Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH AKHLAK DAN TASAWUF

Makalah Ini Diajukan Sebagai Pemenuhan Tugas Mata Kuliah “Pendidikan agama”
Dosen pembimbing Abdussani Ramdhani, M.Pd.I

Disusun oleh
Anggi Farizki
21262011054

Teknik Industri Reguler Malam 21A

TEKNIK INDUSTRI
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI BANDUNG (STTB)
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Ilahi Rabbi – Tuhan Yang Maha Esa,Penagsih dan Penyayang
yang telah melimpahkan rahmat dankarunianya kepada penulis sehingga tugas
makalah “ Akhlak dan Tasawuf” dapat terselesaikan. Shalwat serta salam
atasjunjungan nabi besar Muhammad SAW, sebagai Uswtun khasanah,sosok model
ideal bagi sekalian manusi auntuk meraih kesuksesan dunia dan akherat.Dapat
terselesaikannya makalah ini tidak lepas daridukungan, bantuan dan motivasi yang
sifatnya spritual dan materil dari banyak pihak. Sehingga penulis mengucapkan
terimakasihyang sedalam-dalamnya.Demikian yang bissa penulis sampaikan, dengan
harapansemoiga Allah SWT Senantiasa membalas segala kebaikan merekadan
makalah ini dapat memberi manfaat sebaik-baiknya.

Bandung, 8 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
1.3 Tujuan penulis ..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 2
2.1 PEMBAHASAN TASAWUF ............................................................................. 2
2.2 PEMBAHASAN ETIKA .................................................................................... 3
2.3 PEMBAHASAN MORAL .................................................................................. 4
2.4 PEMBAHASAN AKHLAK................................................................................ 4
2.5 HUBUNGAN AKHLAK dan TASAWUF ......................................................... 5
2.6 Peran dan Fungsi Tasawuf dalam Kehidupan ..................................................... 7
2.7 ALIRAN – ALIRAN TASAWUF ...................................................................... 7
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 16
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 16
3.2 Saran .................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Secara historis dan teologis, akhlak dapat memadu perjalan hidup manusia agar
selamat di dunia dan akhirat. Tidakkah berlebihan bila misi utama kerasulan
Muhammad SAW. adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sejarah pun
mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena
dukungan akhlaknya yang prima, hingga hal ini dinyatakan oleh Allah dalam Al-
Qur’an.
Kepada umat manusia, khususnya yang beriman kepada Allah diminta
agar akhlak dan keluhuran budi Nabi Muhamad SAW. itu dijadikan contoh dalam
kehidupan di berbagai bidang. Mereka yang mematuhi permintaan ini dijamin
keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Tasawuf ,Etika, Moral, dan Akhlak?
2. Bagaimana pembahasan dan ruang lingkup dari akhlak dan tasawuf?
3. Bagaimana peranan dan fungsi dari akhlak tasawuf?
4. Apa saaja aliran – aliran yang ada dalam perkembangan tasawuf?

1.3 Tujuan penulis


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai sarana pembelajaran untuk
lebih memahami sumber-sumber hukum islam.
Melalui makalah ini diharapkan dapat menjadi penambah wawasan agar lebih
mengetahui apa saja sumber hukum islam itu. Selain itu penulisan makalah ini
ditujukan pula untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PEMBAHASAN TASAWUF


a. Pengertian secara bahasa
Dari makalah yang terhimpun, dapat dijelaskan bahwa dalam mengajukan teori
tentang pengertian tasawuf, baik secara etimologi maupun terminologi para ahli
berbeda pendapat. Di antaranya sebagai berikut:
1) Tasawuf yang dikonotasikan dengan “ahlu suffah” yang berarti sekelompok
orang pada masa rasulullah yang hidupnya banyak diisi dengan banyak
berdiam di serambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya
kepada Allah.
2) Ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shafa”, lafadz tersebut
berbentuk fi’il mabni majhul sehingga menjadi isim mulhak dengan huruf
“ya” nisbah yang berarti nama bagi orang-orang yang bersih atau suci.
Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya di hadapan
tuhannya.
3) Istilah tasawuf berasal dari kata shaf. Makna tasawuf ini dinisbahkan
kepada orang-orang yang ketika shalat selalu berada di shaf yang paling
depan.
4) Pendapat lain mengatakan, istilah tasawuf dinisbahkan kepada orang-orang
dari Bani Suffah.[1]
b. Pengertian secara istilah
Sebagai mana yang dijelaskan dalam makalah, pengertian secara istilah tentang
tasawuf, dalam hal ini para ahli juga memiliki pendapat masing-masing
diantaranya:
1) Menurut Al-Juraini, ketika ditanya tentang tasawuf, Al-juraini
menjawa: “masuk kedalam segala budi (akhlak) yang mulia dan keluar
dari budi pekerti yang rendah”.

