Anda di halaman 1dari 30

‘AML AHL AL-MADINAH DAN ISTISHAB

Makalah:

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah


Ushul Fiqh

Disusun Oleh Kelompok 11:

NI’MAH AL MUFADDILAH (07040321125)

ULIYATUL MASRUROH (07010321025)

Dosen Pengampu:

Dr. Hj. Iffah, M.Ag

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SUNAN AMPEL SURABAYA

SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita yakni Nabi
Muhammad SAW. yang tealah membawa kita dari jalan yang gelap menuju jalan
terang benderang yaitu addinul islam wal iman.
Kami mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah
Ushul Fiqih dengan judul “’AML AHL AL-MADINAH DAN ISTISHAB”. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kesalahan dan juga kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini nantinya menjadi lebih
baik lagi. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih

Surabaya, Mei 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 4
A. Latar Belakang ............................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 4
C. Tujuan Masalah ............................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................... 5
A. Pengertian ‘Aml Ahl Al-Madinah dan Istishab ............................................................... 5
B. Pembagian dan Kehujjahannya ..................................................................................... 8
C. Kontroversi di Kalangan Ulama ................................................................................... 13
D. Kaidah-kaidah Istishab ................................................................................................. 19
E. Peranannya dalam Penetapan Hukum ........................................................................ 20
BAB III ................................................................................................................................... 26
PENUTUP .............................................................................................................................. 26
A. Kesimpulan .................................................................................................................. 26
B. Saran ............................................................................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 28
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan landasan hukum atau dalil
dalil hukum yang menurut para jumhur ulama ada dalil hukum yang disepakati
dan dalil hukum yg tidak disepakati oleh ulama fiqh. Adapun landasan hukum
yang disepakati oleh para ulama yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’dan
Qiyas. Sedangkan landasan hukum Islam yang tidak disepakati antara lain
Istihsan, Istishab dan Marsalah Mursalan dan yang akan kita bahas salah
satunya adalah Istishab. Istishab sendiri adalah dalil syar’i terakhir yang dapat
digunakan sebagai rujukan oleh mujtahid untuk mengetahui hukum dari
permasalahn yang dihadapinya apabila tidak terdapat penjelasan dalam al-
Qur’an dan as-sunnah. Dalam peristilahan ahli ushul, istishab berarti
menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil
yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya
menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga
peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Amal Ahlu al-Madinah dan Istishab?


2. Apa saja Pembagian dan Kehujjahannya?
3. Bagaimana peranannya dalam penetapan hukum?
4. Bagaimana kontroversi dikalangan ulama’?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui definisi Amal Ahlu al-Madinah dan Istishab


2. Untuk mengetahui apa sajapembagiannya.
3. Untuk mengetahui kontroversinya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Aml Ahl Al-Madinah dan Istishab

Dalam metode pengambilan keputusan hukum Islam, terdapat


beberapa sumber hukum (mashadir al-ahkam) yang dijadikan rujukan oleh para
ulama. Di antara sumber-sumber hukum tersebut ada yang digunakan oleh
semua ulama ada pula yang tidak. Sumber-sumber hukum yang digunakan oleh
semua ulama tersebut disebut Mashadir al-Ahkam Ijtama‘a Alaihil Ulama.
Sedangkan sumber-sumber hukum yang digunakan oleh sebagaian ulama (tidak
semua) disebut dengan Mashadir al-Ahkam Ikhtalafa ‘Anha al-Ulama. Diantara
sumber hukum (mashadir al-ahkam) yang disepakati itu sebagaimana
dijelaskan Mutawalli al-Barajili dalam kitab Dirasat fi Ushul al-Fiqhi dan juga
dijelaskan oleh Abdul Hamid Hakim dalam kitab as-Sullam adalah: (1) Al-
Qur’an; (2) hadits; (3) ijma’; dan (4) qiyas. Sedangkan sumber-sumber hukum
yang digunakan oleh sebagian ulama dan tidak digunakan oleh sebagian yang
lain sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad Al-Hajj Al-Kurdi dalam kitabnya
berjudul Buhuts fi Ilmi Ushul Al-Fiqh dan juga dijelaskan oleh Ahmad Madani
Busaq dalam kitabnya Majmu’ Amal Ahli Madinah (juz I) ada beberapa
macam, yakni: (1) istishab (mengambil hukum asal); (2) istihsan
(meninggalkan kesulitan); (3) maslahah mursalah (kemaslahatan umum); (4)
urf (tradisi); (5) mazhab sahabi (pendapat sahabat); (6) syadz ad-dzariah
(prinsip mencegah keburukan); (7) syar’u man qablana (syariat-syariat nabi
sebelum Nabi Muhammad); dan (8) amal ahli madinah (amal penduduk
madinah), dan lain sebagainya. Kedelapan sumber hukum tersebut dan juga
beberapa lainnya yang tidak disebutkan sebagai sumber hukum yang terdapat
perbedaan di antara para ulama dalam keberlakuannya. Dalam peristilahan
ushul fiqh yang baku di sebut Mashadir al-Ahkam al-Mukhtalaf Alaihi al-
Ulama. Dikatakan terdapat perbedaan dalam keberlakuannya karena tidak
semua para ulama sepakat bahwa sumber-sumber hukum tersebut dapat
digunakan dalam menentukan hukum. Seperti kita ketahui bahwa Imam Syafi’i
menggunakan istishab dan meninggalkan istihsan. Imam Malik menggunakan
Amal Ahlu al-Madinah tetapi menolak beberapa yang lain.
Ijma’ ahl al-Madīnah atau Amal Ahlu al-Madinah sebagai Model
Istinbat atau Hukum Islam dari Masadir al-Ahkam ke Manhaj al-Fikr, Amal
Ahlu al-Madinah adalah praktek hukum yang disepakati ulama madinah, Amal
Ahlu al-Madinah merupakan salah satu fiqh dalam keilmuan islam yang
dinisbatkan pada perbutan atau kebiasaan penduduk Madinah, dengan begitu
Amal Ahlu al-Madinah adalah fiqh yang bersifat kedaerahan, yang merupakan
suatu metode dalam menetapkan hukum bagi Imam Malik, sebagai sumber
hukum ketika tidak ditemukan pada dalilnya dalam al-Quran. Karena itu ijma’
ahl al-Madīnah sering disebut dengan fiqh ahl al-Madīnah. Azizy mengatakan
bahwa pada masa sahabat terdapat empat mazhab kota atau daerah tertentu,
yang ditetapkan menjadi kesepakatan (ijma’) dari masyarakat kota atau daerah
tersebut yaitu mazhab Hijazi, mazhab Iraqi, mazhab Syami, dan mazhab
Mesir.1 Pertama adalah mazhab Hijazi, yaitu pendapat tentang hukum Islam,
yang berawal dari pendapat perseorangan kemudian diikuti oleh murid-
muridnya dan menyebar dikuti oleh orang-orang yang berada di wilayah Hijaz
(Madinah dan Makkah). Kedua, mazhab Iraqi, yaitu pendapat tentang hukum
Islam, yang menyebar luas diikuti oleh orang-orang di sebuah daerah di wilayah
Irak (Kufah dan Basrah). Ketiga, mazhab Syami, yaitu mazhab yang muncul di
wilayah Syam. Keempat, mazhab Mesir, yang muncul dan terkenal di Mesir
serta memiliki karakter tersendiri. Mazhab Ahlu al-Madinah disebut mazhab

