Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ASAL USUL DAN HAKIKAT TASAWUF


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Pemikiran Tasawuf dan Siyasah
Dosen pengampu: Abdullah Mahmud, Drs. M.Ag

Di Susun Oleh :
Alam Tegar Dirgantoro - G100210023
Rahma Azizi Meliasani - G100210003
Choirunnisa Dwi Kusumawardhani - G100210046
Mustaqimah - G100221025

PROGRAM STUDI ILMU AL QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2022
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul konsep politik dan kepemimpinan dalam
syi’ah ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata
kuliah pemikiran tasawuf dan siyasah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan terkait konsep konsep politik dan kepemimpinan dalam syi’ah bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Pak Abdullah Mahmud, selaku dosen mata
kuliah pemikiran tasawuf dan siyasah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karna
itu kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Surakarta, 26 November 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
PENGANTAR.................................................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
A. Rumusan Masalah............................................................................................................................4
B. Tujuan Penulisan.............................................................................................................................4
BAB II...........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................5
A. Asal usul dan hakikat tasawuf..........................................................................................................5
B. Hakikat tasawuf.............................................................................................................................13
BAB III........................................................................................................................................................16
PENUTUP...................................................................................................................................................16
A. Kesimpulan....................................................................................................................................16
Daftar pustaka...........................................................................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa setiap langkah mendapatkan ilmu pengetahuan, pasti melalui
sesuatu cara tertentu. Cara tertentu dalam dunia ilmu disebut metode. Metode menurut Senn
merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah
sistematis. Dari hal lahirlah ilmu membicarakan tentang metode yang disebut metodologi. Yakni
suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Metodologi ini
secara filsafati termasuk di dalamnya apa yang dinamakan epistemologi.
Tasawuf sebagai aspek esoterik Islam, secara epistemologik dalam memperoleh
kebenaran dan ilmu memakai intuisi, atau dalam istilah teknisnya memakai dzauq dan wujdan.
Apabila intuisi dari pertimbangan tanpa mengambil jalan berfikir logis berdasarkan fakta yang
timbul dari sumber yang tidak dikenal atau belum diselidiki, maka dalam tasawuf perolehan
intuisi itu tidak terjadi serta merta, tetapi melalui proses panjang dengan apa yang disebut dengan
mujahadah dan riyadlah serta tafakur dan tadabbur. Yakni suatu upaya yang pencerahan hati
nurani agar bisa menangkap cahaya kebenaran. Namun dengan demikian, kita terlebih dahulu
membahas asal usul tasawuf itu serta perngertiannya, agar kita lebih bisa lebih mengerti hakikat
tasawuf tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal usul tasawuf ?
2. Apa hakikat tasawuf ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui asal usul tasawuf.
2. Untuk mengetahui pengertian tasawuf.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asal usul tasawuf


Para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang asal usul penggunaan kata tasawuf.
Dari berbagai sumber rujukan buku-buku tasawuf, beberapa pendapat tentang asal kata
dari tasawuf. Pertama, kata tasawuf dinisbahkan kepada perkataan ahlshuffah, yaitu nama
yang diberikan kepada sebagian fakir miskin di kalangan orang Islam pada masa awal
Islam. Mereka adalah diantara orang-orang yang tidak punya rumah, maka menempati
gubuk yang telah dibangun Rasulullah di luar masjid di Madinah. 1Ahl al-Shuffah adalah
sebuah komunitas yang memiliki ciri yang menyibukkan diri dengan kegiatan ibadah.
Mereka meninggalkan kehidupan dunia dan memilih pola hidup zuhud. Mereka tinggal di
masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana (sofa), mereka miskin
tetapi berhati mulia. Para sahabat nabi hasil produk shuffah ini antara lain Abu Darda’,
Abu Dzar al Ghifari dan Abu Hurairah.
Ada pendapat yang mengatakan tasawuf berasal dari kata shuf, yang berarti bulu
domba. Berasal dari kata shuf karena orang-orang ahli ibadah dan zahid pada masa
dahulu menggunakan pakaian sederhana terbuat dari bulu domba. Dalam sejarah tasawuf
banyak kita dapati cerita bahwa ketika seseorang ingin memasuki jalan kedekatan pada
Allah mereka meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan
kain wol kasar yang ditenun sederhana. Tradisi pakaian sederhana dan compang camping
ini dengan tujuan agar para ahli ibadah tidak timbul rasa riya’, ujub atau sombong.
Kemudian, tasawuf berasal dari kata shofi, yang berari orang suci atau orang-
orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniaan. Mereka memiliki
ciri-ciri khusus dalam aktifitas dan ibadah mereka atas dasar kesucian hati dan untuk
pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Mereka adalah orang
yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat. Pendapat lain juga
mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shaf, yaitu menggambarkan orang-orang
yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan dalam
melaksanakan kebajikan. Sementara pendapat yang lain mengatakan bahwa tasawuf
bukan berasal dari bahasa Arab melainkan bahasa Yunani, yaitu sophia, yang artinya
hikmah atau filsafat. Menisbahkan dengan kata sophia karena jalan yang ditempuh oleh
para ahli ibadah memiliki kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof.
Mereka sama-sama mencari kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan
jiwa. Contoh ini pernah dialami oleh Iman al Ghazali dalam mengarungi dunia tasawuf.
Masih banyak pendapat lain yang menghubungkan kata tasawuf dengan
perkataan-perkataan lain yang dapat dirujuk dalam buku-buku tasawuf. Yang jelas dari

1
Abul “Alaa “Afify, Fi al Tashawwuf al Islam wa Tarikhikhi, (Iskandariyah: Lajnah al Ta’lif wa al-Tarjamah wa al
Nasyr), tt., hlm. 66)