2
2) Menurut Al-Junaidi : “(tasawuf) ialah kesadaran bahwa yang hak
(Allah) adalah yang mematikanmu dan yang menghidupkanmu”.
3) Menurut Muhammad Ali Al-Qassab : “tasawuf adalah akhlak mulia
yang timbul pada waktu mulia dari seoramng yang mulia di tengah-
tengah kaumnyayang mulia pula”.[2]
4) Ibnu khaldun “ tasawuf semacam ilmu syari’at yang timbul kemudian
di dalam agama. Asalnya adalah tekun beribadah,memutuskan pertalian
terhadap sesuatu kecuali Allah, hanya menghadap-Nya, dan menolak
perhiasan dunia. Selain itu membenci perkara yang selalu memperdaya
banyak orang, sekaligus menjauhi kelezatan harta, dan
kemegahannya.tambahan pula, tasawuf berarti juga menyendiri menuju
jalan tuhan dalam khalwat dan ibadah”.[3]

2.2 PEMBAHASAN ETIKA


a. Pengertian.
Sebagaimana penjelasan dari makalah misbah hudri yang saya kutip,
bahwasannya etika, sebagaimana halnya dengan istilah yang menyangkut
ilmiah lainnya, yaitu berasal dari yunani kuno “ethos”. Kata ethos dalam bentuk
tanggal mempunyai banyak arti, “tempat tinggal yang biasa, padang rumpu,
kandang, kebiasaan,adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir.
Dalm bentuk jamak “ta etha” yang berarti adat kebiasaan. Dan arti inilah yang
menjadi latar belakang terbentuknya istilah “ethika” oleh filsuf besar yunani
Aristoteles, sudah dipakai sebagai filsafat moral.[4] Etika merupakan teori
matang perbuatan manusia dilihat dari baik dan buruk.
Baik atau buruk mengandung tiga pengertian:
 Nilai atau norma yang menjadi pegangan orang dalam mengatur tingkah
laku.
 Kumpulan asas atau nilai moral.
 Ilmu tentang baik atau buruk.

3
Etika memiliki tiga posisi yakni, yakni etika sebagai sistem nilai, kode etik, dan
filsafatmoral.
 Sistem nilai : etika berarti nilai-nilai & norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seorang kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
 Kode etik : etika berarti asas/nilai moral. Contoh kode etik dalam
jurnalistik, kedokteran.
 Filsafat moral : memiliki kedudukan sebagai ilmu bukan sebagai ajaran.

2.3 PEMBAHASAN MORAL


a. Pengertian
Sebagaimana yang dijelaskan dalam makalah Misbah Hudri, yang dikutip dari
Mourice B Mitchell, Moral berasal dari bahasa latin yaitu jamak dari “mose”
yang berarti adat kebiasaan.[5] Dalam bahasa indonesia moral diartikan susila.
Moral artinya sesuai dengan ide-ide umum yang diterima tentang tindakan
manusia, yang baik dan wajar, sesuai dengan ukuran tindakanyang oleh umum
diterima, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
Moralitas terbagi menjadi 2 yaitu objektif dan subyektif.
 Moralitas objektif : adalah moralitas yang diterapkan pada perbuatan
sebagai perbuatan, terlepas dari modifikasi kehendak dari prilakunya.
 Moralitas subjektif : adalah moralitas yang memandang suatu perbuatan
ditinjau dari kondisi pengetahuandan pusat perhatian dari
pelakunya,latar belakangnya, stabilitas emosionalnya sertaprilaku personal
lainya.
2.4 PEMBAHASAN AKHLAK
a. Pengertian
Sebagaimana yang dijelaskan di dalam makalah Misbah Hudri, kata
“akhlak” berasal dari kata “khuluk”, jamaknya “Akhlak”. Seakar kata dengan
kata “khalq” berarti “kejadian”, Khalik berarti “pencipta” dan makhluk berarti
“yang diciptakan”. Sehingga, maka berbagai makna tersebut tetap saling