1 A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 39-40.
yang baik pada awal permulaan abad, karena Amal Ahlu al-Madinah banyak
yang mendasarkan pada athar/sunnah Rasulullah dibandingkan penduduk kota
lain pada zaman itu, dan tidak ditemukan bid’ah yang nyata pada masa itu.
Sebagaimana bid’ah pada masalah Usul al-Din yang terjadi di beberapa kota
lain. Seperti, di Basrah ditemukan al-Qadar dan i’tizal, dan al-Nusuk al-
Fasidah (ibadah fasik), di Syam ditemukan nusub dan al-Qadar, dan di Kufah
ditemukan at-Tasayyu’ dan al-’Irja’.2 Amal Ahlu al-Madīnah merupakan salah
satu fiqh dalam khazanah keilmuan Islam yang dinisbatkan pada Madinah.
Dengan demikian, Amal Ahlu al- Madinah merupakan Fiqh yang bersifat
kedaerahan. Amal Ahlu al-Madīnah merupakan suatu metode dalam
menetapkan hukum bagi Imam Malik. Artinya, Amal Ahl al-Madīnah dijadikan
Imam Malik sebagai sumber hukum, ketika tidak ditemukan dalilnya dalam al-
Quran.
Menurut bahasa istishab berarti mencari sesuatu yang ada
hubungannya. Sedangkan secara istilah, menurut ulama fiqh yaitu menetapkan
pada hukum yg telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil
yang mengubah ketetapan hukum tersebut, atau dengan kata lain menyatakan
tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan
hukum tersebut3 Pendapat lainnya mengenai istishab yakni, menurut al-Asnawi
istishab adalah penetapan hukum berdasarkan adanya sesuatu pada masa kini
berdasarkan adanya sesuatu tersebut pada masa yang telah lalu. Menurut Abdur
Rahman I. Doi istishab adalah dugaan dalam hukum pembuktian sehingga suatu
keadaan masalah yang diketahui pada masa lalu terus
adasampaikebalikannyadapatterbukti. Sedangkan pengertian istishab menurut

2A.M. Nur Saif, ‘Amal Ahl al-Madīnah bayn Mustalahat wa Ara’a al-Ushuliyyin (Diba Hatif: Imarah al-
Arabiyyah al-Muttahah, 1997), 72.
3 Misbahuzzulam, m. (2013). Istishab: sejarah dan posisinya. Al-majaalis: jurnal dirasat
islamiyah, 1(1),
107–132
al-Syaukani adalah apa yang telah ditetapkan pada masa lalu, pada dasarnya
masih dapat dilestarikan pada masa yang akan datang selama tidak didapat
sesuatu yang mengubahnya4 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya
istishab adalah penetapan hukum atas sesuatu berdasarkan ketetapan hukum
yang terdaulu, sampai adanya dalil yang dapat membuktikan perubahan
hukumnya.

B. Pembagian dan Kehujjahannya

Menurut Qodhi Iyadh (w. 544H/ 1149M) dan Ibnu Taimiyah (w.
728H/ 1328M) membagi Amal Ahlu al-Madinah menjadi dua, yaitu;
1. Amal Naqli (amalyang berdasarkan nash) Ibnu Taimiyah hanya
menunjukan dalam istilah secara umum tetapi Qodhi Iyadh mmbedakan
menjadi empat bentuk, pertama amal qauli yaitu sesuatu yang diucapkan oleh
nabi, kedua amal fi’li yaitu sesuatu yang dilakukan oleh nabi, ketiga amal taqriri
yaitu sesuatu perbuatan yang berasal dari orang lain (sahabat) dan disetujui oleh
nabi, dan keempat amal tarki yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh nabi.
2. Amal Ijtihadi (amal berdasarkan hasil ijtihad) dalam hal ini tentang
amal yang bersal dari ijtihad penguasa terkemuka (setelah nabi), Ibnu Taimiyah
membagi menjadi dua yaitu dilihat pada masa sebelum Ustman bin Affan (w.
35H/ 656M) wafat dan sesudahnya. Ijtihad sebelum kematian khalifah Ustman
meninggal sebagai amal mutaakhir. Bentuk pertama dipegangi sebagai hujjah
yang harus diikuti. Bentuk kedua yaitu amal mutaakhir, yang secara umum
tidak dipegangi sebagai hujjah. Seangkan Qodhi Iyadh tidak membedakan
demikan tetapi mengambil tiga pendapat berbeda diantara pengikut mazhab
Malili, yaitu sebagian besar mereka tidak berpegang bahwa hal itu merupakan

