Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“TASAWUF AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah ASWAJA


Dosen Pengampu :

Muhammad Asror., M.Pd.I

Disusun oleh kelompok 6 :

Arif Imam Nirrohim


NPM 19.03.055

PROGRAM STUDI S1 PERBANKA SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL MA’ARIF

KALIREJO LAMPUNG TENGAH

TA. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur pertama kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat rahmat dan nikmat-Nya kami diberikan kesempatan untuk dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa pula sholawat dan salam
kami curahkan kepada Rasulullah SAW semoga kita selalu dalam lindungan
beliau.

Makalah yang berjudul tentang Tasawuf Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini
disusun untuk melengkapi tugas kelompok mata kuliah Pembelajaran
ASWAJA.Penulisan makalah ini dimungkinkan oleh adanya bantuan dan
bimbingan dari berbagi pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
atas bantuan dan bimbingan kepada:

1. Dosen pembimbing mata kuliah Aswaja Pak Muhammad Asror, M.Pd.I


2. Teman-teman yang sudah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak


kekurangan karena masih dalam proses belajar. Oleh karena itu, kami dengan
terbuka dan senang hati akan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini menjadi lebih baik. Kami berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.

Akhir kata kami sampaikan terima kasih dan kurang lebihnya mohon maaf,
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Kalirejo, 06 Oktober 2022


Penyusun

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul .........................................................................................i

Kata Pengantar .......................................................................................ii

Daftar Isi .................................................................................................iii

BAB 1 (PENDAHULUAN)

A. Latar Belakang ..............................................................................1


B. Rumusan Masalah .........................................................................1
C. Tujuan Pembahasan.......................................................................1

BAB II (PEMBAHASAN)

A. Pengertian Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah)..........2


B. Sejarah Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)................4
C. Tokoh-tokoh Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah).......7

BAB III (PENUTUP)

A. Kesimpulan..................................................................................11
B. saran.............................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belajar tasawuf yang sangat penting bagi umat Islam
bukanpekerjaan yang mudah dilakukan dari segi asal-muasal katasaja,
karena sering terjadi pro dan kontra.Belum lagi aplikasipraktisnya untuk
menjalani kehidupan ala tasawuf itu sendiri. Ilmu tasawuf bukan hanya
teori, melainkan juga praktik. Tulisan ini mengajakpembaca untuk
bersama-sama meyakinkan bahwa ajarantasawuf itu murni dari ajaran
Islam bukan pengaruh dari luarIslam. Pemikiran dan praktek tasawuf yang
dihasilkan daripemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits
berbedadengan pemikiran bebas yang tidak bersumber dari
keduanya.Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini kami akan mencoba
memaparkan beberapa persoalan yang berhubungan dengan tasawuf ahlus
sunnah wal jama’ah, yaitu pengertian tasawuf Aswaja, sejarah
perkembangan tasawuf Aswaja dan tokoh-tokoh dalam tasawuf Aswaja.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)?
2. Bagaimana Sejarah Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)?
3. Siapa saja Tokoh-tokoh Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah)?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Pengertian Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah).
2. Untuk mengetahui Sejarah TasawufAswaja (Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah).
3. Untuk mengetahui Tokoh-tokoh TasawufAswaja (Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah).

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)


a. Menurut Bahasa
Para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang asal usulpenggunaan
kata tasawuf. Dari berbagai sumber rujukan buku-bukutasawuf, paling
tidak ada limapendapat tentang asal kata dari Tasawuf.
Pertama, kata tasawuf dinisbahkan kepada perkataan ahlshuffah,yaitu
nama yang diberikan kepada sebagian fakir miskin dikalangan orang Islam
pada masa awal Islam. Mereka adalah diantaraorang-orang yang tidak
punya rumah, maka menempati gubuk yangtelah dibangun Rasulullah di
luar masjid di Madinah.Ahl al-Shuffah adalah sebuah komunitas yang
memiliki ciri yang menyibukkan diri dengan kegiatan ibadah.Mereka
meninggalkan kehidupan dunia dan memilih pola hidup zuhud.Mereka
tinggal di masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai
pelana (sofa), mereka miskin tetapi berhati mulia. Para sahabat nabi hasil
produk shuffah ini antara lain Abu Darda’, Abu Dzar al Ghifari dan Abu
Hurairah.
Kedua, ada pendapat yang mengatakan tasawuf berasal dari kata shuf,
yang berarti bulu domba.Berasal dari kata shuf karena orang-orang ahli
ibadah dan zahid pada masa dahulu menggunakan pakaian sederhana
terbuat dari bulu domba.Dalam sejarah tasawuf banyak kita dapati cerita
bahwa ketika seseorang ingin memasuki jalan kedekatan pada Allah
mereka meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti
dengan kain wol kasar yang ditenun sederhana.Tradisi pakaian sederhana
dan compang camping ini dengan tujuan agar para ahli ibadah tidak timbul
rasa riya’, ujub atau sombong.
Ketiga, tasawuf berasal dari kata shofi, yang berari orang suci atau
orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat
keduniaan.Mereka memiliki ciri-ciri khusus dalam aktifitas dan ibadah