4
berhubungan diantaranya adalah kata al-khlaq artinya ciptaan. Artinya
menciptakan sesuatu tanpa diddahului oleh sebab contoh, atau dengan kata lain
menciptakan sesuatu dari tiada.[6]
Sebagai mana yang dijelaskan dalam makalah, yang mengutip dari
imam Al-Ghozali “ akhlak adalah daya kekuatan (sifat yang tertanam dalam
jiwa) yang mendorong perbuatan-perbuatan yang sepontan tanpa memerlukan
pertimbagan pikiran.
Pengertian diatas menggambarkan bahwa tingkah laku merupakan
bentuk kepribadian yang muncul dari dalam diri seseorang yang bersifat
spontan tanpa dibuat-buat.
Jika baik menurut pandangan agama maka tindakan itu dinamakan
akhlak yang baik (al-akhlakul karimah/al-akhlakul mahmudah) jika tindakan
itu buruk maka disebut (al-akhlakul al- madzmumah)

2.5 HUBUNGAN AKHLAK dan TASAWUF


Hubungan antara akhlak dan tasawuf sangatlah erat, bisa dikaitkan dua seperti
mata uang, karna untuk mencapai ilmu yang mulia diperlukan proses-proses yang
biasanya dilakukan oleh kalangan mutashawwiyah (pengamal tasawuf).
Sementara yang terpenting dalam tasawuf adalah pencapaian akhlak yang mulia
disamping hal-hal yang terkait dalam kebutuhan.
Apa yang dilakukan kalangan mutashawwiyah akhirnya akan membuahkan
pada akhlak mulia. Namun demikian tidak semua kajian dan pengalaman tasawuf
masuk kebidang akhlak. Tasawuf memfokuskan pada dataran tazkiyah al-
nafs (penyucian jiwa) membersihkan diri dari sifat madzmumah (tercela) dan
menghiasi akhlak dengan akhlak mahmudah.[7]
Ilmu tasawwuf pada umumnya dibagi menjadi tiga, pertama tasawwuf
falsafi, yakni tasawwuf yang menggunakan pendekatan rasio atau akal
pikiran, tasawwuf model ini menggunakan bahan – bahan kajian atau pemikiran
dari para tasawwuf, baik menyangkut filsafat tentang Tuhan manusia dan
sebagainnya. Kedua, tasawwuf akhlaki, yakni tasawwuf yang menggunakan

5
pendekatan akhlak. Tahapan – tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri
dari akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji),
dan tajalli (terbukanya dinding penghalang [hijab] yang membatasi manusia
dengan Tuhan, sehingga Nur Illahi tampak jelas padanya). Dan ketiga, tasawwuf
amali, yakni tasawwuf yang menggunakan pendekatan amaliyah atau wirid,
kemudian hal itu muncul dalam tharikat.
Sebenarnya, tiga macam tasawwuf tadi punya tujuan yang sama, yaitu sama –
sama mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari
perbuatan yang tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan yang terpuji (al-
akhlaq al-mahmudah), karena itu untuk menuju wilayah tasawwuf, seseorang
harus mempunyai akhlak yang mulia berdasarkan kesadarannya
sendiri. Bertasawwuf pada hakekatnya adalah melakukan serangkaian ibadah
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Ibadah itu sendiri sangat berkaitan erat
dengan akhlak. Menurut Harun Nasution, mempelajari tasawwuf sangat erat
kaitannya dengan Al-Quran dan Al-Sunnah yang mementingkan akhlak. Cara
beribadah kaum sufi biasanya berimplikasi kepada pembinaan akhlak yang mulia,
baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Di kalangan kaum sufi dikenal
istilah altakhalluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah,
atau juga istilah al-ittishaf bi sifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat- sifat yang
dimiliki oleh Allah. Pada inti ajaran tasawuf adalah keluhuran akhlak sebagai
manifestasi dalam ma’rifatullah (mengenal Allah), yang dalam hadits nabi disebuit
dengan istilah ihsan: yaitu bagaimana seseorang dalam beribadah (bertindak,
bersikap, dan bertutur kata) selalu di awasi oleh allah.bertasawuf tanpa akhlak
adalah mustahil. Untuk itu, seorang sufi harus memiliki akhlak yang luhur, tidak
saja kepada Allah, tetapi juga kepada manusia dan seluruh makhlukNya. Islam
adalah agama yang sangat menjaga keseimbangan dalam beragama. Antara
kesalehan ritual dan individual denagn kesalehan sosial harus seimbang.[8]
Jadi akhlak merupakan bagian dari tasawwuf akhlaqi, yang merupakan salah
satu ajaran dari tasawwuf, dan yang terpenting dari ajaran tasawwuf akhlaki adalah
mengisi kalbu (hati) dengan sifat khauf yaitu merasa khawatir terhadap siksaan

6
Allah. Kemudian, dilihat dari amalan serta jenis ilmu yang dipelajari
dalam tasawwuf amali, ada dua macam hal yang disebut ilmu lahir dan ilmu batin
yang terdiri dari empat kelompok, yaitu syariat, tharikat, hakikat, dan ma`rifat.

