك‬ ‫ًبا‬
‫م‬

6
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada
selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka
hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291
dan Muslim no. 4).
Memasuki era ini, sejarah perkembangan hadis telah memasuki babak baru,
khususnya pada masa al Khulafa ’ al Rashidun yang ditandai dengan munculnya
khalifah empat; Abu Bakar As-Siddiq, ‘Umar bin Khattab, ‘Usman bin ‘Affan dan
‘Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin Islam selanjutnya, sehingga masa ini
dikenal dengan masa sahabat besar.
 Abu Bakar As-Shiddiq
Menurut Muhammad ibn Ahmad al-Dzahaby dalam kitabnya Tadzkiratul
Huffadz fi Tarjamati Abi Bakar al Siddiq, Abu Bakar al Siddiq adalah sahabat
Nabi yang pertama kali menunjukkan sikap kehati-hatiannya dalam meriwayatkan
hadis. Pernyataan Muhammad ibn Ahmad al-Dzahaby ini didasarkan atas
pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek.
Suatu ketika ada seorang nenek menghadap khalifah Abu Bakar yang meminta
hak waris dari harta yang ditinggalkan oleh cucunya. Abu Bakar kemudian
menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk dalam al-Qur’an dan praktek
Rasulullah yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar
kemudian bertanya kepada para sahabat, yaitu al-Mughirah ibn Syu’bah dan
menyatakan bahwa Rasulullah telah memberikan bagian waris kepada nenek
sebesar seperenan bagian.
Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Rasulullah menyampaikan hadis tersebut.
Abu Bakar kemudian meminta al-Mughirah untuk menghadirkan seorang saksi.
Lalu Muhammad ibn Maslamah memberikan kesaksiannya atas kebenaran
riwayat yang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut sampai pada akhirnya Abu
Bakar menetapkan bagian seperenam untuk seorang nenek berdasarkan atas hadis
yang disampaikan oleh al-Mughirah yang diperkuat dengan kesaksian Muhammad
ibn Maslamah. Kasus tersebut menunjukkan kepada kita bahwa Abu Bakar
bersikap sangat hati-hati dalam menerima periwayatan hadis meskipun
periwayatan hadis tersebut disampaikan oleh sahabat. Abu Bakar tidak langsung
gegabah menerima periwayatan hadis kecuali disertai dengan saksi. Bagi Abu

7
Bakar keberadaan saksi

8
menguatkan atas kebenaran bahwa hadis tersebut disampaikan oleh Rasulullah,
sehingga Abu Bakar tidak akan menerima periwayatan hadis tanpa ada saksi.
Bukti lain tentang sikap kehati-hatian Abu Bakar dalam periwayatan hadis
terlihat pada tindakannya yang membakar catatan- catatan hadis yang dimilikinya.
Putrinya, ‘Aishah binti Abu Bakar mengatakan bahwa Abu Bakar telah membakar
catatan yang berisi sekitar 500 hadis. Abu Bakar menjelaskan bahwa dia
membakar catatannya karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan. Data
sejarah menunjukkan bahwa kegiatan periwayatan hadis di kalangan umat Islam
pada masa khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat dimengerti karena
pada masa pemerintahan Abu Bakar, umat Islam dihadapkan pada berbagai
ancaman dan kekacauan yang membahayakan stabilitas keamanan negara. Karena
Abu Bakar bersikap sangat hati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat
dimaklumi jika jumlah hadis yang diriwayatkannya sangatlah sedikit. Padahal dia
adalah seorang sahabat yang telah lama bergaul dan sangat akrab dengan
Rasulullah, mulai dari zaman sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah sampai
Rasulullah wafat.
Harusnya materi hadis yang dimiliki oleh Abu Bakar sangat banyak
mengingat keberadaannya yang selalu bersama dengan Rasulullah, namun
faktanya tidak demikian. Dalam pada itu, harus pula dipahami bahwa sebab lain
sehingga Abu Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadis karena: (1) Abu Bakar
selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah, (2) Kebutuhan akan
hadis tidak sebanyak pada zaman sesudahnya, (3) Jarak waktu antara
kewafatannya dengan kewafatan Rasulullah sangatlah singkat. Abu Bakar
mengambil kebijakan memperketat periwayatan hadis dengan maksud agar hadis
tidak disalahgunakan oleh kaum munafik, untuk menghindari kesalahan dan
kelalaian sebagai akibat memperbanyak periwayatan hadis yang berujung pada
kebohongan. Yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar as-siddiq dalam kasus
seorang nenek yang meminta hak waris atas kematian cucunya merupakan bentuk
kritik riwayat meskipun masih dalam praktek yang sederhana yang selanjutnya
dipraktekkan pula oleh sahabat lain, dan menjadi cikal bakal lahirnya kritik
riwayah yang masuk dalam diskursus studi hadis.Kritik hadis ini dipahami
sebagai usaha untuk memilahkan mana informasi yang betul-betul bersumber dari