4
Haq, h. (2017). Penggunaan istishab dan pengaruhnya terhadap perbedaan ulama. Al
hurriyah: jurnal
hukum Islam, 2(1), 17–30.
suatu hujjah, tidak pula sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk
memberikan pilihan pada ijtihad seseorang atas lainnya. Pendapat kedua adalah
meskipun bukan merupakan hujjah, namun hal itu dapat digunakan untuk
memberikan pilihan kepada ijtihad seseorang atas yang lain. pendapat ketiga
meskipun amal ini adalah hasil ijtihad tetapi tidaklah dianggap sebagai hujjah.
Imam Malik berpendapat bahwa ijma’ penduduk Madinah dapat
dijadikan hujjah. Di dalam kitabnya, al-Muwatta’, terdapat 48 masalah fiqh
yang disandarkan pada ijma’ penduduk Madinah. Dalam Ensikplodi Hukum
Islam disebutkan bahwa para pengikut Mazhab Maliki berbeda pendapat dalam
menafsirkan pendapat Imam Malik itu. Perbedaan pendapat pengikut mazhab
Maliki ini terbagi menjadi dua, yang pertama ijma’ ahl al-Madinah yang
dijadikan hujjah karena mereka lebih mengetahui keadaan Rasulullah Saw.
daripada orang lain, sehingga riwayat mereka juga lebih kuat. Kedua, ijma’
mereka menjadi hujjah dalam perkara-perkara yang diturunkan dan dinukil dari
Nabi Saw. secara masyhur (populer), seperti azan dan iqamat. Ketiga, ijma’
mereka disebut hujjah, karena penduduk Madinah tidak mungkin bersepakat
kecuali dengan bersandar pada dalil-dalil yang kuat. Keempat ijma” penduduk
Madinah yang dimaksud oleh Imam Malik adalah ijma’ yang berupa kelanjutan
perbuatan-perbuatan yang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw. dan
berlangsung terus sampai masa Imam Malik, seperti lafal adzan dan iqamat, dan
tidak dizakatkannya sayur-mayur.5
Berkaitan dengan pendapat keempat, Ibnu Qayyim al-Jauziah, ahli
fiqh mazhab Hambali, berpendapat bahwa ijma’ ahl al-Madinah adalah hujjah
yang harus diikuti. Demikian juga menurut Imam al-Qurtubi bahwa ijma’ ahl
al-Madinah tidak mungkin bertentangan dengan hadis, karena ia merupakan
periwayat yang mutawatir (diriwayatkan oleh orang banyak). Oleh karena itu,
ijma’ penduduk Madinah seperti itu lebih diutamakan daripada hadis ahad dan

5 Dasuki and dkk., Ensiklopedi Hukum, 98.


qiyas. Ulama Malikiyah mengatakan bahwa Amal Ahlu al-Madīnah adalah
ijma’ yang mempunyai kekuatan hujjah terhadap ulama lain. Diantaranya
ulama Malikiyah menjelaskan mengenai yang dimaksud dengan kehujjahan
kesepakatan ulama Madinah itu, adalah periwayatan ulama Madinah lebih kuat
dibandingkan dengan periwayatan ulama lain di luar Madinah. Alasan ulama
Malikiyah adalah: (1) dari segi nass Nabi mengatakan: “Madinah itu kota suci
yang dapat melenyapkan kotoran yang ada padanya sebagaimana bengkel besi
melenyapkan karal-karat besi”; (2) Madinah adalah tempat hijrahnya Nabi dan
tempat makamnya, tempat turunya wahyu, tempat kedudukan Islam dan tempat
berkumpul para sahabat, karena itu kebenaran tidak akan menghindar dari para
ahlinya; (3) warga Madinah menyaksikan sendiri ayat-ayat hukum dan orang
yang paling tahu tentang keadaan Rasul dibandingkan dengan warga kota lain;
(4) periwayatan Ahlu al-Madinah lebih diutamakan dari periwayatan ahli
lainnya. Karena itu kesepakatan ulama Madinah menjadi hujjah bagi orang
lain.6 Pengamalan ijma’ ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum Islam didukung
oleh Imam Malik, ulama Malikiyah dan beberapa ulama ushul fiqh.

Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam,
Yaitu:
1. Istishab hukum al- ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum
sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil
yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang ada
dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak
menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti
yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang. 2. Istishab Al-
Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan
argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnya

6 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, vol. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 124.
memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang
dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. Dalam
objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada hukum akal dalam hukum
ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya). Akal menetapkan
bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan
sesuatu, kecuali apabila datang dalil yang tegas mewajibkannya. Contoh:
hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab
yang membatalkannya.

3. Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum


datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak
ada dalil yang nash (yang membatalkannya). Suatu nash yang umum mencakup
segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain yang
menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan takhsish. Atau sesuatu
hukum yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan
dengan ada suatu dalilyang khusus. Contohnya: kewajiban puasa yang berlaku
bagi umat sebelum Islam, tetap wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah: 183)
selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.
4. Istishab An-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada
kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau, sebab
istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu pada
masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak
ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil nash terus
menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatu nash, yang lain. Contoh:
kasus adanya seseorang yang sedang dihadapkan pertanyaan, apakah
Muhammad kemarin berada di tempat ini? padahal kemarin ia benar-benar
melihat Muhammad disini. Maka ia jawab, benar ia berada disini kemarin.
5. Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau
tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga diyakini
ada perubahannya. Disebut pula dengan istishabul madhi bilhali yakni
menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada masa sekarang. Yaitu
istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang dalam
perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh: Kasus
orang yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air. Menurut ijma’
ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan sebelum
melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada keberlanjutan ketetapan hukum,
sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan batalnya penetapan
tersebut.7
Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab ketika tidak ada
dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi. Pendapat pertama
dikemukakan oleh Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah
merupakan hujjah atau tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan
pada masa lampau juga menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga
untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan
datang. Menurutnya dasar hukum pada istishab merupakan penetapan hukum
tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau
dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum itu pada masa sekarang atau
yang akan datang diperlukan dalil lain. Pendapat yang kedua dikemukakan oleh
mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan
hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah
untuk mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Istishab hanya dapat
dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak
ada dalil yang merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada
kasus yang baru muncul. Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab
Maliki, Syafi’i, Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa

7Muhaimin, u. (2018). Metode istidlal dan istishab (formulasi metodologi ijtihad). Yudisia:
jurnal
pemikiran hukum dan hukum islam, 8(2), 330–350.
dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada,
selama tidak ada dalil yang merubahnya.