2
3

mereka atas dasar kesucian hati dan untuk pembersihan jiwa dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah.Mereka adalah orang yang selalu
memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat.
Pendapat yang keempat mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata
shaf, yaitu menggambarkan orang-orang yang selalu berada di barisan
depan dalam beribadah kepada Allah dan dalam melaksanakan kebajikan.
Sementara pendapat yang lain mengatakan bahwa tasawuf bukan
berasal dari bahasa Arab melainkan bahasa Yunani, yaitu sophia, yang
artinya hikmah atau filsafat. Menisbahkan dengan kata Sophia karena jalan
yang ditempuh oleh para ahli ibadah memiliki kesamaan dengan cara yang
ditempuh oleh para filosof. Mereka sama-sama mencari kebenaran yang
berawal dari keraguan dan ketidakpuasan jiwa.Contoh ini pernah dialami
oleh Iman al Ghazali dalam mengarungi dunia tasawuf.
Masih banyak pendapat lain yang menghubungkan kata tasawuf
dengan perkataan-perkataan lain yang dapat dirujuk dalam buku-buku
tasawuf.
Yang jelas dari segi bahasa terlepas dari berbagai pendapat yang ada,
dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu
memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban
untuk kebaikan dan selalu bijaksana serta mengutamakan kebajikan.

b. Menurut Istilah
Selanjutnya tasawuf dari aspek terminologis (istilah) jugadidefinisikan
secara beragam, dan dari berbagai sudut pandang. Hal ini dikarenakan
bebeda cara memandang aktifitas para kaum sufi. Ma’ruf al Karkhi
mendefinisikan tasawuf adalah “mengambil hakikat dan meninggalkan
yang ada di tangan mahkluk”.Abu Bakar Al Kattani mengatakan tasawuf
adalahbudi pekerti “Barangsiapa yang memberikan bekal budi pekerti
atasmu, berarti ia memberikan bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf”.
Selanjutnya Muhammad Amin Kurdi mendefinisikan tasawuf adalah
“Suatu yang dengannya diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa,
4

cara membersihkannya dari yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat


terpuji, cara melaksanakan suluk dan perjalanan menuju keridhaan Allah
dan meninggalkan larangannya”.
Dari kajian sudut bahasa maupun istilah sebagaimana dijelaskan di
atas, menurut Nicholson, bahwa masalah yang berkaitan dengan sufisme
adalah sesuatu yang tidak dapat didefinisikan secara jelas dan terang,
bahkan semakin banyak didefinisikan maka semakin jauh dari makna dan
tujuan. Hal ini biasa terjadi karena hasil pengalaman sufistik tergantung
pada pengamalan masing-masing tokoh sufi.
Namun, menurut Abuddin Nata, bahwa walaupun setiap para tokoh
sufi berbeda dalam merumuskan arti tasawuf tapi pada intinya adalah
sama, bahwa tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan
yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia,
sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah. Atau
dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan
dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dan bersama Allah.
Dari kesimpulan ini maka kemudian melahirkan beberapa teori tentang
asal usul ajaran tasawuf, apakah ajaran-ajaran tentang pembersihan jiwa
itu murni dari Islam atau justru pengaruh unsur lain di luar Islam. Maka
untuk memaknai tujuan dan hakekat tasawuf dalam Islam, kita harus
mengkaji pendapat-pendapat lain tentang teori asal usul ajaran tasawuf.