5
segi bahasa terlepas dari berbagai pendapat yang ada, dapat dipahami bahwa tasawuf
adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana,
rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bijaksana serta mengutamakan kebajikan.
Selama ini telah lazim diketahui, sebagaimana diuraikan dalam karya-karya
pengantar tasawuf, bahwa teori tentang asal-usul tasawuf ada dua. Teori pertama,
tasawuf berasal dari dalam Islam. Teori kedua, tasawuf berasal dari luar Islam.Dua
teori ini besar kemungkinan dihasilkan dari pertanyaan: “Apakah tasawuf itu murni
berasal dari dalam Islam, atau dipengaruhi oleh ajaran laindari luar Islam?” Dengan
menambahkan tiga pertanyaan spesifik setelahnya –yaitu: “Jika tasawuf dipengaruhi
dari luar Islam, apakah pengaruh luar Islam itu mempengaruhi munculnya tasawuf
dalam sejarah Islam?”, “Jika tasawuf dipengaruhi dari luar Islam, apakah
pengaruh ini telah dimulai sejak awal kelahiran tasawuf atau setelahnya?”, dan
“Jika tasawuf dipengaruhi dari luar Islam, apakah itu membuatnya bertentangan
dengan Islam?”, penelitian ini menemukan lima teori lainnya tentang asal-usul tasawuf.
Berikut ini lima teori lainnya berkenaan dengan asal-usul tasawuf, setelah
teori pertama dan teori kedua di atas. Teori ketiga, tasawuf berasal dari luar Islam, dan
bertentangan dengan Islam. Teori keempat, tasawuf berasal dari dalam Islam,
kemudian mendapat pengaruh dari luar Islam, dan tetap sesuai dengan Islam. Teori
kelima, tasawuf berasal dari dalam Islam, kemudian mendapat pengaruh dari luar Islam,
dan bertentangan dengan Islam. Teori keenam, sebagian ajaran tasawuf berasal dari
dalam Islam dan sebagiannya lagi berasal dari luar Islam. Teori ketujuh,tasawuf
berasal dari masa setelah generasi utama Islam. Berikut ini keseluruhan tujuh teori
tentang asal-usul tasawuf yang bermacam-macam diuraikan.
Teori pertama tentang asal-usul tasawuf, tasawuf berasal dari dalam Islam. Teori
ini dipertahankan oleh para sufi, sebagian orientalis, dan para pakar tasawuf dalam
karya-karya pengantar tasawuf. Pendapat ini menyatakan bahwa tasawuf berasal dari
ajaran-ajaran Islam sendiri, dan landasannya ditemukan secara naqlimelalui Alquran dan
Hadis Nabi.Di antara tokoh utama yang berpegang pada pendapat ini adalah R. A.
Nicholson, Murtada Mutahhari, dan Harun Nasution.Nicholson mempertahankan teori
pertamaini. Namun, perlu ditekankan bahwa ia baru memutuskan untuk mendukung teori
ini setelah sebelumnya mendukung teori kedua, bahwa tasawuf berasal dari luar Islam.
Nicholson, yang telah menghabiskan usianya untuk meneliti tasawuf, pada penelitiannya
yang terakhir berkesimpulan bahwa tasawuf adalah murni bersumber dari ajaran Islam.
Menurutnya, Islam memiliki sumber yang kaya tentang kerohanian. Baginya, meskipun
tasawuf dalam setiap periode perkembangannya memperlihatkan warna yang berbeda-
beda, namun, secara keseluruhan, warna itu tidak keluar dari warna dasar Islam. Tokoh
selanjutnya adalah Murtada Mutahhari. Untuk mendukung teori pertamaini, ia menolak
teori yang menyatakan bahwa tasawuf berasal dari dalam slam, tetapi yang kemudian
mendapat pengaruh dari luar. Ia menolak anggapan bahwa Islam adalah agama yang
sederhana. Baginya, pandangan bahwa Islam menganut gagasan monoteisme yang
sederhana, zuhud yang hanya mengharapkan kenikmatan abadi di akhirat, dan