C. Kontroversi di Kalangan Ulama

Sebelumnya, harus kita ketahui bahwa Imam Malik lebih cenderung


untuk mengakomodasi tradisi ke dalam syariat dibandingkan dengan Imam
Syafi’i. Ijma’ ahl al-Madinah didukung oleh Imam Malik, ulama Malikiyah dan
beberapa ulama ushul fiqh. Namun, di tolak oleh beberapa ulama fiqh, di antara
ulama yang menolak kehujjahan ijma’ ahlu al-Madīnah adalah Imam Shafi’i
dan al-Lais bin Sa’ad. Amir Syarifuddin mengatakan bahwa menurut Jumhur
ulama, kesepakatan ulama Madinah saja tidak merupakan kekuatan hujjah
terhadap ulama lain yang tidak sependapat dengan itu, karena itulah tidak dapat
dikatakan ijma’. Alasan dari jumhur ulama bahwa dalil-dalil yang menunjukkan
kehujjahan ijma’ itu juga mencakup kesepakatan ulama-ulama lain di luar
Madinah, tanpa keikutsertaan ulama lain di dalamnya, maka tidak dapat
dinamakan kesepakatan (ijma’), karenanya kesepakatan mereka tidak disebut
ijma’ dan dengan demikian tidak menjadi hujjah pada yang lain. 8 Pendapat ini
kemudian dipertimbangkan, namun perlu diperhatikan bahwa ijma ahl al-
Madīnah sangat mengikat penduduk Madinah dan diamalkan oleh penduduk
Madinah. Ijma ahl al-Madīnah terbangun dari kebiasaan masyarakat Madinah
yang telah diamalkan secara turun-temurun dari sejak awal keislaman Madinah.
Al-Lais bin Sa’ad mengatakan, walaupun Madinah adalah kota para sahabat
yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, tetapi banyak di antara mereka yang
meninggalkan kota Madinah dan menetap di kota Islam lainnya, baik untuk
tujuan jihad maupun untuk menyebarkan dan mengajarkan ajaran agama Islam.

8 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, vol. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 123.
Karena ulama sudah banyak meninggalkan Madinah, maka kota Madinah tidak
lagi dapat dikatakan mendominasi ilmu-ilmu keagamaan. Imam al-Lais
menemukan banyak fatwa para sahabat di kota-kota lain yang berbeda dengan
fatwa ulama Madinah Misalnya, praktik penduduk Madinah membenarkan para
tentara menjama’ shalat pada saat hujan, sementara para sahabat yang
bermukim di Syam (Syuriah) dan Mesir
tidak pernah melakukannya.1
Perdebatan yang dipaparkan al-Lais bukanlah perdebatan di kalangan
ahl al-Madinah, tetapi perdebatan antardaerah. Ini berarti ada kecenderungan
perkembangan dan pengembangan hukum di setiap daerah berbeda-beda.
Perkembangan dan pengembangan hokum berdasarkan kedaerahan tidak
terfaktorkan oleh ahl al-Madinah, tetapi difaktorkan kondisi setempat dan
pengetahuan ulama yang mengembangkan Islam di daerah tersebut. Para
sahabat yang bermukim di luar kota Madinah juga melakukan ijtihad dalam
perkara-perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Hasil ijtihad
mereka itu tidak disalahkan oleh tiga khalifah pertama, jika ijtihad mereka
salah, tentu akan ada teguran dari khalifah. Ini menunjukkan bahwa dalam
masalah-masalah hukum, sudah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para
sahabat. Perbedaan itu makin banyak terjadi di generasi tabi’in. Karena itu,
kondisi demikian semakin membuka peluang bagi timbulnya perbedaan hukum
di daerah lain, yang keabsahannya di akui oleh para khalifah.
Perdebatan seputar kehujjahan ijma’ ahl al-Madinah tampaknya bukan
hanya sekedar perdebatan dalam persoalan esensi ijma ahl al-Madīnah, tetapi
merupakan implikasi dari perdebatan persyaratan terjadinya ijma’. Dalam

1
Shalihah, s. (2018). Al-istihsab (sebuah teori dan praktik prinsip-prinsip nahwu arab). Al-
ittijah: jurnal
keilmuan dan kependidikan bahasa arab, 10(2), 53–66.
1
Majlis Idārah Awqāf Rais wa Milkiyah Majallah wa Qānun Aradi Mu‟allimi Marhu,
Majallah Ah\kām ‘Adliyah (Istambul: Bāb „Ali, 1327.
Persoalan persyaratan terjadinya ijma’ sendiri terdapat perbedaan dikalangan
ulama. Misalnya, al-Amidi dan ulama Hanabilah cenderung tidak mensyaratkan
jumlah mutawatir dalam proses terjadinya ijma’, 1
Mereka dan ulama yang tidak mensyaratkan jumlah mutawātir
beralasan bahwa kekuatan hujjah ijma’ hanya dapat ditetapkan dengan dalil
naqli, tidak mungkin dengan dalil aqli. Atas dasar ini, meskipun jumlah peserta
ijma’ itu kurang dari ukuran mutawatir dapat dikategorikan sebagai umat dan
orang-orang mukmin yang berdasarkan dalil naqli, suara mereka terhindar dari
kesalahan, oleh karenanya mempunyai hujjah yang wajib diikuti umat Islam. 2
Bila melihat pendapat ini, dapat dipahami bahwa ijma’ ahl al-Madīnah
sebagai sandaran hukum (Masadir al-Ahkam) mengikat seluruh umat Islam.
Terlepas dari perdebatan mengenai kehujjahan ijma’ ahl al-Madīnah sebagai
produk hukum (Masadir al-Ahkam). Di samping itu, kehujjahan ijma’ ahl
alMadīnah yang diakui oleh sebagian kalangan ulama ushul fiqh merupakan
sumber inspirasi dan argumentasi bagi metode pengembangan hukum Islam.
Ijma’ ahl al-Madīnah sebagai metode (manhaj ijtihad), menjadi contoh dalam
memformulasikan hukum Islam yang bersifat kedaerahan. Argumentasi
kehujjahan ijma’ ahl al-Madīnah menurut Imam Malik, kalangan malikiyah, al-
Amidi, dan Hanabilah mengisyaratkan bahwa ijma’ ahl al-Madinah menjadi
contoh formulasi hukum Islam. Era sekarang model formulasi hukum yang
demikian menjadi prototype argumentasi pengembangan hukum Islam berbasis
kedaerahan. Imam Malik terkenal sebagai orang yang sangat erat dalam
memegang atsar (shahabat) dan Imam Malik adalah orang yang pertama kali
melakukan studi serius terhadapnya. Imam Malik mendahulukan amal ahli
madinah daripada hadits ahad. Dengan melakukan studi fiqih atas masalah
masalah (ketentuan hukum) yang dibangun Imam Malik atas amal ahli