9
Rasulullah dan mana

1
yang bukan. Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq sendiri memang dikenal sebagai
pioneer dalam bidang ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Dzahaby. Ia
dikenal sebagai orang pertama yang menjelaskan dan mengukuhkan metode kritik
hadis dan substansinya dalam menghindarkan hadis dari kebohongan, kemudian
disusul sahabat ‘Umar dan ‘Ali.
 Umar bin Al-Khattab
Tindakan yang demikian juga dilakukan oleh ‘Umar bin Khattab dengan tidak
memperbanyak periwayatan hadis sehingga perhatian umat Islam terhadap al-
Qur’an tidak terbagi karena umat Islam lebih membutuhkan al-Qur’an untuk
dipelajari, dihafalkan dan diamalkan kandungannya. Para sahabat pada masa ini
lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an.
Akibatnya periwayatan hadis pun kurang mendapat perhatian, bahkan mereka
berusaha untuk bersikap hati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadis.
Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa pernah suatu ketika Abu Musa al-
Asy’ari bermaksud menjumpai ‘Umar bin Khattab. Ia berdiri di depan pintu
rumah ‘Umar dan mengucapkan salam sebanyak tiga kali. Karena tidak mendapat
jawaban, ia kemudian bermaksud kembali (pulang). Kemudian ‘Umar bin Khattab
memanggilnya dan menanyakan apa yang menghalanginya masuk. Abu Musa al-
Asy’ari pun menjawab bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

‫ فان‬،‫ث‬
‫ن‬ ‫ االستئذا ي‬:‫ قال رسول هلال ص ’لى هلال عليه و سلم‬:‫رضي هلال عمه قال‬ ‫ع ن أب ى م و س ى ا ا ل ش ع ر‬
‫أذن‬
‫ثال‬
‫لك و اال’ فارجع‬
Dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiallahu’anhu, dia berkata: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Minta izin masuk rumah itu tiga kali, jika
diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka pulanglah!’” (H.R. Bukhari
dan Muslim)
Kemudian Umar bin Khattab meminta kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk
mendatangkan saksi. Abu Musa al-Asy’ari menceritakan kejadian yang
dialaminya kepada Sa’id dan sahabat yang lain, sebab itulah mereka mengutus
salah seorang sahabat bersama Abu Musa al-Asy’ari untuk kembali menghadap
‘Umar bin Khattab dan memberikan persaksian atas periwayatan Abu Musa al-
Asy’ari
1
tersebut. Sebagaimana Abu Bakar yang menerapkan kritik sanad, hal yang
demikian juga dilakukan oleh sahabat ‘Umar bin Khattab, seperti dalam kasus di
atas.
Imam Ibnu Qutaibah berkata: “Umar bin Khattab adalah orang yang sangat
menolak keras memperbanyak periwayatan hadis, atau datangnya suatu hadis
tanpa adanya saksi sehingga ‘Umar bin Khattab memerintahkan untuk
mempersedikitkan periwayatan hadis. Hal ini dilakukan karena umat Islam telah
tersebar diberbagai daerah, mulai banyaknya orang berbondong-bondong
memeluk agama Islam, kekhawatiran terjadinya tadlis dan kebohongan dari orang-
orang munafik. Oleh karena itu beberapa sahabat seperti Abu Bakar as-sssshiddiq,
‘Umar bin Khattab, Zubair bin Awwam, Abu ‘Ubaidah, ‘Abbas bin Abu Talib
menyedikitkan periwayatan hadis”. Begitulah sikap para sahabat dalam menjaga
keotentikan hadis. Ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab para sahabat
dalam menjaga hadis dari berbagai kekeliruan dan pemalsuan, sebab dengan
membatasi periwayatan akan menutup kesempatan orang-orang munafik untuk
memalsukan hadis, apalagi pada masa ‘Umar, umat Islam telah menaklukkan
banyak wilayah sehingga banyak orang yang juga berbondong memeluk agama
Islam.
 Usman Bin Affan
Amir al mukmin ‘Usman ibn ‘Affan, bahwa beliau juga menerapkan kebijakan
sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulunya dalam menyedikitkan
periwayatan hadis. Dalam suatu kesempatan khutbah, ‘Usman Bin Affan meminta
kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak
pernah mendengar hadis itu pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar. Usman pribadi
tampaknya memang tidak terlalu banyak dalam meriwayatkan hadis. Ahmad bin
Hambal meriwayatkan hadis dari ‘Uthman sekitar 40 saja, itu pun banyak matan
hadis yang terulang, karena perbedaan sanad. Matan hadis yang banyak terulang
itu adalah hadis tentang wudhu. Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa
Usman bersikap agak longgar dalam periwayatan hadis sehingga pada zaman ini
periwayatan hadis banyak terjadi dibandingkan dengan zaman sebelumnya.
Meskipun dalam khutbahnya Usman pernah menyerukan kepada umat Islam
agar lebih berhati-hati dalam melakukan periwayatan, dengan cara tidak

