Anda di halaman 1dari 46

KLASIFIKASI ILMU FIKIH

Disusun oleh:

RIZKI AGUNG KARUNIA 23.02.01.0001


ZULFAH NUR FAKHIRA 23.02.02.0003

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NIDA EL-ADABI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam karena
atas izin dan kehendak-Nya jugalah makalah sederhana ini dapat kami selesaikan
tepat pada waktunya. Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah. Adapun yang kami bahas dalam makalah ini
mengenai "Klasifikasi ilmu fikih" .
Dalam penulisan makalah ini kami menemui berbagai hambatan yang
dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan kami mengenai hal yang berkenan
dengan penulisan makalah ini. Oleh karena itu sudah sepatutnya kami berterima
kasih kepada dosen kami yang telah memberikan limpahan ilmu berguna kepada
kami.
Kami menyadari akan kemampuan kami yang masih terbatas. Dalam makalah
ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Harapan kami, makalah ini dapat
menjadi track record dan menjadi referensi bagi kami dan orang lain dalam
mengarungi masa depan. Kami juga berharap agar makalah ini dapat berguna bagi
orang lain yang membacanya

Bogor, 28 September 2023

2|Page
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR....……………………………………………………ii
DAFTAR ISI……….………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN….………………………………………………..
A. Latar Belakang…………………………………………………….
B. Tujuan……………………………………………………………..
C. Rumusan Masalah…………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN………………………………. …………………...
A. Sumber-Sumber Hukum dalam Ilmu Fikih
B. Klasifikasi Ilmu Fikih Berdasarkan Sumber-Sumber Hukum
C. Klasifikasi Ilmu Fikih Berdasarkan Mazhab
D. Klasifikasi Ilmu Fikih Berdasarkan Ruang Lingkup Aplikasi
E. Klasifikasi Ilmu Fikih Berdasarkan Asal Usul Fikih
BAB III KESIMPULAN ……………………………………………………
A. Kesimpulan ………………
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………

3|Page
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Latar belakang makalah ini didasarkan pada pentingnya pemahaman yang
mendalam tentang ilmu fikih dalam konteks agama Islam. Ilmu fikih adalah
salah satu cabang ilmu dalam Islam yang berfokus pada pemahaman hukum-
hukum agama dan tata cara beribadah. Dalam praktiknya, pemahaman ilmu
fikih memiliki peran sentral dalam panduan kehidupan sehari-hari umat Islam.
Klasifikasi ilmu fikih menjadi kategori-kategori tertentu adalah langkah
awal yang penting dalam memahami keragaman hukum-hukum agama Islam.
Hal ini membantu umat Islam untuk memahami aturan-aturan agama yang
berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, termasuk ibadah, perdagangan,
dan hukum pidana. Oleh karena itu, penjelasan yang jelas mengenai klasifikasi
ilmu fikih sangatlah relevan dalam upaya mendalami agama Islam dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui makalah ini, kami akan menjelaskan klasifikasi ilmu fikih secara
ringkas dan mudah dimengerti, dengan harapan dapat memberikan pemahaman
dasar yang berguna bagi pembaca dalam menggali lebih dalam aspek-aspek
penting dalam ilmu fikih. Makalah ini juga dapat menjadi referensi awal bagi
mereka yang ingin memahami dan menggali lebih dalam ilmu fikih dalam
konteks Islam.

B. TUJUAN
Makalah ini memiliki sejumlah tujuan penting yang meliputi memberikan
pemahaman dasar tentang klasifikasi ilmu fikih kepada pembaca. Dengan
pemahaman yang lebih mendalam tentang klasifikasi ilmu fikih, pembaca
diharapkan dapat mengenali perbedaan dan hubungan antara berbagai aspek
ilmu fikih, yang pada gilirannya akan membantu mereka dalam praktik
keagamaan sehari-hari. Dalam konteks praktik keagamaan, ilmu fikih
memainkan peran sentral, dan pengetahuan yang lebih baik tentang klasifikasi
ini dapat membantu pembaca mengambil keputusan yang lebih tepat dalam
beribadah, berdagang, atau dalam situasi hukum lainnya.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk mendorong studi lanjutan dalam
ilmu fikih. Dengan pemahaman awal yang diberikan tentang klasifikasi ilmu
fikih, pembaca yang tertarik untuk mengejar studi lebih lanjut dalam topik ini
dapat menggunakan makalah ini sebagai titik awal. Dengan memahami
keragaman dalam ilmu fikih, pembaca diharapkan akan lebih terbuka untuk
eksplorasi dalam berbagai madzhab dan pandangan dalam Islam.
Makalah ini juga bertujuan untuk menghormati keragaman dalam Islam.
Agama ini memiliki beragam pandangan dan pendekatan dalam ilmu fikih, dan
tujuan makalah ini adalah untuk menjelaskan keragaman ini dengan cara yang
objektif dan informatif. Dengan begitu, pembaca dapat memahami adanya
berbagai madzhab dan pandangan yang berbeda dalam ilmu fikih, serta
menghormati perbedaan ini sebagai bagian penting dari warisan intelektual
Islam.
Selanjutnya, makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pendidikan dalam bidang ilmu fikih. Ini dapat berlaku dalam berbagai konteks,
mulai dari sekolah hingga lembaga keagamaan dan bahkan dalam pengaturan
akademik yang lebih tinggi. Penjelasan klasifikasi ilmu fikih ini dapat menjadi
sumber referensi awal yang berguna bagi para pendidik dan siswa dalam
memahami landasan ilmu fikih.
Terakhir, makalah ini mencoba berkontribusi pada pemahaman antaragama.
Meskipun makalah ini berfokus pada ilmu fikih dalam Islam, pemahaman
tentang aspek-aspek hukum agama dapat menjadi titik awal untuk memahami
perbedaan dan persamaan dengan agama-agama lain. Dengan begitu, makalah
ini dapat berkontribusi pada dialog antaragama dan mempromosikan
pemahaman yang lebih dalam tentang perbedaan dan persamaan antara agama-
agama.
Dengan tujuan-tujuan ini, makalah diharapkan dapat memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang ilmu fikih, dan menginspirasi pembaca
untuk menggali lebih dalam agama Islam serta ilmu fikih dalam konteks yang
lebih luas.

C. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana klasifikasi ilmu fikih menjadi Fikih al-Ibadat.?
Bagaimana klasifikasi ilmu fikih menjadi Fikih al-Mu'amalat .?
Bagaimana klasifikasi ilmu fikih menjadi Fikih al-Ahkam al-Khamsah.?
BAB II
PEMBAHASAN
a. Sumber-Sumber Hukum dalam Ilmu Fikih
Bab ini akan membahas secara mendalam klasifikasi ilmu fikih dalam
Islam. Klasifikasi ini merupakan fondasi yang penting dalam pemahaman
terhadap berbagai aspek hukum dan praktik keagamaan dalam Islam. Dalam
bab ini, kita akan menjelaskan dengan rinci kategori-kategori utama dalam ilmu
fikih, serta pentingnya pemahaman akan klasifikasi ini dalam konteks praktik
keagamaan sehari-hari.
b. Fikih Sunni
Fikih Sunni adalah cabang ilmu dalam Islam yang berkaitan dengan
pemahaman, penafsiran, dan aplikasi hukum Islam (Syariah) berdasarkan ajaran
dan tradisi yang diyakini dan diwariskan oleh mayoritas umat Islam, yang
dikenal sebagai golongan Sunni. Pemahaman Fikih Sunni didasarkan pada
sumber-sumber hukum utama dalam Islam, yang mencakup:
I. Al-Qur’an
Al-Qur‘an mulai diturunkan di Makah, tepatnya di Gua Hira‘ pada Tahun
611 M, dan berakhir di Madinah pada tahun 633 M, dalam jarak waktu lebih
kurang 22 tahun beberapa bulan. Ayat pertama diturunkan adalah ayat 1 sampai
dengan ayat 5 Surat Al-‗alaq yang artinya: ―Bacalah dengan ((menyebut )
nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dengan
segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar
manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.
II. Hadits
Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa
sabda, perbuatan dan persetujuam Rasulullah Muhammad SAW tersebut adalah
sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al Quran. Banyak ayat-ayat di dalam
Al Quran yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah SAW seperti firman
Allah SWT dalam Q.S Ali Imran ayat 32:
َ‫ّٰللا ََل يُحِ بُّ ْال ٰكف ِِريْن‬
َ ‫الرسُ ْولَ ۚ فَا ِْن ت ََولَّ ْوا فَا َِّن ه‬ َ ‫ – قُ ْل اَطِ ْيعُوا ه‬٣٢
َّ ‫ّٰللا َو‬
Katakanlah (Muhammad), "Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling,
ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir."
Al Hadits sebagai sumber hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat,
sebagai pemberi keterangan, sebagai pentakhshis keumuman, dan membuat
hukum baru yang ketentuannya tidak ada di dalam Al Quran. Hukum-hukum
yang ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW ada kalanya atas petunjuk
(ilham) dari Allah SWT, dan adakalanya berasal dari ijtihad.
III. Ijma
Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al Quran dan
sunah Rasul. Dalam moraref atau portal akademik Kementerian Agama
bertajuk Pandangan Imam Syafi'i tentang Ijma sebagai Sumber Penetapan
Hukum Islam dan Relevansinya dengan perkembangan Hukum Islam Dewasa
Ini karya Sitty Fauzia Tunai, Ijma' adalah salah satu metode dalam menetapkan
hukum atas segala permasalahan yang tidak didapatkan di dalam Al-Quran dan
Sunnah. Sumber hukum Islam ini melihat berbagai masalah yang timbul di era
globalisasi dan teknologi modern.
Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab Khallaf,
merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat
Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu
hukum syara' mengenai suatu kasus atau peristiwa.
Ijma dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu ijma sharih dan ijma sukuti.
Ijma sharih atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat
maupun perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sharih ini juga sangat
langka terjadi, bahkan jangankan yang dilakukan dalam suatu majelis,
pertemuan tidak dalam forum pun sulit dilakukan.
Bentuk ijma yang kedua dalah ijma sukuti yaitu kesepakatan ulama melalui
cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatanya tentang hukum
satu masalah dalam masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar luas serta
diketahui orang banyak. Tidak ada seorangpun di antara mujtahid lain yang
menggungkapkan perbedaan pendapat atau menyanggah pendapat itu setelah
meneliti pendapat itu.
IV. Qiyas
Sumber hukum Islam selanjutnya yakni qiyas (analogi). Qiyas adalah
bentuk sistematis dan yang telah berkembang fari ra'yu yang memainkan peran
yang amat penting. Sebelumnya dalam kerangka teori hukum Islam Al- Syafi'i,
qiyas menduduki tempat terakhir karena ia memandang qiyas lebih lemah dari
pada ijma.
V. ijtihad
Ijtihad adalah proses penetapan hukum syariat dengan menggunakan semua
pikiran dan tenaga secara bersungguh-sungguh. Proses ijtihad bertujuan
menciptakan solusi dalam pertanyaan hukum yang belum dijelaskan di dalam
Al-Quran dan hadis. Karenanya, hanya para ulama yang dapapt berijtihad
terkait hukum Islam. Dari sisi etimologi, ijtihad berasal dari bahasa Arab yaitu
kata jahada-yajhadu-jahd yang berarti kemampuan, potensi, kapasitas.
Berdasarkan pengertian tersebut, kita dapat mengartikan bahwa ijtihad adalah
pengerahan segala kemampuan kita dengan bekerja keras untuk mencapai
sesuatu.
c. Peran dan Signifikansi Sumber-Sumber Hukum dalam Fikih Sunni
Sumber-sumber hukum dalam Fikih Sunni memiliki peran yang sangat
penting dalam memandu, memahami, dan menerapkan hukum Islam dalam
kehidupan sehari-hari. Berikut adalah peran dan signifikansi dari masing-
masing sumber hukum dalam Fikih Sunni:
1. Al-Quran
a) Pedoman Utama: Al-Quran adalah wahyu langsung dari Allah kepada
Nabi Muhammad. Sebagai kitab suci utama dalam Islam, Al-Quran
adalah pedoman utama bagi praktik keagamaan, etika, dan hukum
Islam.
b) Otoritas Tertinggi: Al-Quran dianggap sebagai otoritas tertinggi dalam
Islam, dan hukum yang dijelaskan dalam Al-Quran dianggap sebagai
hukum yang paling otoritatif dan tidak dapat digantikan.
2. Hadis (Tradisi Nabi Muhammad):
a) Penjelasan Tambahan: Hadis memberikan penjelasan tambahan
tentang praktik-praktik dan hukum Islam yang tidak tercakup secara
rinci dalam Al-Quran. Hadis mencakup ucapan, tindakan, dan
persetujuan diam Nabi Muhammad.
b) Konteks dan Implementasi: Hadis membantu dalam memberikan
konteks untuk pemahaman dan implementasi hukum-hukum yang
dijelaskan dalam Al-Quran. Mereka juga memberikan petunjuk praktis
dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.
3. Ijma (Kesepakatan Ummat Islam)
a) Konsensus Umat Islam: Ijma adalah prinsip kesepakatan umat Islam
dalam hal-hal hukum yang tidak diatur dengan jelas dalam Al-Quran
atau Hadis. Ini mencerminkan pandangan bersama umat Islam tentang
interpretasi tertentu dalam suatu masalah hukum.
b) Stabilitas Hukum: Ijma memberikan stabilitas dalam hukum Islam dan
membantu memastikan bahwa hukum-hukum yang berlaku bersifat
konsisten di seluruh komunitas Muslim.