1
Syarifuddin, Ushul Fiqh, 128.
2
Ibid, 128.
madinah, menjadi jelas bagi kita tentang macam-macam amal ahli madinah
yang didahulukan Imam Malik atas hadits ahad. Bahwasanya tidak pernah
ditemukan dari ijma’ ahli madinah yang bertentangan dengan hadits.
Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan istishab sebagai metode
ijtihad ketika tidak ada keterangan dalam dalil al-Qur’an dan sunnah. Ada yang
menerima dan ada pula yang menolaknya. Ulama yang menerima istishab
sebagai metode penetapan hukum memberikan argumen sebagai berikut:12
1. Telah nyata terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang
yang sejak semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum.
Lalu apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau tidak, maka
ia ditetapkan masih mempunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian,
keadaan awal harus dijadikan patokan, apabila mempunyai wudhu keadaan ini
yang berlaku dan apabila tidak mempunyai wudhu keadaan ini pula yang
berlaku. Sekiranya tidak demikian cara menetapkannya, tentu akan
bertentangan dengan ijma’. Cara menetapkan hukum yang demikian itu
merupakan wujud dari istishab.
2. Para ahli pikir dan ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak eksisnya sesuatu
dengan kondisi tertentu, membolehkan penetapan putusan pada masa kemudian
dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka mereka menetapkan
kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis dirinya,
tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadiah dan
rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan prinsip istishab.
3. Aturan –aturan hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga
berlaku bagi kita yang hidup setelah masa tersebut. Jadi kita juga terkena taklif
aturan aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab,
yakni yang sudah ada tetap diakui ada sebagaimana adanya.

12Zainuddin, f. (2015). Konsep islam tentang adat: telaah adat dan’urf sebagai sumber hukum
islam.
Lisan al-hal: jurnal pengembangan pemikiran dan kebudayaan, 9(2), 379–396
4. Keadaan ragu yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan
haramnya si laki- laki berhubungan terhadap si perempuan, si laki-laki itu ragu
apakah telah berakad atas si perempuan itu atau tidak. Keadaan ragu yang
timbul terhadap talak tidak menyebabkan haranya si suami menggauli si istri,
si suami ragu apakah telah mentalak istrinya atau tidak. Dalam dua kasusus
sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab
terhadap kondisi yang ada yakni ketiadaan akad sebelum timbul keraguan.
Sedangkan pada kasus kedua terjadi istishab pada kondisi yang ada yakni
adanya akad. Sekiranya istishab tidak menunjukkan adanya dugaan yang
kuatatas keterus berlakuan tentu hukum dari kedua itu sama. 13
Adapun ulama yang menolak istishab sebagai metode ijtihad memberikan
argumen sebagai
berikut:
1. Telah ada ijma’ bahwa keterangan yang bersifat menetapkan harus di
prioritaskan daripada keterangan yang bersifat mengingkari. Maksudnya adalah
sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu
adalah sifat lestarinya sesuatu maka keterangan yang bersifat mengingkari itu,
karena berlawanan dengan kaidah pokok tersebut maka lebih layak untuk
diprioritaskan.
2. Eksisnya hukum pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil,
dan penetapan hukum tanpa dalil sama sekali kesiasian, oleh karenanya istishab
bukan hujjah yang syar’iyyah.
3. Dalam fiqh mazhab syafi’i, tindakan membayar kafarah dengan cara
memerdekakan budak yang hilang, tidaklah sah secara syar’iy dan sekiranya

13Haq, h. (2017). Penggunaan istishab dan pengaruhnya terhadap perbedaan ulama. Al


hurriyah: jurnal hukum islam, 2(1), 17–30.
yang menjadi kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu, tentu tindakan
membayar kafarah dengan cara demikian itu sah hukumnya, 14
Sedangkan menurut al-Syaukani terdapat beberapa pendapat ulama
ushul yaitu:
1. Istishab dapat dijadikan sebagai alasan hukum secara mutlak. Inilah
pendapat ulama Malikiyyah, mayoritas ulama Syafi’iyyah, ulama Hanabilah,
dan ulama Zahiriyyah.
2. Istishab tidak dapat dijadikan sebagai alasan hukum, karena untuk
menetapkan suatu hukum harus dengan dalil, hukum yang ditetapkan pada
masa lalu tidak dengan dalil tidak dapat dilestarikan sampai sekarang, dan
mujtahid sekarang harus berijtihad menetapkan hukumya dengan metode-
metode lain. Inilah pendapat ulama Hanafiyyah dan ulama kalam, diataranya
Abu al-Husain al-Bashri.
3. Istishab hanya berlaku dalam hubungan seorang mujtahid dengan
Tuhannya, karena ketika seorang mujtahid tidak mendapatkan dalil suatu
hukum, maka hukum yang telah ada merupakan rujukan maksimal baginya,
tetapi itu hanya berlaku sebagai pegangan bagi mujtahid itu sendiri, bukan
sebagai alasan dalam penetapan hukum.1
4. Istishab hanya dapat diberlakukan untuk menafikan suatu kasus, bukan
untuk menetapkan hukumnya. Disebutkan oleh al-Kayya bahwa ini adalah
pendapat ulama muta’akkhirin Hanafiyyah.
5. Istishab hanya dapat dipakai untuk men-tarjih hukum suatu kasus.
Menurut Abu Ishaq, inilah pendapat yang sah dari al-Syafi’i, tetapi al-Syafi’i
tidak menggunakanya sebagai alasan hokum.

14
Qorib, a., & harahap, i. (2016). Penerapan maslahah mursalah dalam ekonomi islam.
Journal analytica
islamica, 5(1), 55–80.
1
Rusfi, m. (2014). Validitas maslahah mursalah sebagai sumber hukum. Al-’adalah, 12(1),
63–74.
6. Istishab boleh digunakan secara mutlak untuk menafikan suatu hukum,
tetapi jika dipakai untuk menetapkan hukum baru, dalam hal ini ada yang
membolehkan dan ada pula yang yang memandang tidak boleh, tergantung
pada bentuk istishab yang ingin diterapkan.
7. Al-Syaukani memandang istishab merupakan salah satu metode ijtihad
untuk mendapatkan suatu ketentuan hukum. Akan tetapi al-Syaukani tidak
dapat menerima segala bentuk istishab. Ia hanya menerima dua bentuk istishab
yakni, pertama Istishab yang ditunjukkan oleh akal dan syara’ kebolehan
pelestarian dan pemberlakuannya. kedua Istishab al’adam al-ashli atau disebut
juga bara’ah al-adzimmah, yakni kebebasan asli yang dimiliki oleh manusia.2

D. Kaidah-kaidah Istishab

Para ulama ushul menetapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan


pada metode istishab, yakni sebagai berikut:
1. Asal sesuatu itu adalah ketetapan yang telah ada menurut keadaan, semula,
sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang mengubahnya.