6
serangkaianritual dan hukum praktis yang cukup hanya dengan fikih tidak bisa
dipertahankan. Menurutnya, ajaran dasar Islam sanggup memberi serangkaian
gagasan spiritual yang mendalam, termasuk tauhid yang dimengerti sebagai monism
eksistensialis, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Alquran, baginya,
memperkenalkan Tuhan sebagai Pencipta alam semesta, tetapi pada saat yang sama juga
menyatakan bahwa esensi suci-Nya adalah di mana-mana dan dengan setiap sesuatu; dan
ini jelas melebihi monoteisme biasa. Tentang tariqahyang melebihi shariʻah, sebagai
serangkaian tahapan yang mengarah pada kedekatan akhir kepada Tuhan, baginya, pun
telah digagaskan di dalam Alquran, misalnya ayat-ayat tentang liqa’ al-Lah (bertemu
dengan Allah), ridwan al-Lah (kerelaan dari Allah), dan ayat-ayat sehubungan dengan
miʻraj Nabi. Alquran pun, menurutnya, menyebutkan tentang penyucian jiwa yang
mampu mengarah pada penghambaan kepada Allah dan pembebasan. Dan jika ditelusuri
aliran kehidupan rohani pada masa awal Islam, menurutnya, itu bukan sekedar bentuk
pertapaan dan peribadatan biasa yang dicampur dengan harapan pahala surga.
Terdapat banyak contoh di antara generasi awal Islam yang, menurutnya,
menunjukkan pandangan batin dan kecintaan spiritual yang membara kepada Allah.
Menurut Mutahhari, dengan memperhatikan berbagai sumber yang luas dari dalam Islam
sendiri, yang terdiri dari Alquran, Hadis, khotbah, doa, dialog polemik, dan biografi
tokoh-tokoh terkemuka Islam, keaslian tasawuf sebagai mistisisme Islam tidaklah perlu
dicari dari sumber lain.Harun, pemikir Islam terkemuka Indonesia, mengatakan bahwa
teori yang menyebut bahwa tasawuf dipengaruhi oleh unsur asing sebenarnya sulit
dibuktikan. Menurutnya, di dalam ajaran Islam sendiri ditemukan sejumlah ayat Alquran
maupun Hadis Nabi yang menggambarkan tentang betapa dekatnya manusia dengan
Tuhan, yang merupakan ajaran dasar dalam mistisisme. Dia mengatakan, “terlepas dari
kemungkinan adanya pengaruh dari luar Islam, ayat-ayat dan hadis-hadis seperti
tersebut di atas dapat membawa pada timbulnya aliran sufi dalam Islam tanpa
pengaruh dari luar.”Dan dia juga menyebutkan,“dengan atau tanpa pengaruh-pengaruh
dari luar, sufisme bisa timbul dalam Islam.”Jadi, bagi Harun, kedua sumber ajaran
Islam, yaitu Alquran dan Hadis jelas merupakan sumber utama tasawuf dalam ajaran
Islam.
Teori kedua tasawuf berasal dari luar Islam. Untuk teori bahwa tasawuf
bersumber dari luar Islam para pakar berbeda pendapat. Di sini setidaknya, ditemukan
enam sub-pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan bahwa tasawuf berasal
dari ajaran agama Majusi (Zoroaster). Berada pada posisi ini adalah Friedrich August
Deofidus Tholuck, seorang orientalis Jerman abad ke-19. Ia memandang bahwa gagasan
tasawuf banyak ditimba dari sumber Majusi. Menurutnya, sejumlah besar orang Majusi
di Iran Utara, setelah penaklukan Islam, banyak mempengaruhi tokoh sufi, yang
memang banyak berasal dari kawasan itu, khususnya di Khurasan. Tholuck sendiri
mengatakan bahwa “doktrin sufi dibangkitkan dan harus dijelaskan di luar mistik
Muhammad sendiri.”Pendapat kedua menyatakan bahwa tasawuf bersumber dari ajaran
agama Kristen.

