Makalah:
Dosen Pengampu:
SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita yakni Nabi
Muhammad SAW. yang tealah membawa kita dari jalan yang gelap menuju jalan
terang benderang yaitu addinul islam wal iman.
Kami mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah
Ushul Fiqih dengan judul “’AML AHL AL-MADINAH DAN ISTISHAB”. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kesalahan dan juga kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini nantinya menjadi lebih
baik lagi. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih
Penulis
DAFTAR ISI
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan landasan hukum atau dalil
dalil hukum yang menurut para jumhur ulama ada dalil hukum yang disepakati
dan dalil hukum yg tidak disepakati oleh ulama fiqh. Adapun landasan hukum
yang disepakati oleh para ulama yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’dan
Qiyas. Sedangkan landasan hukum Islam yang tidak disepakati antara lain
Istihsan, Istishab dan Marsalah Mursalan dan yang akan kita bahas salah
satunya adalah Istishab. Istishab sendiri adalah dalil syar’i terakhir yang dapat
digunakan sebagai rujukan oleh mujtahid untuk mengetahui hukum dari
permasalahn yang dihadapinya apabila tidak terdapat penjelasan dalam al-
Qur’an dan as-sunnah. Dalam peristilahan ahli ushul, istishab berarti
menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil
yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya
menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga
peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Aml Ahl Al-Madinah dan Istishab
1 A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 39-40.
yang baik pada awal permulaan abad, karena Amal Ahlu al-Madinah banyak
yang mendasarkan pada athar/sunnah Rasulullah dibandingkan penduduk kota
lain pada zaman itu, dan tidak ditemukan bid’ah yang nyata pada masa itu.
Sebagaimana bid’ah pada masalah Usul al-Din yang terjadi di beberapa kota
lain. Seperti, di Basrah ditemukan al-Qadar dan i’tizal, dan al-Nusuk al-
Fasidah (ibadah fasik), di Syam ditemukan nusub dan al-Qadar, dan di Kufah
ditemukan at-Tasayyu’ dan al-’Irja’.2 Amal Ahlu al-Madīnah merupakan salah
satu fiqh dalam khazanah keilmuan Islam yang dinisbatkan pada Madinah.
Dengan demikian, Amal Ahlu al- Madinah merupakan Fiqh yang bersifat
kedaerahan. Amal Ahlu al-Madīnah merupakan suatu metode dalam
menetapkan hukum bagi Imam Malik. Artinya, Amal Ahl al-Madīnah dijadikan
Imam Malik sebagai sumber hukum, ketika tidak ditemukan dalilnya dalam al-
Quran.
Menurut bahasa istishab berarti mencari sesuatu yang ada
hubungannya. Sedangkan secara istilah, menurut ulama fiqh yaitu menetapkan
pada hukum yg telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil
yang mengubah ketetapan hukum tersebut, atau dengan kata lain menyatakan
tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan
hukum tersebut3 Pendapat lainnya mengenai istishab yakni, menurut al-Asnawi
istishab adalah penetapan hukum berdasarkan adanya sesuatu pada masa kini
berdasarkan adanya sesuatu tersebut pada masa yang telah lalu. Menurut Abdur
Rahman I. Doi istishab adalah dugaan dalam hukum pembuktian sehingga suatu
keadaan masalah yang diketahui pada masa lalu terus
adasampaikebalikannyadapatterbukti. Sedangkan pengertian istishab menurut
2A.M. Nur Saif, ‘Amal Ahl al-Madīnah bayn Mustalahat wa Ara’a al-Ushuliyyin (Diba Hatif: Imarah al-
Arabiyyah al-Muttahah, 1997), 72.
3 Misbahuzzulam, m. (2013). Istishab: sejarah dan posisinya. Al-majaalis: jurnal dirasat
islamiyah, 1(1),
107–132
al-Syaukani adalah apa yang telah ditetapkan pada masa lalu, pada dasarnya
masih dapat dilestarikan pada masa yang akan datang selama tidak didapat
sesuatu yang mengubahnya4 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya
istishab adalah penetapan hukum atas sesuatu berdasarkan ketetapan hukum
yang terdaulu, sampai adanya dalil yang dapat membuktikan perubahan
hukumnya.
Menurut Qodhi Iyadh (w. 544H/ 1149M) dan Ibnu Taimiyah (w.
