Anda di halaman 1dari 22

DALIL-DALIL SYAR'I

(SYA'U MAN QOBLANA, MAZHAB SHAHABI, SADDU AL- ZARI'AH)

(Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqih)

Dosen Pengampu : M. Ramdan Arifin, Lc. M, Sy

Disusun Oleh :

Kelompok 9

1. Fitri
2. Ani

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH ASSA’IDIYYAH
CIPANAS – CIANJUR
2022

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, senantiasa kita ucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang hingga
saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga penulis diberi
kesempatan untuk menyelesaikan makalah tentang “DALIL-DALIL SYAR'I(sya'u man qoblana,
mazhab shahabi, saddu Al- Zari'ah)."Makalah ini ditulis untuk memenuhi syarat nilai mata
kuliah Ushul Fiqih.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak M. Ramdan Arifin, Lc. M, Sy yang sudah
mempercayakan makalah ini kepada penulis, sehingga sangat membantu penulis untuk
memperdalam pengetahuan pada studi yang sedang ditekuni.

Terimakasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah mendukung serta
membantu penulis selama proses penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna serta
kesalahan yang penulis yakini diluar batas kemampuan penulis. Maka dari itu penulis dengan
senang hati menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Penulis berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ 2

DAFTAR ISI........................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 4

A. Latar Belakang .............................................................................................................. 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 4

C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 5

 SYAR'U MAN QABLANA

A. Pengertian Syar’u Man Qablana .................................................................................... 5

B. Pengelompokkan Syar’u Man Qablana ......................................................................... 6

C. Kehujjahan Syar’u Man Qablana .................................................................................... 7

D. Pengertian Mazhab Shahabi ......................................................................................... 8

E. Macam-Macam Mazhab Shahabi ................................................................................. 9

F. Kehujjahan Mazhab Shahabi ........................................................................................ 10

G. Bentuk-Bentuk Mazhab Shahabi .................................................................................. 12

 SADD ADZARI'AH

A. Pengertian Sadd Adzari'ah ............................................................................................. 14

B. Dasar hukum sadd Adzari'ah ......................................................................................... 14

C. Macam-macam sadd Adzari'ah ..................................................................................... 17

D Pandangan ulama tentang Sadd Adzari'ah ................................................................... 18

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 12

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 20

B. Saran .............................................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 22

3
BERITA ACARA ................................................................................................................... 23

BAB I

PENDAHULUAN

4
A. Latar Belakang

Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan dasar pengambilan hukum
yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’,
dan al-Qiyas, jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai
dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil tersebut adalah sebagai berikut: pertama
al-Qur’an, kedua al-Sunnah, ketiga al-Ijma’ dan keempat al-Qiyas. Akan tetapi, ada dalil lain
selain dari yang empat di atas, yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas
penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang menggunakan dalil-dalil
ini sebagai alasan penetapan hukum syara’ dan sebagian yang lain mengingkarinya. Dalil-dalil
yang diperselisihkan penggunaannya sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum,
beberapa diantaranya adalah mazhab (qaul) al-Shahabi, Syar’u Man Qoblana, dan Sad al-
Zari’ah. Sehingga, dalam makalah ini kami akan membahas tentang hal-hal tersebut.1

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Syar’u Man Qablana?

2. Bagaimana pengelompokkan Syar’u Man Qablana?

3. Kehujjahan Syar’u Man Qablana?

4. Apa pengertian Mazhab Shahabi?

5. Macam-macam Mazhab Shahabi?

6. Kehujjahan dari Mazhab Shahabi?

7. Bentuk-bentuk dari Mazhab Shahabi?

C. Tujuan Penulisan Penulisan

makalah ini di samping untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ushul fiqh, secara umum
juga memiliki tujuan untuk menambah wawasan dan referensi agar mengetahui dan
memahami lebih dalam mengenai syar'i qablana dan mazhab shahabi.

BAB II

PEMBAHASAN

 SYAR'U MAN QABLANA

5
A. Pengertian Syar’u Man Qablana

Syar`u secara etimologi berarti mengalir. Syariat adalah bentuk isim fa`ilnya secara bahasa
adalah tempat yang didatangi orang yang ingin minum yang dilintasi manusia untuk
menghilangkan rasa haus mereka. Syariat juga diartikan sebagai jalan yang lurus atau
thariqatun mustaqimatun sebagaimana diisyarakan dalam Alquran Surat Al-Jatsiyah: 18.2
Yang dinamakan dengan Syar’u Man Qablana, yaitu ajaran – ajaran atau syari’at – Syari’at Nabi
- nabi terdahulu yang berhubungan dengan hukum, seperti Syari’atnya Nabi Ibrahim, Nabi
Musa, Nabi Isa. Dengan Kata lain, seluruh ajaran – ajaran Nabi – Nabi terdahulu yang
berkaitan dengan suatu kasus hukum itu dapat dijadikan acuan dalam instimbat hukum
( penggalian hukum ) jika termaktub dalam Alqur’an serta mempunyai ketegasan bahwa
syari’at itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad S.A.W.