2
Muhaimin, u. (2018). Metode istidlal dan istishab (formulasi metodologi ijtihad). Yudisia:
jurnal pemikiran hukum dan hukum islam, 8(2), 330–350.
2. Asal segala Sesutu adalah kebolehan.
3. Apa yang tetap karena keyakinan tidak akan hilang karena keraguan.
4. Asal pada manusia adalah kebebasan. 1
E. Peranannya dalam Penetapan Hukum

Ijma’ ahl al-Madīnah merupakan salah satu bentuk ijma’ yang diakui
oleh Imam Malik dan kalangan Malikiyah. Sebagai salah satu bentuk ijma’,
ijma’ ahl al-Madīnah merupakan model pengembangan ijma’ yang bersifat
lokal. Misalnya, di Turki lahirnya al-Ahkam al-Adliyah yang merupakan ijma’
ulama Turki. Hukum-hukum yang terkandung dalam al-Ahkam al-adliyah
tersebut merupakan produk ulama Turki yang dirumuskan saat itu untuk
kebutuhan yang terkait hukum perdata Islam. 18 Dalam konteks keindonesiaan
lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah (KHES) merupakan ijma’ ulama Indonesia. Ijma’ seperti ini
merupakan ijma’ yang dinisbatkan pada ijma’ ahl al-Madīnah. Apalagi jika
melihat Ijma’ ahl al-Madīnah, yang tidak semata-mata berdasarkan ra’yu,
namun hasil ijmanya’ lebih didasarkan pada sunnah. Demikian juga halnya
dengan proses kelahiran KHI, KHI dilahirkan dengan melihat Qur’an, Sunnah,
dan Pendapat ulama sebelumnya (kitab-kitab klasik), bukan semata-mata
didasarkan pada ra’yu. Mengacu pada pendapat ulama ushul fiqh yang
mengatakan bahwa ijma’ penduduk Madinah terdiri dari ijma’ ahl al-Madīnah
yang diturunkan dan dinukil dari Rasulullah Saw. dan ijma’ ahl al-Madīnah
yang disandarkan pada ra’yu. Maka ijma’ ahl al-Madīnah memiliki urgensi dan
signifikansi dalam formulasi hukum periode berikutnya. Ijma’ yang demikian
diamalkan oleh umat Islam, bukan hanya pada periode klasik, namun pada

1 Shalihah, s. (2018). Al-istihsab (sebuah teori dan praktik prinsip-prinsip nahwu arab). Al-
ittijah: jurnal
keilmuan dan kependidikan bahasa arab, 10(2), 53–66.
18
Majlis Idārah Awqāf Rais wa Milkiyah Majallah wa Qānun Aradi Mu‟allimi Marhu,
Majallah Ah\kām ‘Adliyah (Istambul: Bāb „Ali, 1327.
periode pertengahan dan periode modern pun masih diamalkan secara terus
menerus. Sebagai contoh; adzan, iqamat, dan tidak diwajibkan zakat atas sayur-
sayuran. Pada masa Islam klasik ada tiga model penisbatan fiqh, yaitu: (1)
Penisbatan fiqh pada area tertentu, seperti fiqh Misri, fiqh Hijazy, dan
sejenisnya; (2) Penisbatan Fiqh kepada tokoh pribadi ulama tertentu, seperti
fiqh Hanafiah, fiqh Malikiyah, fiqh Shafi‟iyah dan fiqh Hanabilah, dan (3)
Penisbatan fiqh pada Ideologis, seperti fiqh syiah, fiqh khawarij, dan fiqh
mu’tazilah. Penisbatan fiqh pada daerah tertentu seperti penisbatan fiqh pada
Mesir, Hijaz, Syam, Madinah, dan Kupah merupakan fiqh yang dikembangkan
oleh ulama setempat. Misalnya, di Hijaz berkembang fiqh karya ulama
Haramain dan yang sependapat dengannya, serta di Madinah berkembang fiqh
fuqaha’ sab’ah. Penisbatan fiqh seperti ini dilakukan oleh ulama yang hidup
dan menetap di daerah tersebut. Misalnya di Madinah berkembang fiqh yang
disepakati oleh ulama-ulama Madinah, antara lain Said al-Musayyab, Urwah
Ibn Zubair, Ubaidillah Ibn Abdullah, Sulaiman Ibn Yasar, al-Qasim Ibn
Muhammad, Abu Bakar Ibn al-Rahman, Kharizah Ibn Zaid bin Tsabit, dan
Imam Malik. Menurut Azizy penisbatan fiqh pada kedaerahan berakhir dengan
munculnya Imam al-Shafi’i. Pasca Shafi’i, mazhab tidak lagi berkembang
secara kedaerahaan, namun yang berkembang adalah mazhab perorangan,
dengan munculnya empat mazhab yang terkenal. Kemudian selama berabal-
abad empat mazhab ini mendominasi perkembangan hukum Islam. Bahkan,
perkembangan hukum Islam selama berabal-abad didominasi oleh
pemikirannya dengan mengikuti mazhab dari pendapat yang sudah matang.
Selama berabad-abad hanya mengikuti imam mazhabnya (mazhab fi al-aqwal)
tanpa mempelajari atau mengikuti metodologinya (mazhab fi al-manhaj)19.
Watak dasar fiqh yang tidak boleh digantikan oleh sejarah manapun adalah
adanya ketersediaan pilihal-pilihan hukum lebih dari satu dalam satu soal