4. Qiyas (Analogi)

a) Penerapan Prinsip Hukum: Qiyas memungkinkan penerapan


prinsip-prinsip hukum yang ada dalam Al-Quran dan Hadis ke situasi-
situasi baru yang mungkin tidak tercakup secara khusus dalam sumber-
sumber hukum utama.
b) Kepastian Hukum: Qiyas memberikan kerangka kerja untuk

menentukan hukum dalam hal-hal yang belum diatur dalam sumber-


sumber hukum utama, sehingga memastikan kepastian hukum.

5. Ijtihad

a) Penyesuaian Kontemporer: Ijtihad memungkinkan penyesuaian


hukum Islam dengan konteks zaman dan perkembangan sosial. Ini
membantu memecahkan masalah baru yang tidak ada dalam sumber-
sumber hukum utama.
b) Kreativitas dan Inovasi: Ijtihad memungkinkan ulama untuk
berinovasi dalam pemahaman hukum dan menemukan solusi yang
sesuai dengan masalah yang berkembang.
Sumber-sumber hukum ini bekerja bersama dalam Fikih Sunni untuk
membentuk pandangan hukum Islam yang holistik, memberikan panduan
dalam berbagai aspek kehidupan, dan menjaga integritas hukum dalam
komunitas Muslim. Pengetahuan dan penggunaan sumber-sumber hukum ini
merupakan aspek fundamental dalam ilmu Fikih Sunni.

d. Hubungan antara Sumber-Sumber Hukum fikih


Sumber-sumber hukum dalam ilmu Fikih memiliki hubungan yang
kompleks dan saling terkait dalam proses pembentukan hukum Islam.
Hubungan ini membantu para cendekiawan dan ulama untuk memahami,
menafsirkan, dan menerapkan hukum Islam dalam berbagai konteks. Berikut
adalah beberapa aspek hubungan antara sumber-sumber hukum dalam Fikih:
a) Al-Quran dan Hadis
1) Al-Quran sebagai Sumber Utama: Al-Quran dianggap sebagai sumber
hukum utama dalam Islam. Hadis digunakan untuk memberikan
penjelasan lebih lanjut dan konteks terhadap ayat-ayat Al-Quran.
2) Validasi Hukum: Hadis digunakan untuk memvalidasi dan memberikan
otoritas pada hukum yang ditemukan dalam Al-Quran. Hadis yang sesuai
dengan Al-Quran diterima sebagai otoritatif.
b) Qiyas dan Ijma
1) Qiyas sebagai Metode Analogi: Qiyas digunakan untuk menerapkan
prinsip-prinsip hukum yang ada dalam Al-Quran dan Hadis ke situasi-
situasi baru. Ini menciptakan hubungan antara kasus yang sudah diatur
dan yang belum diatur dalam sumber-sumber hukum utama.
2) Ijma sebagai Kesepakatan Umat Islam: Ijma merupakan kesepakatan
umat Islam tentang masalah-masalah hukum yang tidak ada dalam Al-
Quran atau Hadis. Ijma dapat digunakan sebagai dasar hukum yang
kemudian digunakan dalam proses qiyas.

c) Ijtihad dan Penyesuaian Kontemporer

1) Penggunaan Ijtihad dalam Menghadapi Tantangan Kontemporer:

Ijtihad memungkinkan para ulama untuk menggunakan prinsip-prinsip


yang ada dalam Al-Quran, Hadis, Qiyas, dan Ijma untuk menghadapi
masalah-masalah baru yang muncul dalam masyarakat dan dunia
kontemporer.
2) Mengikuti Prinsip-Prinsip yang Ada: Ijtihad masih harus mengikuti

prinsip-prinsip dasar yang ada dalam sumber-sumber hukum utama.