Dalil Naqli yang digunakan oleh segolongan Ulama’ atas kebolehan menggunakan Syar’u
Man Qablana dijadikan sebagai hujjah, khususnya pengikut Hanafiyah, Malikiyah,Syafi’iyah
yaitu : “Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru
mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). Ayat di atas
menegaskan bahwa syariat yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW juga telah
disyari’atkan kepada Nabi sebelum beliau.

B.Pengelompokkan Syar’u Man Qablana

a. Ajaran yang telah dihapuskan oleh syariat Rasulullah (di mansyukh)

Menurut Syariat Nabi Musa Alaihissalam seseorang yang telah betbuat dosa apabila ingin
bertobat harus membunuh dirinya. Pakaian yang terkena najis tidak dapat menjadi suci, kecuali
dipotong bagian yang terkena najis itu. Mengenai masalah itu, para ulama sepakat tidak
mengamalkannya karena syariat kita telah mengaturnya.1

b. Ajaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah2


1
2 Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 706.3 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) h.
155.4 Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, (Depok, PT Kharisma Putra Utama) h. 220.5 Musthafa Sa’id al-

Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 706.3 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) h. 155.4 Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, (Depok, PT Kharisma Putra Utama) h. 220.5 Musthafa Sa’id

al-Khinni, Asar al-Ikhtilaf Fi al-Qawa’id alUshuliyah Fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, h. 530

2Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 706.Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) h. 155.4 Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, (Depok, PT Kharisma Putra Utama) h. 220.5 Musthafa Sa’id al-

Khinni, Asar al-Ikhtilaf Fi al-Qawa’id alUshuliyah Fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, h. 530

6
Contohnya perintah menialankan puasa dimana para ulama berpendapat bahwa kita wajib
mengamalkan katvna syariat telah mengaturnya sesuai al-quran dan sunnah diantara dalam
firman Allah Subhanahu wata’ala :

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa, selMgaiman diwajibkan kepada
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (surat al-baqarah ayat 183)

Ajaran yang ditetapkan oleh syariat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam Ajaran ini dibagi
menjadi 2 macam, yaitu sebagai berikut :

a. Ajaran yang diberitakan kepada kita, baik nrlalui al-quran atau sunnah, tetapi tidak tegas
diwaJibkan sebagai mana diwajibkan kepada ummat sebelum kita, Contohnya, Firman Allah
Subhanahu wata’ala yang artinya, “Dan telah kami tetapkan didalamnya (At-Taitas urat)
bahwasannya jika dibalas ji’,va, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishasnya. ‘QS Al-Maidah ayat 45.

Mayoritas ulama hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi ‘iyyah bemendapat bahwa Syari’at yang
ditetapkan untuk Bani Israil juga berlaku bagi ummat Islam karena tidak ada dalil yang
menasakh (menghapus), Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa Syari’at sebelum kita tidak
berlaku karena sifat Syari’at kita menghapus Syari’at-syari’at sebelumnya. Syari’at bani Israil
hanya untuk mereka, sedangkan Syari’at ummat Islam untuk seluruh ummat manusia.

b. Ajaran yang tidak disebut-sebut (diceritakan) Oleh Syari’at Rosululloh SAW Para Ulama
berpendapat bahwa ummat Islam tidak wajib mengamalkan Syari’at sebelum kita dan yang
tidak disebut-sebut oleh Syari’at kita.

C.Kehujjahan Syar'u Man Qablana

Allah SWT menciptakan manusia semata-mata hanya untuk beribadah kepada-Nya. Dengan
diturunkannya syariat Islam dengan melalui perantara para rasul-Nya, mewajibkan setiap umat
untuk menjalankan segala aktivitasnya sesuai dengan aturan yang telah dibuat oleh-Nya.
Berbicara mengenai syariat, dalam fiqh berbeda dengan syariat sebelum Nabi Muhammad
menjadi rasul, yang disebut dengan syar'u man qablana.

Syar`u secara etimologi berarti mengalir. Syariat adalah bentuk isim fa`ilnya secara bahasa
adalah tempat yang didatangi oleh orang yang ingin minum dan dilintasi manusia untuk
menghilangkan rasa haus mereka. Syariat juga bisa diartikan sebagai jalan yang lurus atau
thariqatun mustaqimatun. Dalam kaitannya dengan syariat Islam, dapat dikatakan bahwa
syariat adalah hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. yang tercantum berbagai
aturan yang diperuntukkan bagi manusia didalamnya.

