Disusun Oleh :
KELOMPOK 7
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, penulis tidak akan
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan
kepada Nabi agung Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak. Tidak lupa pula
Abah Umi beserta sekeluarga Ahlul bait yang seniantiasa membimbing dan memberikan ilmu
yang telah diberikan kepada para santri dipondok semoga senantiasa Allah turunkan
keberkahan nya kepada seluruh santri Al Ashriyyah Nurul Iman. Terlebih mengucapkan
terima kasih kepada dosen pengampu ……………………….yang telah memberikan ilmu
yang telah diberikan semoga kelak bisa diamalkan
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, sehingga
makalah dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
………………………….Penulis berharap makalah tentangmodel penelitian koperatif ini
menjadi referensi bagi yang membacanya
Penulis menyadari makalah ini masih perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan dan
kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini dapat lebih
baik. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan maupun
konten, penulis memohon maaf.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
A. .Latar Belakang..........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................................1
C. Manfaat.....................................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
A. Pengertian Tasawuf...............................................................................................................2
B. Asal Usul Tasawuf..................................................................................................................3
C. Sumber Ajaran Tasawuf..........................................................................................................6
D. Beberapa Istilah dalam Ilmu Tasawuf....................................................................................8
E. Tujuan Tasawuf....................................................................................................................12
F. Sejarah Perkembangan Tasawuf..........................................................................................12
BAB III................................................................................................................................................17
PENUTUP...........................................................................................................................................17
A. Kesimpulan..........................................................................................................................17
Daftar Pustaka.....................................................................................................................................18
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. .Latar Belakang
Secara historis tasawuf adalah pemandu perjalanan hidup umat manusia agar
selamat dunia dan akhirat, itu di karenakan Tasawuf merupakan salah satu khazanah
intelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Tidaklah
berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad saw adalah untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu
antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima.
Melihat betapa pentingnya tasawuf dalam kehidupan ini tidaklah mengherankan jika
tasawuf ditentukan sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh kita semua. Sebagai upaya
untuk menanggulangi kemerosotan moral yang tengah dialami bangsa ini.
Untuk mengungkap segala permasalahan yang terkait dengan Tasawuf, kami akan
mencoba menguraikannya dalam makalah yang berjudul “Pengertian Tasawuf, Sejarah
Perkembangan Tasawuf, dan Fungsi Tasawuf”.
B. Rumusan Masalah
4
BAB II
PEMBAHASAN
D. Pengertian Tasawuf
Sebelum lebih jauh membahas tentang asal-usul tasawuf, sedikit kami berikan
pengertian singkat sufi dan tasawuf. Ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata tasawuf.
1. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata safa’, artinya suci, bersih atau murni.
Karena memang, jika dilihat dari segi niat maupun tujuan dari setiap tindakan dan ibadah
kaum sufi, maka jelas bahwa semua itu dilakukan dengan niat suci untuk membersihkan jiwa
dalam mengabdi kepada Allah SWT. [1]
2. Ada lagi yang mengatakan tasawuf berasal dari kata saff, artinya saff atau baris. Mereka
dinamakan sebagai para sufi, menurut pendapat ini, karena berada pada baris (saff) pertama
di depan Allah, karena besarnya keinginan mereka akan Dia, kecenderungan hati mereka
terhadap-Nya.[2]
3. Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata suffah atau suffah al Masjid,
artinya serambi mesjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di Mesjid Nabawi yang
didiami oleh sekelompok para sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai tempat
tinggal. Mereka dikenal sebagai ahli suffah. Mereka adalah orang yang menyediakan
waktunya untuk berjihad dan berdakwah serta meninggalkan usaha-usaha duniawi. Jelasnya,
mereka dinamakan sufi karena sifat-sifat mereka menyamai sifat orang-orang yang tinggal di
serambi mesjid (suffah) yang hidup pada masa nabi SAW.[3]
4. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata suf, yaitu bulu domba
atau wol. Hal ini karena mereka (para sufi) tidak memakai pakaian yang halus disentuh atau
indah dipandang, untuk menyenangkan dan menenteramkan jiwa. Mereka memakai pakaian
yang hanya untuk menutupi aurat dengan bahan yang terbuat dari kain wol kasar (suf).[4]
Sedangkan tasawuf menurut beberapa tokoh sufi adalah seperti berikut:[5]
5
Bisyri bin Haris mengatakan bahwa sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap
Allah SWT.