Meskipun merupakan metode interpretasi yang lebih fleksibel, ijtihad
tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
Al-Quran dan Hadis.
d) Sumber-sumber Hukum sebagai Panduan Lengkap
1) Kombinasi Sumber-Sumber Hukum: Dalam banyak kasus, hukum
Islam tidak didasarkan hanya pada satu sumber hukum, melainkan
merupakan kombinasi dari berbagai sumber, termasuk Al-Quran, Hadis,
qiyas, ijtihad, dan ijma.
2) Kesepakatan dan Konsistensi: Sumber-sumber hukum saling
melengkapi dan membantu menciptakan konsistensi dalam hukum
Islam. Kesepakatan di antara para ulama (ijma) dapat
mengkonsolidasikan hukum yang berasal dari sumber-sumber lainnya
e. Fikih Syiah
1. Pengertian Fikih Syiah
Fikih Syiah adalah cabang ilmu Fikih yang dipegang oleh umat Islam
Syiah. Ini mencakup pemahaman dan aplikasi hukum Islam berdasarkan
sumber-sumber hukum yang berbeda dengan Fikih Sunni. Umat Syiah
mengikuti imam-imam mereka, yang mereka yakini memiliki otoritas
spiritual dan pengetahuan hukum yang tinggi.
2. Perbedaan dengan Fikih Sunni
a) Imamologi: Salah satu perbedaan paling mendasar antara Fikih Syiah
dan Fikih Sunni adalah konsep imamologi. Umat Syiah meyakini dalam
imam-imam yang mereka anggap sebagai penerus spiritual Nabi
Muhammad dan memiliki otoritas dalam masalah-masalah hukum dan
keagamaan. Sebagai hasilnya, Fikih Syiah mengakui kewenangan dan
interpretasi imam-imam ini sebagai sumber hukum yang sah. Fikih
Sunni, di sisi lain, tidak memiliki konsep imamologi yang sama.
b) Sumber Hukum Tambahan: Selain Al-Quran dan Hadis, Fikih Syiah
mengakui sumber hukum tambahan yang dikenal sebagai "Hadis Ahlul
Bait," yang merujuk pada hadis-hadis yang berasal dari keluarga dan
keturunan langsung Nabi Muhammad, terutama imam-imam Syiah.
Sumber ini digunakan dalam pembentukan hukum dan panduan
keagamaan.
c) Mazhab-Mazhab Fikih: Fikih Syiah memiliki mazhab-mazhabnya
sendiri, yang mencakup Mazhab Jafari (yang paling umum diikuti) serta
beberapa mazhab lain seperti Ismaili dan Zaidi. Mazhab-mazhab Syiah
ini memiliki perbedaan dalam pandangan hukum tertentu dan dalam
pandangan terhadap siapa yang dianggap sebagai imam yang sah.
d) Perbedaan dalam Praktik Ibadah: Meskipun prinsip-prinsip dasar
dalam ibadah Islam tetap sama, terdapat beberapa perbedaan dalam
praktik ibadah antara Fikih Syiah dan Fikih Sunni. Contoh perbedaan
mencakup cara menunaikan salat dan perayaan hari raya agama.
e) Pandangan Politik: Sejarah Fikih Syiah telah melibatkan peran politik
yang lebih signifikan dalam sejumlah negara, terutama dalam sejarah
awal Islam dan konteks Iran modern. Hal ini telah mempengaruhi
pandangan politik dan pemahaman Fikih Syiah.
A. Klasifikasi Ilmu Fikih Berdasarkan Mazhab
1. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi adalah salah satu dari empat mazhab utama dalam
hukum Islam Sunni. Mazhab-mazhab ini muncul sebagai hasil interpretasi
dan aplikasi hukum Islam yang berbeda oleh ulama-ulama terkemuka dalam
sejarah Islam. Mazhab Hanafi didirikan oleh Imam Abu Hanifah (699-767
M), seorang ulama terkemuka dari kota Kufah, Irak.
Mazhab Hanafi dikenal dengan pendekatan yang lebih luwes dan toleran
dalam interpretasi hukum Islam. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah karya
tulis yang penting dalam pengembangan hukum Islam, termasuk "Al-
Hidayah" oleh Imam al-Marghinani dan "Fatawa Alamgiri" oleh para ulama
India. Mazhab ini banyak diikuti di wilayah-wilayah seperti Asia Tengah,
Asia Selatan, dan sebagian wilayah Timur Tengah.
2. Sejarah Perkembangan Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi adalah salah satu mazhab hukum Islam Sunni yang
memiliki sejarah perkembangan yang panjang dan menarik. Berikut adalah
gambaran umum tentang perkembangan sejarah Mazhab Hanafi.
Imam Abu Hanifah (699-767 M): Mazhab Hanafi berasal dari ajaran dan
pandangan Imam Abu Hanifah, yang lahir di Kufah, Irak. Ia dikenal sebagai
salah satu ulama besar dalam sejarah Islam. Ia mengembangkan metode
ijtihad yang luas, memungkinkan interpretasi dan adaptasi hukum Islam
terhadap berbagai situasi dan perubahan sosial.
Pengikut dan Penerus: Setelah wafatnya Imam Abu Hanifah, para
muridnya, seperti Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad al-Shaybani,
melanjutkan pengembangan mazhab ini. Mereka mengambil prinsip-prinsip
yang telah diajarkan oleh Imam Abu Hanifah dan mengembangkannya lebih
lanjut dalam karya-karya hukum mereka.
Pengakuan Resmi: Mazhab Hanafi mulai mendapatkan pengakuan
resmi di wilayah-wilayah Khilafah Abbasiyah pada abad ke-9 M. Khalifah-
khalifah Abbasiyah, terutama Khalifah Harun al-Rashid dan anaknya,
Khalifah al-Ma'mun, memberikan dukungan dan pengakuan terhadap
mazhab ini.
Pengembangan di Berbagai Wilayah: Mazhab Hanafi mulai menyebar
ke berbagai wilayah di dunia Islam, termasuk Asia Tengah, Asia Selatan
(seperti India dan Pakistan), dan wilayah Anatolia di Turki. Di setiap
wilayah ini, mazhab ini mengalami pengembangan lebih lanjut dan
penyesuaian dengan budaya dan kondisi lokal.
Peran di India: Salah satu wilayah di mana Mazhab Hanafi memiliki
pengaruh besar adalah India. Para ulama Hanafi memainkan peran penting
dalam pengembangan hukum Islam di India dan dalam menjaga identitas
agama bagi umat Muslim di sana.
Pengaruh di Zaman Modern: Mazhab Hanafi tetap menjadi salah satu
mazhab yang paling banyak diikuti di dunia Muslim. Pengaruhnya dapat
dilihat dalam sistem hukum dan fatwa di berbagai negara. Meskipun
beberapa negara telah mengadopsi hukum sipil modern, namun prinsip-
prinsip Mazhab Hanafi masih relevan dalam banyak aspek kehidupan umat
Muslim.
Perkembangan Mazhab Hanafi mencerminkan elastisitas dan
kemampuan Islam untuk mengakomodasi perubahan zaman sambil tetap
mempertahankan akar dan prinsip-prinsipnya. Meskipun Imam Abu
Hanifah dan pengikutnya berperan penting dalam membentuk mazhab ini,
tetapi peran para ulama dan praktisi selanjutnya juga memiliki dampak
besar dalam mempertahankan dan mengembangkan ajaran-ajaran mazhab
ini.
3. Prinsip Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi memiliki sejumlah prinsip hukum yang khas yang
membentuk pendekatan mereka dalam interpretasi dan aplikasi hukum
Islam. Berikut adalah beberapa prinsip utama Mazhab Hanafi:
a. Ijtihad yang Luas: Salah satu ciri paling menonjol dari Mazhab Hanafi
adalah pendekatan mereka yang luas terhadap ijtihad (analisis hukum
berdasarkan nalar). Imam Abu Hanifah meyakini bahwa ijtihad harus
digunakan secara ekstensif untuk menghadapi situasi dan masalah baru
yang tidak secara langsung diatur dalam sumber-sumber utama hukum
Islam. Ini memungkinkan Mazhab Hanafi untuk lebih fleksibel dalam
mengadaptasi hukum kepada perubahan zaman.
b. Qiyas (Analogi): Mazhab Hanafi menggunakan prinsip qiyas atau
analogi untuk memperluas prinsip-prinsip hukum yang ada dalam Al-
Quran dan hadis kepada situasi yang tidak diatur secara langsung oleh
sumber-sumber primer. Ini memungkinkan ulama Mazhab Hanafi untuk
menerapkan hukum yang sudah ada pada kasus-kasus serupa yang tidak
ada dalam sumber-sumber utama.
b) Istihlak (Kepentingan Umum): Konsep istihlak mengacu pada memilih
opsi hukum yang paling menguntungkan bagi masyarakat, bahkan jika
tidak ada hukum yang spesifik dalam sumber-sumber primer. Ini
mencerminkan pendekatan pragmatis Mazhab Hanafi yang
menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas.
c) Ijma' (Konsensus Ulama): Mazhab Hanafi mengakui konsep ijma'
(konsensus ulama) sebagai sumber hukum yang sah, meskipun dalam
praktiknya, mereka lebih terbuka terhadap variasi pendapat di antara
ulama. Ini mencerminkan pendekatan inklusif Mazhab Hanafi terhadap
perbedaan pandangan.
d) Ra'y (Pendapat Pribadi): Meskipun dalam batas tertentu, Mazhab Hanafi
mengizinkan penggunaan pendapat pribadi atau ra'y dalam ijtihad. Hal
ini memungkinkan ulama untuk merumuskan hukum berdasarkan
pemahaman dan penilaian pribadi mereka, meskipun tetap di bawah
kerangka prinsip-prinsip Mazhab Hanafi.
e) Toleransi terhadap Perbedaan: Mazhab Hanafi dikenal dengan sikap
toleransinya terhadap perbedaan pendapat dan pandangan. Mereka
cenderung lebih menerima variasi dalam interpretasi hukum dan
mengakui berbagai pendapat ulama dalam konteks ijtihad.
f) Prinsip-prinsip ini menggarisbawahi pendekatan fleksibel dan
inklusif Mazhab Hanafi terhadap hukum Islam. Pendekatan ini
mencerminkan usaha mereka untuk menjaga keseimbangan antara prinsip-
prinsip agama yang mendasar dan tuntutan perubahan zaman.
4. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki adalah salah satu dari empat mazhab yang terkenal
dalam hukum Islam. Mazhab ini dinamai sesuai dengan pendirinya, Imam
Malik ibn Anas, seorang ulama dan cendekiawan Islam yang hidup pada
abad ke-8 Masehi. Mazhab Maliki memiliki sejarah yang panjang dan
merupakan salah satu mazhab yang memiliki pengaruh yang kuat dalam
pengembangan hukum Islam.
5. Sejarah dan Asal Usul Mazhab Maliki
Mazhab Maliki adalah salah satu dari empat mazhab yang dikenal dalam
hukum Islam. Mazhab ini berasal dari nama Imam Malik ibn Anas, seorang
ulama terkemuka yang lahir di Madinah, Arab Saudi, pada abad ke-8
Masehi. Sejarah Mazhab Maliki berakar dalam pengalaman Imam Malik
dalam mempelajari dan mengajar ilmu agama di Madinah, kota suci yang
memiliki kedudukan istimewa dalam Islam.
Imam Malik tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan pengetahuan
agama dan kehidupan sehari-hari Rasulullah Muhammad SAW. Ia
menghabiskan waktu belajar dan mengajar di Masjid Nabawi, tempat di
mana Rasulullah dan para sahabatnya berada. Imam Malik juga dikenal
karena adanya riwayat hadis yang autentik dan pemahaman yang mendalam
tentang konteks budaya Madinah pada masa itu.
Pada masa Imam Malik, kota Madinah menjadi pusat studi dan
pembaharuan ilmu agama. Imam Malik mengumpulkan pemahaman dan
pendapat-pendapat para ulama Madinah dalam sebuah kitab yang dikenal
sebagai "Al-Muwatta". Kitab ini merupakan salah satu sumber utama
hukum Islam dalam Mazhab Maliki. Dalam kitab tersebut, Imam Malik
merangkum hukum-hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan masyarakat
Madinah yang menjadi pedoman praktik agama.
Seiring waktu, pengaruh Mazhab Maliki menyebar ke berbagai wilayah,
terutama di wilayah Afrika Utara dan bagian barat Afrika. Penyebaran
mazhab ini dipengaruhi oleh perdagangan dan kegiatan dakwah Islam yang
melibatkan ulama-ulama Maliki. Mazhab Maliki juga mendapatkan
pengaruh dari lingkungan budaya dan adat istiadat lokal di daerah-daerah
yang dijangkaunya.
Dengan sejarah dan asal usulnya yang kaya, Mazhab Maliki telah
memberikan sumbangan yang signifikan dalam pengembangan hukum
Islam. Pendekatan hukum yang digunakan dalam mazhab ini mencerminkan
ketekunan Imam Malik dalam menjaga kestabilan dan keadilan dalam
masyarakat. Mazhab Maliki memiliki karakteristik khas dalam penekanan
pada maslahah (kemaslahatan), urf (tradisi lokal), dan pemahaman literal
terhadap teks-teks hukum.
Melalui pemahaman tentang sejarah dan asal usul Mazhab Maliki, kita
dapat mengapresiasi warisan ilmu dan pemikiran yang telah diberikan oleh
Imam Malik dan para pengikutnya. Pemahaman ini juga memungkinkan
kita untuk memperluas pengetahuan tentang keragaman dalam pemikiran
hukum Islam dan kontribusi mazhab-mazhab tersebut dalam membentuk
identitas dan praktik keagamaan di berbagai komunitas Muslim di seluruh
dunia.
6. Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam Mazhab Maliki memiliki ciri khas
yang membedakannya dari mazhab-mazhab lain dalam hukum Islam.
Mazhab Maliki mengadopsi pendekatan yang kuat terhadap dalil-dalil
tekstual dan kontekstual, dengan penekanan pada Al-Qur'an, hadis, dan
pendapat-pendapat sahabat Nabi. Metodologi ini bertujuan untuk
memastikan kesahihan hukum agama dengan mengacu pada sumber-
sumber utama Islam.
Dalam Mazhab Maliki, pentingnya memahami konteks budaya dan
sosial dalam menafsirkan hukum agama sangat ditekankan. Ulama Mazhab
Maliki berupaya memahami keadaan masyarakat pada masa Rasulullah dan
para sahabat untuk mengaplikasikan hukum Islam secara tepat dalam
konteks yang relevan. Pendekatan ini memberikan keleluasaan dalam
menghadapi situasi baru yang belum tercakup dalam teks-teks klasik.
Selain itu, Mazhab Maliki juga mendasarkan pemahaman hukum pada
maslahah (kemaslahatan) umum. Prinsip ini memungkinkan penyesuaian
hukum agama dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat yang berbeda.
Ulama Mazhab Maliki berusaha untuk mencapai keseimbangan antara
memelihara prinsip-prinsip Islam dan memenuhi kebutuhan praktis
masyarakat.
Dalam pemecahan masalah hukum, Mazhab Maliki menggunakan
metode istinbat (deduksi) yang melibatkan penalaran dan analogi
berdasarkan prinsip-prinsip yang diperoleh dari sumber-sumber hukum
utama. Para ulama Mazhab Maliki melakukan analisis dan penelitian yang
teliti terhadap teks-teks hukum serta pendapat-pendapat para ulama
sebelumnya untuk mengambil kesimpulan yang akurat.
Metodologi yang diusung oleh Mazhab Maliki menempatkan
keberimbangan antara tekstualitas dan kontekstualitas dalam pemahaman
dan pengambilan keputusan hukum agama. Pendekatan ini memungkinkan
fleksibilitas dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman, sambil
tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang mendasar dari agama Islam.
7. Penyebaran
Mazhab Maliki telah menyebar ke berbagai wilayah di dunia Muslim,
terutama di wilayah Afrika Utara, Timur Tengah, dan beberapa bagian Asia.
Penyebaran mazhab ini terjadi seiring dengan perjalanan perdagangan,
ekspansi politik, dan aktivitas dakwah Islam di masa lampau.
a) Di Afrika Utara, Mazhab Maliki menjadi mazhab yang dominan,
terutama di negara-negara seperti Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libya.
Hal ini dapat ditelusuri ke sejarah penyebaran Islam di wilayah ini, di
mana Mazhab Maliki diperkenalkan oleh para ulama dan penyebar
agama pada masa itu. Hingga saat ini, Mazhab Maliki tetap menjadi
mazhab mayoritas di sebagian besar negara-negara tersebut.
b) Di Timur Tengah, Mazhab Maliki memiliki pengikut yang
signifikan, terutama di Yaman dan sebagian wilayah Arab Saudi. Wilayah-
wilayah ini memiliki ikatan sejarah yang erat dengan Madinah, tempat
Imam Malik berasal, sehingga pengaruh Mazhab Maliki masih kuat di sana.
Selain itu, pengaruh Mazhab Maliki juga terasa di beberapa wilayah Arab
lainnya, meskipun tidak sebesar Mazhab Hanafi dan Syafi'i.
c) Selain Afrika Utara dan Timur Tengah, Mazhab Maliki juga memiliki
pengikut di beberapa bagian Asia, terutama di negara-negara seperti
Mesir, Sudan, Somalia, dan Indonesia. Penyebaran Mazhab Maliki ke
Indonesia terjadi melalui kontak dengan pedagang Arab dan kaum
Muslim lainnya yang datang ke kepulauan ini. Meskipun tidak menjadi
mazhab mayoritas di Indonesia, Mazhab Maliki tetap memiliki pengikut
setia di beberapa daerah.
Secara keseluruhan, penyebaran Mazhab Maliki mencerminkan
pengaruh dan warisan keilmuan Imam Malik serta upaya para ulama dan
penyebar Islam dalam menyebarkan ajaran agama. Mazhab Maliki
memberikan sumbangan yang signifikan dalam pengembangan hukum dan
pemahaman Islam di berbagai wilayah di dunia Muslim, serta menciptakan
identitas dan praktik keagamaan yang khas dalam komunitas-komunitas
tersebut.