7
Di antara tokoh yang mempertahankan pendapat ini adalah Ignaz Goldziher
(orientalis dari Austria), Asin Palacios (orientalis Spanyol), Alfred von Kremer
(orientalis Jerman), dan R.A. Nicholso (orientalis Inggris). Mereka memandang bahwa
tasawuf bersumber dari asketisme Kristen. Menurut mereka, kependetaan Kristen cukup
dikenal oleh orang-orang Arab di sepanjang Gurun Suriah dan Sinai. Para pendeta
Kristen yang berdiam di wilayah-wilayah itu sedikit banyak telah memberi inspirasi
kepada sejumlah zahid muslim generasi pertama. Kegemaran para sufi dalam
menghayati kehidupan kesunyian, memakai bulu domba, banyak berzikir, dan seterusya,
menampakkan adanya pengaruh mistisisme Kristen. Pendapat ketiga menyatakan
bahwa tasawuf bersumber dari India. Di antara pemegang pendapat ini adalah Max
Horten dan Richard Hartmann (keduanya adalah orientalis Jerman). Menurut mereka,
banyak latihan rohaniah dalam tasawuf itu mirip dengan mistisisme India. Ajaran-
ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Hallaj, Abu Yazid al-Bustami, dan al-Junaidi,
rupanya, banyak ditimba dari mistik India. Pendapat ke empat menyatakan bahwa
tasawuf berasal dari agama kuno bangsa Arya (Persia). W. H. Palmer mengatakan bahwa
tasawuf merupakan “perkembangan agama kuno bangsa Arya.” Tasawuf memang sering
dianggap sebagai perkembangan khas Persia dalam tubuh Islam. Unsur-unsur penting
tertentu dari Persia dikatakan tetap bertahan berabad-abad dan menjiwai Islam,
sebagaimana ditekankan juga oleh Henri Corbin dan Seyyed Hossein Nasr. Pendapat
kelima menyatakan bahwa tasawuf bersumber dari ajaran agama Buddha. Pendapat ini
juga dipertahankan juga oleh R. A. Nicholson. Ia mengatakan bahwa di dalam tasawuf
Islam terdapat pengaruh ajaran Nirwana dari Budhisme. Pendapat keenam menyatakan
bahwa tasawuf bersumber dari ajaran filsafat Neo-Platonisme. Pendapat ini didukung
oleh O‟leary dan juga R. A. Nicholson. Menurut O‟leary, tasawuf itu tidak lain adalah
cuplikan dari ajaran Neo-Platonisme yang dikembangkan oleh para filsuf Hellenis,
khususnya Plotinus. Nicholson pun menyimpulkan adanya kecenderungan sufisme
kepada ajaran Neo-Platonisme.Menurut Mutahhari, teori yang secara umum menyatakan
bahwa tasawuf berasal dari luar Islam dipetahankan oleh sebagian orientalis.
Menurutnya, para orientalis yang mempertahankan teori ini meyakini bahwa tasawuf
adalah gagasan-gagasan halus dan agung yang datang ke dunia Islam dari luar.
Teori ketiga tasawuf berasal dari luar Islam, dan bertentangan dengan Islam. Di
antara pemegang teori ini adalah Ibrahim Hilal. Hilal menyatakan bahwa tidak ada
tasawuf yang berasal dari dalam Islam; tasawuf itu dipengaruhi oleh warisan budaya
asing di luar Islam, dan bertentangan dengan ajaran Islam. Demikianlah Hilal
menyampaikan pendapatnya:“Kita bisa membedakan tasawuf dalam dua jenis. Tasawuf
jenis pertama adalah hasil dari pemahaman atas Kitab Allah, Sunnah Nabi saw., dan
capan-ucapan para sahabat.Tasawuf jenis kedua adalah tasawuf yang terpengaruh oleh
warisan budaya asing di luar Islam atau mengikuti berbagai tendensi atau orientasi yang
jauh dari Islam. Berkaitan dengan jenis tasawuf pertama, saya tidak melihat ada unsur
tasawuf di dalamnya. Saya juga tidak memandang para sahabat Nabi saw. ketika mereka
mengucapkan hal itu sebagai kaum sufi (mutashawwifun). Dalam hal ini, mereka
hanyalah mujtahid. Mereka adalah orang-orang yang memahami agama Allah dengan
pemahaman dan pengetahuan khusus tentang Kitab Allah dan Sunnah Nabi saw. Dalam
8
masalah-masalah yang mereka geluti, mereka memperoleh seperti apa yang diperoleh
Abdullah ibn Mas‟ud, yakni doa Rasulullah untuknya, “Ya Allah, berilah ia pemahaman
tentang agama ini dan ajarilah takwilnya.” Dalam diri mereka pula termanifestasi sabda
Nabi saw.: “Barangsiapa dikehendaki Allah beroleh kebaikan, maka Dia memberinya
pemahaman tentang agama ini.” Hal ini jugalah yang ditegaskan Imam Ali ibn Abi
Thalib r.a. ketika beliauditanya, “Apakah Rasulullah saw. mengkhususkan bagi kalian
suatu ilmu tanpa memberikannya kepada orang lain?” Beliau menjawab, “Tidak ada,
demi Tuhan yang membelah biji dan menciptakan manusia, kecuali pemahaman tentang
Alquran yang diberikan Allah kepadaseseorang. Hilal juga menyatakan: “Langkah
pertama kita dalam membicarakan tasawuf dalam Islam diawali dengan mengemukakan
definisi tasawuf. Dengan terlebih dahulu mengemukakan definisinya yang sudah
disepakati kaum sufi sendiri, kita akan mengetahui asal-usul tasawuf dalam Islam. Kita
bisa mengatakan bahwa, menurutkaum sufi sendiri, tasawuf pada umumnya bermakna
menempuh kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan duniawi, rela hidup
dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah, melaparkan diri,
mengerjakan salat malam, dan melantunkan berbagai jenis wirid sampai fisik atau
dimensi jasmani seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau rohani menjadi kuat.
Dalam pengertian ini, tasawuf adalah usaha menaklukkan dimensi jasmani
manusia agar tunduk kepada dimensi rohani (nafs), dengan berbagai cara, sampai
bergerak menuju kesempurnaan akhlak seperti dinyatakan kaum sufi, dan meraih
engetahuan atau makrifat (maʻrifah) tentang Zat Ilahi dan kesempurnaan-Nya. Menurut
kaum sufi, proses ini disebut sebagai “mengetahui hakikat” (maʻrifah al-haqiqah).
Memang benar, Islam menyerukan agar dimensi jasmani atau badan wadag (al-hass)
manusia tunduk kepada kendali jiwa, agama, dan akal. Namun, ketundukan ini bukanlah
seperti yang ditunjukkan oleh kaum sufi, melainkan dilakukan dengan beriman kepada
Allah, Hari Akhir, para rasul dan nabi, serta mengamalkan syariat mereka yang ujungnya
bermuara pada syariat Nabi Muhammad saw. sesuai dengan batasan kemampuan setelah
mengerjakan berbagai kewajiban dan menghindari berbagai larangan. Karenanya,
perilaku yang ditempuh dalam tasawuf adalah perilaku yang berlebih-lebihan. Ini sama
artinya dengan memperkosa kondisi alamiah jiwa manusia. Dalam tataran praktis yang
sangat ektrem dan radikal, perilaku tasawuf menjauhkan jiwa manusia dari
kehidupan dunia, padahal Allah berfirman: “Katakanlah: Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan untuk hamba-
hamba-Nya dan (siapa pula yang mengharamkan) rezeki yang baik?” (QS 7:32). Jika
tasawuf dalam Islam memiliki karakter seperti dalam definisi di atas, maka sudah
pasti bahwa tasawuf telah terpengaruh oleh berbagai filsafat asing yang jelas-jelas
jauh dari ajaran agama dan lingkungan Islam. Tasawuf telah memoles agama Islam
dengan sesuatu yang sama sekali asing dalam hal ibadah dan makrifat.
Sebagian besar makrifatdi kalangan kaum sufi lebih bercorak filosofis atau
illuminatif (isyraqiyyah), dan bukan makrifat bercorak religius yang, dalam
pengungkapan (kasyf)-nya, berpijak pada Alquran dan Sunnah Nabi saw. Selain itu, juga
berkembang tasawuf Sunni yang berpijak pada prinsip-prinsip ajaran Islam.” Menurut