Sahl at-Tustari mengatakan bahwa sufi ialah orang yang bersih dari kekeruhan, penuh
dengan renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah SWT, dan
baginya tiada beda antara harga emas dan pasir.
Al-Junaid al-Bagdadi (w. 289 H), tokoh sufi modern, mengatakan bahwa tasawuf
ialah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang
fitri, menekan sifat basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi
kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas
dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji terhadap
Allah SWT, dan mengikuti syari’at Rasulullah SAW.
Abu Qasim Abdul Kari mal-Qusyairi memberikan definisi bahwa tasawuf ialah
menjabarkan ajaran-ajaran al-Qur’an dan sunah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi
perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringan-ringankan
ibadah.
Abu Yazid al-Bustami secara lebih luas mengatakan bahwa arti tasawuf mencakup
tiga aspek, yaitu kha (melepaskan diri dari perangai yang tercela), ha (menghiasi diri dengan
akhlak yang terpuji) dan jim (mendekatkan diri kepada Tuhan).
Tasawuf Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Banyak ayat al-Qur’an
dan Hadis Nabi SAW. berbicara tentang hubungan antara Allah dengan hamba-Nya manusia,
diantaranya seperti tertulis pada pendahuluan di atas.
Secara umum Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan
kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah inilah
kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar
dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan
sahabatnya. Lebih jauh, al-Qur’an berbicara tentang kemungkinan manusia dan Tuhan dapat
saling mencintai (mahabbah) seperti dalam al-Maidah: 54; perintah agar manusia senantiasa
bertaubat (at-Tahrim: 8); petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan
dimanapun mereka berada (al-Baqarah: 110); Allah dapat memberikan cahaya kepada orang
yang dikehendaki (an-Nur: 35); Allah mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak
6
diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (al-Hadid, al-Fathir: 5); dan senantiasa
bersikap sabar dalam menjalani pendakatan diri kepada Allah SWT (Ali Imron: 3).[6]
Begitu juga perintah Allah untuk ikhlas semata mengharap ridha-Nya dalam
beribadah (al-Bayinah: 5); berperilaku jujur (al-Anfal: 58), adil, taqwa (al-Maidah: 6); yakin,
tawakal (al-Anfal: 49); qonaah, rendah hati dan tidak sombong (al-Isra’:37); beribadah
dengan penuh pengharapan terhadap ridha-Nya (raja’) (al-Kahfi: 110), takut terhadap murka
Allah atas segala dosa (khauf) (at-Tahrim: 6); menahan hawa nafsu (Yusuf: 53); amar ma’ruf
nahi munkar (Ali Imron: 104); dan banyak lagi konsep akhlak dan amal diajarkan dalam al-
Qur’an kesemuanya adalah sumber tasawuf dalam Islam.
Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an, as-Sunnah pun banyak berbicara
tentang kehidupan rohaniah. Teks hadis qudsi berikut dapat dipahami dengan pendekatan
tasawuf:
Uَ الخ ْل
ق فَبِى َع َرفَ ْونِى َ ت ُ ف فَ َخلَ ْق ُ ت َك ْن ًزا ُم ْخفِيًا فَاحْ بَب
َ ْت اَ ْن اَ ْع ِر ُ ُك ْن
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku menjadikan makhluk agar
mereka mengenal-Ku”.
Hadis tersebut memberi petunjuk bahwa alam raya, termasuk manusia adalah
merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya melalui
penciptaan alam ini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang
dapat didayagunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam raya ini pada
hakikatnya adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya
dalam al-Baqarah: 156: “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:
“Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-
Nya-lah Kami kembali.” dan al-Baqarah 45-46: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang
yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya,
dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
Juga hadis riwayat Imam Bukhari berikut yang menyatakan:
7
pendengarannya yang dia pakai untuk mendengar, penglihatannya yang dia pakai untuk
melihat, lidahnya yang dia pakai untuk berbicara, tangannya yang dia pakai untuk mengepal
dan kakinya yang dia pakai untuk berjalan; maka dengan-Ku lah dia mendengar, melihat,
berbicara, berfikir, meninju dan berjalan.”