8. Kitab-kitab
Dalam Mazhab Maliki, terdapat beberapa kitab yang dianggap penting dan
dijadikan rujukan dalam mempelajari hukum agama. Kitab-kitab ini berisi
kumpulan pengetahuan dan panduan dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk hukum, etika, dan praktik keagamaan. Beberapa kitab terkenal
dalam Mazhab Maliki antara lain:
a) "Al-Muwatta" - Kitab Al-Muwatta adalah salah satu karya utama yang
ditulis oleh Imam Malik ibn Anas, pendiri Mazhab Maliki. Kitab ini
berisi kumpulan hadis, fatwa, dan pendapat-pendapat ulama Madinah
pada masa itu. Al-Muwatta dianggap sebagai salah satu sumber utama
dalam hukum Islam Mazhab Maliki.
b) "Mudawwanah" - Kitab Mudawwanah adalah karya penting dalam

Mazhab Maliki yang ditulis oleh Imam Sahnun, seorang ulama yang
hidup pada abad ke-9 Masehi. Kitab ini merupakan komentar dan
penjelasan terhadap Al-Muwatta Imam Malik. Mudawwanah
memberikan penjelasan lebih detail tentang hukum-hukum Mazhab
Maliki serta pengaplikasiannya dalam konteks sosial dan budaya.
c) "Al-Mabsut" - Kitab Al-Mabsut adalah karya monumental yang ditulis
oleh Imam Muhammad ibn Habib, seorang ulama Maliki terkemuka.
Kitab ini mengulas hukum-hukum Mazhab Maliki secara komprehensif,
termasuk masalah hukum perdata, hukum waris, dan hukum pidana. Al-
Mabsut menjadi salah satu rujukan penting dalam studi hukum agama
Mazhab Maliki.
d) "Hashiyah" - Kitab Hashiyah adalah komentar dan penjelasan atas

beberapa kitab utama dalam Mazhab Maliki. Beberapa ulama terkemuka


seperti Al-Qurtubi, Al-Kasani, dan Al-Adawi menyusun Hashiyah
untuk memberikan penafsiran dan pengayaan terhadap kitab-kitab yang
telah ada. Hashiyah menjadi sumber referensi yang penting dalam
pemahaman mendalam tentang hukum Mazhab Maliki.
e) "Risalah" - Kitab Risalah ditulis oleh Imam Ibn Abi Zayd Al-
Qayrawani, seorang ulama Maliki yang tinggal di Afrika Utara. Kitab
ini berisi ringkasan dan panduan praktis dalam berbagai aspek
kehidupan sehari-hari, termasuk ibadah, muamalah (urusan dunia), dan
adab-etika. Risalah telah menjadi rujukan penting dalam Mazhab Maliki
dan digunakan oleh banyak pengikutnya.
Kitab-kitab ini merupakan bagian integral dari warisan ilmu Mazhab
Maliki. Mereka membantu para ulama dan umat Muslim dalam memahami,
mengimplementasikan, dan menjelaskan hukum Islam dalam konteks
Mazhab Maliki. Melalui penelitian dan studi kitab-kitab tersebut,
pengetahuan tentang Mazhab Maliki dapat diperdalam, dan pemahaman
tentang ajaran Islam dalam kerangka mazhab ini dapat diperluas.
8. Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi’i merupakan mazhab ilmu fiqih yang ijtihadnya
didasarkan pada pendapat Imam Syafi’i. Beliau merupakan seorang
Hasyimi yang masih memiliki hubungan kekeluargaan jauh dengan Nabi
Muhammad SAW.
Imam Syafi’i atau dikenal juga dengan nama Abdillah Muhammad bin
Idris lahir di Gaza pada tahun 767 M. Sejak remaja, beliau mempelajari dan
mengajarkan ilmu fiqih serta hadits kepada kaum Muslimin di sekitarnya.
Beliau menguraikan prinsip-prinsip ilmu fiqih dalam karyanya yang
berjudul Ar-Risalah. Imam Syafi’i terkenal di kalangan ahli hadits dan
penduduk Baghdad menamainya sebagai Sang Eksponen Hadits (Nashir as-
Sunnah).
Mazhab yang dibawa oleh Imam Syafi’i menyebar luas dari Baghdad
hingga ke seluruh Mesir, Irak, dan Hijaz. Agar lebih memahaminya, simak
penjelasan tentang mazhab syafi’i dalam artikel berikut ini.
9. Sejarah Mazhab Syafi’i dan Perkembangannya
Mengutip buku Kamus Sejarah Agama Islam karya Syarif Yahya (2023),
mazhab Syafi’i berkembang pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, Al-
Amin, Al-Ma’mun, dan Al-Mu’tashim. Mazhab ini berpedoman pada ajaran
Alquran, hadits, ijma, dan qiyas.
Berdasarkan jenisnya, mazhab Syafi’i terbagi menjadi dua jenis, yaitu
qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru). Pendapat lama
merupakan pendapat Imam Syafi’i ketika berada di Irak, sementara
pendapat baru ketika beliau berada di Mesir.
Pada pendapat baru, Imam Syafi’i harus mengubah ijtihadnya karena
dihadapkan pada pemikiran kaum Mu’tazilah. Mazhabnya tertuang dalam
kitab-kitab yang dikarang oleh Imam Syafi’i sendiri, yaitu Ar-Risalah dan
Al-Umm.
Selain itu, para murid seperti Al-Muzani, Al-Buwaiti, dan Ibnu
Sulaiman juga menulisnya dalam catatan mereka. Kemudian, catatan
tersebut diteruskan oleh generasi selanjutnya seperti Imam Haramain, Al-
Ghazali, Ar-Rafi’i, dan An-Nawawi dalam bentuk syarh, hasyiyah, atau
mukhtasar.
Para ulama menyebutkan bahwa mazhab Syafi’i tersebar luas di wilayah
Mesir, Bahrain, Suriah, Brunai, Indonesia, Malaysia, Hadramaut, Malabar,
dan lain-lain. Semuanya berpedoman pada pendapat baru dan pendapat
lama yang disampaikan oleh Imam Syafi’i.
Pada abad ke-3 H, para penganut mazhab Syafi’i mengalami
peningkatan di wilayah Kairo dan Baghdad. Kemudian pada abad ke-4,
pusat pengajarannya dipindahkan ke wilayah Makkah dan Madinah.
Sebelum masa pemerintahan dinasti Utsmani, mazhab Syafi’i menjadi
mazhab yang paling unggul di wilayah Islam. Namun pada abad ke-16,
imperium Utsmani menggantikannya dengan mazhab Hanafi.
Meski begitu, mazhab ini tetap unggul di kawasan Mesir, Suriah, Hijaz,
dan masih banyak dipelajari di Universitas Al-Azhar. Berikut ini jenis-jenis
kitab yang menjadi acuannya:
 Kitab Al-Muhadzdzab oleh Abu Ishaq Ibrahim asy-Syirazi.
 Kitab Majmu Syarh al-Muhadzdzab oleh Imam An-Nawawi.
 Kitab Tuhfah al-Muhtaj Syarh al-Minhaj oleh Ibn Hajar al-Haitami.
 Kitab Mugni al-Minhaj oleh Imam Khatib asy-Syarbini.
 Kitab An-Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj oleh Syamsuddin
Muhammad bin Ahmad ar-Ramli.
10. Mazhab Hanbali
Mazhab Hambali merupakan salah satu dari empat mazhab hukum Islam
yang diakui secara luas. Mazhab ini dinamai setelah Imam Ahmad bin
Hambal (780-855 M), seorang ulama besar dari Abad Pertengahan.
Meskipun Mazhab Hambali tidak sepopuler Mazhab Hanafi atau Mazhab
Syafi'i, namun ia memiliki pengikut yang setia dan memainkan peran
penting dalam perkembangan pemikiran Islam.
Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih lanjut mengenai sejarah
Mazhab Hambali, pemikiran utama yang menjadi landasan mazhab ini, serta
dampaknya dalam konteks sosial dan kehidupan umat Muslim. Dengan
memahami Mazhab Hambali, kita dapat melihat kekayaan dan keberagaman
dalam tradisi hukum Islam, serta mendapatkan wawasan yang lebih baik
tentang peran mazhab ini dalam mempengaruhi pemikiran dan praktik
keagamaan umat Islam.
11. SEJARAH DAN ASAL USUL MAZHAB HAMBALI
Mazhab Hambali memiliki sejarah yang berakar pada kehidupan dan
ajaran Imam Ahmad bin Hambal. Beliau lahir pada tahun 780 M di kota
Baghdad, Iraq, pada masa keemasan kebudayaan Islam. Imam Ahmad
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang dipenuhi oleh para ulama
besar dan intelektual Islam pada masanya.
Imam Ahmad bin Hambal dikenal sebagai seorang ulama yang sangat
cendekia dan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Al-Quran,
Hadis, dan ilmu-ilmu terkait. Beliau adalah salah satu tokoh yang sangat
dihormati dalam dunia hadis. Karyanya yang terkenal, "Musnad Ahmad",
merupakan salah satu kitab hadis terbesar yang berisi ribuan sanad (rantai
perawi) dan matan (isi) hadis.
Pemikiran dan pendekatan Imam Ahmad terhadap hukum Islam menjadi
landasan Mazhab Hambali. Beliau menekankan pentingnya merujuk
langsung kepada Al-Quran dan Hadis sebagai sumber utama hukum. Imam
Ahmad menolak pendapat-pendapat yang berlandaskan pada pendapat
individu atau analogi, dan lebih memilih mengikuti teks-teks agama secara
harfiah. Mazhab Hambali juga mempertahankan sikap yang sangat
konservatif dalam menjalankan hukum Islam, mengutamakan kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip syariat.
Asal usul Mazhab Hambali dapat ditelusuri dari lingkungan akademik
dan sosial Imam Ahmad bin Hambal di Baghdad pada abad ke-9 M. Karena
pandangan-pandangannya yang teguh, beliau menghadapi tantangan dan
penindasan dari penguasa pada masanya yang memiliki pandangan berbeda.
Imam Ahmad mengalami penganiayaan dan penahanan, namun tetap teguh
dalam mempertahankan keyakinannya.
Setelah wafatnya Imam Ahmad bin Hambal pada tahun 855 M,
pengikut-pengikutnya terus melanjutkan dan mengembangkan ajaran-
ajarannya. Mazhab Hambali mendapatkan pengakuan dan pengaruh yang
signifikan di kawasan Timur Tengah, khususnya di wilayah-wilayah seperti
Arab Saudi, Yordania, dan negara-negara Teluk Persia. Mazhab ini juga
mempengaruhi perkembangan hukum Islam di daerah-daerah yang
terpengaruh oleh kekuasaan atau penyebaran pengikut Mazhab Hambali.
Dalam konteks sejarah dan asal usulnya, Mazhab Hambali memainkan
peran penting dalam perkembangan pemikiran dan praktik hukum Islam.
Pemahaman konservatif dan pendekatan yang sangat mengutamakan Al-
Quran dan Hadis sebagai sumber utama hukum masih menjadi ciri khas
Mazhab Hambali hingga saat ini.
12. METODOLOGI