2.6 Peran dan Fungsi Tasawuf dalam Kehidupan


Inti sari ajaran tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung dengan
Allah SWT, sehingga seseorang akan merasa berada di hadirat-Nya. Upaya ini,
antara lain dilakukan dengan kontemplasi atau melepaskan diri dari jeratan dunia
yang senantiasa berubah dan bersifat sementara. Sikap dan pandangan kaum sufi
ini sangat diperlukan oleh masyarakat modern yang mengalami jiwa yang
terpecah.
Kehadiran tasawuf dapat melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan
kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi yang tajam yang tajam ini
menyebabkan seseorang akan selalu mengutamakan pertimbangan pada setiap
masalah yang dihadapi. Dengan cara demikian, ia akan terhindar dari perbuatan-
perbuatan yang tercela menurut agama. Tasawuf akan membawa manusia
memiliki jiwa istiqamah, yaitu jiwa yang selalu diisi dengan nilai-nilai ilahiah. Ia
selalu mempunyai pegangan dalam hidupnya. Keadaan demikian meyebabkan ia
tetap tabah dan tidak mudah terhempas oleh cobaan yang akan membelokkannya
ke jurang kehancuran. Dengan demikian, stres dan putus asa akan dapat dihindari.

2.7 ALIRAN – ALIRAN TASAWUF


Sebagaimana yang dijelaskan dalam makalah Roni Abdul Ghoni rifa’i,
perkembangan tasawuf di kelompokan menjadi 3 macam bagian, yakni: Tasawuf
akhlaki, Tasawuf amali, Tasawuf falsafi
1. Tasawuf akhlaki
Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan
dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan
pendisiplinan tingkah laku yang ketat guna mencapaikebahagiaan yang
optimum, manusia harus lebih dahulu mengidentifikasi eksistensi dirinya

7
dengan dengan ciri-ciri ketuhanan melalui pensucian jiwa dan ragayang
bermula dari pembentukan pribadiyang bermoral dan berakhlak mulia, yang
dalam ilmu tasawuf dikenal takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat
tercela), tahalli (menghiasi diri denag sifat-sifat terpuji),
dan Tajalli (terungkapnya nur ghaib dari hati yang tel;ah berhasil sehingga
mampu menangkap cahaya ketuhanan).
2. Tasawuf amali
Adalah sesuatu yanng membahas tentang bagai mana cara mendekatkan diri
kepada Allah. Untuk berada dekat pada Allah, seorang sufi harus menempuh
jalan yang berisi station yang disebut maqomat (tahapan), serta hal (kleadaan
jiwa)
3. Tasawuf falsafi,
yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan visi
rasional. Metode pendekatannya kepada segi teoritis sehingga dalam konsep-
konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasiodengan pendekatan-
pendekatan filosofis.
Orang yang pertama memberikan perhatian kepada tumbuhnya aliran-aliran
dalam tasawuf Islam itu adalah Fakhruddin Al Razi. Secara garis besar, alam
pemikiran tasawuf dalam Islam telah melahirkan tujuh aliran besar. Ketujuh
aliran itu adalah :
a. Aliran Ittihad (bersatunya manusia dengan tuhan)
Ittihâd berasal dari kata ittahada-yattahid-ittihâd (dari kata wâhid) yang berarti
bersatu atau kebersatuan. Sedangkan ittihâd menurut Abû Yazîd al-Busthâmî
secara komprehensif maupun secara etimologis berarti integrasi, menyatu, atau
persatuan. Dan secara istilah, ittihâd merupakan pengalaman puncak spiritual
seorang sufi, ketika ia dekat, bersahabat, cinta, dan mengenal Allah sedemikian
rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan Allah. Ittihâd dicapai dengan
beberapa proses (maqâmât) dengan tazkiyah al-nafs hingga melewati
mahabbah dan ma‘rifah kemudian mengalami fanâ’ dan baqâ’ sebagai pintu
gerbang menuju ittihâd. Dengan kata lain sebelum mengalami ittihâd para sufi