7
Telah dijelaskan oleh para ulama bahwa syariat sebelum kita atau syar`u man qablana ialah
hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh para Nabi
dan Rasul sebelum Nabi Muhammad menjadi beban hukum untuk diikuti dan dianut oleh umat
sebelum Allah menurunkan syariat kepada Nabi Muhammad Saw. Namun sebagian orang
mengatakan bahwa Nabi saw. mengikuti syari'at nabi sebelumnya, sedangkan sebagian yang
lain menyatakan tidak.

Menurut Ulama Malikiah dikatakan bahwa Rasul sebelum ditetapkan sebagai Rasul tidak terikat
dengan syari`at sebelum Islam, karena tidak ada dalil yang menegaskan bahwa Rasul terikat
dengan syari`at sebelum Islam. Menurut Ulama Hanafiah, Hanabilah, Ibn Malikiah (al-Hajib),
Syafi`iyah (al-Baidhawi), mereka mengatakan bahwa Rasul sebelum ditetapkan sebagai Rasul
terikat dengan syari`at sebelum Islam, karena Rasul banyak melakukan perbuatan hukum baik
dalam domain pada ibadah.

Namun dapat ditegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidaklah mengikuti syari'at nabi
sebelumnya. Alasan yang mendasarinya yakni,

a). Ketika Rasul mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, beliau bertanya kepada Mu'adz, dengan
apa ia menghukumi persoalan? lantas Mu'adz menjawab, dengan Al Qur'an, As Sunnah dan
Ijtihad, tanpa menyebutkan kitab Taurat, Injil dan Syar'u man qabana, dan Rasul
membenarkannya.

b). Seandainya Rasulullah saw. diharuskan menggunakan syar'u man qablana maka beliau
senantiasa menggunakannya dalam menghadapi berbagai persoalan tanpa harus menunggu
turunnya wahyu.

c). Seandainya memang syar'u man qablana masih digunakan maka akan menjadi kewajiban
untuk mempelajari, mendalami dan mentransformasikan, bagi generasi sahabat maupun
sesudahnya.

d). Sudah menjadi ijma' di kalangan umat Islam bahwa Syari'at Nabi Muhammad adalah syari'at
yang merombak ajaran sebelumnya, dan secara keseluruhan berasal dari syari'an Rasul saw.

Secara harfiah Syar`u Man Qablana adalah hukum-hukum Allah yang dibawa oleh para
Nabi/Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw. dan berlaku untuk umat mereka pada zaman itu.
Berikut dasar kehujjahan Syar'u Man Qablana;

Artinya: "diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu
tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di
dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan

8
kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi
petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya)." (QS. Al-Syuura: 13)

D. Pengertian Mazhab Shahabi

Mazhab shahabi merupakan dalil para ulama hukum fiqh untuk mengatasi permasalahan yang
ada di kalangan umat Islam. Mazhab shahabi berarti pendapat seorang sahabat, dan pendapat
itu menyebar ke sahabat lain tanpa ada sahabat yang menentangnya. Mazhab shahabi adalah
salah satu dari referensi aturan Islam dari zaman Tabi’in. Di kalangan ulama berbeda pendapat
mengenai kehujjahan mazhab shahabi. Imam Malik, Ar-Razi, Hanafiyyah, Asy-Syafi’i dengan
Qaul Qadimnya serta Ahmad bin Hanbal menerima Mazhab shahabi menjadi hujjah. Asya`irah,
Mu`tazilah, Asy Syafi`i dengan Qaul Jadidnya, Ulama Syi`ah, ulama Al Karkhi, Madzhab Maliki,
Hanafi, dan Ibn Hazm menolak mazhab shahabi sebagai hujjah. Seperti pembahasan lainnya,
Mazhab shahabi dapat menjadi sumber berita terbaru. Ketidaksepakatan di kalangan ulama
tentang penggunaan Mazhab shahabi menjadi perdebatan yang mempengaruhi penerapannya
dalam perekonomian saat itu.3

E.Macam-macam Mazhab Shahabi

Para ulama membagi qaul as-shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya Dr. Abdul karim
Zaedan yang membaginya ke dalam beberapa macam:

1. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad.

Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah.
Karena kemungkinan sima’ dari Nabi Saw. sangat besar. Sehingga perkataan sahabat dalam hal
ini bisa termasuk dalam kategori As-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf.
Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Az-Zarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan
sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad, seperti, perkataan Ali bahwa
jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid
seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.

Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama As-Syafi’iyah, bahwa hal-hal
tersebut adalah permasalahan-permaslahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada
kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada
kebiasaan masing-masing.