Hadis tersebut memberi petunjuk dapat bersatunya manusia dan Tuhan, yang
selanjutnya dikenal dengan istilah al-Fana’ yaitu fana’nya makhluk kepada Tuhan yang
saling mencintai.
Benih-benih tasawuf dipraktekkan langsung oleh Muhammad SAW. dalam
kehidupan kesehariannya. Perilaku hidup Nabi SAW sebelum diangkat menjadi Rasul,
berhari-hari beliau berkhalawat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana Nabi
SAW banyak berzikir dan bertafakur mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri
Nabi SAW. di gua Hira’ ini merupakan acuan utama para sufi dalam berkhalawat. Puncak
kedekatan Nabi SAW dengan Allah terjadi ketika beliau melakukan Isro’ wal mi’roj.
Dikisahkan Nabi berdialog langsung dengan Allah ketika menerima perintah Shalat lima
waktu.
Perikehidupan (sirah) Nabi SAW juga merupakan benih-benih tasawuf, yaitu pribadi
Nabi yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona oleh kemewahan dunia. Dalam salah
satu do’anya nabi bermohon: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan
matikanlah aku selaku orang miskin.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim). Pada suatu
waktu Nabi SAW datang ke rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Shidiq, ternyata di
rumahnya tidak ada makanan. Keadaan seperti ini diterimanya dengan sabar, lalu beliau
menahan laparnya dengan berpuasa (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai). Nabi juga sering
mengganjal perutnya dengan batu sebagai penahan lapar.
Cara beribadah Nabi SAW juga merupakan cikal-bakal tasawuf. Nabi SAW adalah
orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa
pada suatu malam Nabi SAW mengerjakan shalat malam; di dalam shalat lututnya bergetar
karena panjang, banyak rakaat serta khusu’ dalam shalatnya. Tatkala ruku’ dan sujud
terdengar suara tangisnya, namun beliau tetap terus melakukan shalat sampai suara azan Bilal
bin Rabah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi SAW demikian tekun melakukan shalat,
Aisyah bertanya: “Wahai junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan akan datang telah
diampuni Allah, kenapa engkau masih terlalu banyak melakukan shalat?” Nabi SAW
menjawab: ‘Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Akhlak Nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tiada bandingannya. Akhlak Nabi
bukan hanya dipuji oleh manusia termasuk musuh-musuhnya, tetapi juga oleh Allah SWT.
8
Allah berfirman: “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang
agung”. (QS. 68:4). Dan ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW, ia menjawab:
“Akhlaknya adalah al-Qur’an”. (HR. Ahmad dan Muslim).
Ajaran rasul tentang bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari banyak
diikuti oleh para sahabatnya, dilanjutkan oleh para tabi’in, tabiit tabi’in dan seluruh Muslim
hingga saat ini . Mereka mengikuti firman Allah: “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab:
21).
Demikian sekilas asal-usul tasawuf dalam Islam. Jelas asal-usul tasawuf Islam
bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Namun demikian perlu juga kita perhatikan pendapat
dari kalangan orientalis Barat. Mereka mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf
itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (agama Nasrani), unsur Yunani, unsur
Hindu/Budha dan unsur Persia. Unsur dari Islam sudah dijelaskan pada penjelasan
sebelumnya, selanjutnya unsur di luar Islam yang masuk ke dalam tasawuf menurut orientalis
dapat dijelaskan berikut:
9
dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari
agama Nasrani.[7]
Unsur lain yang dikatakan berasal dari Nasrani adalah sikap fakir. Menurut keyakinan
Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang yang fakir, dan Injil juga disampaikan kepada
orang fakir. Isa berkata: “Beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena bagi kamulah
kerajaan Allah. Beruntunglah kamu orang yang lapar, karena kamu akan kenyang.”
Selanjutnya adalah sikap tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan terlihat pada peranan
syekh yang menyerupai pendeta, bedanya pendeta dapat menghapus dosa; selibasi, yaitu
menahan diri tidak kawin karena kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian diri dari
Khalik, dan penyaksian, dimana sufi dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan
hubungan dengan Allah.[8]
2. Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia Islam di mana
perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah
Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola fikir
sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi
tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan
sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi, al-Kindi,
Ibnu Sina, terutama dalam uraian tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian
tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibnu Arabi, Syukhrawardi, dan lain sebagainya.[9]
Selain itu, ada yang mengatakan bahwa masuknya filsafat ke dunia Islam melalui
mazhab paripatetic dan Neo-Platonisme. Mazhab yang pertama (paripatetic) kelihatannya
lebih banyak masuk ke dalam bentuk skolastisisme ortodoks (kalam), sedangkan untuk Neo
Platonisme lebih masuk kepada dunia tasawuf.