9
Mutahhari, yang mempertahankan teori ini adalah para penentang tasawuf dari
dunia Islam. Menurutnya, mereka berusaha keras untuk menunjukkan bahwa
keseluruhan tasawuf dan ajarannya sebagai aliran yang bertentangan dengan Islam.
Dan dengan tujuan ini, menurutnya, mereka juga berpendapat bahwa tasawuf bukan
berasal dari Islam.
Teori keempat tasawuf berasal dari dalam Islam, kemudian mendapat pengaruh
dari luar Islam, tetapi tetap sesuai dengan ajaran Islam. Meskipun tidak eksplisit,
teori ini ditemukan dalam penjelasan yang dikemukakan oleh Mutahhari tentang
asal-usul tasawuf.Namun demikian, penelitian ini belum berhasil menemukan
seorang tokoh pun yang secara terang-terangan mempertahankan teori ini.
Teori kelima tasawuf berasal dari dalam Islam, kemudian mendapat pengaruh
dari luar Islam,dan bertentangan dengan Islam.Di antara pendukung teori ini adalah
Fazlur Rahman. Berikut ini Rahman memberikan pendapatnya:“Para sarjana modern
telah banyak menghabiskan lembaran-lembaran kertas dalam membicarakan
tentang asal-usul sufisme dalam Islam, tentang seberapa jauh keaslian ‟
keislamannya, dan seberapa jauh ia, di hadapan Islam, merupakan produk-produk
pengaruh luar seperti agama Kristen dan filsafat Gnostik. Sejauh ide tentang
berserah diri dan cinta kepada Tuhan tersangkut, ide berserah diri kepada Tuhan ‟
mempunyai kedudukan yang terkemuka dalam Alquran. Sama halnya, cinta tentang
cinta kepada Tuhan ‟Cinta di sini bukanlah sebutan untuk suatu emosi semata-mata, yang
hanya dipupuk dalam batin, tetapi secara desisif adalah cinta yang memiliki
kecenderungan pada kegiatan nyata. Sebaliknya, dalam konteks Sufi yang baru,
kedua ide tersebut telah sekali bergeser penekanannya. Pengaruh-pengaruh luar tentu
telah memainkan peranan tambahan yang tak bisa diingkari oleh siapapun, tetapi
pengaruh-pengaruh tersebut tentunya hanyalah merupakan unsur-unsur tambahan saja
kepada kecenderungan pembawaannya yang mula-mula‟Kebatinan‟ Sufi muncul sebagai
tantangan langsung kepada perkembangan politik dan hukum dalam Islam. Orang
tergoda untuk memberikanciri kepada Islam sebelum timbulnya perbedaan-perbedaan
pandangan di dalamnya. Situasinya serupa dengan inti sel yang masih utuh,
yang lalu membesar dan mengembangkan sel-sel yang baru, tetapi tidak
dan tidak bisa mengesampingkan faktor-faktor luar, walaupun ia tak bisa secara
intrinsik diterangkan dalam batas-batas faktor-faktor luar tersebut.”Rahman juga
mengatakan:“.Secaara singkat kami akan menyatakan: (a) bahwa pada awal mulanya
Sufisme adalah protes moral-spiritual terhadap perkembangan-perkembangan tertentu
yang bersifat doktrinal dan politis di dalam umat Muslim; tetapi (b) setelah
proses pembelulangan, Sufisme berubah menjadi sebuah gerakan agama populer
dan dari abad-abad ke-6 dan ke-7 Hijriah (12 dan 13 Masehi) menyatakan dirinya
beserta etosnya yang khas tidak hanya sebagai sebuah agama di dalam agama tetapi
juga sebagai sebuah agama yang lebih tinggi daripada agama.”Rahman pun
mengatakan:“. Kita tidak perlu menyangkal, bahkan kita pun yakin, bahwa gerakan
Sufisme didorong oleh pengaruh-pengaruh yang kuat dari luar, terutama sekali
dalam stase-stase perkembangannya yang terakhir. Kenyataan ini sama sekali tidak

10
ada buruknya setiap gerakan di dalam proses perkembangannya, pasti akan
menyerap unsur-unsur yang dijumpainya ”Dan selanjutnya Rahman juga
menambahkan:“Kita harus mengakui bahwa di antara para sahabat tentu ada yang lebih
cenderung kepada kontemplasi dan introversi, tetapi kecenderungan dari para sahabat
tersebut kepada kehidupan spiritual dan kebatinan tidak dapat dijadikan “way of life”
yang terpisah dari etos mayoritas umat untuk membangun masyarakat adalah sangat
tidak pada tempatnya apabila kita mengatakan bahwa di antara para sahabat
tersebut ada yang mengalami ekstase-ekstase seperti yang dialami Abu Yazid al-
Busthami dan ada pula yang menciptakan syair-syair theosofis seperti yang digubah
oleh Ibn Arabi. Tetapi tidak beberapa lama kemudian pertapaan mulai berkembang dan
memperoleh kepopulerannya yang sangat besar pada abad kedua Hijriah.
Nama Hasan al-Bashri yang termasyhur, juga diasosiasikan dengan
gerakan ini. Pada dasarnya gerakan ini adalah sebuah gerakan moral yang
menandaskan dan menandaskan kembali betapa pentingnya usaha-usaha interiorisasi,
pendalaman dan pensucian terhadap motif moral dan memperingatkan kepada
umat manusia mengenai tanggung jawab maha berat yang dibebankan hidup ini ke
atas pundak mereka. Sesungguhnya gerakan yang seperti ini tidak ada salahnya,
karena Alquran dan Nabi Muhammad sendiri mendukungnya Tetapi sangat
disayangngkan bahwa gerakan ini akhirnya menunjukkan gejala-gejala yang
merupakan reaksi yang ektrim. Gerakan ini memperkembangkan Zuhud, suatu
penyangkalan yang keterlaluan terhadap dunia, suatu spiritualitas yang tidak integral,
dan akhirnya suatu sisitem gimnastik moral yang bersifat formal. Perkembangan yang
seperti ini tidak didukung oleh, bahkan bertentangan dengan, Alquran dan
Sunnah Nabi. Karena Alquran dan Sunnah Nabi menyerukan kepada kaum
Muslimin untuk mengorbankan kesenangan dan, jika perlu, harta benda “di atas jalan
Allah”, atau untuk tujuan yang luhur dan positif –yaitu suatu tata sosial dan moral.
Tetapi Zuhudyang dikembangkan oleh gerakan ini menyerukan bahwa seorang
Muslim tidak boleh memiliki sesuatupun juga...”Di dalam teori keempatdan kelimadi
atas ditemukan satupersamaan. Menurut Mutahhari, kedua teori ini meyakini secara
pasti bahwa tasawuf telah mengambil sumber asli inspirasinya dari Islam sendiri,
dan bukan dari sumber lain. Namun, kata Mutahhari, mereka yang mempertahankan
teori keempat, dan dalam beberapa hal juga mereka yang setuju dengan teori kelima,
melihat Islam sebagai suatu agama yang sederhana, populer dan tidak rumit, dan
bebas dari segala misteri, kesulitan, serta kedalaman yang tidak dapat dipahami.
Menurut Mutahhari, kedua kelompok pemegang teori di atas meyakini
bahwa di dalam Islam terdapat tiga sistem doktrinal yang bersahaja: tauhid
(monoteisme) yang sederhana, jalan rohani melalui zuhud biasa yang mengharapkan
kenikmatan abadi di hari akhir, dan serangkaian ritual dan hukum praktis yang termuat
dalam fikih.Tiga sistem doktrinal yang rumit di dalam tasawuf, yaitu tauhid
sebagai monisme eksistensialis,zuhud yang berubah menjadi cinta-rindu dendam dan
fana’-baqa’kepada Allah, dan tarekat yang melebihi syariat Islam, menurut paham ini,
tidak dikenal di dalam Islam. Demikian pula, menurut paham ini, di antara para