1. Perkataan Sahabat Yang Disepakati Oleh Sahabat Yang Lain.

3
Syamsul Munir Amir M. Ag, Kamus Ilmiah Ushul Fiqh, h. 209.10 Chairul Umam, Ushul Fiqh, h.181.

9
Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.

1. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada
sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya.

Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang
berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.

1. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri.

Qaul as-shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai
keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam. Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar
menambahkan bahwa perkataan yang berasal dari ijtihad seorang sahabat yang tidak diketahui
tersebarnya pendapat tersebut di antara para sahabat lainnya juga tidak diketahui pula ada
sahabat lain yang menentangnya dan perkataan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Pada perkataan sahabat seperti ini para ulama berbeda pendapat mengenai
statusnya.

Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar menambahkan beberapa poin mengenai
macam-macam qaul as-shahabi ini, di antaranya:

 Perkataan Khulafa Ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para ulama
sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits,”
Hendaklah kalian mengikuti Sunnahku dan Sunnah para Khulafa Ar-Rasyidin setelahku…
 Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh sahabat
yang lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan sahabat ini
tidak bisa dijadikan hujjah. Akan tetapi sebagian ulama lainnya dari kalangan Ushuliyyin
dan fuqaha mengharuskan untuk mengambil perkataan satu sahabat.
F. Kehujahan Mazhab Shahabi
Maksud kehujjahan di sini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat Islam,
sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah
Nabi.
Pembicaraan tentang apakah mazhab shahabi itu menyangkut beberapa segi yang menyangkut
beberapa segi pembahasan yaitu: pendapat sahabat yang berada di luar lingkup ijtihad atau hal
lain yang secara qath’i berasal dari Nabi meskipun secara terang tidak disebutkan berasal dari
Nabi, dapat menjadi hujjah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk
ini, maka diselesaikan dengan cara atau metode yang lazim (berlaku).
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan
berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik

10
pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa
pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak dapat dinalar logika atau
ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah.
Para ulama’ juga sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan dengan
ketentuan hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma’ ash-shahabi) baik
kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma’ ash-sharih) maupun yang dipandang
sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang berbeda dengan pendapat yang
berkembang (ijma’ as-sukuti), yang dalam istilah lain disebut dengan mazhab ash-shahabi.
Sebaliknnya, para ulama’ juga sepakat bahwa qaul ash-shahabi yang merupakan hasil ijtihad
perorangan tidak menjadi hujjah terhadap sahabat lainya. Sebab fakta sejarah menunjukkan
bahwa di kalangan sahabat sendiri terjadi perbedaan pendapat dalam beberapa masalah
hukum syara’ tertentu.
Sekiranya pendapat seorang sahabat menjadi hujjah terhadap sahabat lainya, tentu perbedaan
pendapat tersebut tidak terjadi. Pendapat perorangan merupakan hujjah bagi generasi tabi’in
dan generasi berikutnya.
Madzhab Sahabat secara mutlak tidak menjadi hujjah/dasar hukum atas madzhab shahabi.
Pendapat ini berasal dari jumhur Asyariyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam madzhabnya
(Syafi’iyah) dan juga Abul Hasan Al-Kharha dari golongan Hanafiyah. Alasannya sebagai berikut:
1. Bahwa sahabat itu tidak maksum (terpelihara) dari kesalahan. Tidak lain halnya dengan
seorang mujtahid yang yang bisa berbuat kesalahan. Mengenai keutamaan sahabat dengan
ilmu dan takwanya, tidaklah mewajibkan untuk mengikutinya.
2. Bahwa sebagian sahabat itu menyelisihi sahabat lainnya.
3. Bahwa ada sebagian tabi’in yang menyalahi madzhab/qaul sahabat.
Dalam hal ini Imam Syafi’i mengatakan sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahhab Khallaf dalam
kitabnya, begini : “Tidak menetapkan hukum atau memberikan fatwa kecuali dengan dasar
yang pasti, yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits, atau sebagaimana yang dikatakan para ilmuan yang
dalam suatu hal tidak berbeda pendapat (ijma’), atau dengan mengqyiaskan kepada sebagian
dasar ini".
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama di antaranya: menurut jumhur ulama dari
kalangan ulama Hanafiyyah, Imam Malik, Asy-Syafi’I yang lama (qaul al-qadim) dan Ahmad bin
Hanbal yang terkuat, qaul ash-shahabi merupakan hujjah.
Bahkan menurut mereka qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-qiyas. Pendapat ini
didasarkan kepada beberapa dalil sebagai berikut:
1. Firman Allah SWT pada surah Ali Imran (3) ayat 110, yang berbunyi:

ِ ‫اس تَْأ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬


‫ُوف َوتَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َوتُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ ۗ َولَوْ آ َمنَ َأ ْه ُل‬ ِ َّ‫ت لِلن‬ ْ ‫كُ ْنتُ ْم خَ ْي َر ُأ َّم ٍة ُأ ْخ ِر َج‬
َ‫اسقُون‬ِ َ‫ب لَ َكانَ خَ ْيرًا لَهُ ْم ۚ ِم ْنهُ ُم ْال ُمْؤ ِمنُونَ َوَأ ْكثَ ُرهُ ُم ْالف‬ ِ ‫ْال ِكتَا‬

11
Artinya :

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf,
dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasi.

Menurut mereka, qaul sahabat merupakan salah satu dalil naqli di antara dalil dalil yang lain.
Dan ayat ini ditunjukan kepada para sahabat.

2. Kemudian dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman dalam Q.S. At-Taubah ayat 100:

۟ ‫ضى هَّللا ُ َع ْنهُ ْم َو َرض‬ َ ‫َوال ٰ ّسبِقُونَ اَأْل َّولُونَ ِمنَ ْال ُم ٰه ِج ِرينَ َواَأْل‬
ُ‫ُوا َع ْنه‬ َ ِ ‫ار َوالَّ ِذينَ اتَّبَعُوهُم بِِإحْ ٰس ٍن َّر‬ ِ ‫نص‬
١۰۰E:‫ظي ُم ﴿التوبة‬ ِ ‫ك ْالفَوْ ُز ْال َع‬ ٍ ّ‫﴾ َوَأ َع َّد لَهُ ْم َج ٰن‬
َ ِ‫ت تَجْ ِرى تَحْ تَهَا اَأْل ْن ٰه ُر ٰخلِ ِدينَ ِفيهَٓا َأبَدًا ۚ ٰذل‬

Artinya:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada
mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah
kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah, 9:100)

G. Bentuk-bentuk Mazhab Shahabi

Dalam pandangan Abu Zahrah, Mazhab Shahabi terdiri dari beberapa bentuk,
diantaranya:

1. Apa yang disampaikan sahabat itu berupa berita yang di dengar dari Nabi SAW, tetapi ia
tidak menyatakan bahwa berita itu sebagai Sunnah Nabi SAW.

2. Apa yang diberitakan sahabat itu sesuatu yag didengar dari orang yang pernah
mendengarnya dari Nabi SAW, akan tetapi orang tersebut tidak menjelaskan bahwa yang
didengar itu berasal dari nabi.

12
3. Sesuatu yang disampaikan dari sahabat itu sesuatu itu merupakan hasil pemahamannya
dari ayat al-Qur’an yang orang lain tidak memahaminya.

4. Sesuatu yang disampaikan sahabat, telah disepakati oleh lingkungannya, namun yang
menyampaikan hanya sahabat itu seorang.

5. Apa yang disampaikan sahabat merupakan hasil pemahaman atas dalil-dalil karena
kemampuanya dalam penggunan dalil lafal

 SADD ADZARI'AH

A. Pengertian Sadd Adz-Dzari’ah

1. Secara Etimologis

Kata sadd adz-dzari’ah (‫ )سد الذريعة‬merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata,
َّ
yaitu sadd (‫) َس ُّد‬dan adz-dzari’ah (‫)الذ ِر ْي َعة‬. Secara etimologis, kata as-sadd ( ‫)ال َّس ُّد‬merupakan kata
benda abstrak (mashdar) dari ‫ َس َّد يَ ُس ُّد َس ًّدا‬. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang
cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (‫ )ال َّذ ِر ْي َعة‬merupakan kata benda
(isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana dan sebab terjadinya sesuatu.

2. Secara Terminologis /Istilah

Kata Al-dzari’ah dikalangan ahli Ushul diartikan :

ً ‫ع شَرْ عا‬
ٍ ْ‫ما َ تَ ُكوْ نُ َو ِس ْيلَةً َوطَ ِريْقا ً اِل َى َش ْيٍئ َم ْمنُو‬
“Jalan yang menjadi perantaraan dan jalan kepada sesuatu yang dilarang”

Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu
yang dilarang maupun yang dibolehkan.[3]Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami
bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu
yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain
yang dilarang.