1
meriwayatkan hadis yang tidak didengar pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, akan
tetapi seruan itu terlihat tidak begitu besar pengaruhnya sebab pribadi ‘Usman
memang tidak sekeras pribadi ‘Umar.‘Usman juga tidak mengharuskan
keberadaan saksi sebagai syarat utama dalam penerimaan hadis. Selain itu karena
wilayah Islam telah makin meluas, dan luasnya wilayah Islam menyebabkan
bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis.
 Ali Bin Abi Thalib
Sikap khalifah ‘Ali bin Abi Talib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para
khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadis. Secara umum, ‘Ali bin Abi Talib
barulah bersedia menerima periwayatan hadis setelah periwayat hadis yang
bersangkutan mengucapkan sumpah bahwa hadis yang disampaikannya itu
benarbenar berasal dari Rasulullah. Hanyalah terhadap periwayat yang benar-
benar dipercayainya, ‘Ali bin Abi Talib tidak meminta periwayat hadis untuk
bersumpah, seperti ketika menerima riwayat hadis dari Abu Bakar al-Shiddiq.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa fungsi sumpah dalam periwayatan
hadis bagi ‘Ali bin Abi Talib bukanlah sebagai syarat mutlak keabsahan
periwayatan hadis. Sumpah dianggap tidak diperlukan apabila orang yang
bersangkutan adalah benar- benar diyakini sebagai periwayat yang dapat
dipercaya. ‘Ali bin Abi Talib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis. Hadis
yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan
(catatan). Hadis yang berupa catatan, isinya berkisar tentang (1) hukuman denda
(diyat); (2) pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan (3)
larangan melakukan hukum qisas terhadap orang Islam yang membunuh orang
kafir.
Ahmad bin Hambal sendiri telah meriwayatkan hadis Nabi melalui jalur ‘Ali
bin Abi Talib sebanyak lebih dari 780 hadis. Dalam masa akhir kekhalifahan ‘Ali
bin Abi Talib, situasi umat Islam sangat berbeda dengan situasi pada masa
kekhalifahan sebelumnya. Pada masa ini telah terjadi perpecahan di antara para
sahabat sehingga menimbulkan persengketaan antar sesama umat Islam, terutama
antara pendukung ‘Ali bin Abi Talib dan Mu’a Sufyan. Persengketaan tersebut
pada akhirnya melahirkan sekte-sekte baru dalam agama Islam yang menjadi cikal
bakal munculnya hadis palsu. Dan hadis palsu yang mula-mula dibuat adalah

1
hadis yang

1
berkenaan dengan pengkultusan pribadi. Hadis palsu ini dibuat dalam rangka
mengangkat kedudukan imam mereka. Tersebut pula bahwa yang pertama-tama
membuat hadis palsu adalah kaum Shi’ah dengan maksud mengkultuskan
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib. Hal ini diungkapkan oleh Abu al Hadid dalam
syarah Nahju al Balaghah: “ketahuilah bahwa asal mula terjadinya pembuatan
hadis palsu tentang pengkultusan individu yang berpangkal dari kaum Shi’ah.
Kegiatan Shi’ah dalam membuat hadis palsu itu kemudian dilayani lawan-
lawannya dengan membuat hadis palsu”.
C. Istilah-Istilah Seputar Hadits
1. Istilah-Istilah dalam Hadits
 Al-Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW
baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya.
 Atsar ialah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat Nabi
Muhammad SAW.
 Taqrir ialah keadaan Nabi Muhammad SAW yang mendiamkan, tidak
mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau
diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
 Shahabat ialah orang yang bertemu Rosulullah SAW dengan pertemuan
yang wajar sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan islam lagi beriman
dan mati dalam keadaan islam.
 Tabi’in ialah orang yang menjumpai sahabat, baik perjumpaan itu lama
atau sebentar, dan dalam keadaan beriman dan islam, dan mati dalam
keadaan islam.
 Rawi, yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam
suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang
atau gurunya. Perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan
merawi atau meriwayatkan hadits dan orangnya disebut perawi hadits.
 Matan Hadits adalah pembicaraan atau materi berita yang berakhir pada
sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rosulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam, sahabat ataupun tabi’in. Baik isi pembicaraan itu
tentang

1
perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam .
 Sanad atau Thariq adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadits
kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
 Kutubuttis’ah adalah kitab hadits yang diriwayatkan oleh sembilan
perawi, yaitu : (Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-
Nasa’I, Ibnu Majah, Imam Malik, Ad-Darimy)
 As-Sab’ah berarti diriwayatkan oleh tujuh perawi, yaitu : (Ahmad,
Bukhari, Muslim, Abu Dawu, Tirmidzi, An-Nasa’I, Ibnu Majah)
 As-Sittah berarti diriwayatkan oleh enam perawi yaitu : Semua nama yang
tersebut diatas (As Sab’ah) selain Ahmad.
 Al-Khomsah berarti diriwayatkan oleh lima perawi yaitu : Semua nama
yang tersebut diatas (As Sab’ah) selain Bukhari dan Muslim.
 Al Arba’ah berarti diriwayatkan oleh empat perawi yaitu : Abu Dawud,
Tirmidzi, An-Nasa’I, Ibnu Majah
 Ats Tsalasah berarti diriwayatkan oleh tiga perawi yaitu : Abu Dawu,
Tirmidzi, An-Nasa’I,
 Asy Syaikhon berarti diriwayatkan oleh dua orang perawi yaitu : Bukhari
dan Muslim
 Al Jama’ah berarti diriwayatkan oleh para perawi yang banyak sekali
jumlahnya (lebih dari tujuh perawi (As Sab’ah).
2. Istilah-Istilah Hadits Yang Dapat Dijadikan Sebagai Dalil.
 Hadits Shahih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil,
sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal.
Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang
dapat menodai keshohihan suatu hadits.
 Hadits Maqbul adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang
dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah
Hadits Shohih dan Hadits Hasan.