728H/ 1328M) membagi Amal Ahlu al-Madinah menjadi dua, yaitu;
1. Amal Naqli (amalyang berdasarkan nash) Ibnu Taimiyah hanya
menunjukan dalam istilah secara umum tetapi Qodhi Iyadh mmbedakan
menjadi empat bentuk, pertama amal qauli yaitu sesuatu yang diucapkan oleh
nabi, kedua amal fi’li yaitu sesuatu yang dilakukan oleh nabi, ketiga amal taqriri
yaitu sesuatu perbuatan yang berasal dari orang lain (sahabat) dan disetujui oleh
nabi, dan keempat amal tarki yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh nabi.
2. Amal Ijtihadi (amal berdasarkan hasil ijtihad) dalam hal ini tentang
amal yang bersal dari ijtihad penguasa terkemuka (setelah nabi), Ibnu Taimiyah
membagi menjadi dua yaitu dilihat pada masa sebelum Ustman bin Affan (w.
35H/ 656M) wafat dan sesudahnya. Ijtihad sebelum kematian khalifah Ustman
meninggal sebagai amal mutaakhir. Bentuk pertama dipegangi sebagai hujjah
yang harus diikuti. Bentuk kedua yaitu amal mutaakhir, yang secara umum
tidak dipegangi sebagai hujjah. Seangkan Qodhi Iyadh tidak membedakan
demikan tetapi mengambil tiga pendapat berbeda diantara pengikut mazhab
Malili, yaitu sebagian besar mereka tidak berpegang bahwa hal itu merupakan
4
Haq, h. (2017). Penggunaan istishab dan pengaruhnya terhadap perbedaan ulama. Al
hurriyah: jurnal
hukum Islam, 2(1), 17–30.
suatu hujjah, tidak pula sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk
memberikan pilihan pada ijtihad seseorang atas lainnya. Pendapat kedua adalah
meskipun bukan merupakan hujjah, namun hal itu dapat digunakan untuk
memberikan pilihan kepada ijtihad seseorang atas yang lain. pendapat ketiga
meskipun amal ini adalah hasil ijtihad tetapi tidaklah dianggap sebagai hujjah.
Imam Malik berpendapat bahwa ijma’ penduduk Madinah dapat
dijadikan hujjah. Di dalam kitabnya, al-Muwatta’, terdapat 48 masalah fiqh
yang disandarkan pada ijma’ penduduk Madinah. Dalam Ensikplodi Hukum
Islam disebutkan bahwa para pengikut Mazhab Maliki berbeda pendapat dalam
menafsirkan pendapat Imam Malik itu. Perbedaan pendapat pengikut mazhab
Maliki ini terbagi menjadi dua, yang pertama ijma’ ahl al-Madinah yang
dijadikan hujjah karena mereka lebih mengetahui keadaan Rasulullah Saw.
daripada orang lain, sehingga riwayat mereka juga lebih kuat. Kedua, ijma’
mereka menjadi hujjah dalam perkara-perkara yang diturunkan dan dinukil dari
Nabi Saw. secara masyhur (populer), seperti azan dan iqamat. Ketiga, ijma’
mereka disebut hujjah, karena penduduk Madinah tidak mungkin bersepakat
kecuali dengan bersandar pada dalil-dalil yang kuat. Keempat ijma” penduduk
Madinah yang dimaksud oleh Imam Malik adalah ijma’ yang berupa kelanjutan
perbuatan-perbuatan yang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw. dan
berlangsung terus sampai masa Imam Malik, seperti lafal adzan dan iqamat, dan
tidak dizakatkannya sayur-mayur.5
Berkaitan dengan pendapat keempat, Ibnu Qayyim al-Jauziah, ahli
fiqh mazhab Hambali, berpendapat bahwa ijma’ ahl al-Madinah adalah hujjah
yang harus diikuti. Demikian juga menurut Imam al-Qurtubi bahwa ijma’ ahl
al-Madinah tidak mungkin bertentangan dengan hadis, karena ia merupakan
periwayat yang mutawatir (diriwayatkan oleh orang banyak). Oleh karena itu,
ijma’ penduduk Madinah seperti itu lebih diutamakan daripada hadis ahad dan
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam,
Yaitu:
1. Istishab hukum al- ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum
sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil
yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang ada
dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak
menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti
yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang. 2. Istishab Al-
Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan
argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnya
6 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, vol. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 124.
memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang
dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. Dalam
objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada hukum akal dalam hukum
ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya). Akal menetapkan
bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan
sesuatu, kecuali apabila datang dalil yang tegas mewajibkannya. Contoh:
hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab
yang membatalkannya.