B. Dasar Hukum Saddu Dzariah

1) Al-Qur’an

َ‫ُّوا هّللا َ َع ْدواً بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم َك َذلِك‬


ْ ‫ُون هّللا ِ فَيَ ُسب‬ ْ ‫َوالَ تَ ُسب‬
ِ ‫ُّوا الَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ ِمن د‬
ْ ُ‫زَ يَّنَّا لِ ُك ِّل ُأ َّم ٍة َع َملَهُ ْم ثُ َّم ِإلَى َربِّ ِهم َّمرْ ِج ُعهُ ْم فَيُنَبُِّئهُم بِ َما َكان‬
َ‫وا يَ ْع َملُون‬

Terjemahan :

13
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa 4pengetahuan.Demikianlah
Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.Kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan”. (QS. Al-An’am : 108)

Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa mencaci maki Tuhan atau sembahan agama lain adalah
adz-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci
maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci
kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci.
Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama
lain merupakan tindakan pencegahan(sadd adz-dzari’ah).

‫وا انظُرْ نَا َوا ْس َمعُوا ْ َولِل َكافِ ِرينَ َع َذابٌ َألِي ٌم‬
ْ ُ‫اعنَا َوقُول‬ ْ ُ‫وا الَ تَقُول‬
ِ ‫وا َر‬ ْ ُ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن‬

Terjemahannya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa`ina",
tetapi katakanlah : "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang
pedih.”(QS. Al-Baqoroh:104)

Pada QS.Al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap
sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi.
Kata raa ‘ina (‫)را ِعنَا‬
َ berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat
menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada
mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga

4
1] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2012). Hlm. 2

[2] Dr. H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 164.

[3] Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Logos, 1996), hlm. 160

[4]Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 2, hal. 56

[5]Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt). Hlm. 176

[6] Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Logos, 1996). Hlm. 162.

[7] Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Logo

14
berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut
al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-dzari’ah.

2) As-Sunnah

‫ت‬ِ ‫بَّهَا‬E‫اس فَ َم ْن اتَّقَى ْال ُم َش‬ ِ َّ‫ي ٌر ِم ْن الن‬EEِ‫ات اَل يَ ْعلَ ُمهَا َكث‬ ٌ َ‫بَّه‬E‫و ُل ْال َحاَل ُل بَي ٌِّن َو ْالحَ َرا ُم بَي ٌِّن َوبَ ْينَهُمَا ُم َش‬EEُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَق‬
َ ِ ‫َرسُو َل هَّللا‬
ِ ‫ك ِح ًمى َأاَل ِإ َّن ِح َمى هَّللا‬ ٍ E ِ‫ ِّل َمل‬E‫ك َأ ْن يُ َواقِعَ هُ َأاَل َوِإ َّن لِ ُك‬ ُ ‫اع يَرْ عَى َحوْ َل ْال ِح َمى يُو ِش‬ ٍ ‫ت َك َر‬ ِ ‫ض ِه َو َم ْن َوقَ َع فِي ال ُّشبُهَا‬ ِ ْ‫ا ْستَ ْب َرَأ لِ ِدينِ ِه َو ِعر‬
ُ‫َت فَ َس َد ْال َج َس ُد ُكلُّهُ َأاَل َو ِه َي ْالقَ ْلب‬ْ ‫صلَ َح ْال َج َس ُد ُكلُّهُ َوِإ َذا فَ َسد‬
َ ‫ت‬ ْ ‫صلَ َح‬ َ ‫ار ُمهُ َأاَل َوِإ َّن فِي ْال َج َس ِد ُمضْ َغةً ِإ َذا‬ ِ ‫ض ِه َم َح‬ ِ ْ‫فِي َأر‬

Terjemahannya :

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang halal sudah jelas dan yang haram juga
sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh
banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara
agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada
perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan
ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa
setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah
apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang
apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut.
Ketahuilah, ia adalah hati".(Shohih Bukhari no.50)

Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang syubhat lebih besar kemungkinan
akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari
perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada
perbuatan maksiat itu.

3) Kaidah fiqih

Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah adalah:

‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬


ِ ِ‫صال‬ ِ ‫اس ِد َأوْ لَى ِم ْن َج ْل‬
ِ َ‫ َدرْ ُء ْال َمف‬.

Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).[5] 5

5
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2012.

Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997.

Dr. H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996.

Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.

15
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya.
Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa
disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat
unsur mafsadah yang harus dihindari.

C. Macam – macam Sadd Adz-Dzari’ah

Adz-Dzari’ah dibagi menjadi dua yaitu:

1. Dari segi kualitas kemafsadatannya.

Dari segi kualitas kemafsadatannya, dzari’ah dibagi menjadi empat:[7]

a.Dzari’ah/perbuatan yang pasti akan membawa mafsadat, misalnya menggali sumur di jalan
umum yang gelap. Ini

b.Dzari’ah/perbuatan yang jarang membawa mafsadat misalnya menanam pohon anggur.