1
 Hadits Marfu’ : Hadits yang diriwayatkan dari nabi saw, oleh seorang
rawi kepada seorang rawi hingga sampai pada ulama MUDAWWIN
(pencatat hadits), seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lain-lain.
Disebut marfu’ karena hadits yang riwayatnya diangkat sampai kepada
Nabi SAW.
 Hadits Maushul adalah hadits yang sanadnya sampai/tersambung kepada
Nabi saw, dengan tidak terputus. Sering juga disebut dengan Muttashil.
 Hadits Mutawatir: adalah suatu hadits hasil tangkapan dari panca indra,
yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan
mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.
 Hadits Ahad: adalah hadits yang tidak memenuhi syarat syarat hadits
mutawatir.
 Hadits Masyhur: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau
lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.
 Hadits Aziz: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, walaupun
2 orang rawi tersebut pada satu thabaqah (lapisan) saja, kemudian setelah
itu orang-orang meriwayatkannya.
 Hadits Gharib: adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang
menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad
itu terjadi.
 Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi
tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak
terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk
hadits yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak
terlalu berat atau terlalu penting.
3. Istilah-Istilah Hadits Yang Memiliki Cacat.
 Hadits Dhoif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari
syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits Dho’if banyak macam
ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan
banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak
dipenuhinya.

1
 Hadits Maudhu’: adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta
yang ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik
hal itu disengaja maupun tidak.
 Hadits Matruk: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang
diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan.
 Hadits Munkar: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang
diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak
kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di
dalam satu jurusan jika ada hadits yang diriwayatkan oleh dua hadits
lemah yang berlawanan, misal yang satu lemah sanadnya, sedang yang
satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang lemah sanadnya dinamakan
hadits Ma’ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
 Hadits Mu’allal (Ma’lul, Mu’allal): adalah hadits yang tampaknya baik,
namun setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada
cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan
menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya
bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
 Hadits Mudraj (saduran): adalah hadits yang disadur dengan sesuatu
yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
 Hadits Maqlub: adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits
lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
 Hadits Mudltharrib: adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain
terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan,
dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
 Hadits Muharraf: adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi
disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk
tulisannya.
 Hadits Mushahhaf: adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan
titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
 Hadits Mubham: adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya
terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau
perempuan.

1
 Hadits Syadz (kejanggalan): adalah hadits yang diriwayatkan oleh
seorang yang makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran
mempunyai kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain
sebagainya, dari segi pentarjihan.
 Hadits Mukhtalith: adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya,
disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-
kitabnya.
 Hadits Mu’allaq: adalah hadits yang gugur (inqitha’) rawinya seorang
atau lebih dari awal sanad.
 Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang
setelah tabi’in.
 Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang
diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian
disebut Mudallis.
 Hadits Munqathi’: adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat,
disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak
berturut-turut.
 Hadits Mu’dlal: adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau
lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi’in, tabi’in bersama tabi’it
tabi’in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi’in.
 Hadits Mauquf: adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat
saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik
sanadnya bersambung atau terputus.
 Hadits Maqthu’: adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari
seorang tabi’in serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung
atau tidak.

Hadits Qudsi atau Hadits Rabbani atau Hadits Ilahi


Adalah sesuatu yang dikabarkan oleh Allah kepada Nabi-Nya dengan melalui
ilham atau impian, yang kemudian nabi menyampaikan makna dari ilham atau
impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.

1
 Al-Jarhu: Celaan yang dialamatkan pada rawi hadits yang dapat
mengganggu (atau bahkan menghilangkan) bobot predikat “al-Adalah”
dan “hafalan yang bagus”, dari dirinya.
 Tsiqah: Kredibel, di mana pada diri seorang rawi terkumpul sifat al-
Adalah dan adh-Dhabt (hafalan yang bagus).
 Rawi La Ba`sa Bihi: Rawi yang masuk dalam kategori tsiqah.
 Jayyid: Baik
 Layyin: Lemah.
 Majhul: Rawi yang tidak diriwayatkan darinya kecuali oleh seorang.
 Mubham: Rawi yang tidak diketahui nama (identitas)nya.
 Mudallis: Rawi yang melakukan tadlis (penipuan)
 Rawi Mastur: Sama dengan Majhul al-Hal (Rawi yang tidak diketahui jati
dirinya).
 Perawi Matruk: Perawi yang dituduh berdusta, atau perawi yang banyak
melakukan kekeliruan, sehingga periwayatanya bertentangan dengan
periwayatan perawi yang tsiqah. Atau perawi yang sering meriwayatkan
hadits-hadits yang tidak dikenal (gharib) dari perawi yang terkenal tsiqah.
 Rawi Mudhtharib, yaitu Rawi yang menyampaikan riwayat secara tidak
akurat, dimana riwayat yang disampaikannya kepada rawi-rawi di
bawahnya berbeda antara yang satu dengan lainnya, yang menyebabkan
tidak dapat ditarjih; riwayat siapa yang mahfuzh (terjaga).
 Rawi Mukhtalith, yaitu Rawi yang akalnya terganggu, yang menye-
babkan hafalannya menjadi campur aduk dan ucapannya menjadi tidak
teratur.
 Saqith: Tidak berharga karena terlalu lemah (parahnya illat yang ada di
dalamnya).
 Tadh’if: Pernyataan bahwa hadits atau rawi bersangkutan dha’if (lemah).
 Tahqiq: Penelitian ilmiah secara seksama tentang suatu hadits, sehingga
mencapai kebenaran yang paling tepat.
 Tahsin: Pernyataan bahwa hadits bersangkutan adalah hasan.