Metodologi Mazhab Hambali didasarkan pada pendekatan yang


konservatif dan tradisional dalam menetapkan hukum Islam. Beberapa
prinsip metodologi yang mendasari Mazhab Hambali antara lain:
Kitab Al-Quran dan Hadis: Mazhab Hambali menekankan pentingnya
merujuk langsung kepada Al-Quran dan Hadis sebagai sumber utama
hukum. Mazhab ini menganggap Al-Quran sebagai firman Allah yang tidak
bisa diubah atau ditafsirkan secara sembarangan. Hadis-hadis Nabi
Muhammad SAW juga dianggap otoritatif dan menjadi sumber hukum yang
penting. Pendekatan ini menekankan kepatuhan terhadap nash (teks) secara
harfiah.
Pendapat Imam Ahmad bin Hambal: Mazhab Hambali menghormati
dan mengikuti pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hambal dalam
memahami dan menjelaskan hukum Islam. Pandangan Imam Ahmad,
seperti yang terdokumentasikan dalam karya-karyanya, menjadi rujukan
utama dalam Mazhab Hambali. Pengikut mazhab ini mempelajari dan
mengikuti fatwa dan pendapat Imam Ahmad untuk mengambil keputusan
hukum.
Penolakan Analogi dan Pendapat Individu: Mazhab Hambali cenderung
menolak penggunaan analogi (qiyas) dan pendapat individu (ra'y) dalam
menetapkan hukum. Pendekatan ini lebih mengedepankan kepatuhan
terhadap teks-teks agama secara langsung, tanpa banyak melakukan
interpretasi atau penambahan.
Konservatisme dalam Penegakan Syariat: Mazhab Hambali memiliki
sikap yang sangat konservatif dalam menjalankan hukum Islam. Para
pengikut mazhab ini mempertahankan prinsip-prinsip syariat secara ketat
dan berusaha untuk menjaga keutuhan ajaran Islam dari pengaruh luar yang
dianggap merusak atau mengubah keyakinan dan praktik keagamaan.
Meskipun Mazhab Hambali mendasarkan metodologinya pada Al-
Quran, Hadis, dan pemikiran Imam Ahmad bin Hambal, mazhab ini juga
terbuka terhadap interpretasi dan penyesuaian dalam konteks kehidupan
umat Muslim. Mazhab Hambali telah beradaptasi dengan perkembangan
zaman dan memberikan ruang bagi ijtihad (usaha interpretasi hukum) bagi
para ulama setelah Imam Ahmad. Namun, tetap memegang prinsip
konservatif dan merujuk kepada pemikiran dan pendapat-pendapat
sebelumnya sebagai landasan utama.
13. KITAB-KITAB
Kitab-kitab yang terkait dengan Mazhab Hambali adalah karya-karya
yang dihasilkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan para pengikutnya.
Beberapa kitab penting dalam tradisi Mazhab Hambali antara lain:
"Musnad Ahmad": Kitab ini merupakan karya terkenal yang
dikompilasi oleh Imam Ahmad bin Hambal. Musnad Ahmad adalah salah
satu kitab hadis terbesar yang berisi ribuan sanad (rantai perawi) dan matan
(isi) hadis. Kitab ini menjadi referensi penting bagi para pengikut Mazhab
Hambali dalam menetapkan hukum Islam.
"Al-Mughni": Karya ini ditulis oleh Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi,
salah satu ulama besar dari mazhab ini. Al-Mughni adalah ensiklopedia
hukum Islam yang membahas berbagai aspek kehidupan, termasuk ibadah,
muamalah (transaksi), dan hukum pidana. Kitab ini memberikan penjelasan
rinci mengenai pandangan Mazhab Hambali tentang berbagai masalah
hukum.
"Kitab al-Umm": Kitab ini ditulis oleh Imam Muhammad bin Idris al-
Shafi'i, pendiri Mazhab Syafi'i. Meskipun kitab ini bukan karya langsung
dari Imam Ahmad bin Hambal, tetapi kitab ini memiliki pengaruh yang
signifikan dalam Mazhab Hambali. Kitab al-Umm berisi ringkasan hukum
Islam yang berdasarkan pada pendapat Imam Ahmad dan menjadi sumber
penting dalam pemahaman hukum Mazhab Hambali.
"Al-Insaf fi Ma'rifat al-Rajih min al-Khilaf": Karya ini ditulis oleh Imam
al-Mardawi, seorang ulama Mazhab Hambali yang hidup pada abad ke-7 H.
Kitab ini merupakan kompilasi yang membandingkan berbagai pendapat
dan perbedaan di antara para ulama Mazhab Hambali. Al-Insaf memberikan
panduan dalam menentukan pendapat yang paling kuat dan rajih dalam
Mazhab Hambali.
Selain kitab-kitab di atas, terdapat juga karya-karya lain dari ulama-
ulama Mazhab Hambali yang membahas masalah-masalah hukum Islam,
teologi, dan bidang lainnya. Kitab-kitab ini memainkan peran penting dalam
menjaga warisan dan pemikiran Mazhab Hambali, serta memberikan acuan
kepada pengikut Mazhab Hambali dalam menjalankan agama dan
menetapkan hukum.
f. Klasifikasi Ilmu Fikih Berdasarkan Ruang Lingkup Aplikasi
1. Fikih 'Ibadah
Menurut etimologi, kata fiqih (‫ )اْلفق ِه‬berasal dari bahasa Arab yang
berarti pemahaman atau pengetahuan, baik itu secara mendalam maupun
dangkal. Smentara itu, secara istilah, fiqih mengacu kepada ilmu yang
membahas masalah-masalah hukum Islam yang praktis.
Ada pun menurut para ahli fiqh (fuqaha), fiqih adalah mengetahui
hukum-hukum syara' yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba
(mukallaf), yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Imam Syafii memberikan definisi yang komprehensif mengenai definisi
fiqih, seperti dikutip dari buku Fiqih Ibadah oleh Yulita Futria Ningsih,
“Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum syarak yang berhubungan
dengan amal perbuatan, yang digali dari dalil yang terperinci.”
Sementara itu, definisi ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah
dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Penjelasan ini disadur dari laman resmi Kementerian Agama (Kemenag).
Ibadah juga bisa dimaknai sebagai ketundukan atau penghambaan diri
kepada Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa. Bentuk ibadah di antaranya
meliputi semua bentuk perbuatan manusia di dunia, yang dilakukan dengan
niat mengabdi dan menghamba hanya kepada Allah SWT.
Maka dari itu, semua tindakan orang mukmin yang dilandasi dengan niat
yang tulus untuk mencapai ridha Allah SWT dipandang sebagai ibadah.
Beberapa contoh yang disebut sebagai ibadah adalah salat, haji, zakat, dan
masih banyak lagi.
Berdasarkan pengertian fiqih dan ibadah di atas, maka cakupan fiqih
ibadah meliputi hukum syariat yang menyangkut seluruh aktivitas seorang
hamba yang dilakukan karena mengharap keridhaan Allah SWT.
Aktivitas tersebut tidak terbatas hanya yang berkaitan dengan kegiatan
yang menghubungkan seorang hamba dengan Allah SWT, akan tetapi juga
meliputi semua kegiatan yang dilakukan seorang hamba dalam
hubungannya dengan sesama manusia.
2. Prinsip Fiqih Ibadah
Agar aktivitas fiqih ibadah dapat diterima di sisi Allah SWT, ada
sejumlah prinsip yang harus dipenuhi. Merujuk buku Modul Fikih Ibadah
oleh Rosidin, prinsip fiqih ibadah tersebut di antaranya:
1. Muraqabah
Muraqabah adalah seseorang beribadah seakan-akan Allah SWT
mengawasinya. Dia yakin bahwa Allah SWT senantiasa bersamanya dalam
setiap aktivitas, gerak maupun diam.
2. Ikhlas
Makna dari ikhlas adalah seseorang beribadah semata-mata karena
mengharapkan ridha Allah SWT. Tidak begitu mempedulikan harapan
mendapatkan pahala maupun takut siksa. Termasuk juga, mencegah diri dari
riya', yaitu beramal agar mendapatkan perhatian dari manusia.
3. Disiplin waktu
Hendaknya, seseorang yang ingin mengerjakan ibadah harus sesuai
dengan waktunya. Bahkan, yang lebih baik adalah bergegas beribadah di
awal waktu. Misalnya, sudah masuk waktu zuhur, maka tundalah dahulu
pekerjaan yang sedang dilakukan untuk melakukan salat zuhur.
4. Ruang Lingkup Fiqih Ibadah
Menurut Ibnu Taimiyah, ruang lingkup fiqih ibadah mencakup semua
bentuk cinta dan kerelaan kepada Allah SWT, baik dalam perkataan maupun
perbuatan. Sementara menurut Zaenal Abidin dalam buku Fiqh Ibadah,
ruang lingkup fiqih ibadah digolongkan menjadi dua, yakni:
1. Ibadah Umum
Ini artinya ibadah yang mencakup segala aspek kehidupan dalam rangka
mencari keridhaan Allah SWT. Unsur terpenting dalam melaksanakan
segala aktivitas kehidupan di dunia ini agar benar-benar bernilai ibadah
adalah niat yang ikhlas untuk memenuhi tuntutan agama dengan menempuh
jalan yang halal dan menjauhi jalan yang haram.
2. Ibadah Khusus
Ini berarti ibadah yang macam dan cara pelaksanaannya ditentukan
dalam syara' (ditentukan oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW). ibadah
khusus ini bersifat tetap dan mutlak, manusia tinggal melaksanakan sesuai
dengan peraturan dan tuntutan yang ada, tidak boleh mengubah, menambah,
dan mengurangi, seperti tuntutan bersuci (wudhu), salat, puasa ramadhan,
ketentuan nisab zakat. Secara garis besar, ruang lingkup fiqih ibadah ini
sebagaimana dikemukakan Wahbah Zuhayli adalah sebagai berikut:
1. Taharah;
2. Shalat;
3. Penyelenggaraan jenazah;
4. Zakat;
5. Puasa;
6. Haji dan umroh;
7. I'tikaf;
8. Sumpah dan kaffarah;
9. Nazar;
10. Qurban dan aqiqah.
4. Dalil tentang Fiqih Ibadah
Berikut adalah beberapa dalil tentang fiqih ibadah seperti yang
diterangkan dalam buku Fiqh Ibadah karya Zaenal Abidin:
1. Dalil dalam Alquran
Allah SWT berfirman:
ۚ
َّ َ‫ع َم ًل فَ ْل َي ْع َم ْل َر ِبِّه ِلقَ ۤا َء َي ْر ُج ْوا َكانَ فَ َم ْن َّواحِ د ا ِٰله ا ِٰل ُهكُ ْم اَنَّ َمآ اِل‬
‫ي ي ُْوحٰ ٰٓ ى ِِّمثْلُكُ ْم َبشَر اَنَا اِنَّ َمآ قُ ْل‬ َ
َ ‫ࣖ ا َ َحدًا َربِ ِّٰٓه بِ ِعبَادَةِ يُ ْش ِر ْك َّو ََل‬
‫صا ِل ًحا‬
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya aku ini hanya
seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa
sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka
barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia
mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan
sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110).
Ibnu Katsir RA menjelaskan maksud ayat di atas dalam Tafsirnya,
maksud dari kalimat “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”
adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam).
Sementara pada kalimat “Janganlah ia mempersekutukan seorang pun
dalam beribadat kepada Tuhannya” maksudnya, yakni selalu mengharap
wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.
Dalil dalam hadis
Hadis pertama dari 'Umar bin Al Khottob, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat.
Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa
yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah pada
Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-
cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada
apa yang ia tuju (yaitu dunia dan wanita).”
Hadis kedua dari Ummul Mukminin, 'Aisyah radhiyallahu 'anha,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membuat
suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka
perkara tersebut tertolak.”
2. Fikih 'Mu'amalah
a) Pengertian Fiqih Muamalah
Menurut bahasa, fiqih muamalah terdiri dari dua kata yang berbeda,
yaitu fiqh dan mu’malah. Daeng Naja dalam bukunya menjelaskan, fiqh
artinya pemahaman, pengertian dan pengetahuan.
Sementara mu’malah berarti peraturan-peraturan tentang hubungan