Walaupun buah anggur sering dibuat minuman keras, tetapi hal ini termasuk jarang. Karena itu,
dzari’ah ini tidak perlu dilarang.

c.Dzari’ah/perbuatan yang diduga keras akan membawa mafsadat, misalnya menjual anggur
kepada perusahaan pembuat minuman keras. Dzari’ah ini harus dilarang.

d.Dzari’ah/perbuatan yang sering membawa mafsadat, namun kekhawatiran terjadinya tidak


sampai pada dugaan yang kuat melainkan hanya asumsi biasa, misalnya transaksi jual beli
secara kredit yang memungkinkan terjadinya riba. Terjadi perbedaanpendapat di kalangan
ulama tentang dzar’ah yang keempat ini. ada yang berpendapat harus dilarang dan ada yang
berpendapat sebaliknya.

2. Dzari’ah dilihat dari jenis kemafsadatan yang ditimbulkan

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dzari’ah jenis ini dibagi menjadi 2 :

a.Perbuatan yang membawa kemafsadatan misalnya meminum minuman keras yang


mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadata.

b.Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, namun digunakan untuk
melakukan perbuatan yang haram baik disengaja ataupun tidak. Yang disengaja misalnya nikah

Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 2.

Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

16
al-tahlil dan yang tidak sengaja misalnya mencaci-maki ibu bapak orang lain yang
mengakibatkan orang tuanya juga dicaci-maki orang tersebut.

3. Dzari’ah dilihat dari bentuknya dibagi menjadi empat, yaitu:[8]

a.Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu kemafsadatan misalnya meminum mminuman
keras. Hal ini dilarang oleh syara’

b.Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi dilakukan untuk suatu kemafsadatan,
misalnya nikah tahlil. Hal ni dilarang oleh syara’.

c.Pekerjaan yang hukumnya boleh dan tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan tetapi
biasanya akan mengakibatkan mafsadat, misalnya mencaci sesembahan orang lain. Hal ini
dilarang oleh syara’

d.Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi kadang membawa mafsadat, misalnya
melihat wanita yang dipinang. Tetapi menurut Ibnu Qayyim, kemaslahatannya lebih besar maka
dibolehkan sesuai kebutuhan.

D. Pandangan Ulama’ Tentang Sadd Adz-Dzari’ah

Sebagian besar Ulama’ berpendapat bahwa sadd adz-dzariah dapat dijadikan dalil dalam fiqh
Islam, mereka hanya berbeda dalam pembatasannya.Imam Malik dan Imam Ahmad amat
banyak berpegang pada dzari.’ah, Ulama malikiyah dan hanabilah dapat menerima kehujjahan
sadd adz-dzari’ah ini sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:

a. Firman Allah dalam surat An An’am, 6: 108:

)108 ‫َواَل تَ ُّسبُوْ االَّ ِذ ْينَ يَ ْد ُعوْ نَ ِم ْن ُدوْ ِن هللاِ فَيَ ُسبُّوْ اهللاَ َع ْد ًوا بِ َغي ِْر ِع ْل ِم (االنعم‬

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….(QS: An
An’am:108)

b. Hadits Rasulullah saw

ُ ‫ص ْي ِه فَ َم ْن حاَ َم َحوْ َل ْال ِحم َى يُوْ ِش‬


‫ك اَ ْن يَقَ َع فِ ْي ِه‬ ِ ‫اَالَ َواِ َّن ِحم َى هللاِ َم َعا‬

“Ingatlah, tanaman Allah adalah ma’siat-ma’siat kepada-Nya. Siapa yang menggembalakan di


sekitar tanaman tersebut, ia akan terjerumus di dalamnya. (Hadits riwayat Bukhari dan
Muslim).

17
Sedangkan Imam Syafi’I dan Abu Hanifah kurang dari mereka walaupun mereka berdua
terakhir tidak menolak dzari’ah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang
berdiri sendiri. Menurut Syafi’I dan Abu Hanifah, dzari’ah ini masuk kedalam dasar yang telah
mereka tetapkan yaitu qiyas dan istihsan menurut Hanafi.[9]

Berpegang pada dzari’ah tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang yang tenggelam
didalamnya bisa saja melarang perbuatan yang sebenarnya mubah, mandub bahkan yang wajib,
karena terlalu khawatir terjerumus ke jurang kedzaliman. Oleh karena itu Ibnul Araby didalam
kitabnya Ahkamul Qur’an mengaitkan keharaman karena dzari’ah itu apabila yang diharamkan
karena saddu dzari’ah itu, tsabit keharamannya dengan nash, bukan dengan qiyas, dan bukan
pula dengan dzari’ah. Oleh karena itu tidak boleh meninggalkan perwalian harta anak yatim
karena takut dzalimnya wali.

