Anda di halaman 1dari 15

TASAWUF AKHLAKI: HASAN AL-BASRI, AL-MUHASIBI, AL-QUSAIRI, DAN

AL-GHAZALI

MAKALAH
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu: H. Sahlani, M.Pd.I.

Oleh:
AHMAD KHOIRUL FAHMI
2088204003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
TANGERANG
2022/2023
Kata Pengantar

Segala puji serta syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayat, dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan makalah
yang berjudul “TASAWUF AKLAQI: HASAN AL-BASRI, AL-MUHASIBI, AL-QUSAIRI,
DAN AL-GHAZALI” dengan tepat waktu.
Terimakasih saya ucapkan kepada bapak Dr. Faedurrohman, M.Pd.I yang telah
membimbing dan mendidik dengan penuh kesabaran.
Karena manusia tak luput dari kesalahan, maka penulis sadar akan kekurangan-
kekurangan yang dimilikinya, dan berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran
terhadap makalah ini.
Tangerang, 19 Desember 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................................ 2
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 5
BAB II........................................................................................................................................ 6
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 6
A. Pengertian Tasawuf Akhlaki. .......................................................................................... 6
B. Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaki ...................................................................................... 7
1. Hasan Al-Bashri .......................................................................................................... 7
2. Al-Muhasibi ................................................................................................................ 9
3. Al-Qusairi .................................................................................................................. 10
4. Al-Ghazali ................................................................................................................. 12
BAB III .................................................................................................................................... 14
PENUTUP................................................................................................................................ 14
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setelah Rasullulah SAW wafat, Islam berkembang relatif pesat, yang


berdampak pada praktik asimilasi kehidupan dan peradaban antara umat Islam dengan
bangsa lain. Oleh karena itu, muncul pula perubahan gaya hidup yang jauh dari hal-hal
yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW. Sebagian besar umat Islam lebih senang
dengan kemewahan sebagaimana kehidupan di istana yang mengejar duniawi. Hal
tersebut, akhirnya memicu reaksi segolongan umat Islam untuk lebih mengutamakan
urusan akhirat dan rohani. Perasaan merasa jenuh dengan kehidupan yang diliputi
kemewahan dan kesenangan yang semu membuat umat Islam mengarahkan diri pada
hal-hal yang bisa mengisi kekosongan rohaninya. Aktivitas hidup kerohanian umat
Islam ini dikenal dengan nama tasawuf sedangkan orangnya dinamakan sufi.1
Sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam bahwa semenjak wafatnya Ustman
dan digantikannya khalifah Ali, mulai muncul pertikaian dam permusuhan di kalangan
umat Islam. Berawal dari peristiwa itu akhirnya secara berantai terjadi kekacauan-
kekacauan dan kemerosotan akhlak. Fenomena ini menyebabkan banyak sahabat yang
masih tersisa, dan pemuka-pemuka Islam lainnya akhirnya berpikir dan berikhtiar
untuk membangkitkan kembali ajaran Islam yang akhirnya menjadi cikal bakal ajaran
benih tasawuf yang paling awal.2
Hal-hal di atas yang akhirnya menyebabkan ajaran tasawuf semakin
berkembang dan maju. Perkembangan yang nantinya akan membuat tasawuf lebih
besar dan mencakup banyak hal, bidang atau aspek-aspek. Di antara bagian yang
dibahas dalam ajaran tasawuf ialah yang terkait dengan masalah etika dan akhlak atau
yang dikenal dengan nama tasawuf akhlaki.

1
Mia Paramita, “Konsep Tasawuf Akhlaki Haris Al-Muhasibi Dan Implementasinya Dalam Kehidupan Modern”
http://eprints.radenfatah.ac.id/3187/1/Mia%20Paramita%20%2814%2034%2000%2039%29.pdf (Diakses pada
19 november 2022, pukul 09:43), Hlm. 2-3
2
Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi, (Jakarta: Hikmah, 2002), Hlm. 102

4
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang diatas dan judul dari makalah maka dirumuskan masalah
sebagai berikut:

1. Apa itu Tasawuf Akhlaki?


2. Bagaimana biografi serta pemikiran tasawuf dari:
a) Hasan Al-Bashri.
b) Al-Muhasibi.
c) Al-Qusairi.
d) Al-Ghazali.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Akhlaki.