2
 Ta’liq: Komentar, atau penjelasan terhadap suatu potongan kalimat,
derajat hadits dan sebagainya yang biasanya berbentuk catatan kaki.
 Takhrij: Mengeluarkan suatu hadits dari sumber-sumbernya, berikut
memberikan hukum atasnya; shahih atau dhaif.
 Syahid: Hadits yang para rawinya ikut serta meriwayatkannya bersama
para rawi suatu hadits, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari
sahabat yang berbeda.
 Syawahid: Hadits-hadits pendukung, jamak dari kata syahid. Haditsnya
layak dalam kapasitas syawahid, artinya, dapat diterima apabila ada hadits
lain yang memperkuatnya, atau sebagai yang menguatkan hadits lain yang
sederajat dengannya.
 Mutaba’ah: Hadits yang para rawinya ikut serta meriwayatkannya
bersama para rawi suatu hadits gharib, dari segi lafazh dan makna, atau
makna saja; dari seorang sahabat yang sama.
D. Kedudukan dan Fungsi Hadits
1. Kedudukan Hadits

Kedudukan hadist sebagai sumber hukum Islam berada di urutan kedua


setelah Al-Quran. Jadi, jika terdapat suatu perkara yang maknanya tidak
tercantum secara detail dalam Al-Quran, maka hadits dapat dijadikan sebagai
sandaran. Setiap umat Islam juga tidak perlu ragu untuk menjadikan hadist
sebagai sandaran hukum yang kedua setelah Al-quran. Pasalnya, di dalam
Alquran telah diterangkan bahwa manusia boleh berpedoman pada ucapan dan
perbuatan dari Rasulullah. Allah SWT berfirman:

‫كا ِف ِرين‬
‫ل أ طيع َ وال َّر ل ۖ ن ت إِن َ ُي ِح ا‬hُ‫ق‬
‫ل ال ْل‬ ‫إ َولَّ ْوا‬hَ h‫ُسو ف‬ ‫وا ل‬
‫ب‬ ‫ا‬ ‫ا‬
Artinya: "Katakanlah! Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir" (Q.S Ali Imran : 32)

Dalam surah Ali Imran ayat 32, Allah SWT berfirman agar manusia taat
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dan apabila manusia berpaling maka mereka

2
adalah orang kafir yang tidak disukai Allah SWT.

2
Ayat tersebut menunjukkan bahwa menaati hadis Rasulullah SAW adalah
sebuah kewajiban sebab menjadi bagian dari ketetapan Allah SWT. Penegasan
dalam Surah Ali Imran ayat 32 ini kemudian dikuatkan lagi dalam Surah Al-Hasyr
ayat 7 di mana Allah SWt berfirman agar apa saja yang diberikan dan dilarangan
oleh Rasulullah SAW harus ditaati sebab Allah SWT sangatlah keras hukum-Nya.

2. Fungsi Hadits
Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadits memiliki beberapa fungsi, di
antaranya sebagai berikut:

 Memperjelas Isi Al-Qur’an (Bayan At-Taqrir)


Fungsi hadits yang pertama yakni memperjalas isi Al-Qur’an, sehingga lebih
mudah untuk dipahami. Hal ini menjadikan hadits sebagai petunjuk bagi manusia
dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.

 Menggantikan Aturan yang Lampau (Bayan Nasakh)


Fungsi hadits yang kedua adalah menggantikan aturan yang telah lampau.
Mengutip buku Hadits Ahkam Ekonomi oleh Iwan Permana (2021), para ulama
berpendapat bahwa bayan nasakh adalah ketentuan yang baru dapat menghapus
ketentuan yang lama karena ketentuan yang baru dianggap lebih cocok dan sesuai
dengan perkembangan zaman.

 Memberi Kepastian Hukum yang Tidak Ada dalam Al-Qur’an


(Bayan At-Tasyri’)
Fungsi hadits yang berikutnya adalah memberi kepastian hukum Islam yang
tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa Al-Qur’an memaparkan suatu perkara secara universal. Adapun peran
hadits adalah memberi kepastian tentang hukum yang belum dijelaskan dalam
Alquran.

 Menafsirkan Isi Al-Qur’an (Bayan At-Tafsir)


Bayan at-tafsir artinya hadist berfungsi sebagai pemberi tafsir pada isi Al-
Qur’an yang masih majmuk dan memberi batasan pada ayat yang sifatnya masih
mutlak.