8
harus mengalami al-fanâ’ ‘an al-nafs dan al-baqâ’ bi Allâh. Fanâ’ secara
etimologis berarti keluruhan diri kemanusiaan, hancur, lenyap dan hilang.
Sedangkan baqâ’ secara etimologis berarti kekal, abadi, tetap dan tinggal.
Dzunnun Almisry (245 H) adalah sufi yang pertama kalinya mengemukakan
faham ma`rifah dalam tasawuf dan dalam perkembangannya. Menurut Zun
Nun, bahwa ma`rifah yang hakiki adalah ma`rifah sifat wahdaniyyah yang bagi
wali-wali Allah secara khusus karena mereka menyaksikan Allah dengan hati
mereka, maka terbukalah bagi mereka apa-apa yang tidak terbuka bagi orang
lainnya. Dan ma’rifat adalah proses akhir, dan justru menjadi awal beragama
secara sejati. Inilah makna dari perkataan yang masyhur dari salah seorang
sahabat Rasul Ali r.a.: “Awaluddiina Ma’rifatullah”. Awalnya Ad-Diin adalah
mengenal Allah. Makrifat justru baru awalnya beragama, bukan tujuan. Karena
dengan mengenal Dia yang sebenarnya, barulah seseorang berinteraksi dengan
Ad-Diin yang sebenarnya pula.
b. Aliran Hulul (Inkarnasi)
Al-Hulul adalah kepercayaan bahwa Allah bersemayam di tubuh salah seorang,
yang kiranya bersedia untuk itu, karena kemurnian jiwanya dan kesucian
ruhnya. Di antara orang-orang yang menganut akidah dan kepercayaan ini ialah
Al-Hallaj. Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-
Luma' sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa
Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di
dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam
teks Arab pernyataan tersebut berbunyi: "Sesungguhnya Allah memilih jasad-
jasad (tertentu) dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan (setelah)
menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan". Paham bahwa Allah dapat mengambil
tempat pada manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang
mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar yaitu lahut
(ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai

9
kejadian manusia dalam bukunya bernama al-thaiwasim. Sebelum Tuhan
menjadikan makhluk, la hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendian-Nya
itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang
didalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf.
Tokoh yang mengembangkan paham al- Hulul, sebagaimana telah disebutkan
di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj.
Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. la lahir tahun 244 H.
(858 M.) di Negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia
tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia
telah pergi belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl
bin Abdullah al-Tustur di Negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah
dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki, dan pada tahun 264 H.
ia masuk kota Baghdad dan belajar pada. al-Junaid yang juga seorang sufi.
Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Mekkah selama tiga kali.
Dengan riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasair
pengetahuan tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam. Dalam
perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik
dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf yang agak ganjil
sebagaimana akan dikemukakan di bawah ini menyebabkan seorang ulama fiqh
bernama Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan
memberantas pahamnya. Al-lsfahani dikenal sebagai ulama fikih penganut
mazhab Zahiri, suatu mazhab yang hanya mementingkan zahir Nas ayat belaka.
Fatwa yang menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar
pengaruhnya terhadap diri al-Hallaj, sehingga al-Hallaj ditangkap dan
dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat meloloskan
diri berkat bantuan seorang sifir penjara.
c. Aliran Ittishal
Aliran tasawuf Ittishal dikemukakan oleh para filsuf Islam terutama Al Farabi,
Ibnu Sina, Ibnu Bajah, dan Ibnu Tufail. Abu Nasr Muhammad Al-Farabi di
dalam mengemukakan konsepsinya tentang tasawuf, tidak terlepas dari