Pada prinsipnya, tasawuf adalalah ilmu tentang moral Islam, hingga abad
keempat hijriah. Pada periode ini, aspek moral tasawuf berkaitan erat dengan
pembahasan tentang jiwa, klasifikasinya, kelemahan-kelemahannya, penyakit-penyakit
jiwa dan sekaligus mencari jalan keluarnya atau pengobatannya. Dengan kata lain, pada
mulanya tasawuf itu ditandai ciri-ciri psikologis dan moral, yaitu pembahasan analisis
tentang jiwa manusia dalam upaya menciptakan moral yang sempurna. Nampaknya
pada periode ini para sufi telah melihat, bahwa manusia adalah makhluk jasmani dan
rohani yang karenanya wujud kepribadiannya bukanlah kualitas-kualitas yang bersifat
matrerial belaka tetapi justru lebih bersifat kualitas-kualitas rohaniyah-spiritual yang
hidup dan dinamik. Manusia sempurna adalah setelah ruh ditiupkan Tuhan ke dalam
jasad tubuh, yang tanpa ruh itu ia belum bernama manusia seutuhnya. Oleh karena itu,
adalah cita-cita sufi untuk menjadikan insan kamil sebagai prototipe kehidupan
moralnya melalui peletakan Asma Al- Husna sebagai cita moral sufi.3
Tasawuf akhlãki adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak
manusia, mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan manusia yang dapat berma’rifat
kepada Allah Swt, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf
akhlãki, biasa disebut juga dengan istilah tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang
memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan al-Hadits. Tasawuf akhlãki ini dikembangkan
oleh ‘ulama salaf al-Salih. Ajaran yang terdapat dalam tasawuf ini antara lain: 1)
Takhalli, yaitu pengosongan diri dari sifat- sifat tercela. 2) Tahalli, yaitu pengisian dan
membiasakan diri dengan sifat-sifat terpuji. 3) Tajalli, yaitu tersingkapnya Nur Ilãhi
(cahaya Tuhan) seiring dengan sirnanya sifat-sifat kemanusiaan yang negatif pada diri
manusia setelah tahapan takhalli dan tahalli.4
Dalam diri mausia ada potensi untuk menjadi baik dan ada potensi untuk buruk.
tasawuf akhlaki tentu saja berusaha mengembangkan potensi baik supaya manusia
menjadi baik, sekaligus mengendalikan potensi yang buruk supaya tidak berkembang

3
H.A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),
Hlm. 96
4
Abd. Rahman, Tasawuf Akhlaki Ilmu Tasawuf Yang Berkonsentrasi dalam Perbaikan Akhlak, (Jakarta: CV.
Kaaffah Learning Center, 2020), Hlm. 1

6
menjadi perilaku (akhlak) yang buruk. potensi buruk menjadi baik adalah al-Aql dan
al-Qabl. Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-nafs, nafsu yang dibantu
oleh syaitan5
Di dalam diri manusia juga ada potensi-potensi atau kekuatan- kekuatan. Ada
yang disebut dengan fitrah yang cenderung kepada kebaikan. Ada juga yang disebut
dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan. Jadi, tasawuf akhlaqi yaitu ilmu yang
memperlajari pada teori- teori perilaku dan perbaikan akhlak. Adapun karaktersitik
tasawuf akhlaki ini antara lain:6

1. Melandaskan diri pada Al-Quran dan As-Sunnah. dalam ajaran-


ajarannya, cenderung memakai landasan Qurani dan Hadis sebagai
kerangka pendekatannya.
2. Melandaskan diri pada Al-Quran dan As-Sunnah. dalam ajaran-ajarannya,
cenderung memakai landasan Qurani dan Hadis sebagai kerangka
pendekatannya.
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antartuhan dan
manusia.
4. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan
pengobatan jiwa dengan cara latihan mental.

Dengan demikian ajaran tasawuf akhlaqi lebih mengedepankan prilaku dan


akhlak yang terpuji dengan berbagai amalannya, lebih berkonsentrasi pada
perbaikan akhlak pada upaya-upaya menghindari akhlak yang tercela sekaligus
mewujudkan akhlak yang terpuji di dalam diri.7

B. Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaki

1. Hasan Al-Bashri
Nama asli dari Hasan Al-Basri adalah Abu Sa‟id Al Hasan bin Yasar. Beliau
dilahirkan oleh seorang perempuan yang bernama Khoiroh, dan beliau adalah anak
dari Yasaar, budak Zaid bin Tsabit. tepatnya pada tahun 21 H di kota Madinah
setahun setelah perang shiffin, ada sumber lain yang menyatakan bahwa beliau lahir