2
E. Dasar-Dasar Ijtihad

1. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad (al-ijtihad) berakar dari kata al-Juhd yang berarti al-taqhah (daya,
kemampuan, kekuasaan) atau dari kata al-Jahd yang berarti al masyqqah
(kesulitan, kesukaran). Dari ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna
“badal al wus” wal mahud” (pengerahan daya kemampuan), atau pengerahan
segala daya kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang sukar
dan berat.
Dari pengertian kebahasaan terlihat dua unsur pokok dalam ijtihad, daya atau
kemampuan 2 objek yang sulit dan berat. Daya dan kemampuan disini dapat
diklasifikasikan secara umum, yang meliputi daya, fisik-material, mental-spiritual
dan intelektual.
Ijtihad sebagai terminology keilmuan dalam Islam juga tidak terlepas dari
unsur-unsur tersebut. Akan tetapi karena kegiatan keilmuan lebih banyak
bertumpu pada kegiatan intelektual, maka pengertian ijtihad lebih banyak
mengarah pada pengerahan kemampuan intelektual dalam memecahkan berbagai
bentuk kesulitan yang dihadapi, baik yang dihadapi individu maupun umat
manusia secara menyeluruh. Dalam rumusan definisi ijtihad yang dikemukakan
ibnu Hazm berbunyi; “Ijtihad dalam syariat ialah pencurahan kemampuan dalam
mendapatkan hukum suatu kasus dimana hukum itu tidak dapat diperoleh”.
2. Kedudukan Ijtihad
Ijtihad diberlakukan dalam berbagai bidang, yakni mencakup akidah,
mu’amalah (fiqih), dan falsafat. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan di sini
adalah mengenai kedudukan hasil ijtihad. Persoalan tersebut berawal dari
pandangan mereka tentang ruang lingkup qath’i tidaknya suatu dalil. Ulama ushul
memandang dalil-dalil yang berkaitan dengan akidah termasuk dalil qath’i,
sehingga dibidang ini tidak dilakukan ijtihad. Mereka mengatakan bahwa
kebenaran mujtahid di bidang ilmu kalam hanya satu. Sebaliknya, golongan
mutakalimin memandang bahwa di bidang ilmu kalam itu terdapat hal-hal yang
zhaniyat, karena ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan tersebut
adalah ayat-ayat mutasyabihat. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan persoalan
tersebut diperlukan ijtihad. Bahkan, mereka menyatakan bahwa setiap mujtahid
2
itu

2
benar; kalaupun melakukan kekeliruan, ia tetap mendapatkan pahala. Namun,
pendapat tersebut ditolak oleh ulama ushul. Sekalipun sama-sama menyatakan
bahwa setiap mujtahid itu benar, namun kebenaran disini terbatas dalam bidang
fiqih.
Menurut Harun Nasution, arti ijtihad seperti yang telah dikemukakan di atas
adalah ijtihad dalam arti sempit. Dalam arti luas menurutnya, ijtihad juga berlaku
pada bidang politik, akidah, tasawuf, dan falsafah.
Telah kita ketahui bahwa ijtihad telah berkembang sejak zaman Rasul.
Sepanjang fiqih mengandung “pengertian tentang hukum syara’ yang berkaitan
dengan perbuatan mukallaf”, maka ijtihad akan terus berkembang. Perkembangan
itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk
maupun macamnya. Dalam hubungan inilah, asy-Syahrastani mengatakan bahwa
kejadian-kejadian, dan kasus-kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan
manusia) termasuk yang tidak dapat dihitung. Secara pasti dapat diketahui bahwa
tidak setiap kasus ada nashnya. Apabila nashnya sudah berakhir, sedangkan
kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa terbatas; dan tatkala sesuatu yang
terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas
wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya.
Dalam masalah fiqh, ijtihad bi ar-rayu telah ada sejak zaman Rasulullah saw.
Beliau sendiri memberi izin kepada Mu’adz ibnu Jabal untuk berijtihad ketika
Muads diutus ke Yaman. Umar ibnu al Khatthab sering menggunakan ijtihad bi al
ra’yu apabila ia tidak menemukan ketentuan hukum dalam Al-Qur’an dan as
sunnah. Demikian pula para sahabat lainnya dan para tabi’in sehingga pada
perkembangan selanjutnya muncul dua golongan yang dikenal dengan golongan
ahl ar-ra’yu sebagai bandingan golongan ahli hadis. Umar Ibnu Khatthab
dipandang sebagai pemuka ahl ra-ra’yu.
Setelah Rasulullah wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang
sempurna, kewajiban berdakwah berpindah pada sahabat. Mereka melaksanakan
kewajiban itu dengan memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan berbagai
peperangan. Mereka berhasil menaklukan Persia, Syam, Mesir, dan Afrika Utara.
Akibat perluasan wilayah itu, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan
sehingga muncul berbagai