7Muhaimin, u. (2018). Metode istidlal dan istishab (formulasi metodologi ijtihad). Yudisia:
jurnal
pemikiran hukum dan hukum islam, 8(2), 330–350.
dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada,
selama tidak ada dalil yang merubahnya.
8 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, vol. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 123.
Karena ulama sudah banyak meninggalkan Madinah, maka kota Madinah tidak
lagi dapat dikatakan mendominasi ilmu-ilmu keagamaan. Imam al-Lais
menemukan banyak fatwa para sahabat di kota-kota lain yang berbeda dengan
fatwa ulama Madinah Misalnya, praktik penduduk Madinah membenarkan para
tentara menjama’ shalat pada saat hujan, sementara para sahabat yang
bermukim di Syam (Syuriah) dan Mesir
tidak pernah melakukannya.1
Perdebatan yang dipaparkan al-Lais bukanlah perdebatan di kalangan
ahl al-Madinah, tetapi perdebatan antardaerah. Ini berarti ada kecenderungan
perkembangan dan pengembangan hukum di setiap daerah berbeda-beda.
Perkembangan dan pengembangan hokum berdasarkan kedaerahan tidak
terfaktorkan oleh ahl al-Madinah, tetapi difaktorkan kondisi setempat dan
pengetahuan ulama yang mengembangkan Islam di daerah tersebut. Para
sahabat yang bermukim di luar kota Madinah juga melakukan ijtihad dalam
perkara-perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Hasil ijtihad
mereka itu tidak disalahkan oleh tiga khalifah pertama, jika ijtihad mereka
salah, tentu akan ada teguran dari khalifah. Ini menunjukkan bahwa dalam
masalah-masalah hukum, sudah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para
sahabat. Perbedaan itu makin banyak terjadi di generasi tabi’in. Karena itu,
kondisi demikian semakin membuka peluang bagi timbulnya perbedaan hukum
di daerah lain, yang keabsahannya di akui oleh para khalifah.
Perdebatan seputar kehujjahan ijma’ ahl al-Madinah tampaknya bukan
hanya sekedar perdebatan dalam persoalan esensi ijma ahl al-Madīnah, tetapi
merupakan implikasi dari perdebatan persyaratan terjadinya ijma’. Dalam
1
Shalihah, s. (2018). Al-istihsab (sebuah teori dan praktik prinsip-prinsip nahwu arab). Al-
ittijah: jurnal
keilmuan dan kependidikan bahasa arab, 10(2), 53–66.
1
Majlis Idārah Awqāf Rais wa Milkiyah Majallah wa Qānun Aradi Mu‟allimi Marhu,
Majallah Ah\kām ‘Adliyah (Istambul: Bāb „Ali, 1327.
Persoalan persyaratan terjadinya ijma’ sendiri terdapat perbedaan dikalangan
ulama. Misalnya, al-Amidi dan ulama Hanabilah cenderung tidak mensyaratkan
jumlah mutawatir dalam proses terjadinya ijma’, 1
Mereka dan ulama yang tidak mensyaratkan jumlah mutawātir
beralasan bahwa kekuatan hujjah ijma’ hanya dapat ditetapkan dengan dalil
naqli, tidak mungkin dengan dalil aqli. Atas dasar ini, meskipun jumlah peserta
ijma’ itu kurang dari ukuran mutawatir dapat dikategorikan sebagai umat dan
orang-orang mukmin yang berdasarkan dalil naqli, suara mereka terhindar dari
kesalahan, oleh karenanya mempunyai hujjah yang wajib diikuti umat Islam. 2
Bila melihat pendapat ini, dapat dipahami bahwa ijma’ ahl al-Madīnah
sebagai sandaran hukum (Masadir al-Ahkam) mengikat seluruh umat Islam.