5
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), Hlm. 31
6
Ahmad Bangun Nasution Dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2013), Hlm. 31
7
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007),
Hlm. 36-38

7
dua tahun sebelum berakhirnya masa pemerintahan Khalifah Umar bin Al- Khattab.
Khoiroh adalah bekas pembantu dari Ummu Salamah yang bernama asli Hindia
Binti Suhail yaitu istri Rasullullah SAW. Sejak kecil Hasan Al-Basri sudah dalam
naungan Ummu Salamah. Bahkan Ketika ibunya menghabiskan masa nifasnya
Ummu Salamah meminta untuk tinggal di rumahnya. Dan juga nama Hasan Al-
Basri itupun pemberian dari Ummu Salamah. Ummu Salamahpun terkenal dengan
seorang puteri Arab yang sempurna akhlaknya serta teguh pendiriannya. Para ahli
sejarah menguraikan bahwa Ummu Salamah paling luas pengetahuannya diantara
para istri-istri Rasullah SAW lainnya. Seiring semakin akrabnya hubungan Hasan
Al-Basri dengan keluarga Nabi, berkesempatan untuk bersuri tauladan kepada
keluarga Rasullulah dan menimba ilmu bersama sahabat di mesjid Nabawy.ketika
menginjak 14 tahun, Hasan Al-Basri pindah ke kota Basrah (Iraq). Disinilah
kemudian beliau mulai dengan sebutan Hasan Al-Basri. Kota Basrah terkenal
dengan kota ilmu dalam daulah Islamiyyah. Banyak dari kalangan sahabat dan
tabi‟in yang singgah di kota ini. Banyak orang berdatangan untuk menimba ilmu
kepada beliau. Karena perkataan serta nasehat beliau dapat menggugah hati sang
pendengar.
Pandanga tasawuf Hasan al-Bashri adalah anjuran kepada setiap orang
untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan semua
yang diperintahkan Tuhan kepada makhluk-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Sya‟rani berkata” Demikian takutnya sehingga seakan-akan ia merasa bahwa
neraka itu hanya dijadikan untuk ia”. Hamka juga mengemukan sebagian tentang
ajaran tasawuf Hasan al-Bashri sebagai berikut:

a. Perasaan takut, menyebabkan hati tentram lebih baik daripada rasa tentram
yang menimbulkan rasa takut.
b. Dunia adalah negeri tempat untuk beramal.
c. Takafur, akan membawa kepada kebaikan dan berusaha mengerjakan hal-
hal yang baik dan menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan untuk tidak
mengulanginya lagi.
d. Orang yang beriman, akan senantiasa bersedih pada pagi dan sore hari,
sebab berada di antara dua perasaan takut yaitu, takut mengenang dosa
yang telah lalu dan takut memikirkan kematian yang akan menjemput serta
bahaya yang akan mengancam.

8
e. Kesadaran setiap orang bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami
kematian, hari kiamat yang akan menagih janjinya.
f. Banyak duka-cita di dunia merupakan suatu tindakan yang akan
memperteguh semangat dalam beramal saleh.

Ajaran tasawuf Hasan al-Bashri tersebut bukan berdasarkan rasa takut kepada
siksaan Tuhan, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinya
yang mendasari tasawufnya. Di antara ajaran tasawuf Hasan al-Bashri dan
senantiasa menjadi yang selalu menjadi bahan sebutan (pembicaraan) orang kaum
sufi adalah “Anak Adam! Dirimu, diriku! Dirimu hanya satu, Kalau ia binasa,
binasalah engkau, Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu, Tiap-tiap
nikmat yang bukan surga adalah hina, Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka
adalah mudah.8

2. Al-Muhasibi
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah al-Harits Bin Asad Al-Muhasibi, tokoh
sufi ini lebih dikenal dengan sebutan Al-Muhasibi. Ia dilahirkan di Basrah, Irak
tahun 165 H atau 781 M dan meninggal di Negara yang sama pada tahun 243 H atau
857 M. Ia adalah sufi dan ulama besar yang menguasai tasawuf, hadis dan fiqh. Al-
Muhasibi menulis sejumlah buku. Menurut Abd. Al Mun‟im Al-Hifni seorang ahli
tasawuf dari Mesir Al-Muhasibi menulis kurang lebih 200 buku. Diantar buku-
bukunya adalah Ar-Ri‟ayah Li Hukuqillah (pemeliharaan terhadap hak-hak Allah)
Al-Washaya (wasia-wasiat) dan Al-Masa‟il fie Amal Al-qulub Wa Al-Jawahir
(berbagai masalah mengenai perbuatan hati dan anggota badan). Beliau menempuh
jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala
mengamati mazhab-mazhab yang dianut umat Islam, Al- Muhasibi menemukan
kelompok didalamnya. Di antara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar
tentang keakhiratan, namun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari
mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi
keduniawian. Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat
ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban,
wara‟, dan meneladani Rasulullah SAW. Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah
melaksanakan hal-hal diatas, maka seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah

8
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), Hlm. 232-233

9
berupa penyatuan antara fiqih dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah SAW
dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.9
Al-Muhasibi sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasan agama dan
tidak mendalami pengertian batin agama yang dapat menyebabkan keraguan.
Dalam konteks ini al-Muhasibi mengatakan dalam sebuah hadis Nabi yang artinya
“Pikirkanlah makhluk Allah dan jangan memikirkan Dzat Allah, sebab kalian
akan tersesat karenanya.” Berdasarkan hadis tersebut Al-Muhasibi mengatakan
bahwa ma‟rifat itu harus ditempuh dengan melalui jalan tasawuf yang berdasarkan
al-Quran dan Hadis. Menurut al-Muhasibi ada beberapa tahapan dalam ma‟rifat
yaitu:

a. Taat, sikap adalah awal dari kecintaan kepada Allah yang dibuktikan
dengan perilaku yang baik. Mengekspresikan kecintaan hanya dengan
ungkapan atau kata-kata itu kecintaan yang palsu tanpa dibuktikan dengan
tindakan. Di antara implementasinya ialah memenuhi hati dengan sinar
atau cahaya ilahi. Kemudian sinar ini melimpah kepada lidah dan anggota
tubuh lainnya.
b. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya merupakan
ma‟rifat selanjutnya
c. Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan kepada orang yang
mampu menyaksikan berbagai rahasia.
d. Fana yang menyebabkan baqa.10

3. Al-Qusairi
Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin. Sedangkan
nasabnya adalah Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin
Muhammad sedangkan panggilannya adalah Abul Qasim. Ia lahir pada bulan
Rabiul Awal tahun 376 H atau tahun 986 M di Astawa. Tidak banyak diketahui
mengenai masa kecil al-Qusyairi, kecuali hanya sedikit saja. Namun, yang jelas,
beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil.
Kemudian pendidikannya diserahkan pada Abul Qasim al Yamany, salah seorang
sahabat dekat keluarga al-Qusyairi. Pada al-Yamany, ia belajar bahasa Arab dan
Sastra. al-Qusyairi belajar Fiqh kepada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin

9
M. Sholihin, Tokoh-tokoh sufi lintas zaman (Bandung: Pustaka Setia, 2003), Hlm. 48.
10
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf (Jakarta: Amzah, 2012), Hlm. 225-226

10
Abu Bakr al-Thusi (w. 405 H), dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada
Abu Bakr bin Farauk (w. 406 H). Selain itu, menjadi murid Abu Ishaq al- Isfarayini
(w. 418 H) dan menelaah banyak karya al-Baqilani. Dari situlah, al- Qusyairi
berhasil menguasai doktrin Ahlus Sunnah wal Jama‟ah yang dikembangkan al-
Asy‟ari dan muridnya., beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari
Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l073 M. Ketika itu usianya 87 tahun. Ia
dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad Daqqaq ra,
Al-Qusyairi memberikan pandangannya kepada beberapa istilah yang ada
dalam tasawuf. Pertama, Al-Qusyairi mengatakan wara‟ merupakan usaha untuk
tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal
haramnya). Bersikap wara‟ adalah suatu pilihan bagi ahli tarekat. Kedua, Al-
Qusyairi membedakan antara syari‟at dan hakikat; hakikat itu adalah penyaksian
manusia tentang rahasia-rahasia ke-Tuhanan dengan mata hatinya. Sedangkan
syari‟at adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba
kepada Al-Khaliq. Syari‟at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriah antara
manusia dengan Allah SWT.28 Tasawuf suatu ilmu yang telah berkembang
semenjak pertengahan abad ke dua Hijriah hingga saat ini tentu
mmengembangkan bahasa khusus yang hanya bisa dimengerti dalam kaitannya
dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya istilah “syari‟at” bagi para
sufi pengertiannya selalu di hubungkan dengan “hakikat”. Maka menurut
kacamata para sufi syari‟at hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiriah
menurut aturan-aturan formal dari pada agama. Jadi, tingkah laku batin seperti
kekhusyukan jiwa dalam ibadah dan rasa dekat dengan Tuhan dalam shalat
beserta etika itu tidak dimasukkan dalam istilah syari‟at. Oleh karena itu, imam
Al-Qusyari dalam risalahnya mengatakan:“Maka setiap syari‟ah tidak di dukung
oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap hakikat yang tak terkait dengan
dengan syari‟at tentu tidak ada hasilnya.”.11
Dalam ajaran tasawuf atau kebatinan, hati manusia di percayai punya
kemampuan rohani dan menjadi alat satu-satunya untuk ma‟rifat pada Dzat Tuhan
dan untuk mengenal sifat rahasia alam gaib. Dalam hal ini, Al-Ghazali
menjelaskan bahwa Dzat Tuhan itu sebenarnya terang benderang. Hanya karena
terlalu terang maka tak tertangkap oleh mata manusia. Mata manusialah yang tak