11
sahabat Nabi yang saleh, yang oleh para sufi diklaim sebagai para pendahulu mereka,
tidaklah lebih dari sekedar orang-orang saleh biasa.50Bagaimanapun, menurut
Mutahhari, pandangan-pandangan seperti ini tidak lagi dapat dipertahankan.
Teori keenam, sebagian ajaran tasawuf berasal dari dalam Islam dan
sebagiannya lagi berasal dari luar Islam. Teori ini disimpulkan dari pendapat
Ibn Khaldun dan Simuh, terutama berkenaan dengan beberapa ajaran yang terdapat di
dalam tasawuf. Awalnya, Simuh mengutip pendapat Harusn Nasution yang
mengatakan bahwa intisari mistisisme, termasuk tasawuf, adalah kesadaran akan
adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh manusia dengan Tuhan dengan
cara mengasingkan diri dan berkontemplasi; dan kesadaran berada dekat dengan
Tuhan ini dapat mengambil bentuk ittihadatau bersatu dengan Tuhan.
Pertanyaannya, kata Simuh, apakah dialog (tatap muka) dengan Tuhan di dalam
kontemplasi dan ittihaditu diajarkan oleh Alquran dan Sunnah? Simuh kemudian
mengutip Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa ajaran berkontemplasi untuk bisa
mengalami tatap muka langsung dengan Tuhan ini bukanlah ajaran Islam.
Intisari atau hakikat ajaran tasawuf, menurut Simuh, adalah mukashafah dan
fana’yang justru terjadi di dalam persatuan dengan Tuhan ini. Mukashafahdan
fana’ini, menurutnya, bukanlah ajaran Islam. Dari keterangan singkat ini dapatlah
diambil kesimpulan bahwa sebagian ajaran tasawuf bukan berasal dari Islam, dan
sebagiannya berasal dari Islam. Barangkali –dengan memperhatikan klasifikasi
tasawuf yang telah dijelaskan sebelumnya –, dengan ini seolah ingin dikatakan
bahwa ajaran tasawuf Sunni berasal dari Islam, dan ajaran tasawuf filosofis berasal
dari luar Islam. Ajaran-ajaran tasawuf yang tersebut di atas, yaitu mungkinnya
dialog langsung antara manusia dengan Tuhan, mukashafah, dan fana’hanya
diajarkan di dalam tasawuf filosofis. Apakah dengan demikian ajaran tasawuf yang
bukan ajaran Islam bertentangan dengan Islam tidak ditegaskan di dalam teori ini.
Teori ketujuh, tasawuf berasal dari masa setelah generasi utama Islamdan
bertentangan dengan Islam. Pendapat ini berasal dari komentar atas karya Ibn
Taimiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqim, oleh penyunting kitab ini.Dalam hal ini, Ibn
Taimiyyah mengatakan:“Yang benar ialah bahwa apa pun yang berdasarkan Kitab dan
Sunnah pada kedua belah pihak itu (maksudnya, kaum Fiqh dan kaum Sufi, ed.)
adalah benar. Dan apapun yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah pada kedua
belah pihak adalah batil.”Penyunting kitab ini kemudian berkomentar:“Ini dengan asumsi
bahwa ajaran kesufian itu ada kebenaran. Jika tidak, maka sebenarnya ajaran kesufian
itu pada dasarnya adalah ciptaan sesudah generasi utama, yang dalam masa generasi
itu hidup sebaik-baik umat dan para imam kebenaran pada umat itu. Sesungguhnya
Allah, dengan Kitab-Nya dan petunjuk Nabi-Nya s.a.w. telah membuat kaum
beriman tidak memerlukan apa yang ada dalam ajaran kesufian, yang dianggap
orang mampu melembutkan hati dan membersihkannya.”Untuk merumuskan teori baru
dari suatu komentar atas pernyataan dari si penulis kitab, kedua pernyataan tersebut harus
disatukan, tetapi isi komentar harus diutamakan. Setidaknya, ada lima poin yang