Terlepas dari perdebatan mengenai kehujjahan ijma’ ahl al-Madīnah sebagai
produk hukum (Masadir al-Ahkam). Di samping itu, kehujjahan ijma’ ahl
alMadīnah yang diakui oleh sebagian kalangan ulama ushul fiqh merupakan
sumber inspirasi dan argumentasi bagi metode pengembangan hukum Islam.
Ijma’ ahl al-Madīnah sebagai metode (manhaj ijtihad), menjadi contoh dalam
memformulasikan hukum Islam yang bersifat kedaerahan. Argumentasi
kehujjahan ijma’ ahl al-Madīnah menurut Imam Malik, kalangan malikiyah, al-
Amidi, dan Hanabilah mengisyaratkan bahwa ijma’ ahl al-Madinah menjadi
contoh formulasi hukum Islam. Era sekarang model formulasi hukum yang
demikian menjadi prototype argumentasi pengembangan hukum Islam berbasis
kedaerahan. Imam Malik terkenal sebagai orang yang sangat erat dalam
memegang atsar (shahabat) dan Imam Malik adalah orang yang pertama kali
melakukan studi serius terhadapnya. Imam Malik mendahulukan amal ahli
madinah daripada hadits ahad. Dengan melakukan studi fiqih atas masalah
masalah (ketentuan hukum) yang dibangun Imam Malik atas amal ahli
1
Syarifuddin, Ushul Fiqh, 128.
2
Ibid, 128.
madinah, menjadi jelas bagi kita tentang macam-macam amal ahli madinah
yang didahulukan Imam Malik atas hadits ahad. Bahwasanya tidak pernah
ditemukan dari ijma’ ahli madinah yang bertentangan dengan hadits.
Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan istishab sebagai metode
ijtihad ketika tidak ada keterangan dalam dalil al-Qur’an dan sunnah. Ada yang
menerima dan ada pula yang menolaknya. Ulama yang menerima istishab
sebagai metode penetapan hukum memberikan argumen sebagai berikut:12
1. Telah nyata terjadi ijma’ mengenai perihal ketidakbolehan shalat seseorang
yang sejak semula sudah ragu apakah ia sudah mempunyai wudhu atau belum.
Lalu apabila seseorang ragu apakah masih mempunyai wudhu atau tidak, maka
ia ditetapkan masih mempunyai wudhu dan boleh shalat. Dengan demikian,
keadaan awal harus dijadikan patokan, apabila mempunyai wudhu keadaan ini
yang berlaku dan apabila tidak mempunyai wudhu keadaan ini pula yang
berlaku. Sekiranya tidak demikian cara menetapkannya, tentu akan
bertentangan dengan ijma’. Cara menetapkan hukum yang demikian itu
merupakan wujud dari istishab.
2. Para ahli pikir dan ‘urf meyakini eksisnya sesuatu atau tidak eksisnya sesuatu
dengan kondisi tertentu, membolehkan penetapan putusan pada masa kemudian
dari masa eksis atau tidak eksisnya sesuatu itu. Maka mereka menetapkan
kebolehan berkorespondensi dengan orang yang semula diketahui eksis dirinya,
tetapi hilang untuk waktu yang lama, dan diakui pula efektifnya wadiah dan
rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan prinsip istishab.
3. Aturan –aturan hukum syara’ yang pernah ada pada masa Rasulullah, juga
berlaku bagi kita yang hidup setelah masa tersebut. Jadi kita juga terkena taklif
aturan aturan tersebut. Hal demikian didasarkan atas logika prinsip istishab,
yakni yang sudah ada tetap diakui ada sebagaimana adanya.
12Zainuddin, f. (2015). Konsep islam tentang adat: telaah adat dan’urf sebagai sumber hukum
islam.
Lisan al-hal: jurnal pengembangan pemikiran dan kebudayaan, 9(2), 379–396
4. Keadaan ragu yang timbul terhadap akad perkawinan mengimplikasikan
haramnya si laki- laki berhubungan terhadap si perempuan, si laki-laki itu ragu
apakah telah berakad atas si perempuan itu atau tidak. Keadaan ragu yang
timbul terhadap talak tidak menyebabkan haranya si suami menggauli si istri,
si suami ragu apakah telah mentalak istrinya atau tidak. Dalam dua kasusus
sesungguhnya tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab
terhadap kondisi yang ada yakni ketiadaan akad sebelum timbul keraguan.