Dengan demikian, maka mukallaf (orang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan
menjauhi larangan agama) wajib mengetahui benar didalam menggunakan dzari’ah itu akan
bahaya menggunakannya atau bahaya meninggalkannya. Merekapun harus mentarjihkan
(menguatkan) diantara keduanya kemudian harus mengambil mana yang rajih (unggul).

BAB III

PENUTUP

 Kesimpulan

18
Setelah mengkaji dan membahas tentang kehujjahan Qaul Shahabi sebagai dalil syar’i, maka
dapat dihasilkan sebuah kesimpulan bahwa pada dasarnya mayoritas ulama (Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali) menjadikan Qaul Shahabi sebagai salah satu sumber istinbath ahkam
dengan berbagai pertimbangan, yaitu; para shabat adalah orang yang lebih dekat kepada
Rasulullah saw. dibanding orang lain. Mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’ lantaran
mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Alquran, mempunyai keikhlasan
dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada pertunjukpetunjuk Nabi saw serta
mengetahui situasisituasi dimana nas-nas Alquran diturunkan.

Pendapat-pendapat yang dikemukakan para sahabat juga sangat mungkin sebagai bagian dari
sunah Nabi dengan alasan para sahabat sering berkumpul dengan Rasulullah saw baik dalam
keadaan suka maupun duka. Walaupun masih ada perdebatan di kalangan para ulama, namun
perdebatan tersebut hanya berkisar pada pendapat sahabat mana yang dapat dijadikan
sandaran dan dasar dalam penetapan hukum Islam. Dengan demikian, pada kasus-kasus
tertentu di era kini, bisa mengambil hukum yang didasarkan pada Qaul Shahabi sebagai salah
satu dalil syar’i.

sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang
pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang. Dasar hukum sadd adz-dzari’ah adalah jelas, mulai dari Al Quran, sunnah, dan kaidah
fiqh.

Dari kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi tiga
macam, yaitu:

1) Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau
sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan.

2) Sesuatu yang disepakati untuk dilarang

3) Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan

Sebagian besar Ulama’ berpendapat bahwa sadd adz-dzariah dapat dijadikan dalil dalam fiqh
Islam, mereka hanya berbeda dalam pembatasannya.Berpegang pada dzari’ah tidak boleh
terlalu berlebihan, karena orang yang tenggelam didalamnya bisa saja melarang perbuatan
yang sebenarnya mubah, mandub bahkan yang wajib, karena terlalu khawatir terjerumus ke
jurang kedzaliman. Mukallaf (orang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi
larangan agama) wajib mengetahui benar didalam menggunakan dzari’ah itu akan bahaya
menggunakannya atau bahaya meninggalkannya. Merekapun harus mentarjihkan
(menguatkan) diantara keduanya kemudian harus mengambil mana yang rajih (unggul)

19
 Saran

Dalam penulisan dan penyusunan makalah ini terdapat kekurangan dan kelebihan maka kritik
dan saran maupun hal lainnya yang berkenaan dengan mata kuliah Ushul Fiqih kami harapkan
bimbingannya baik dalam makalah ini maupun hal lainnya untuk kebaikan kita bersama.
Semoga makalah ini senantiasa menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulisnya
maupun yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Grabalong. 2015. Mazhab Shahabi, Syar’u Man Qablana & Sadd Al-Zar’iah.
grabalong.blogspot/2015/02/madzhab-shahabi-syaru-man-qablana- sadd (diakses pada 20
April 2022, pukul 13).

20
Yazid, Imam. Analisis Teori Syar’u Man Qablana.
jurnal.staialhidayahbogor.ac/index.php/am/article/download/131/ (diakses pada 20 April 2022,
pukul 15).

Afuddin, Muhammad Ifan Nur. 2017. Syar’u Man Qablana dan Mazhab Shahabi.
isnaininurf.blogspot/2017/05/syaru-man-qablana-dan-madzhab- shahaby (diakses pada 20
April 2022, pukul 21).

Naja, Muhammad Abdun. Mazhab Shahabi. academia/12068100/Mazhab_Sahabi (diakses


pada 20 April 2022, pukul 21).

BERITA ACARA

Hari/tanggal :

Waktu :

21
Tempat :

Pelaksana Diskusi

o Penyaji :
o Moderator :
o Notulis :
o Daftar Hadir : Mahasiswa PIAUD 1

Moderator membuka diskusi dengan mempersilahkan penyaji untukmempresentasikan materi yang


akan dibawakan.

2. Penyajian

Pembicara menyampaikan materi mengenai Definisi , macam-macam,dan Dalil kehujjahannya Istihab

3. Tanya Jawab

Pertanyaan :

1.

2.

3.

22

Anda mungkin juga menyukai