2
masalah baru yang memerlukan pemecahan. Keadaan seperti itu mendorong
pemuka sahabat untuk ber-ijtihad
3. Dasar Hukum Ijtihad
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah atau metode untuk menggali sumber
hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik
melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:
 Al-Quran (QS. An-Nisa : 59)
‫ْو‬
‫ُر ُّد َلى ِ وال‬ ‫و ُاو ِلى ا ْْل م ْن ُك ْۚ ْم َف ِا عتُ ْم شي‬ ‫ا َم ُن ْٰٓوا ا َ واَ ِط ْي ُعوا س‬ ‫يٰٓ َا ُيّ َها الَّ ِذ ْي‬
‫ال ر ِل ْن‬ ‫ُْوه‬ ‫ِفي ٍء‬ ‫ْن نَت َا َز‬ ‫ْ م ِر‬ ‫ال َّر ْو‬ ّٰ ‫ِط ْي ُعوا‬ ‫َن‬
َّ
‫َل‬ ‫ل‬
‫ل‬
‫ا‬
‫ ِو ْي ًال‬hْ‫أ‬hَ‫ ْو َن وا ْل َي ْو ِم ا ذ ٌ وا سن ت‬hُ‫ ْؤ ِمن‬hُ‫ ْم ت‬hُ‫كُ ْنت‬
ࣖ ‫ر ِلك ر ْح‬hِِۗ ‫ٰال ِخ‬ ‫ِبا ه‬
Terjemahan
‫خ‬ ِّٰ ‫ل‬
‫ْي‬ ‫ل‬
“ Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Q.S
An-Nisa : 59).
Tafsir Ringkas Kemenag RI
Agar penetapan hukum dengan adil tersebut dapat dijalankan dengan baik,
maka diperlukan ketaatan terhadap siapa penetap hukum itu. Ayat ini
memerintahkan kaum muslim agar menaati putusan hukum, yang secara hirarkis
dimulai dari penetapan hukum Allah. Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah
perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an, dan taatilah pula perintah-perintah
Rasul Muhammad, dan juga ketetapan-ketetapan yang dikeluarkan oleh Ulil Amri
pemegang kekuasaan di antara kamu selama ketetapan-ketetapan itu tidak
melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu masalah yang tidak dapat dipertemukan, maka
kembalikanlah kepada nilai-nilai dan jiwa firman Allah, yakni Al-Qur’an, dan
juga nilai-nilai dan jiwa tuntunan Rasul dalam bentuk sunahnya, sebagai bukti jika

2
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu
lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya, baik untuk kehidupan dunia kamu,
maupun untuk kehidupan akhirat kelak.

2
 Adanya keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad di antaranya
hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim:

‫ ِإذَا‬: ‫َيقُ ل‬ ‫ علَ ْي‬h‫صل‬ ‫ ِ ر هلال‬hُ‫ص رضي ع ْنه‬ ‫ْم بن ا ْل‬ ‫وعن‬
‫ْو‬ ‫ّى هلال ِه و‬ ‫َنه مع ُس ل‬hَ‫أ‬ ‫هلال‬ ‫ا‬ ‫ِرو‬
’‫سل‬ ‫س ْو‬ ‫ع‬
‫َم‬
‫ّف علَ ْي ِه‬h‫م َت‬ ٌ ‫ أ‬hُ‫ َّم ط َله‬hُ‫ران ِ ح اجت حَد ث‬ِ َ ‫َه ج‬h ‫ ث صاب َفل‬hَ‫ َهد‬hَ‫حك َم ال حا اجت‬.
‫ق‬ ‫ر‬ ‫خ أ‬hَ‫أ‬ ‫إذَا ك‬ ‫أ‬ ‫َّم أ‬ ‫ِك‬
. ‫و َم‬ ‫ُم‬
‫ج‬
Artinya: “Dan dari Amr bin Ash bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallahu
alaihi wa sallam bersabda: “apabila seorang hakim bersungguh-sungguh dalam
memutuskan suatu perkara dan keputusan itu sesuai dengan kebenaran berarti
telah mendapatkan dua pahala dan jika keliru maka dia mendapatkan satu pahala.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad
atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang
melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang
mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut.
 Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-
Qur’an, baik menurut bahasa maupun syariah. Akan tetapi, tidak
disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-
letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan.
Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum
tersebut sebanyak lima ratus ayat.
 Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut
bahasa maupun syariat. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus
menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya
secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu
Hanbal dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar
1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena
hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda.
2
 Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab
yang menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya
dengan menggunakan kamus hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui
persambungan sanad dalam hadis (Asy-Syaukani : 22).

3
 Menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-
kitab yang sudah masyhur kesahihannya, seperti Bukhari Muslim,
Baghawi, dan lain-lain.
 Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan sunnah, supaya tidak
salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus
menghapalnya. Di antara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam
naskah dan mansukh adalah kitab karangan Ibnu Khujaimah, Abi Ja’far an
Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm dan lain-lain.
 Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama,
sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa
dijadikan rujukan diantaranya kitab maratiba al-ijma’ (ibn Hajm).
 Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta meng-instimbat-nya,
karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
 Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan
bahasa, serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-
Qur’an dan as sunnah ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak
disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya,
melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari
Al-Qur’an atau al-hadis.
 Mengetahui ilmu fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan,
menurut Fakhru ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam berijtihad adalah
ilmu ushul fiqh.
 Mengetahui maqashidu asy-syariah (tujuan syariat) secara umum, karena
bagaimanapun juga syariat itu berkaitan dengan maqashidu asy-syariah
sebagai standarnya.
4. Contoh Ijtihad
Salah satu contoh ijtihad dalam kehidupan zaman sekarang, para ulama
melakukan ijtihad dalam proses penentuan 1 Ramadhan dan juga 1 Syawal.
Mereka akan berdiskusi untuk menentukan dan menetapkan 1 Ramadhan dan 1
Syawal berdasarkan perhitungan serta hukum Islam yang ada sebelumnya.