19
Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, 40.
kehidupan bagi umat. Fiqh dalam sejarahnya tidak pernah tunggal dan tak bisa
ditunggalkan. Ijma’ Ahl al-Madīnah termasuk dalam kategori penisbatan fiqh
pada area tertentu.20 Pengembangan hukum Islam sangat terkait dengan
perkembangan zaman dan perubahan tempat sebagaimana kaidah ushul fiqh
menyatakan: “Tagayyir al-Ahkam bi tagayyir al-azminah wa al-Amkinah”.
Karena itu, fiqh yang bernuansa kedaerahan masih diperlukan dan memiliki
urgensi serta signifikansi. Melihat urgensi dan signifikansi pengembangan
hukum Islam berbasis kedaerahan, dalam konteks ke-Indonesiaan perlu fiqh
yang dinisbatkan pada keindonesiaan, yang khas Indonesia atau “Fiqh
Indonesia”. Walaupun sebenarnya kurang tepat jika keinginan untuk
mewujudkan “Fiqh Indonesia” dinisbatkan secara ansih kepada ijma’ ahl al-
Madīnah, namun setidaknya hal tersebut cukup menjadi inspirasi bagi
pengembangan fiqh pada Indonesia, karena pada masa klasik pernah
berkembang fiqh sesuai konteks daerah tertentu. Ijma’ ahl al-Madīnah menjadi
lebih penting dalam pengembangan hukum yang bersifat lokal dan kedaerahan
ketika dikaitkan dengan kaedah al-’Ibratu bi ‘umumi al-Lafdi la bi khususi al-
Sabab. Dalam konteks ini ijma’ ahl al-Madīnah lebih memiliki makna dan
urgensi dalam pengembangan hukum berbasis kedaerahan. Ijma‟ ahl al-
Madīnah yang tadinya hanya untuk konteks Madinah, jika dikaitkan dengan
kaedah di atas akan dapat diterapkan di setiap daerah. Dengan demikian, konsep
ijma’ universal dan mendunia dalam hal tertentu menjadi kurang relevan.
Terutama jika dihadapkan dengan urf yang berkembang pada setiap daerah.
Untuk melegitimasi kebiasaan masyarakat seperti urf diperlukan legitimasi
kesepakatan ulama (ijma’ ulama pada daerah tersebut). Menisbatkan fiqh
dengan Indonesia atau “Fiqh Indonesia” bertujuan lebih menfungsionalkan fiqh
itu sendiri atau untuk memudahkan pengkajian hukum Islam secara lebih

20
Marzuki and Rumadi, Fiqh Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia
(Yogyakarta: LKiS, 2001), xi.
empiris praktis, sebagaimana yang terjadi pada masa Islam klasik, seperti Ijma’
ulama Madinah. Walaupun demikian, harus diakui penyebutan ini belumlah
memadai kecuali sebagai langkah awal untuk menuju ke arah fiqh yang
memiliki karakteristik keindonesiaan.
Syaikh Abu Zahrah mengatakan bahwa para ulama sepakat akan
kehujjahan ketiga jenis Istishab yang disebutkan pertama, yaitu: Istishab al-
Ibahah al-Ashliyyah, Istishab al-Bara’ah al-Asliyyah, dan Istishab al-Hukum,
sekalipun mereka berbeda dalam sebagian penerapannya dalam hukum Islam.
Sedangkan Istishab keempat yaitu Istishab al-Wasf, para ulama berbeda
pendapat tentang kehujjahannya. Menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah,
Istishab al-Wasf dapat dijadikan hujjah secara penuh, baik dalam menetapkan
sesuatu yang belum ada (itsbat) ataupun mempertahankan sesuatu yang sudah
ada (daf’i). Sedangkan ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah menganggap Istishab
al-Wasf sebagai hujjah dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i)
saja, bukan untuk menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). 21 Adapun nilai
kehujjahan Istishab secara umum, para ulama berbeda pendapat. Pertama,
mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa
Istishab merupakan hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan sesuatu
yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat).
Mereka menggunakan Alquran, Hadis, Ijma’, dan Akal, untuk memperkuat
pandangannya.22 Rasulullah Saw. meneruskan pemberlakuan hukum wudhu
sekalipun ada keragu-raguan, dan inilah maksud dari Istishab. Kemudian, Ijma’
ulama telah menyepakati bahwa jika seseorang ragu-ragu apakah orang tersebut
telah melakukan thaharah atau belum maka dia tidak boleh melaksanakan
shalat. Sebaliknya, jika dia ragu-ragu apakah thaharahnya masih ada atau tidak
(sudah batal atau belum) maka dia boleh mengerjakan shalat. Kedua hukum ini

21
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 299.
22
Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al-Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami
(Damaskus: Dar al-Imam al-Bukhari), 188
diproduksi melalui metode Istishab, sehingga Istishab merupakan hujjah
berdasarkan Ijma’ ulama. Adapun dalil akal, hukum-hukum Islam yang ada
pada zaman Nabi Saw tetap wajib dipatuhi sampai saat ini. Kewajiban
mematuhi hukum-hukum tersebut bagi kita didapatkan dari Istishab yang
merupakan pengukuhan pemberlakuan hukum-hukum tersebut sampai saat ini.
Jika Istishab bukan merupakan hujjah maka bisa jadi hukumhukum itu hanya
berlaku pada zaman Nabi Saw, tidak berlaku untuk saat ini, karena ada
kemungkinan sudah dinasakh. 23 Di samping itu, adanya dugaan kuat tentang
tetap berlakunya sesuatu lebih kuat daripada dugaan kuat tentang telah
berubahnya sesuatu itu. Alasannya, karena tetap berlakunya sesuatu hanya
tergantung pada dua hal, yaitu: (a) Adanya masa mendatang, dan (b) Yang
ditetapkan itu mengikuti yang ditetapkan masa mendatang tersebut. Sedangkan
untuk menyatakan sesuatu itu telah mengalami perubahan tergantung pada tiga
hal yaitu: (a) adanya masa mendatang, (b) terjadinya perubahan dari ada
menjadi tidak ada, atau dari tidak ada menjadi ada, dan (c) keadaan yang telah
berubah itu (menjadi, ada atau tidak ada) menyertai masa mendatang tersebut. 24
Kedua, Ulama Muta’akhirin dari mazhab Hanafi, di antaranya Imam Abu Zaid
dan Shadrul Islam Abul Yusr, berpendapat, Istishâb merupakan hujjah dalam
mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), bukan menetapkan sesuatu
yang belum ada (itsbat).30 Mereka beralasan bahwa dalil yang menetapkan
hukum suatu perkara tidak serta merta menetapkan kelanggengan hukum
tersebut.25 Artinya, dalil tersebut hanya sebatas menetapkan hukum itu dari
awal, bukan mempertahankannya. Ketiga, Mayoritas ulama mazhab Hanafi,
sebagian ulama mazhab Syafi’i, Abul Husein al-Bashri, dan sekelompok ulama
ilmu kalam berpendapat, Istishâb bukan merupakan hujjah, baik dalam
mempertahankan sesuatu yang sudah ada maupun menetapkan sesuatu yang