seseorang dengan orang lain dalam hal tukar-menukar harta atau benda.
Misalnya pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerja sama dagang, utang-
piutang, hibah, wasiat, dan masih banyak lagi lainnya.
Jadi, kedua kata tersebut artinya hukum-hukum syara’ (syariah) yang
sifatnya praktis dan diperoleh dari dalil-dalil terperinci (Al-Quran dan
hadis). Hukum ini mengatur hubungan antara manusia atau kelompok satu
dan yang lain dalam persoalan ekonomi.
Ringkasnya, fiqih muamalah adalah aturan tentang kegiatan ekonomi
dalam agama Islam.
1. Objek Pembahasan Fiqih Muamalah
Ahmad Wardi Muslich dalam buku Fiqh Muamalat mencontohkan,
misalnya hak penjual menerima pembayaran atas barang yang dijual, hak
orang yang menyewakan untuk penerimaan uang pembayaran sewa tanah
atau bangunan, dan hak penyewa menerima manfaat atas tanah yang disewa.
Sumber hukum dari fiqih muamalah ini adalah Al-Quran surat An-Nisa
ayat 29 yang berbunyi:
‫اض ِِّم ْنكُ ْم ۗ َو ََل‬
ٍ ‫ع ْن ت ََر‬ َ ً ‫ارة‬ ٰٓ َّ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََل ت َأْكُلُ ْٰٓوا ا َ ْم َوالَكُ ْم بَ ْينَكُ ْم بِ ْالبَاطِ ِل ا‬
َ ‫َِل ا َ ْن تَكُ ْونَ تِ َج‬
‫ّٰللاَ َكانَ بِكُ ْم َرحِ ْي ًما‬ َ ُ‫ت َ ْقتُلُ ْٰٓوا ا َ ْنف‬
‫سكُ ْم ۗ ا َِّن ه‬
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali
dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang
kepadamu.
2. Asas-Asas Hukum dalam Muamalah
Dalam praktiknya, ada beberapa prinsip yang menjadi asas hukum satu
ini. Sedikitnya ada 18 prinsip yang menjadi asas dalam Muamalah, yaitu:
1. Asas kebolehan atau mubah, artinya semua hubungan perdata boleh
dilakukan selama tidak dilarang oleh Al-Quran dan Sunnah.
2. Asas kemaslahatan hidup, artinya hubungan apa pun dalam
muamalah boleh dilakukan asal mendatangkan kebaikan dan berguna bagi
kehidupan pribadi dan masyarakat.
3. Asas kebebasan dan kesukarelaan, artinya setiap hubungan harus
dilakukan secara bebas dan sukarela.
4. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat, artinya segala
hubungan yang mendatangkan kerugian (mudharat) harus dihindari.
5. Asas kebajikan, artinya setiap hubungan seharusnya mendatangkan
kebajikan bagi semua pihak.
6. Asas kekeluargaan atau kebersamaan yang sederajat, artinya
hubungan harus bersandar pada sikap saling menghormati, mengasihi, dan
tolong-menolong dalam mencapai tujuan bersama.
7. Asas adil dan berimbang, artinya setiap hubungan tidak boleh
mengandung unsur-unsur penipuan, penindasan, ataupun pengambilan
kesempatan pada waktu pihak lain sedang berada dalam kesempitan
sehingga hasil yang diperoleh berimbang.
8. Asas mendahulukan kewajiban dari hak, artinya setiap pihak harus
mengutamakan penunaian kewajiban terlebih dahulu daripada menuntut
hak.
9. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain, artinya
hubungan yang dilakukan tidak boleh merugikan pihak manapun.
10. Asas kemampuan berbuat atau bertindak, artinya setiap pihak harus
mampu memikul seluruh kewajiban dan hak.
11. Asas kebebasan berusaha, artinya setiap pihak punya hak untuk
melakukan usaha demi mencapai sesuatu yang baik.
12. Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa, artinya setiap pihak
memiliki haknya berdasarkan usaha dan jasa baik yang dilakukan sendiri
maupun bersama-sama.
13. Asas perlindungan hak, artinya semua hak yang diperoleh dengan
jalan halal harus dilindungi.
14. Asas hak milik berfungsi sosial, artinya hak milik tidak boleh hanya
digunakan untuk kepentingan pribadi pemilik tapi juga harus diarahkan
untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
15. Asas yang beritikad baik harus dilindungi, artinya orang yang
beritikad baik dalam hubungan ini harus dilindungi dan berhak menuntut
sesuatu jika dirugikan karenanya.
16. Asas risiko dibebankan pada harta dan tidak pada pekerja, artinya
pemilik tenaga dijamin haknya untuk mendapatkan upah saat pemilik
modal.
17. Asas mengatur dan memberi petunjuk, artinya ketentuan-ketentuan
hukumnya hanya bersifat mengatur dan memberi petunjuk.
18. Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi, artinya semua hubungan
sepatutnya dituangkan dalam perjanjian di hadapan para saksi.
3. Fiqih Jinayah
a) Pengertian Fiqih Jinayah
Secara etimologis, fiqih berasal dari kata ‫ يفقه فقه‬yang berarti faham
atau memahami ucapan secara baik, secara terminologis, fiqih
didefisinikan oleh Wahab al-Zuhali dan Umar Sulaiman dengan
mengutip definisi Al-Syafi’i yaitu ilmu tentang hukum-hukum
syariah yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan
dari dalil-dalil yang terperinci. Kata hukum dalam definisi ini
menjelaskan bahwa hal-hal yang beradadi luar apa yang dimaksud
dengan kata “hukum”, seperti zat, tidaklah termasuk kedalam
pengertian fikih. Penggunan kata syari’yyah atau syari’ah dalm
definisi ini menjelaskan bahwa fiqih itu menyangkut ketentuan yang
bersifat syar’I yaitu segala sesuatu yang berasal dari kehendak Allah.
Jadi, fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syari’ah yang bersifat
praktis dan merupakan hasil mujtahid terhadap dalil-dalil yang
terperinci baik yang terdapat dalam Al- Qur’an maupun hadist.
Adapun istilah Jinayah yang juga berasal dari bahasa arab dari kata
‫جنى‬
‫ ية ينجي–جنيا–وجنا‬yang berate melakukan dosa, itulah arti kata jinayah
secara etimonologis. Sedangkan secara terminologis jinayah
didefinisikan dengan semua perbuatan yang dilarang dan
mengandung kemadaratan terhadap jiwa atau terhadap selain jiwa,
dan wajib dijatuhi hukum qishash atau membayar denda.16 Jadi
fiqih jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak
pidana atau perbuatan criminal yang dilakukan oleh orang-orang
mukalaf sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang
terperinci dari Alqur’an dan hadist.
Jinayat bentuk jamak (plural) dari jinayah. Menurut bahasa, jinayat
bermakna penganiayaan terhadap badan, harta, jiwa. Sedangkan
menurut istilah, jinayat pelanggaran terhadap badan yang
didalamnya diwajibkan qisas atau diyat. Jinayat juga bermakna
sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan atas badan.
Dengan demikian, tindak penganiayaan itu sendiri dan sanksi yang
dijatuhkan atas penganiayaan badan disebut jinayat. Jinayat secara
garis besar dibedakan menjadi dua kategori, yaitu sebagai
berikut:
a) Jinayat terhadapa jiwa, yaitu pelanggaran terhadap seseorang
dengan menghilangkan nyawa, baik sengaja maupun tidak
sengaja.
b) Jinayat terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran terhadap
seseorang dengan merusak salah satu organ tubuhnya, atau
melukai salah satu badannya, baik sengaja maupun tidak
sengaja.
Tujuan disyari’atkan Fiqih Jinayah adalah dalam rangka untuk
memelihara akal, jiwa, harta dan keturunan. Dan ruang lingkup jinayah
meliputi pencurian, perzinahan, homoseksual, menuduh seseorang berzina,
minum khamar, membunuh atau melukai orang lain, merusak harta orang dan
melakukan gerakan kekacauan dan lain sebagainya. Dikalangan para fuqaha’
perkataan jinayah berarti perbuatan- perbuatan yang terlarang menurut syara’.
Selain itu terdapat fuqaha’yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash tidak termasuk
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zir. Istilah ini yang
sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan – larangan
syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had dan ta’zir.
2. Dasar Hukum Fiqih Jinayah dalam islam
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,
Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Al-Baqarah
179).
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,
Hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Al-Baqarah
179).
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’ 65).
sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Q.S Al-Hijr 9 )
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S
An-Nisa’ 10)
3. Asas-Asas Fiqih Jinayah
Asas mempunyai beberapa pengertian, salah satu diantaranya adalah
kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Selain itu
juga menjadi alas keterangan atau landasan. Asas hukum berarti
kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan
dalam mengemukaan suatu argumentasi, terutama dalam penegakan dan
pelaksanaan hukum. Asas hukum islam berasal dari Alqur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad saw, baik bersifat rinci maupun yang bersifat
umum. Asas-asas hukum pidana islam adalah asas- asashukum yang
mendasari pelaksanaan hukum pidana islam diantaranya :
a. Asas Legalitas
Asas legalitas adalah tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan
terlebih dahulu. Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan
individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat
dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau
kesewenangan-wenangan hakim, menjamin keamanan indivdu dengan
informasi yang boleh dan yang dilarang.
Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-
perbuatan
illegal hukumnya. Jadi berdasarkan asas ini, Asas legalitas adalah suatu
asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada
hukuman sebelum ada nash (ketentuan) yang melarang perbuatan
tersebut dan mengancamnya dengan hukuman. Asas legalitas dalam
islam bukan berdasarkan akal manusia tetapi dari ketentuan Tuhan.
Dalam kitab suci Alqur’an, Allah SWT berfirman : “dan Kami tidak
akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (al-Israa’ : 15)”
Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-kejahatan
hudud. Pelanggaranaya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti.
Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qisahs dan diyat dengan
diletakanya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Asas legalitas ini
dalam hukum pidana islam terdapat keseimbangan. Hukum islam
menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan
masyarakat.
b. Asas Tidak Berlaku Surut Dalam Hukum Pidana Islam
Asas tidak berlaku surut merupakan kelanjutan dari asas legalitas dalam
hukum pidana Islam. Dalam asas ini, mengandung arti bahwa setiap
aturan pidana yang dibuat terkemudian tida dapat menjerat perbuatan
pidana yang dilakukan sebelum aturan itu dibuat Asas ini melarang
berlakunya hukum pidana kebelakang kepada perbuatan yang belum ada
peraturanya. Hukum pidana harus berjalan kedepan. Pelanggaran
terhadap asa ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi
manusiaHal tersebut didasarkan atas beberapa firman Allah berikut:
Artinya :”dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-
buruk jalan (yang ditempuh). (Q.S. An- Nissa’ 22)”
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Allah memaafkan perbuatan-