Sedangkan pada kasus kedua terjadi istishab pada kondisi yang ada yakni
adanya akad. Sekiranya istishab tidak menunjukkan adanya dugaan yang
kuatatas keterus berlakuan tentu hukum dari kedua itu sama. 13
Adapun ulama yang menolak istishab sebagai metode ijtihad memberikan
argumen sebagai
berikut:
1. Telah ada ijma’ bahwa keterangan yang bersifat menetapkan harus di
prioritaskan daripada keterangan yang bersifat mengingkari. Maksudnya adalah
sekiranya yang menjadi kaidah pokok itu
adalah sifat lestarinya sesuatu maka keterangan yang bersifat mengingkari itu,
karena berlawanan dengan kaidah pokok tersebut maka lebih layak untuk
diprioritaskan.
2. Eksisnya hukum pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil,
dan penetapan hukum tanpa dalil sama sekali kesiasian, oleh karenanya istishab
bukan hujjah yang syar’iyyah.
3. Dalam fiqh mazhab syafi’i, tindakan membayar kafarah dengan cara
memerdekakan budak yang hilang, tidaklah sah secara syar’iy dan sekiranya
14
Qorib, a., & harahap, i. (2016). Penerapan maslahah mursalah dalam ekonomi islam.
Journal analytica
islamica, 5(1), 55–80.
1
Rusfi, m. (2014). Validitas maslahah mursalah sebagai sumber hukum. Al-’adalah, 12(1),
63–74.
6. Istishab boleh digunakan secara mutlak untuk menafikan suatu hukum,
tetapi jika dipakai untuk menetapkan hukum baru, dalam hal ini ada yang
membolehkan dan ada pula yang yang memandang tidak boleh, tergantung
pada bentuk istishab yang ingin diterapkan.
7. Al-Syaukani memandang istishab merupakan salah satu metode ijtihad
untuk mendapatkan suatu ketentuan hukum. Akan tetapi al-Syaukani tidak
dapat menerima segala bentuk istishab. Ia hanya menerima dua bentuk istishab
yakni, pertama Istishab yang ditunjukkan oleh akal dan syara’ kebolehan
pelestarian dan pemberlakuannya. kedua Istishab al’adam al-ashli atau disebut
juga bara’ah al-adzimmah, yakni kebebasan asli yang dimiliki oleh manusia.2
D. Kaidah-kaidah Istishab
2
Muhaimin, u. (2018). Metode istidlal dan istishab (formulasi metodologi ijtihad). Yudisia:
jurnal pemikiran hukum dan hukum islam, 8(2), 330–350.
2. Asal segala Sesutu adalah kebolehan.
3. Apa yang tetap karena keyakinan tidak akan hilang karena keraguan.
4. Asal pada manusia adalah kebebasan. 1
E. Peranannya dalam Penetapan Hukum
Ijma’ ahl al-Madīnah merupakan salah satu bentuk ijma’ yang diakui
oleh Imam Malik dan kalangan Malikiyah. Sebagai salah satu bentuk ijma’,
ijma’ ahl al-Madīnah merupakan model pengembangan ijma’ yang bersifat
lokal. Misalnya, di Turki lahirnya al-Ahkam al-Adliyah yang merupakan ijma’
ulama Turki. Hukum-hukum yang terkandung dalam al-Ahkam al-adliyah
tersebut merupakan produk ulama Turki yang dirumuskan saat itu untuk
kebutuhan yang terkait hukum perdata Islam. 18 Dalam konteks keindonesiaan
lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah (KHES) merupakan ijma’ ulama Indonesia. Ijma’ seperti ini
merupakan ijma’ yang dinisbatkan pada ijma’ ahl al-Madīnah. Apalagi jika
melihat Ijma’ ahl al-Madīnah, yang tidak semata-mata berdasarkan ra’yu,
namun hasil ijmanya’ lebih didasarkan pada sunnah. Demikian juga halnya
dengan proses kelahiran KHI, KHI dilahirkan dengan melihat Qur’an, Sunnah,
dan Pendapat ulama sebelumnya (kitab-kitab klasik), bukan semata-mata
didasarkan pada ra’yu. Mengacu pada pendapat ulama ushul fiqh yang
mengatakan bahwa ijma’ penduduk Madinah terdiri dari ijma’ ahl al-Madīnah
yang diturunkan dan dinukil dari Rasulullah Saw. dan ijma’ ahl al-Madīnah
yang disandarkan pada ra’yu. Maka ijma’ ahl al-Madīnah memiliki urgensi dan
signifikansi dalam formulasi hukum periode berikutnya. Ijma’ yang demikian
diamalkan oleh umat Islam, bukan hanya pada periode klasik, namun pada
1 Shalihah, s. (2018). Al-istihsab (sebuah teori dan praktik prinsip-prinsip nahwu arab). Al-
ittijah: jurnal
keilmuan dan kependidikan bahasa arab, 10(2), 53–66.