11
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), Hlm. 9-10

11
mampu menangkap Dzat Tuhan. Dalam hal ini, Al-Risalah al-Qusyairi lebih
memperinci lagi. Dia menyatakan bahwa di dalam qalbu terdapat ruh dan sir.
Seterusnya sir dikatakan sebagai tempat menyaksikan atau gaib, dan ruh
merupakan tempat mencintai Tuhan dan qalbu adalah tempat untuk ma‟rifat
kepada Dzat Tuhan.12

4. Al-Ghazali
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
Al- Ghazali, dilahirkan di kota Thus, salah satu kota di Khurasan (Persia) pada
pertengahan abad kelima Hijriyah (450 H/ 1058 M).31 Kata dari nama Al-Ghazali
kadang-kadang diucapkan Al-Ghazzali (dengan dua/ dobel “z”) yang diambil dari
kata Ghazzal artinya “tukang pemintal benang”,karena pekerjaan ayahnya sebagai
pemintal benang wol, sedangkan kata dari nama Al-Ghazali dengan satu “z” yang
diambil dari kata Ghazalah, nama kampung kelahiran Al-Ghazali sehingga banyak
dipakai dan terkenal dengan nama Al- Ghazali.32 Ayah beliau adalah seorang ahli
tasawuf yang saleh. Ia meninggal dunia ketika Al- Ghazali beserta saudaranya
masih kecil. Akan tetapi, sebelum wafatnya ia telah menitipkan kedua anaknya itu
kepada seorang ahli tasawuf untuk dibimbing dan dipelihara. Pertama-tama ia
belajar agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan, dan akhirnya di
kota Naisabur.33 Ia masuk Madrasah Nizhamiyah yang pada waktu itu dipimpin
oleh Al-Juwaini seorang tokoh besar pada masa itu, yang bergelar Imam Haramain.
Dengan beliau Al- Ghazali mendalami fiqih, kalam, dan mantiq. Kemudian ia
diperkenalkan dengan perdana mentari Nizham Al-Muluk seorang mentari dari
Kesultanan Bani Saljuk yang bernama Malik Syah.13
Al- Ghazali wafat pada 14 Jumadil Akhir atau bertepatan 18 Desember 1111,
dalam usia 54 tahun beliau dimakamkan di Tabaran (Tus) dan makamnya banyak
diziarahi orang.14 Banyak para filosof mengakui bahwa Al- Ghazali memiliki
kecerdasan yang luar biasa. Banyak ilmu yang dipelajarinya dan dalam
pencariannya tidak lupa beliau juga terjun ke dunia tasawuf pada akhirnya. Dalam
perenungan tasawuf dan pemikirannya mendapatkan pegangan utama dalam hidup
beragama, yaitu hidup dengan ilmu dan amal. Dengan demikian beliau menulis

12
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Hlm. 45-46
13
Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Hlm. 166.
14
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al- Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2007),
Hlm. 69