Filsafat emanasinya Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat
Tuhan Yang Maha Esa menjadi salah satu dasar argumentasi para orientalis dalam menyikapi
asal mula tasawuf di dunia Islam. Dalam emanasinya, Plotinus menjelaskan bahwa roh
berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Akan tetapi ketika masuk ke alam
materi, roh menjadi kotor, dan untuk kembali ke tempat asalnya, roh harus terlebih dahulu
dibersihkan. Penyucian roh dilakukan dengan cara meninggalkan dunia dan mendekati
Tuhan sebisa mungkin, atau bersatu dengan Tuhan. Dikatakan pula bahwa filsafat ini
mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.[10]
10
Tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap
fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada
tasawuf dan ajaran Hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu
badan ke badan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri
dengan jalan mengingat Allah.[11]
Salah satu maqamat sufiah al-Fana nampaknya ada persamaan dengan ajaran Nirwana
dalam agama Hindu. Gold Ziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh
Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham tokoh sufi.[12]
Menurut Qomar Kailan pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau
diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha berarti zaman Nabi Muhammad
telah berkembang ajaran Hindu/Budha itu ke Mekkah, padahal sepanjang sejarah belum ada
kesimpulan seperti itu.[13]
1. Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri
atau pangkal mulia.[4] Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang
harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.
11
Seperti telah disinggung diatas, bahwa maqam-maqam yang dijalani kaum sufi
umumnya terdiri atas;
a. Taubat
Taubat berasal dari bahasa arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali.
Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala
dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh untuk tidak akan mengulangi
perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan.
c. Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.
Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup
kematerian.
e. Sabar
Secara harfiah sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya
menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika
mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam
kefakiran dalam bidang ekonomi.
12
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan bahwa
ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar Allah. Menerima qada dan
qadar Allah dengan senang hati.
g. Muraqabah
Kata ini mempunyai arti yang mirip dengan introspeksi atau self correction. Dengan
kalimat yang lebih populer dapat dikatakan bahwa muraqabah adalah siap dan siaga setiap
saat untuk meneliti keadaan diri sendiri.
2. Hal
Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang,
perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah
takut (al-Khauf), rendah hati (al-Tawadlu), patuh (al-Taqwa), ikhlas (al-Ikhlas), rasa
berteman (al-Uns), gembira hati (al-Wajd), berterima kasih (al-Syukr).
Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi sebagai
anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara,
datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
3. Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yahibbu, mahabbatan, yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Pengertian
mahabbah dari segi tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh al-Qusyairi, yaitu bahwa
mahabbah adalah keadaan jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya kemutlakan
Allah SWT oleh hambanya, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada
yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.
4. Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya
pengetahuan atau pengalaman. Selanjutnya ma’rifah digunakan untuk menunjukkan pada
salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan sebagai
pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan
bahwa ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk pengetahuan dengan hati
sanubari.
5. Fana dan Baqa
13
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Adapun arti fana menurut
kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu
yang lazim digunakan pada diri.menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat
kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang
tercela.
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan
baqa yang dimaksud oleh para sufi adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan
dalam diri manusia.
6. Ittihad
Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah
menjadi satu. Dalam situasi Ittihad yang demikian itu, seorang sufi telah merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan.
7. Hulul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu,
yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Jika
sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada
dalam diri Tuhan maka terjadilah Hulul.
14
10. Tariqat
Dari segi bahasa tariqat berasal dari bahasa arab thariqat yang artinya jalan, keadaan,
aliran dalam garis sesuatu. Lebih khusus lagi tariqat di kalangan sufi berarti sistem dalam
rangka mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan
mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak zikir dengan penuh ikhlas
semata-mata untuk mengharapkan bertemu dan bersatu secara ruhiah dengan Tuhan.