18
Majlis Idārah Awqāf Rais wa Milkiyah Majallah wa Qānun Aradi Mu‟allimi Marhu,
Majallah Ah\kām ‘Adliyah (Istambul: Bāb „Ali, 1327.
periode pertengahan dan periode modern pun masih diamalkan secara terus
menerus. Sebagai contoh; adzan, iqamat, dan tidak diwajibkan zakat atas sayur-
sayuran. Pada masa Islam klasik ada tiga model penisbatan fiqh, yaitu: (1)
Penisbatan fiqh pada area tertentu, seperti fiqh Misri, fiqh Hijazy, dan
sejenisnya; (2) Penisbatan Fiqh kepada tokoh pribadi ulama tertentu, seperti
fiqh Hanafiah, fiqh Malikiyah, fiqh Shafi‟iyah dan fiqh Hanabilah, dan (3)
Penisbatan fiqh pada Ideologis, seperti fiqh syiah, fiqh khawarij, dan fiqh
mu’tazilah. Penisbatan fiqh pada daerah tertentu seperti penisbatan fiqh pada
Mesir, Hijaz, Syam, Madinah, dan Kupah merupakan fiqh yang dikembangkan
oleh ulama setempat. Misalnya, di Hijaz berkembang fiqh karya ulama
Haramain dan yang sependapat dengannya, serta di Madinah berkembang fiqh
fuqaha’ sab’ah. Penisbatan fiqh seperti ini dilakukan oleh ulama yang hidup
dan menetap di daerah tersebut. Misalnya di Madinah berkembang fiqh yang
disepakati oleh ulama-ulama Madinah, antara lain Said al-Musayyab, Urwah
Ibn Zubair, Ubaidillah Ibn Abdullah, Sulaiman Ibn Yasar, al-Qasim Ibn
Muhammad, Abu Bakar Ibn al-Rahman, Kharizah Ibn Zaid bin Tsabit, dan
Imam Malik. Menurut Azizy penisbatan fiqh pada kedaerahan berakhir dengan
munculnya Imam al-Shafi’i. Pasca Shafi’i, mazhab tidak lagi berkembang
secara kedaerahaan, namun yang berkembang adalah mazhab perorangan,
dengan munculnya empat mazhab yang terkenal. Kemudian selama berabal-
abad empat mazhab ini mendominasi perkembangan hukum Islam. Bahkan,
perkembangan hukum Islam selama berabal-abad didominasi oleh
pemikirannya dengan mengikuti mazhab dari pendapat yang sudah matang.
Selama berabad-abad hanya mengikuti imam mazhabnya (mazhab fi al-aqwal)
tanpa mempelajari atau mengikuti metodologinya (mazhab fi al-manhaj)19.
Watak dasar fiqh yang tidak boleh digantikan oleh sejarah manapun adalah
adanya ketersediaan pilihal-pilihan hukum lebih dari satu dalam satu soal
19
Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, 40.
kehidupan bagi umat. Fiqh dalam sejarahnya tidak pernah tunggal dan tak bisa
ditunggalkan. Ijma’ Ahl al-Madīnah termasuk dalam kategori penisbatan fiqh
pada area tertentu.20 Pengembangan hukum Islam sangat terkait dengan
perkembangan zaman dan perubahan tempat sebagaimana kaidah ushul fiqh
menyatakan: “Tagayyir al-Ahkam bi tagayyir al-azminah wa al-Amkinah”.