12
dapat dikemukakan sebagai kesimpulan. Pertama, bahwa tasawuf yang lurus berasal dari
generasi Islam awal, dan tasawuf yang sesat berasal dari generasi setelahnya. Kedua,
namun demikian, tasawuf yang sebenarnya, sebagai sebuah ajaran baru, justru
diformulasikan setelah masa generasi utama. Jadi, yang ketiga, tasawuf baru muncul
pada masa perkembangannya, dan bukan pada awal kelahirannya. Keempat, sebagai
sebuah ajaran baru, tasawuf mengandung kesesatan dan bertentangan dengan Islam
sedikit atau banyak. Kelima, ajaran Alquran dan Hadis Nabi sudah cukup, dan
orang Islam tidak memerlukan ajaran yang berlebih-lebihan sebagaimana
diajarkan di dalam tasawuf dalam hal ini, tasawuf Sunni pun tidak diperlukan dan
tidak bebas dari kesesatan. Selain itu, teori keenam, bahwa sebagian ajaran tasawuf
berasal dari Islam dan sebagiannya lagi berasal dari luar Islam; dan teori ketujuh,
bahwa tasawuf berasal dari masa setelah generasi utama Islam.2
B. Hakikat tasawuf
Istilah tasawuf dapat dipandangan dari dua sisi, baik secara etimologi maupun
terminologi. Secara etimologi, istilah tasawuf berasal dari kata suffah( tempat di masjid
Nabawi), sifat (dengan alasan para sufi mengaplikasikan sifat-sifat Allah), sufah
(selembar bulu), shofia (bijaksana), as-safa (suci), suf (bulu domba). Implikasi dari teori
tasawuf secara kebahasaan di atas diambil dari sudut pandang perilaku para sufi dan
pakaian lahiriah maupun bathiniyahnya.3
Jika diambil inti sari, Tasawuf merupakan bentuk keilmuan yang mempelajari
tentang bagaimana membersihkan hati. Tentu bukan dari kotoran yang tampak oleh mata,
melainkan dari kotoran-kotoran hati yang menjadi bawaan nafsu buruk. Pada akhirnya,
bersih hati ini akan membawa seseorang semakin dekat dengan Pencipta. Dan hidupnya
benar-benar ditujukan untuk Allah saja.
Tentu saja ini bukan hal yang mudah, apalagi jika disamakan dengan membalik
tangan. Sebab, kadang-kadang, setelah seseorang mempelajari ilmu Tasawuf, orang
tersebut tidak cukup mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan. Kadang bukan
membersihkan, namun hanya mampu mengedentisifikasi. Secara, hal ini sudah cukup
baik. Sebab dengan hasil identifikasi sikap dan perbuatan, seseorang sudah memiliki
kesempatan untuk memperbaiki diri. Dia juga berkesempatan untuk menjadikan
perbuatan baiknya lebih berkualitas. Berbeda dengan orang yang tidak tahu sama sekali.
Orang yang tidak tahu atau tidak pernah mengidentifikasi perbuatan, akan menganggap
perbuatan baiknya adalah baik. Padahal tidak semua perbuatan baik selalu baik.
Apa maksud perbuatan baik tidak selalu baik? Dalam ilmu Tasawuf perbuatan
baik selalu memiliki ruh. Ruh itu adalah keikhlasan. Keikhlasan sendiri adalah pemurnian
amal tanpa ada sifat buruk yang menyertainya. Seringkali hal yang terlihat sebagai amal
dunia adalah amal akhirat. Begitu pun sebaliknya.

2
Nur Rahmad Yahya Wijaya, dkk, Asal-Usul tasawuf. Jurnal Kariman, Vol. 08, No. 01, Juni 2020
3
Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta, 2015)

13
Hal-hal yang ada di dalam Tasawuf tidak ada satu pun yang bertentangan dengan
al Quran atau pun Hadits. Tasawuf adalah jalan, sedang dua hal itu, Quran dan Hadits
adalah petunjuk. Tentu saja, jalan kebaikan apapun tidak boleh lepas dari petunjuk.
Di dalam al Quran, ada beberapa ayat yang biasa dikaitkan dengan sufi atau
Tasawuf, Ayat-ayat tersebut adalah:
‫ق َو ْال َم ْغ ِربُ فََأ ْينَ َما تُ َولُّوا فَثَ َّم َوجْ هُ هَّللا ِ ِإ َّن هَّللا َ َوا ِس ٌع َعلِي ٌم‬
ُ ‫َوهَّلِل ِ ْال َم ْش ِر‬
[115/‫]البقرة‬
Titik inti dari ayat tersebut adalah: di mana pun atau ke arah manapun orang
menghadap, maka di situlah dia bisa menghadap Allah. Tentu saja ini kaitannya dengan
ketauhidan dan bagaimana seseorang memposisikan diri sebagai hamba bagi Allah.
Ada lagi ayat:
َ‫اع ِإ َذا َدعَا ِن فَ ْليَ ْستَ ِجيبُوا لِي َو ْليُْؤ ِمنُوا بِي لَ َعلَّهُ ْم يَرْ ُش ُدون‬ ‫ُأ‬ َ َ‫وَِإ َذا َسَأل‬
ِ ‫ك ِعبَا ِدي َعنِّي فَِإنِّي قَ ِريبٌ ِجيبُ َد ْع َوةَ ال َّد‬
[186/‫]البقرة‬
Secara inti, isi ayat tersebut adalah: jarak Allah dan hamba-Nya itu dekat. Allah
akan mengabulkan doa hamba yang mau berdoa. Hubungan kedekatan antara Allah dan
hamba-Nya dalam ayat ini yang menjadi fokus pembahasan ilmu Tasawuf.
Ada juga ayat tentang Tasawuf yang berbunyi:
‫َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا اِإْل ْن َسانَ َونَ ْعلَ ُم َما تُ َوس ِْوسُ بِ ِه نَ ْف ُسهُ َونَحْ نُ َأ ْق َربُ ِإلَ ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل ْال َو ِري ِد‬
[16/‫]ق‬
Ayat tersebut memberitahukan, bahwa kedekatan Allah dengan hamba-Nya
bahkan lebih dekat dari urat leher. Allah juga mengetahui dengan jelas apa yang menjadi
gerak hati hamba-Nya.
Ayat yang lain lagi adalah:
‫فَ َو َجدَا َع ْبدًا ِم ْن ِعبَا ِدنَا َآتَ ْينَاهُ َرحْ َمةً ِم ْن ِع ْن ِدنَا َو َعلَّ ْمنَاهُ ِم ْن لَ ُدنَّا ِع ْل ًما‬
[65/‫]الكهف‬
Ayat tersebut adalah ayat yang menceritakan tentang Nabi Musa saat mencari
Nabi Khidir. Nabi Khidir lah yang disebut dalam ayat tersebut memiliki ilmu yang telah
Allah ajarkan. Ilmu itu adalah ilmu yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa. Dan itu
sebabnya, Allah meminta Nabi Musa berguru kepada Nabi Khidir.4
Berikut beberapa manfaat dari tasawuf :
1.  Membersihkan Hati dalam Berinteraksi dengan Allah