2. Sejarah Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)


Aswaja memiliki prinsip, bahwa hakikat tujuan hidup adalah
tercapainya keseimbangan kepentingan dunia-akherat dan selalu
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Untuk dapat mendekatkan diri kepada
Allah, dicapai melalui perjalanan spiritual, yang bertujuan untuk
memperoleh hakikat dan kesempurnaan hidup manusia (insan kamil).
Namun hakikat yang diperoleh tersebut tidak boleh meniggalkan garis-
garis syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan
5

Sunnah Rasulullah Saw.Syari’at harus merupakan dasar untuk pencapaian


hakikat.Inilah prinsip yang dipegangi tashawuf (tasawuf) Aswaja.
Bagi penganut Aswaja, Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah
merupakan rujukan tertinggi.Tasawuf yang benar adalah yang dituntun
oleh wahyu, Al-Qur’an maupun As- Sunnah (Thariqah ar-Rasulullah
Saw).
Para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-
pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama
kehidupannya. Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang
kemudian diteruskan oleh tabi’in, tabi’it tabi’in sampai pada para ulama
sufi hingga sekarang. Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi
Muhammad hingga para ulama Waliyullah itu, dapat dilihat dari
kehidupan pribadi dan sosialnya.Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an
(kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela)
dan dzikir yang dilakukan mereka.Demikian juga perilaku mereka dalam
bermasyarakat, seperti sopan santun, tawadlu’ (andab asor) dan sebagainya
harus selalu diresapi dan diteladani dengan penuh kesungguhan dan
kesabaran.
Secara jama’ah, kaum Nahdliyin dapat memasuki kehidupan sufi
melalui cara-cara yang telah digunakan oleh seorang sufi tertentu dalam
bentuk thariqah (tarikat). Tidak semua tarikat yang ada dapat
diterima.Kaum Aswaja An-Nahdliyah menerima tarikat yang memiliki
sanad sampai dengan Nabi Muhammad, sebab beliau pemimpin seluruh
perilaku kehidupan umat Islam. Dari Nabi, seorang sufi harus merujuk dan
meneladani. Apabila ada tarikat yang sanadnya tidak sampai kepada Nabi
Muhammad, maka kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima
sebagai thariqah mu’tabarah.
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para
pewarisnya adalah jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah
syari’at. Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima
jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban syari’at, seperti
6

yang terdapat dalam tasawuf Al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya


“ana al-haqq” atau tasawuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula
gusti). Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima ajaran-
ajaran tasawuf yang tidak meninggalkan syari’at dan akidah seperti yang
terdapat dalam tasawuf Al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.
Penerimaan tasawuf model tersebut, bertujuan memberikan jalan
tengah (tawasuth) di antara dua kelompok yang berbeda. Yaitu kelompok
yang menyatakan : Setelah seseorang mencapai tingkat hakikat, tidak lagi
diperlukan syari’at, dan kelompok yang menyatakan : Tasawuf dapat
menyebabkan kehancuran umat Islam. Oleh karenanya mereka menolak
kehidupan tasawuf secara keseluruhan.Ini seperti yang dituduhkan Ibnu
Taimiyah.
Dengan demikian, yang diikuti dan dikembangkan oleh kaum Aswaja
An-Nahdliyah adalah tasawuf yang moderat.Pengadopsian tasawuf
demikian, memungkinkan umat Islam secara individu memiliki hubungan
langsung dengan Tuhan, dan secara ber-jama’ah dapat melakukan gerakan
ke arah kebaikan umat.Dengan tasawuf seperti itu, kaum Aswaja An-
Nahdliyah, dapat menjadi umat yang memiliki kesalehan individu dan
keshalehan sosial (jama’ah).
Dengan tasawuf Al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi, kaum Aswaja
An-Nahdliyah diharapkan menjadi umat yang selalu dinamis dan dapat
menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan bertemu dengan
Tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh umat.Ini pernah ditunjukkan oleh para penyebar Islam di
Indonesia, Wali Songo. Secara individu, para wali itu memiliki kedekatan
hubungan dengan Allah dan pada saat yang sama mereka selalu
membenahi akhlaq masyarakat dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya
ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh
keikhlasan dan ketertundukan.
7