Karena itu, fiqh yang bernuansa kedaerahan masih diperlukan dan memiliki
urgensi serta signifikansi. Melihat urgensi dan signifikansi pengembangan
hukum Islam berbasis kedaerahan, dalam konteks ke-Indonesiaan perlu fiqh
yang dinisbatkan pada keindonesiaan, yang khas Indonesia atau “Fiqh
Indonesia”. Walaupun sebenarnya kurang tepat jika keinginan untuk
mewujudkan “Fiqh Indonesia” dinisbatkan secara ansih kepada ijma’ ahl al-
Madīnah, namun setidaknya hal tersebut cukup menjadi inspirasi bagi
pengembangan fiqh pada Indonesia, karena pada masa klasik pernah
berkembang fiqh sesuai konteks daerah tertentu. Ijma’ ahl al-Madīnah menjadi
lebih penting dalam pengembangan hukum yang bersifat lokal dan kedaerahan
ketika dikaitkan dengan kaedah al-’Ibratu bi ‘umumi al-Lafdi la bi khususi al-
Sabab. Dalam konteks ini ijma’ ahl al-Madīnah lebih memiliki makna dan
urgensi dalam pengembangan hukum berbasis kedaerahan. Ijma‟ ahl al-
Madīnah yang tadinya hanya untuk konteks Madinah, jika dikaitkan dengan
kaedah di atas akan dapat diterapkan di setiap daerah. Dengan demikian, konsep
ijma’ universal dan mendunia dalam hal tertentu menjadi kurang relevan.
Terutama jika dihadapkan dengan urf yang berkembang pada setiap daerah.
Untuk melegitimasi kebiasaan masyarakat seperti urf diperlukan legitimasi
kesepakatan ulama (ijma’ ulama pada daerah tersebut). Menisbatkan fiqh
dengan Indonesia atau “Fiqh Indonesia” bertujuan lebih menfungsionalkan fiqh
itu sendiri atau untuk memudahkan pengkajian hukum Islam secara lebih
20
Marzuki and Rumadi, Fiqh Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia
(Yogyakarta: LKiS, 2001), xi.
empiris praktis, sebagaimana yang terjadi pada masa Islam klasik, seperti Ijma’
ulama Madinah. Walaupun demikian, harus diakui penyebutan ini belumlah
memadai kecuali sebagai langkah awal untuk menuju ke arah fiqh yang
memiliki karakteristik keindonesiaan.
Syaikh Abu Zahrah mengatakan bahwa para ulama sepakat akan
kehujjahan ketiga jenis Istishab yang disebutkan pertama, yaitu: Istishab al-
Ibahah al-Ashliyyah, Istishab al-Bara’ah al-Asliyyah, dan Istishab al-Hukum,
sekalipun mereka berbeda dalam sebagian penerapannya dalam hukum Islam.
Sedangkan Istishab keempat yaitu Istishab al-Wasf, para ulama berbeda
pendapat tentang kehujjahannya. Menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah,
Istishab al-Wasf dapat dijadikan hujjah secara penuh, baik dalam menetapkan
sesuatu yang belum ada (itsbat) ataupun mempertahankan sesuatu yang sudah
ada (daf’i). Sedangkan ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah menganggap Istishab
al-Wasf sebagai hujjah dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i)
saja, bukan untuk menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). 21 Adapun nilai
kehujjahan Istishab secara umum, para ulama berbeda pendapat. Pertama,
mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa
Istishab merupakan hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan sesuatu
yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat).
Mereka menggunakan Alquran, Hadis, Ijma’, dan Akal, untuk memperkuat
pandangannya.22 Rasulullah Saw. meneruskan pemberlakuan hukum wudhu
sekalipun ada keragu-raguan, dan inilah maksud dari Istishab. Kemudian, Ijma’
ulama telah menyepakati bahwa jika seseorang ragu-ragu apakah orang tersebut
telah melakukan thaharah atau belum maka dia tidak boleh melaksanakan
shalat. Sebaliknya, jika dia ragu-ragu apakah thaharahnya masih ada atau tidak
(sudah batal atau belum) maka dia boleh mengerjakan shalat. Kedua hukum ini
21
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 299.
22
Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al-Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami
(Damaskus: Dar al-Imam al-Bukhari), 188
diproduksi melalui metode Istishab, sehingga Istishab merupakan hujjah
berdasarkan Ijma’ ulama. Adapun dalil akal, hukum-hukum Islam yang ada
pada zaman Nabi Saw tetap wajib dipatuhi sampai saat ini. Kewajiban
mematuhi hukum-hukum tersebut bagi kita didapatkan dari Istishab yang
merupakan pengukuhan pemberlakuan hukum-hukum tersebut sampai saat ini.