12
karya- karya salah satu yang paling terkenal karya beliau hingga sekarang yaitu
Ihya Ulum Ad-Din (Membahas Ilmu-ilmu Agama) dan beliau mendapatkan gelar
Hujjatul Al-Islam (Pembela Islam atau Bukti Kebenaran Agama Islam) dan Zayn
Ad-Din (Perhiasan Agama).15
Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan
bagi orang awam, ulama dan orang arif (sufi). Al-Ghazali membuat perumpamaan
tentang keyakinan bahwa seseorang ada di dalam rumah. Keyakinan orang awam
didasari oleh taklid, yaitu hanya mengikuti ucapan orang bahwa ada seseorang
dalam rumah, tanpa menyelidikinya lagi. Bagi ulama keyakinan adanya seseorang
di dalam rumah dengan adanya tanda-tanda, misal ada suara yang terdengar dari
dalam rumah meskipun tidak kelihatan orangnya. Sedangkan, bagi orang arif tidak
hanya dengan tanda-tanda tetapi mencoba untuk memasuki rumahnya dan
menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa ada seseorang dan benar-benar
berada di dalam rumah. Dengan demikian yang dimaksud dengan ma‟rifat
menurut al-Ghazali tidak seperti orang awam maupun ulama, tetapi ma‟rifat sufi
yang mampu merasakan dan menyaksikan adanya Tuhan atas dasar dzauq rohani
dan kasyf ilahi tanpa dihalangi oleh hijab apapun. Ma‟rifat semacam ini dapat
dicapai oleh para khawash auliya tanpa melalui perantara atau langsung dari Allah
sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari
segi perolehan ilmu ini, berada antara Nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Tuhan
melalui perantara malaikat, sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun,
keduanya memiliki kesamaan yakni sama-sama memperoleh ilmu dari Tuhan.16

15
Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), Hlm. 64
16
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), 115-116.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tasawuf akhlaki identik dengan tasawuf sunni yang berdasarkan landasannya
berpijak kepada al-Qur‟an dan Hadis. Orientasinya kepada pembentukan akhlak yang
mulia (mahmudah) dalam mencari hakikat kebenaran, mewujudkan manusia yang
mengenal dan dekat kepada Allah SWT (ma‟rifat). Teori-teorinya yang sederhana dan
mudah dipahami, tidak dimasuki oleh unsur- unsur filsafat. Ajaran-ajaran tasawuf
akhlaki meliputi:

1. Takhalli: usaha membersihkan diri dari semua prilaku yang tercela, baik
dosa secara batin maupun lahir.
2. Tahalli: tahap pengisian jiwa dengan berbagai sifat yang terpuji setelah
dikosongkan diri dari akhlak-akhlak yang tercela. Sifat-sifat yang terpuji
diantaranya tobat, khauf dan raja‟, zuhud, fakir, sabar, ridha, muraqabah,
dan lain-lain.
3. Tajalli: lenyapnya hijab dari sifat-sifat kemanusiaan dan lenyapnya segala
yang lain ketika nampaknya wajah Tuhan.

Tokoh-tokoh dalam tasawuf akhlaki diantaranya: 1) Hasan Al-Bashri, dengan


ajaran bahwa setiap manusia dianjurkan untuk senantiasa takut akan tidak
terlaksananya segala sesuatu yang dilarang maupun yang diperintahkan oleh Allah
kepada hambanya. 2) Al-Muhasibi, dengan pandangan bahwa ma’rifat itu harus
ditempuh melalui jalan tasawuf yang berdasarkan Al-Quran dan Hadits. 3) Al-Qusairi,
dengan ajaran setiap syariat tidak didukung oleh hakikat tidak akan diterima, dan setiap
hakikat yang tak terkait dengan syariat tidak ada hasilnya. 4) Al-Ghazali. Dengan
pengklasifikasian jalan pengetahuan untuk sampai kepada Allah (Orang awam, Ulama,
Sufi).

14
DAFTAR PUSTAKA

Alba, Cecep, Tsawuf dan Tarekat, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012.
Amin, Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012.
Anwar, Rosihan dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia,
2000.
Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010
Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu Al- Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi,
Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007.
Ibrahim, Muhammad Zaki, Tasawuf Salafi, Jakarta: Hikmah, 2002.
Jamil, M. Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas, Jakarta:
Gaung Persada Press, 2007.
Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf:
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasinya disertai Biografi dan
Tokoh-tokoh Sufi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.
Paramita, Mia “Konsep Tasawuf Akhlaki Haris Al-Muhasibi Dan Implementasinya Dalam
Kehidupan Modern”
http://eprints.radenfatah.ac.id/3187/1/Mia%20Paramita%20%2814%2034%2000%20
39%29.pdf
Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994.
Rahman, Abd., Tasawuf Akhlaki Ilmu Tasawuf Yang Berkonsentrasi dalam Perbaikan Akhlak,
Jakarta: CV. Kaaffah Learning Center, 2020.
Sholihin, M. Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996.
Siregar, H.A., Rivay, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

15

Anda mungkin juga menyukai