3. Tokoh – tokoh Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)


a. TASAWUF  AL-JUNAIDI AL-BAGHDADI
Nama lengkapnya adalah abu Al-Qasim al-Junayd bin Muhammad bin
al-junaid al-Khazzaz al-Qawariri al-nahawandi al-baghdadi, dia lahir dan
wafat (297 H/910 M) dikota baghdad. Dalam bidang tasawuf selain
berguru pada pamanya Sari Al-Saqathi, dia juga berguru kepada Al Harits
bin Asaad  Al-Muhasibi (165-123 H/ 781-856 M), dan yang lainya.
Menurutnya: “Tasawuf adalah membersihkan hati dari sifat yang
menyamai binatang dan melepaskan akhlaq yang fitri, menekan sifat
basyariya (kemanusiaan), menjahui hawa nafsu, memberikan tempat bagi
sifat-sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan
sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberikan nasihat
kepada umat , benar-benar menepati janji kepada Allah SWT, dan
mengikuti syariat Rasulullah SAW”.Al-Junaidi disepakati sebagai ulama
yag brdiri  di persimpangan jalan. Semua kalangan menerima mazhab
yang dibangunnya.
Menurut sejarawan sebagian ulama, ada empat faktor yang
mengantarkan madhzab al-junaidi menjadi standard dalam tasawuf
Ahlusunnah Waljama’ah sehingga al-junaidi menjadi satu-satunya figur
yang berhak menyandang gelar ” syaikh al-tha’ifah al-shufiyyah wa
sayyiduha’’. Keempat faktor tersebut adalah :
1. Konsistensi Al-Kitab dan Sunnah
Penguasanya terhadap bidang studi ilmu al-quran, hadis dan fikih
membawa pengaruh positif terhadaf  junaidi untuk mebangun
mazhabnya diatas fondasi alquran dan sunnah. Diantara perkataan
junaidi yang terkenal dan dijadikan kaedah oleh kalangan shufi adalah
kalimatnya yang berbunyi: “Ilmu kami ini (tasawuf) dibangun dengan
fundasi alkitabdn sunnah. Barang siapa yang belum hafal al-quran,
belum menulis hadis dan belajar ilmu agama secara mendalam, maka
ia tidak bisa dijadikan panutan dalam tasawuf”.
8

2. Konsistensi tehadap syari’ah


Junaidi juga membangun tasawufnya diatas fondasi konsistensi
terhadap syari’ah. Menurut junaidi seseorang yang melenceng dari
sunnah rasul, maka pintu kebaikan akan tertup baginya.
3. Kebersihan dalam akidah
Al-Junaidi juga membangun mazhabnya diatas fondasi akidah
yang besih yakni akidah Ahlussunnsh Wal-jamaah. Dalam hal ini
junaidi mengatakan : “ pertama kali yang dibutuhkan oleh sseorang
yang mendalami agama adalah mengenal pencipta kepada makhluk,
mengenalkaan kepada yang baru bagaiman di menciptakanya,
bagaimana pemulaan dirinya dan bagaimana pul setelah kematianya,
sehingga dia dapat membedakan antara sifat sang khalik dari sifat
makhluknya, mengesakanya dan mengakui akan kewajiban
menaatinya.
4. Ajaran tasawuf yang moderat.
Al-Junaidi membangun mazhabnya diatas fondasi ajaran moderat,
yang meruphkan cirri khas ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah.Dalam
hadis dikatakan bahwa “sebaik-baik perkara adalah yang moderat”.

Jadi pada intinya, tasawuf adalah usaha untuk menyucikan jiwa sesuci
mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga
kehadiran Alloh SWT.senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.
Menurut ajaran tasawuf, apabila seorang muslimin meningkatkan kualitas
pendekatan dirinya kepada Allah SWT, lebih dahulu ia harus memahami
syariat sebaik-baiknya. Dalam hal ini, harus mempelajari fiqh dalam
segala bidangnya secara baik yang meliputi bidang ibadah, muamalah,
pernikahan, warisan dan sebagainya ssesuai dengan yang telah dirumuskan
dalam mazhab-mazhab fiqh,yaitu mazhab hanafi, mliki, syafi’i, dan
hanbali.Imam Malik bin anas (w. 179 H./795 M.) pendiri madzab Maliki,
mengatakan: “Barang siapa yang menjalani kehidupan tasawuf tanpa
dilandasi oleh pengalaman fiqih, maka ia akan menjadi zindiq
9

(menyimpang dari agama yang benar), barang siapa yang melaksanakan


fiqh tanpa dilengkapi pengalaman tasawuf, ia telah fasiq (banyak dosa),
dan barang siapa yang melakukan keduanya secara seimbang, maka ia
telah meraih hakikat kebenaran”.
Selain junaidi kemi juga mengutip defenisi tasawuf  menurut imam
zakariya al-Anshori : “ Tasawuf mengajarkan cara untuk menyucikan diri ,
meningkatkan akhlaq dan membangun kehidupan jasmani maupun rohani
untuk mencapai kehidupan abadi ”. Sesungguhnya islam secara utuh
adalah mengikuti apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Serta
mengimaninya. Dan ajaran-ajaranya melalui  para sahabat dan diteruskan
oleh para tabi’in, selanjutnya para ulama-ulama generasi berikutnya
sampai pada masa kita.