4
Syaikh ‘Abdul Qadir Isa. Hakekat Tasawuf (Jakarta: 2005)

14
Bentuk interaksi manusia dengan Allah adalah ibadah, ibadah tidak akan
mencapai sasaran apabila hati tidak besih dengan melupakan Allah SWT. Sementara itu,
esensi tasawuf adalah tazkiyatun nafs yang artinya membersihkan jiwa dari kotoran-
kotoran. Dengan bertasawuf hati orang akan menjadi bersih sehingga dalam berinteraksi
kepada Allah akan menemukan kedamaian hati dan ketenangan jiwa.
2.    Membersihkan Diri dari Pengaruh Materi
Dalam pembahasan ini tasawuf juga dapat dikatakan bermanfaat untuk
membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh negatif duniawi yang mengganggu jiwa
manusia. Pada hakikatnya manusia memiliki jasad dan ruh. Jasad manusia berusaha
untuk memenuhi kebutuhannya di dunia, dan ruh pun juga memiliki hak ketenangan.
Agar keduanya seimbang, pemenuhan jasad manusia tidaklah semata-mata untuk
memenuhi nafsu, tetapi dimaksudkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah agar
rohani pun merasakan ketenangan.
3.    Menerangi Jiwa dari Kegelapan
Tidak sedikit orang yang ketika ingin mendapatkan harta benda atau kekayaan
dilakukan dengan jalan yang tidak halal, yaitu menjadikan mereka gelap mata. Misalnya,
korupsi, pemerasan, suap dan cara-cara lain yang tidak terpuji. Tindakan seperti ini
membuat hati seseorang menjadi gelap, kemudia keras dan sulit menerima kebenaran
agama.
Timbullah keresahan, patah hati, cemas, dan serakah. Semua penyakit hati ini
dapat disembuhkan dengan ajaran agama, khususnya yang berhubungan dengan hati
nurani atau jiwa, yaitu tasawuf.
4.    Memperteguh dan Menyuburkan Keyakinan Agama
Keteguhan hati tidak dapat dicapai tanpa adanya siraman jiwa. Jadi peranan
siraman jiwa di sini amatlah penting. Banyak manusia yang tenggelam dalam menggapai
kebahaiaan duniawi yang serba materi dan tidak lagi mempedulikan masalah spiritual.
Pada akhirnya paham-paham tersebut membawa kehampaan jiwa dan menggoyahkan
sendi-sendi keimanan. Jika ajaran tasawuf diamalkan oleh seorang muslim, ia akan
bertambah teguh keimanannya dalam memperjuangkan agama Islam.
5.    Mempertinggi Akhlak Manusia
Jika hati seseorang suci, bersih, serta selalu disinari oleh ajaran-ajaran Allah dan
Rasul-Nya, maka akhlaknya pun baik. Hal ini sejalan dengan ajaran tasawuf yang
menuntun manusia untuk menjadi pribadi muslim yang memiliki akhlak mulia dan dapat
menghilangkan akhlak tercela.5

5
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hlm. 84

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tasawuf merupakan bentuk keilmuan yang mempelajari tentang bagaimana
membersihkan hati dan berakhlak dengan akhlak rabbaniyyah, seperti iman, amal sholeh,
ibadah, dakwah, akhlak, dan bakti kepada orang tua. Hal-hal yang ada di dalam Tasawuf
tidak ada satu pun yang bertentangan dengan al Quran atau pun Hadits. Tasawuf adalah
jalan, sedang dua hal itu, Quran dan Hadits adalah petunjuk. Tentu saja, jalan kebaikan
apapun tidak boleh lepas dari petunjuk.
Jika tasawuf telah di khususkan pada sisi ini, mempelajarinya menjadi wajib
secara syar’i bagi manusia, baik secara individu maupun komunal. Dengan demikian,
akan terwujud manusia yang luhur dan khilafatullah diatas bumi akan terwujud dengan
tersebarnya cinta dan sikap toleransi di antara manusia. Kebudayaan dan peradaban
manusia akan dilandasi oleh kekuatan iman yang terwujud dari kehendak Allah SWT.
Dapatlah diambil kesimpulan bahwa sebagian ajaran tasawuf bukan berasal
dari Islam, dan sebagiannya berasal dari Islam. Barangkali dengan memperhatikan
klasifikasi tasawuf yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan ini seolah ingin
dikatakan bahwa ajaran tasawuf Sunni berasal dari Islam, dan ajaran tasawuf
filosofis berasal dari luar Islam. Ajaran-ajaran tasawuf yang tersebut di atas, yaitu
mungkinnya dialog langsung antara manusia dengan Tuhan, mukashafah, dan
fana’hanya diajarkan di dalam tasawuf filosofis.

16
Daftar pustaka
Abul “Alaa “Afify, Fi al Tashawwuf al Islam wa Tarikhikhi, (Iskandariyah: Lajnah al Ta’lif wa al-Tarjamah
wa al Nasyr, 2012

Hamka. Tasawuf Modern (Jakarta: Republika, 2015)

Qadir Isa, Syaikh ‘Abdul. Hakekat Tasawuf (Jakarta: Qisthi Press, 2005)
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hlm. 84.

Yahya Wijaya, Nur rahmad, dkk. 2020. Asal-Usul Tasawuf. Jurnal Kariman Vol. 08, No. 01 (105-125)

17

Anda mungkin juga menyukai