3
Contoh berijtihad yang belum pernah ada di zaman Nabi Muhammad SAW
berikutnya, misal hukum Islam mengenai pasangan yang membutuhkan bayi
tabung. Hal ini diperbolehkan dengan beragam syarat yang mengiringi. Hal ini
kemudian menjadi bentuk solusi bagi pasangan untuk menyelesaikan
permasalahan kesuburan.
Sementara contoh ijtihad di masa kekhalifahan. Salah satu contoh ijtihad
adalah saat peristiwa yang terjadi di zaman Khalifah Umar bin Khattab. Pada saat
itu para pedagang muslim mengajukan suatu pertanyaan kepada Khalifah, yakni
berapa besar cukai yang wajib dikenakan kepada para pedagang asing yang
melakukan perdagangan di wilayah Khalifah.Jawaban dari pertanyaan tersebut
belum termuat secara terperinci di dalam Alquran atau hadis. Maka Khalifah
Umar bin Khattab kemudian melakukan ijtihad bersama para pemuka agama
Islam yang paham hukum. Ditetapkan bahwasanya cukai yang dibayarkan oleh
pedagang adalah dengan disamakan dengan taraf yang umumnya dikenakan
kepada para pedagang muslim dari negara asing, di mana mereka berdagang.

3
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang
dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang
diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah saw, baik
itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir).
Hadits mulai disebarkan pada masa Rasulullah saw hingga sekarang ini. Pada
zaman Rasulullah saw, penyebaran Hadits langsung dari Rasulullah saw melalui
khutbah di hari jum’at dan lebaran muslim, dan di zaman sahabat, hadits sudah
mulain dibukukan dengan sangat hati-hati.
Sangat banyak istilah yang sering kita dengar dalam Ilmu Hadits, misalnya
matan, sanad, rawi, musnad, tahqiq, tahsin, hasan, doif, dsb.
Kedudukan Hadits dalam sumber hukum islam adalah kedua setelah al-quran.
Hadits berfungsi sebagai bayan (penjelas) Al-Qur’an, baik bayan taqrir, Bayan
Nasakh, dsb.
Dasar-dasar penetapan ijtihad adalah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adanya keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad di antaranya hadis
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim:

‫ ِإذَا‬: ‫َيقُ ل‬ ‫ علَ ْي‬h‫صل‬ ‫ ِ ر هلال‬hُ‫ص رضي ع ْنه‬ ‫ْم بن ا ْل‬ ‫وعن‬
‫ْو‬ ‫ّى هلال ِه و‬ ‫َنه مع ُس ل‬h‫َأ‬ ‫هلال‬ ‫ا‬ ‫ِرو‬
’‫سل‬ ‫س ْو‬ ‫ع‬
‫َم‬
‫ّف علَ ْي ِه‬h‫م َت‬ ٌ ‫ أ‬hُ‫ َّم ط َله‬hُ‫ران ِ حك َم ج حَد ث‬
ِ َ ‫صاب ج‬ ‫ ث‬hَ‫ َهد‬hَ‫حك َم ال حا اجت‬
‫ق‬ ‫ر‬ ‫خ أ‬hَ‫أ‬ ‫َفا ت‬ َ
‫إذا‬ ‫ أ‬hُ‫َله‬ ‫َّم أ‬ ‫ِك‬
. ‫و‬ ‫ُم‬
‫ج‬
Artinya: “Dan dari Amr bin Ash bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallahu
alaihi wa sallam bersabda: “apabila seorang hakim bersungguh-sungguh dalam
memutuskan suatu perkara dan keputusan itu sesuai dengan kebenaran berarti

3
telah mendapatkan dua pahala dan jika keliru maka dia mendapatkan satu pahala.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

3
DAFTAR PUSTAKA
https://www.slideshare.net/khairulmuttaqin75/sejarah-perkembangan-hadits-pada-
masa-nabi-sahabat.
https://media.neliti.com/media/publications/286287-perkembangan-hadis-pada-
masa-sahabat-3c536e9d.pdf
http://magelang.aisyiyah.or.id/id/berita/adab-bertamu-di-dalam-islam.html
Muhammad Farid Wajdi, S.H.I., M.M., Guru Al-Qur’an-Hadits/Pengasuh Ponpes
Modern Putri IMMIM Minasatene-Pangkep.
https://muhammadhaidir.wordpress.com/2013/02/18/istilah-istilah-dalam-ilmu-
hadits/
https://adoc.pub/istilah-istilah-dalam-ilmu-hadits.html
https://kumparan.com/berita-terkini/kedudukan-hadits-sebagai-sumber-hukum-
islam-1yP5Wivbfo7/full
http://repository.iainkediri.ac.id/19/8/BAB%20VI.pdf

Anda mungkin juga menyukai