b. TASAWUF  AL-GHAZALI
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali al Thusi. Dia lahirkan di kota Thus, pada tahun
450 H/ 1058 M. Dalam ajaran  tasawufnya, al-ghazali memilih tasawuf
sunni yag berdasarkan Alquran dan As-Shunnah Nabi ditambah dengan
doktrin Ahl-As-Sunnah  wa Al-Jama’ah. Dan tasawuf Al-Ghazali
bercorak  psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral.Selain
belajar tasawuf kepada syaikh Yusuf al-Nassaj(487 H/1094 M), beliau
juga belajar tasawuf kepada Syaikh Abu Ali al-Fadhal bin muhammad bin
Ali al Farmadzi(477 H/108 M), dan beberapa guru beliau yang lain. Ada
tiga karangan Al-Ghazali yang menggambarkan corak intelektual dan
sosok kepribadian Al-Ghazali, yaitu:
1. Al-Munqidz min Al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan)
2. Tahafut Al-Falasifah (runtuhnya para filosof)
3. Ihya’ Ulum Al-Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama)
Menurut Al-Ghazali jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara
mematahkan hambatan-hambatan jiwa dan membersihkan diri dari moral
10

yang tercela sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain allah dan
selalu mengingatnya. Dan ia berpendapat bahwa sosok yang terbaik, jalan
mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling
bersih sebab, gerak,dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil
dari cahaya kenabian.
Dalam tasawufnya Al-Ghazali menilai negatif terhadap syahahat.Ia
menganggap syahahat mempunyi dua kelemahan yaitu:
1. Syahahat mengatakan bahwa Allah dapat disaksikan.
2. Syahahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan
hasil  imajinasi sendiri.

Al-Ghozali juga menolak paham hulul dan ittihad.Untuk


mengantisipasi itu ia mengeluarkan paham baru tentng ma’rifat, yaitu
pendekatan diri kepada allah tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan
menuju ma’rifat adalah perpaduan ilmu dan amal, Sedangkan buahnya
adalah moral.Menurut Al-Ghazali ma’rifat adalah mengetahui rahasia
Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang
ada.Dan begitu juga dalam memahami  As-Sa’adah (kebahagian) dalam
kitab Kimiya’ As-Sa’adah,Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa
kebahagian itu sesuai denagn watak, Sedangkan watak sesuai dengan
ciptaan-Nya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus
dan indah.Nikmatnya telinga ketika bisa mendengar suara yang bagus dan
merdu. Demikian juga dengan seluruh anggota tubuh , mempunyai
kenikmatan tersendiri. Kenikmatan kalbu sebagai alat ntuk memperoleh
ma’rifat terletak ketika melihat Allah.Melihat-Nya merupakan
kenikmatnan yang paling agung dan tiada taranya.
Ada dua hal pokok tentang inti tasawuf yang disepakati semua pihak,
yaitu:
1. Kesucian jiwa untuk menghadapi allah SWT yang maha suci.
2. Upaya pendekatan diri kepada Allah SWT
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah). Menurut
Bahasa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian
diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan
selalu bijaksana serta mengutamakan kebajikan.
2. Sejarah Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)’
Aswaja memiliki prinsip, bahwa hakikat tujuan hidup adalah
tercapainya keseimbangan kepentingan dunia akhirat dan selalu
mendekatkan diri kepada allah swt. Bagi penganut aswaja al-qur’an
dan as-sunnah rosullullah merupakan rujukan tertinggi. Tasawuf yang
benar adalah yang dituntun oleh wahyu al-qur’an maupun as-
sunnah.dengan tasawuf al-ghazali dan junaidi al-baghdadi kaum
aswaja an-nahdliyah diharapkan menjadi umat yang selalu dinamis
dan dapat membandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan
bertemu dengan tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan persoalan-
persoalan yang dihadapi oleh umat.
c. Tokoh-tokoh Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)
diantaranya Tasawuf  Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Tasawuf Al-
Ghazali.

B. Saran
Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan kita
untuk mengetahui tentang tasawuf Ahlus Sunnah Wal Jama’ah An
Nahdhiyah. Sebagai penulis kami menyadari bahwa makalah kita masih
banyak terdapat kekurangan, maka dari itu kritik dan saran sangat kami
harapkan dari teman-teman semua, supaya lebih baik untuk kedepannya.

11
DAFTAR RUJUKAN

https://muklason.files.wordpress.com

https://manorarjunes.blogspot.com/2016/04/makalah-aswaja-pemikiran-tokoh-
aswaja.html?m=1

Anwar, Rosihon, Mukhtar Sholihin. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

12

Anda mungkin juga menyukai