Jika Istishab bukan merupakan hujjah maka bisa jadi hukumhukum itu hanya
berlaku pada zaman Nabi Saw, tidak berlaku untuk saat ini, karena ada
kemungkinan sudah dinasakh. 23 Di samping itu, adanya dugaan kuat tentang
tetap berlakunya sesuatu lebih kuat daripada dugaan kuat tentang telah
berubahnya sesuatu itu. Alasannya, karena tetap berlakunya sesuatu hanya
tergantung pada dua hal, yaitu: (a) Adanya masa mendatang, dan (b) Yang
ditetapkan itu mengikuti yang ditetapkan masa mendatang tersebut. Sedangkan
untuk menyatakan sesuatu itu telah mengalami perubahan tergantung pada tiga
hal yaitu: (a) adanya masa mendatang, (b) terjadinya perubahan dari ada
menjadi tidak ada, atau dari tidak ada menjadi ada, dan (c) keadaan yang telah
berubah itu (menjadi, ada atau tidak ada) menyertai masa mendatang tersebut. 24
Kedua, Ulama Muta’akhirin dari mazhab Hanafi, di antaranya Imam Abu Zaid
dan Shadrul Islam Abul Yusr, berpendapat, Istishâb merupakan hujjah dalam
mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), bukan menetapkan sesuatu
yang belum ada (itsbat).30 Mereka beralasan bahwa dalil yang menetapkan
hukum suatu perkara tidak serta merta menetapkan kelanggengan hukum
tersebut.25 Artinya, dalil tersebut hanya sebatas menetapkan hukum itu dari
awal, bukan mempertahankannya. Ketiga, Mayoritas ulama mazhab Hanafi,
sebagian ulama mazhab Syafi’i, Abul Husein al-Bashri, dan sekelompok ulama
ilmu kalam berpendapat, Istishâb bukan merupakan hujjah, baik dalam
mempertahankan sesuatu yang sudah ada maupun menetapkan sesuatu yang
23
Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah alMukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, 188-189.
24
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 381.
25
Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah alMukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, 194.
belum ada. Mereka beralasan bahwa: suci, halal, haram, dan sebagainya
merupakan hukum-hukum Islam yang tidak bisa ditetapkan kecuali dengan
dalil-dalil agama. Dalil-dalil agama itu berupa Alquran, Hadis, Ijma’, dan
Qiyas, sementara Istishâb tidak termasuk dalam keempat dalil tersebut,
karenanya ia tidak boleh dijadikan sebagai dalil atas hukum-hukum Islam itu.26
26
Ibid., 189.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 39-40.
A.M. Nur Saif, ‘Amal Ahl al-Madīnah bayn Mustalahat wa Ara’a al-Ushuliyyin (Diba Hatif: Imarah al-
Arabiyyah al-Muttahah, 1997), 72.
Misbahuzzulam, m. (2013). Istishab: sejarah dan posisinya. Al-majaalis: jurnal dirasat
islamiyah, 1(1),
107–132
Haq, h. (2017). Penggunaan istishab dan pengaruhnya terhadap perbedaan ulama. Al
hurriyah: jurnal
hukum Islam, 2(1), 17–30.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, vol. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 124
Dasuki and dkk., Ensiklopedi Hukum, 98.
Muhaimin, u. (2018). Metode istidlal dan istishab (formulasi metodologi ijtihad). Yudisia:
jurnal pemikiran hukum dan hukum islam, 8(2), 330–350.
Shalihah, s. (2018). Al-istihsab (sebuah teori dan praktik prinsip-prinsip nahwu arab). Al-
ittijah: jurnal
keilmuan dan kependidikan bahasa arab, 10(2), 53–66.
Majlis Idārah Awqāf Rais wa Milkiyah Majallah wa Qānun Aradi Mu‟allimi Marhu, Majallah
Ah\kām ‘Adliyah (Istambul: Bāb „Ali, 1327.
Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, 40.
Marzuki and Rumadi, Fiqh Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia
(Yogyakarta: LKiS, 2001), xi.
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 299.
Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al-Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami (Damaskus:
Dar al-Imam al-Bukhari), 188