23
Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah alMukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, 188-189.
24
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 381.
25
Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah alMukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, 194.
belum ada. Mereka beralasan bahwa: suci, halal, haram, dan sebagainya
merupakan hukum-hukum Islam yang tidak bisa ditetapkan kecuali dengan
dalil-dalil agama. Dalil-dalil agama itu berupa Alquran, Hadis, Ijma’, dan
Qiyas, sementara Istishâb tidak termasuk dalam keempat dalil tersebut,
karenanya ia tidak boleh dijadikan sebagai dalil atas hukum-hukum Islam itu.26

26
Ibid., 189.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Ijma’ ahl al-Madinah adalah perbuatan/kebiasaan penduduk Madinah


yang disepakati oleh ulama Madinah dan dipraktekkan secara terus-menerus
oleh penduduk Madinah. Ulama berbeda pendapat mengenai eksistensi ijma’
ahl al-Madīnah. Menurut Imam Malik dan Mazhab Maliki, kesepakatan sudah
dianggap ijma’ meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk Madinah,
al-Amidi dan Hanabilah juga menguatkan bahwa kesepakatan dalam ijma’
tidak mengharuskan kesepakatan semua mujtahid, bahkan al-Amidi
mengatakan bahwa kesepakatan dalam Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid pada
wilayah tertentu yang mengurus umat (ahl al-hal wa al-‘Aqd). Kehhujjahan
ijma’ ahl al-Madinah yang demikian menjadi contoh argumentasi
pengembangan hukum Islam berbasis kedaerahan. Seangkan Istishab adalah
menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang
pertama karena tidak ditemukan dalil yang merubahnya. Mayoritas ulama dari
mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa Istishab merupakan
hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada
(daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). Walaupun Imam
Shafi’i dan al-Lais bin Sa’ad menolak kehujjahan ijma’ ahl al-Madīnah sebagai
masadir al-Ahkam. Ijma’ ahl al-Madīnah merupakan alternatif model manhaj
istimbath hukum yang dapat dikembangkan di setiap tempat dengan
memperhatikan kondisi setempat. Di sisi lain, ijma’ ahl al-Madīnah penting
dalam pengembangan hukum Islam yang bersifat lokal dan kedaerahan ketika
dikaitkan dengan kaedah al-‘Ibratu bi ‘umumi al-Lafdhi la bi khususi al-Sabab.
Dalam konteks ini ijma’ ahl al-Madīnah lebih memiliki makna dan urgensi bagi
pengembangan hukum berbasis kedaerahan. Sedangkan ulama Muta’akhirin
dari mazhab Hanafi, di antaranya imam Abu Zaid dan Shadrul Islam Abul Yusr,
berpendapat bahwa Istishâb merupakan hujjah dalam mempertahankan sesuatu
yang sudah ada, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada. Berbeda dengan
kedua kelompok ulama di atas, mayoritas ulama mazhab Hanafi, sebagian
ulama mazhab Syafi’i, Abul Husein al-Bashri, dan sekelompok ulama ilmu
kalam berpendapat Istishab bukan merupakan hujjah sama sekali, baik dalam
mempertahankan sesuatu yang sudah ada maupun menetapkan sesuatu yang
belum ada. Perbedaan pandangan ulama tentang penggunaan Istishab dalam
ijtihad ini ternyata menyebabkan perbedaan pandangan mereka dalam hukum
Islam, seperti dalam kasus hukum waris orang hilang. Keberadaan Istishab
menjadi solusi penetapan hukum Islam kontemporer, seperti dalam asas
praduga tak bersalah dan ketiadaan hak dan kewajiban bagi laki-laki dan
perempuan selama tidak ada bukti perkawinan mereka.

B. Saran

Kami menyadari bahwa banyak kesalahan dalam penulisan makalah


ini, dengan ini kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Dengan demikian,
kami mengharapkan kritik dan saran pembaca agar menjadi perbaikan atas
penulisan makalah ini dan menjadi pembelajaran bagi kami dalam penulisan
makalah untuk selanjutnya. Besar harapan terhadap makalah ini agar menjadi
makalah yang lebih baik dengan adanya saran dari para pembaca juga dari
dosen pembimbing. Serta, kami juga berterimakasih kepada dosen pembimbing
kami yang telah memberi kami kesempatan untuk membuat makalah ini dan
telah membina serta memberikan ilmu lewat pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 39-40.
A.M. Nur Saif, ‘Amal Ahl al-Madīnah bayn Mustalahat wa Ara’a al-Ushuliyyin (Diba Hatif: Imarah al-
Arabiyyah al-Muttahah, 1997), 72.
Misbahuzzulam, m. (2013). Istishab: sejarah dan posisinya. Al-majaalis: jurnal dirasat
islamiyah, 1(1),
107–132
Haq, h. (2017). Penggunaan istishab dan pengaruhnya terhadap perbedaan ulama. Al
hurriyah: jurnal
hukum Islam, 2(1), 17–30.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, vol. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 124
Dasuki and dkk., Ensiklopedi Hukum, 98.
Muhaimin, u. (2018). Metode istidlal dan istishab (formulasi metodologi ijtihad). Yudisia:
jurnal pemikiran hukum dan hukum islam, 8(2), 330–350.
Shalihah, s. (2018). Al-istihsab (sebuah teori dan praktik prinsip-prinsip nahwu arab). Al-
ittijah: jurnal
keilmuan dan kependidikan bahasa arab, 10(2), 53–66.
Majlis Idārah Awqāf Rais wa Milkiyah Majallah wa Qānun Aradi Mu‟allimi Marhu, Majallah
Ah\kām ‘Adliyah (Istambul: Bāb „Ali, 1327.
Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, 40.
Marzuki and Rumadi, Fiqh Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia
(Yogyakarta: LKiS, 2001), xi.
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 299.
Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al-Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami (Damaskus:
Dar al-Imam al-Bukhari), 188

Anda mungkin juga menyukai