perbuatan yang dilakukan umat-Nya sebelum adanya aturan baru yang
menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut termasuk perbuatan
jarimah atau maksiat. Hal ini menunjukkan bahwa hukum itu tidak
berlaku surut. Selain itu, dari ayat di atas menggambarkan suatu contoh
kasus penerapan asas tidak berlaku surut, yaitu menikahi bekas istri ayah
yang telah disetubuhi Perbuatan tersebut yang dilakukan sebelum
datang ayat yang melarangnya (menghramkan) tidak dapat dikenai
sanksi, melainkan dimaafkan. Oleh karena itu, aturan-aturan yang
datang terkemudian tidak dapat menjerat perbuatan-perbuatan yang
dikategorikan sebagai perbuatan jarimah oleh aturan tersebut, yang
dilakukan sebelum datang aturan tersebut. Bahwa asas tidak berlaku
surut dalam hukum pidana yang dimuat dalam pasal 8 dari The
Declaration of thr Right of Men and the Citizan (1789), dan diikuti oleh
beberapa konstitusi serta kitab undang-undang modern ini, telah dikenal
dan diterapkan berabad-abad sebelumnya dalam syar’at islam. Para ahli
fiqih modern menyimpulkan bahwa larangan berlaku surut adalah satu
prinsip dasar dari syari’at. “ Tidak ada hukuman untuk perbuatan
sebelum adanya suata nash. “ secara singkat tiada kejahatan dan pidana,
kecuali ada hukumannya lebbih dahulu.
4. Asas Praduga Tak Bersalah
Suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah
asas praduga tidak bersalah ( principle of lawfulness ). Menurut asas ini,
semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh
suatau nash hukum Jadi asas praduga tak bersalah yaitu asas yang
mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatau kejahatan
harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang
meyakinkan menyatakan degan tegas kesalahan tersebut. Empat belas
abad yang lalu Nabi Muhammad saw. bersabda Hindarkan bagi muslim
hukuman hudud kapan saja kamu dapat menemukan jalan untuk
membebaskannya, jika imam salah, lebih baik salah dalam
membebaskan dari pada salah dalam menghukum.
5. Asas Kesalahan
Seseorang yang dikenai pidana dalam hukum islam adalah orang yang
telah terbukti melalui pembuktian, telah melakukan suatau tindakan
yang dilarang syar’i. Terpidana adalah orang yang benar-benar memiliki
kesalahan, dan kesalahan itu bukan sekedar praduga , tetapi harus
dibuktikan sehingga tidak ada lagi keraguan. Keraguan hakim terhadap
kasus yang dihadapinya dapat berakibat pada keputusannya. Para
sarjana muslim sepakat bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman
had dan qisas ada keraguan, tetapi mereka berdeda dalam kejahatan
ta’zir. Pandangan mayoritas adalah asas ini tidak meliputi kejahatan-
kejahatan ta’zir
6. Asas Kesamaan di Hadapan Hukum
Prinsip kesamaan telah dikenal sejak 14 abad silam, jauh sebelum
bangsa barat mengadopsi menjadi asas “ equality before the law “.
Hukum modern baru mengenal asas ini pada akhir abad ke 18, itu pun
dalam bentuk yang kurang lengap. Bukti dari ketidak lengkapan asas
persamaan di hadapan hukum yang dianut oleh system hukum modern
adalah adanya keistimewaan terhadap orang-orang tertentu. Sistem
hukum modern dan hukum pidana islam sangat berbeda, hal ini
dibuktikan dengan sabda Rasulullah SAW “Seandainya Fatimah binti
Muhammad mencuri, ikatan kekeluarganya tidak dapat menyelamatkan
dari hukuman had “. Dengan demikian, kejahatan dalam kategori ini
dapat didefinisikan sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman
hadd, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah. Dalam definisi,
hukuman yang ditentukan, berarti bahwa baik kuantitas maupun kualitas
yang ditentukan dan ia tidak mengenal tingkatan. Menurut Mohammad
Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair yang tergolong kejahatan huddud ada tujuh
kejahatan yaitu riddah (murtad), al-baghy (pemberontakan), qadzaf
(tuduhan palsu), zina, sarriqah (pencurian), hirabah (perampokan),
shrub al- khamar (meminum khamar). Kategori berikutnya adalah
qishash. Ia jatuh pada posisi di tengah antara kejahatan huddud dan
ta’zir dalam hal beratnya.kejahatan-kejahatan dalam kategori qishash
kurang serius disbanding yang pertama (huddud), namun lebih berat dari
pada yang berikutnya (ta’zir). Sasaran dari kejahatan ini adalah
integritas tubuh manusia sengaja atau tidak sengaja. Jadi pembunuhan
dengan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena
kealpaan, penganiayaan, menimbulkan luka atau sakit karena kelalaian,
masuk dalam kategori tindak pidana qishash. Kategori terakhir adalah
kejahatan ta’zir. Landasan dan penentuan hukumnya didasarkan pada
ijma’ (consensus) berkaitan dengan hak negara muslim untuk
melakukan kriminalisasi dan menghukum semua perbuatan yang tidak
pantas, yang menyebabkan kerusakan fisik, sosial, politik, finansial,
atau moral bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan
7. Macam-macam Fiqih Jinayah
Para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya
hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-quran dal al-hadits, atas
dasar ini mereka membagi menjadi tiga macam, yaitu :
a. Jarimah hudud, yang meliputi:
Hudud, jamaknya “had”. Arti menurut bahasa ialah : menahan
(menghukum). Menurut istilah hudud berarti: sanksi bagi orang yang
Jarimah hudud ini dalam beberapa kasus di jelaskan dalam al-Qur’an
salah satu diantaranya surah An-Nur ayat 2, melanggar hukum syara’
dengan cara didera/ dipukul (dijilid) atau dilempari dengan batu hingga
mati (rajam). Sanksi tersebut dapat pula berupa dipotong tangan lalu
sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangan keduanya, tergantung
kepada kesalahan yang dilakukan. Hukum had ini merupakan hukuman
yang maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu bagi setiap hukum:
“Artinya : perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman (Q.S An-Nur : 2)”
Jenis Jenis Jarimah Hudud diantaranya :
1) Perzinaan
2) Qadzaf (menuduh berbuat zina)
3) Meminum minuman keras
4) Pencurian
5) Perampokan
6) Pemberontakan
7) Murtad
Jarimah qishas/diyat, yang meliputi :
Hukum qisos adalah pembalasan yang setimpal (sama) atas pelanggaran
yang bersifat pengerusakan badan. Atau menghilangkan jiwa, seperti dalam
firman Allah SWT.
Diat adalah denda yang wajib harus dikeluarkan baik berupa barang maupun
uang oleh seseorang yang terkena hukum diad sebab membunuh atau
melukai
seseorang karena ada pengampunan, keringanan hukuman, dan hal lain.
Pembunuhan yang terjadi bisa dikarenakan pembunuhan dengan tidak
disengaja atau pembunuhan karena kesalahan (khoto’). Jenis-jenisnya
diantaranya :
1) Pembunuhan sengaja.
2) Pembunuhan semi sengaja.
3) Pembunuhan tersalah.
4) Pelukan sengaja.
41
5) Pelukan semi sengaja.38
c. Jarimah Jarimah ta’zir
Hukum ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak di tetapkan
hukumannya dalam al-Quran dan Hadist yang bentuknya sebagai hukuman
ringan.menurut hukum islam, pelaksanaan hukum ta’zir diserahkan
sepenuhnya kepada hakim islam hukum ta’zir diperuntukkan bagi seseorang
yang melakukan jinayah/ kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat
untuk dihukum had atau tidak memenuhi syarat membayar diyat sebagai
hukum ringan untuk menebus dosanya akibat dari perbuatannya. ta’zir ini
dibagi menjadi tiga bagian :
1) Jarimah hudud atau qishah/diyat yang syubhat atau tidak memenuhi
syarat, namun sudah merupakan maksiat, misalnya percobaan pencurian,
percobaan pembunuhan, pencurian dikalangan keluarga, dan pencurian
aliran listrik.
2) Jarimah-jarimah yang ditentukan al-quran dan al-hadits, namun tidak
ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, tidak
melaksanakan amanat dan menghina agama.
3) Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh ulul amri untuk kemashlahatan
umum. Dalam hal ini, nilai ajaran islam di jadikan pertimbangan penentuan
kemashlahatan umum. persyartan kemaslahatan ini secara terinci diuraikan
dalm bidang studi Ushul Fiqh, misalnya, pelanggaran atas peraturan lalu-
lintas. Sedangkan jarimah berdasarkan niat pelakunya dibagi menjadi
menjadi dua, yaitu:
a) Jarimah yang disengaja (al-jarimah al-maqsudah).
b) Jarimah karena kesalahan (al-jarimah ghayr al-maqsudah/jarimah al-
khatha’)
g. Hukuman bagi yang melanggar Tindakan Kejahatan di Fiqih Jinayah
Didalam fiqih jinayah terdapat sanksi bagi pelaku yang melanggar
Tindakan kejahatan, sanksi sanksi yang dikenakan terhadap orang yang
melakukan tindak pidana terhadap tubuh menurut ketentuan hukum
pidana islam adalah sebagai berikut :
a. Huddud
b. Qisahas
c. Diyat
d. Takzir
h. Pengertian Fikih Siyasah
Fikih Siyasah adalah cabang ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip dan peraturan
hukum Islam yang berkaitan dengan pemerintahan, administrasi, dan politik. Ini
mencakup konsep pemerintahan, keadilan sosial, etika pemerintahan, urusan luar
negeri, dan berbagai aspek lainnya yang terkait dengan tata kelola negara dalam
Islam. Fikih Siyasah berupaya memberikan pedoman tentang bagaimana suatu
negara Islam seharusnya diatur dan bagaimana pemerintah seharusnya
menjalankan tanggung jawab mereka sesuai dengan nilai-nilai Islam.
i. Asas-Asas Fikih Siyasah:
j. Keadilan (Al-'Adl): Salah satu asas utama dalam Fikih Siyasah
adalah prinsip keadilan. Pemerintah dalam Islam diharapkan untuk
mengambil langkah-langkah yang adil dalam menjalankan tugas
mereka dan memastikan bahwa hukum dan kebijakan mereka tidak
merugikan atau mendiskriminasi warga negara. Keadilan menjadi
landasan bagi pengaturan sosial, ekonomi, dan politik dalam Islam.
k. Kepemimpinan (Al-Imamah): Konsep kepemimpinan dalam Islam
sangat penting dalam Fikih Siyasah. Hal ini mencakup pemilihan
pemimpin yang kompeten dan berakhlak baik, serta tanggung jawab
pemimpin untuk melindungi dan mengurus urusan umat. Bagi
beberapa kelompok Muslim, termasuk Syiah, kepemimpinan dalam
Islam harus berasal dari garis keturunan yang sah.
l. Ketertiban Sosial (Nizam Ijtimai): Fikih Siyasah membahas
bagaimana menciptakan dan memelihara ketertiban sosial yang
efektif. Ini termasuk peraturan hukum dan tata tertib masyarakat
dalam konteks hukum Islam.
m. Kerja sama dan Kepentingan Umum (Maslahah Mursalah):
Fikih Siyasah mengakui konsep kerja sama dan kepentingan umum.
Ini mengacu pada kemampuan pemerintah untuk mengambil
langkah-langkah yang mendukung kesejahteraan dan kepentingan
umum masyarakat, bahkan jika tindakan tersebut tidak diatur secara
khusus dalam hukum Islam.
n. Kepatuhan Terhadap Hukum Islam (Shari'ah): Fikih Siyasah
menekankan pentingnya pemerintah dan warga negara untuk
mematuhi prinsip-prinsip dan hukum Islam. Hukum Islam (Shari'ah)
dianggap sebagai kerangka kerja yang mengatur seluruh aspek
kehidupan, termasuk pemerintahan.