H. Tujuan Tasawuf
15
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka
ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada
muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya;
tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan
hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan
pahala yang besar. ( al-Fath: 29 )
Menurut Abd al-Hakim Hassan, abad pertama hijriyah terdapat dua corak
kehidupan spiritual. Pertama, kehidupan spiritual sebelum terbunuhnya Utsman dan kedua,
kehidupan spiritual pasca terbunuhnya Utsman. Kehidupan spiritual yang pertama adalah
Islam murni, sementara yang kedua adalah produk persentuhan dengan lingkungan, akan
tetapi secara prinsipil masih tetap bersandar pada dasar kehidupan spiritual Islam pertama.
Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman merupakan pukulan tersendiri terhadap
perasaan kaum muslimin. Betapa tidak, Utsman adalah termasuk kelompok pertama orang-
orang yang memeluk Islam ( al- Sabiqun al-Awwalun ), salah seorang yang dijanjikan masuk
surga, orang yang dengan gigih mengorbankan hartanya untuk perjuangan Islam dan orang
yang mengawini dua putri Nabi. Peristiwa Utsman mendorong munculnya kelompok yang
tidak ingin terlibat dalam pertikaian politik memilih tinggal di rumah untuk menghindari
fitnah serta konsentrasi untuk beribadah. Sehingga al-Jakhid salah seorang yang
berkonsentrasi dalam ibadah yang juga salah seorang santri Ibn Mas’ud berkata, “Aku
bersyukur kepada Allah sebab aku tidak terlibat dalam pembunuhan Utsman dan aku shalat
sebanyak seratus rakaat dan ketika terjadi perang Jamal dan Shiffin aku bersyukur kepada
Allah dan aku menambahi shalat dua ratus rakaat demikian juga aku menambahi masing-
masing seratus rakaat ketika aku tidak ikut hadir dalam peristiwa Nahrawan dan fitnah Ibn
Zubair”.
2. Bercorak kezuhudan
Tasawuf pada pase pertama dan kedua hijriyah lebih tepat disebut sebagai kezuhudan.
Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak ucapan dan
tindakan Nabi SAW yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi
pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan yang enak dan pakaian yang bagus
16
dapat dipenuhi. Dan secara logikapun tidak masuk akal seandaikata Nabi SAW yang
menganjurkan untuk hidup zuhud sementara dirinya sendiri tidak melakukannya.
Kezuhudan para sahabat Nabi SAW digambarkan oleh Hasan al-Bashri salah seorang
tokoh zuhud pada abad kedua Hijriyah sebagai berikut, ”Aku pernah menjumpai suatu kaum (
sahabat Nabi ) yang lebih zuhud terhadap barang yang halal dari pada zuhud kamu terhadap
barang yang haram”.
Pada masa ini, juga terdapat fenomena kezuhudan yang cukup menonjol yang
dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul yang di sebut dengan ahl al- Shuffah. Mereka
tinggal di emperan masjid Nabawi di Madinah. Nabi sendiri sangat menyayangi mereka dan
bergaul bersama mereka. Pekerjaan mereka hanya jihad dan tekun beribadah di masjid,
seperti belajar, memahami dan membaca al-Qur`an, berdzikir, berdoa dan lain sebagainya.
Allah SWT sendiri juga memerintahkan Nabi untuk bergaul bersama mereka,
Artinya:
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan
petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. Kamu tidak memikul tanggung
jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab
sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka,
(sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim). ( al-An’am : 52 )
Kelompok ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan
anggapan mereka adalah para sahabat Rasul dan kehidupan mereka adalah corak Islam. Di
antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari yang sering disebut sebagai seorang sosial sejati
dan sekaligus sebagai prototip fakir sejati, si miskin yang tidak memiliki apapun tapi
sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati harta-NYA yang abadi, Salman al-Faritsi, seorang
tukang cukur yang dibawa ke keluarga Nabi dan menjadi contoh adopsi rohani dan
pembaiatan mistik yang kerohaniannya kemudian dianggap sebagai unsur menentukan dalam
sejarah tasawuf Parsi dan dalam pemikiran Syiah, Abu Hurairah, salah seorang perawi Hadits
yang sangat terkenal adalah ketua kelompok ini, Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud,
Abd Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn
Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut.