Asas-asas Fikih Siyasah ini bertujuan untuk menciptakan


pemerintahan yang adil, beretika, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam,
serta untuk memastikan kesejahteraan umat Islam dalam konteks
sosial dan politik. Namun, implementasi dan interpretasi asas-asas ini
dapat bervariasi di antara negara-negara Islam dan berbagai kelompok
Muslim.
A. Klasifikasi Ilmu Fikih Berdasarkan Asal Usul Fikih
1. Fikih Darurat
Fikih Darurat adalah bagian dari ilmu Fikih yang mempertimbangkan
hukum-hukum Islam dalam situasi darurat atau keadaan ekstrem yang
mengancam kehidupan atau kesejahteraan individu atau masyarakat. Ini
mencakup situasi-situasi di mana seseorang dihadapkan pada bahaya fisik
atau keadaan genting yang memerlukan tindakan segera, meskipun tindakan
tersebut mungkin melibatkan pelanggaran terhadap hukum Islam dalam
kondisi normal.
2. Prinsip-Prinsip
Fikih Darurat berdasarkan prinsip bahwa dalam situasi darurat, hukum-
hukum Islam dapat mengizinkan pelanggaran terhadap hukum-hukum
tertentu atau memberikan pengecualian yang sementara. Namun, ini harus
dilakukan dengan penuh pertimbangan dan hanya dalam situasi-situasi yang
benar-benar darurat, dan sebaiknya dengan niat meminimalkan pelanggaran
terhadap hukum.
3. Fikih Wadi'ah
Fikih Wadi'ah adalah cabang ilmu Fikih yang membahas masalah
amanah atau amanat. Ini melibatkan hukum-hukum yang berkaitan
dengan kepercayaan, penitipan harta, atau amanat yang diberikan
kepada seseorang untuk dijaga, diurus, atau dikelola dengan benar.
4. Prinsip-Prinsip
Fikih Wadi'ah berfokus pada prinsip-prinsip integritas, kejujuran, dan
tanggung jawab dalam menjalankan amanah. Ini mencakup hak dan
kewajiban pemegang amanah, serta pengaturan hukum terkait dengan
penyalahgunaan amanah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam kesimpulan makalah ini, telah kita telaah klasifikasi ilmu Fikih, yang
merupakan salah satu bidang utama dalam studi hukum Islam. Klasifikasi ini
membantu kita memahami berbagai aspek dan cabang-cabang yang ada dalam
Fikih.
Kita telah melihat klasifikasi berdasarkan sumber-sumber hukum, mazhab-
mazhab, ruang lingkup aplikasi, dan asal usul Fikih. Fikih Sunni, dengan
sumber-sumber hukum utama seperti Al-Quran, Hadis, Ijma, Qiyas, dan Ijtihad,
telah dibahas secara rinci. Selain itu, perbedaan antara Fikih Sunni dan Fikih
Syiah juga telah dipahami.
Sumber-sumber hukum dalam Fikih, termasuk Al-Quran, Hadis, Ijma,
Qiyas, dan Ijtihad, berperan penting dalam membentuk pandangan hukum
dalam Islam. Hubungan antara sumber-sumber hukum tersebut telah dibahas,
dan bagaimana mereka saling melengkapi dan membentuk kerangka kerja
hukum Islam.
Selain itu, kita juga telah mengeksplorasi Fikih Siyasah, yang berkaitan
dengan hukum politik dan pemerintahan dalam Islam. Asas-asas Fikih Siyasah
seperti keadilan, kepemimpinan, ketertiban sosial, kerja sama, dan kepemilikan
terhadap hukum Islam telah dianalisis.
Selain itu, klasifikasi berdasarkan asal usul Fikih telah membantu kita
memahami Fikih Darurat, yang berkaitan dengan situasi darurat, dan Fikih
Wadi'ah, yang berfokus pada hukum-hukum yang berkaitan dengan amanat dan
kepercayaan.
Kesimpulannya, klasifikasi ilmu Fikih adalah instrumen penting dalam
memahami dan mengkaji hukum Islam dalam berbagai konteks. Ini
memberikan kerangka kerja yang sistematis untuk memahami prinsip-prinsip
hukum Islam, aplikasinya, dan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari umat
Islam. Pemahaman ini dapat membantu umat Islam mematuhi hukum agama
mereka dengan benar dan memahami dasar-dasar panduan moral dan etika yang
terkandung dalam hukum Islam. Dengan demikian, klasifikasi ilmu Fikih
memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga integritas dan
aplikabilitas hukum Islam.

Anda mungkin juga menyukai