Menurut Abd al-Hakim Hassan corak kehidupan spiritual Ahl al-Shuffah sebenarnya
bukan karena dorongan ajaran Islam, akan tetapi corak itu didorong oleh keadaan ekonomi
yang kurang menguntungkan, sehingga mereka tinggal di masjid. Keadaan itu nampak dari
anjuran Rasul Allah kepada sebagian sahabat yang berkecukupan agar memberikan makan
17
kepada mereka. Dan mereka ( para sahabat ) yang secara ekonomi berkecukupan dan tidak
melakukan sebagaimana ahl al-Shuffah pun juga menjadi panutan bagi orang-orang bijak.
18
sebagai salah seorang zahid dalam mengajak baik masyarakat maupun pemerintah ( para
pemimpin kerajaan Umayah ) selalu mengajak untuk bersikap zuhud sebagaimana sikap ini
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sahabat Nabi yang setia.
19
Artinya :
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-
Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku"
(QS. Al Fajr: 28-30).
Atau ayat yang memerintahkan untuk berserah diri kepada Allah,
Artinya :
"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada) Allah" (QS.
Al An'am: 162-163).
Jadi, fungsi tasawuf dalam hidup adalah menjadikan manusia berkeperibadian yang
shalih dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam
sebuah tharekat atau aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup
sederhana, jujur, istiqamah dan tawadhu. Semua itu bila dilihat pada diri Rasulullah SAW,
yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya. Apalagi di masa
remaja Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai manusia yang digelari al-Amin, Shiddiq,
Fathanah, Tabligh, Sabar, Tawakal, Zuhud, dan termasuk berbuat baik terhadap musuh dan
lawan yang tak berbahaya atau yang bisa diajak kembali pada jalan yang benar. Perilaklu
hidup Rasulullah SAW yang ada dalam sejarah kehidupannya merupakan bentuk praktis dari
cara hidup seorang sufi.
Jadi, tujuan terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik dan menjadi
orang yang bermanfaat bagi orang lain. Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang
mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia
tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas makna
dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas Islam lading kering
jadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan
jelas arah tujuannya.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat
membebaskan diri dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan
dekat dengan Allah SWT.
Ajaran tasawuf yang benar adalah yang tidak mengabaikan akhlak terhadap sesama
manusia. Jadi, bukan hanya hubungan vertikal dengan Tuhan saja yang harus di bina, namun
perlu juga hubungan dengan sesama manusia dengan akhlak yang terpuji. Dalam Islam,
bahwa walaupun tujuan hidup harus diarahkan ke alam akhirat, namun setiap muslim
diwajibkan untuk tidak melupakan urusan dunianya. Setiap muslim wajib kerja keras untuk
menikmati rezeki Tuhan yang telah dihalalkan untuk umat-Nya, asal diperoleh melalui jalan
yang halal. Yakni berlomba dengan cara yang jujur dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Akan
tetapi mengutamakan kehidupan dunia dan berpandangan materialis-sekuler sangatlah dicela
dan diharamkan dalam Islam.
Fungsi umum tasawuf:
- Agar kita itu mencontohi Rasulullah dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
- Menyeimbangkan lahir dan batin dunia dan akhirat.
- Agar hati ini teduh redup biar tidak gelisah.
- Membuat kesadaran sosial menjadi lebih tinggi.
21
Daftar Pustaka
al-Ghazali. Ihya’ Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Asmaran As, Drs. MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996
NATA, Prof. Dr. H. ABUDDIN, M.A. 2006. Tasawuf. Jakarta: PT. Taja Grafindo Persada.
Permadi, K.Drs. S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Rosihon Anwar, Drs. M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996
Web :
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/TasawufHN1.html
http://quran.com/
http://mazguru.wordpress.com/2009/01/25/sejarah-perkembangan-tasawuf/
[1]
Drs. Asmaran As, MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996 hal.42-3
22
[2]
Ibid.
[3]
Ibid. hal. 44.
[4]
Ibid. Hal 44-5.
[5]
Drs. K. Permadi, S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. hal. 28-9
[6]
Dr. H. Abudin Nata, MA. Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002. hal. 181
[7]
Ibid. hal. 185-6
[8]
Ibid.
Drs. Rosihon Anwar, M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia,
[9]
2000. hal. 35
[10]
Ibid. hal. 36
[11]
Ibid. hal. 33
[12]
Drs. H. Abuddin Nata, MA. Op.Cit. hal. 187
[13]
Ibid..
23