10
keahliannya sebagi filsuf. Tasawuf menurut Al-Farabi, bukan hanya membahas
masalah amal untuk kebersihan jiwa, memerangi hawa nafsu, dan kelezatan
badaniyah saja, tetapi juga harus melalui akal dan pemikiran itu sendiri.
Al-Farbi memandang tingkat ma`rifah manusia dalam tasawuf adalah
berjenjang naik dan apabila manusia telah berada diatas jenjang Al-Aqlul
Mustafad maka manusia mampu menerima nur ketuhanan, berhubungan
langsung dengan Al-Aqlul Fa`al.di tingkat ini manusia tidak lagi berada dalam
tingkat ijtihad tetapi telah berda dalam tingkat pemberian Tuhan hingga dapat
berhubungan langsung dengan Tuhan(Ittishal).
Al-Farabi mengemukakan bahwa sentral segal sesuatu adalah akal, maka dalam
tasawufnya ia berpendapat bahwa tujuan tasawuf terkhir adalah pencapaian
sa`dah yang tertinggi dalam wujud kesempurnaan ittishal dengan Al Aqlu Fa`al.
Perkembangan akal dan peningkatannya tidak bisa lepas dari perkembangan
jiwa, peningkatan dan pembersihannya.
d. Aliran isyraq
Tokoh aliran Isyraq adalah Syihabuddin Yahya bin Hafash Suhrawardi. Sejak
kecil ia telah belajar agamadan menghafal Al-Qur`an kemudian belajar di
Maraghah berguru dengan Imam Mahyuddin Al Jilli, dilanjutkan dengan
belajar kepada Zahiruddin Al Qari di Asfahan, dan diteruskan dengan belajar
kepada Al Mardini.
Suhrawardi mendasarkan teori filsafatnya kepada Isyraq. Kata Isyraq berasal
dari bahasa Arab yang berarti timur. Secara etimologi mengandung maksud
terbitnya matahari dengan sinar yang terang.
f. Aliran Ahlul Malamah
Kaum ini, setingkali disebut dengan sebutan Malamatiyyah, Malamiyyah atau
terkadang juga disebut sebagai Ahl al-Malamah, yang pada dasarnya, memiliki
pengaruh yang cukup besar dalam dunia tasawuf.
Nama kaum ini, diambil dari kata malamah, yang secara bahasa yang artinya
“celaan”, malamah mengandung arti bahwa mereka tidaklah menganggap
pendapat orang dalam tingkah peribadatan mereka terhadap Tuhan. Kaum

11
Malamati adalah orang-orang suci yang dengan sengaja menjalani kehidupan
hina, dengan tujuan untuk menyembunyikan hakikat pencapaian spiritual
mereka. Aliran Ahlul Malamah lahir di Nishapor pada bagian kedua abad ketiga
hijriyah.Ahlul Malamah adalah sekumpulan orang yang mencela dan
merendahkan diri mereka karena itulah tempat kesalahan-kesalahan.
Ajaran kaum malamatiyah ini pada dasarnya ialah mencela diri sendiri,
merendahkan dan menghinakannya didepan orang untuk melindungi
keikhlasan dan kedekatan dirinya dengan Tuhan, menjaga kemurnian ketulusan
dan menjauhkan diri dari kesombongan.
Pendiri kaum Malamatiyyah ini, adalah Hamdun al-Qashshar, sufi abad ke-3
H/9 M, yang berasal dari Naisyapur di Khurasan. Kaum Malamatiyyah
mengikuti teladan dirinya, yaitu hidup secara batiniah dalam kebersatuannya
dengan Allah, sementara secara lahiriah, mereka bertindak seolah-olah terpisah
dari Tuhan. Dalam tasawuf, sikap pembawaan kaum Malamati ini merupakan
sebuah watak permanen dalam spiritualitas Islam, meskipun, banyak
penyalahgunaan yang dinisbatkan terhadap namanya, misalnya untuk
mencampakkan syariat dan etika atau adab tradisional.
Kaum Malamatiyyah adalah guru serta pembimbing dan pemimpin manusia di
jalan Tuhan. Meskipun, tidak ada tindakan dari mereka yang tampak berbeda
dari orang-orang awam. Satu di antara mereka, adalah Muhammad, Rasul
Allah, orang bijak yang menempatkan segala sesuatunya di tempat yang
seharusnya.
g. Aliran Wahdatul Wujud (pantheisme)
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan
al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud
artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata
wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan
ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak
dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah
digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara

12
materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak
(lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya
qadim dan berasal dari Tuhan. Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah
yang selanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan
Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih
lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdat
al-wujud, nast yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut
menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua bagian sesuatu. Aspek yang
sebelah luar disebut Khalq dan yang sebelah dalam disebut Haqq. Kata-kata
khalq dan haqq inj; merupakan padanan kata al-'Arad (accident) dan al-Jauhar
(substance) dan al-Zahir (lahir-luar-tampak), dan al-bathin (dalam,
tidak tampak).
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar
yang disebut al-Khalq (makhluk) Al'arad (accident-kenyataan luar), zahir (luar-
tampak), dan aspek dalam yang disebut al-haqq (Tuhan), al-jauhar (substance-
hakikat), dan al-bathin (dalam).
Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek
tersebut yang sebenarnya ada dan yang terpenting adalah aspek batin atau al-
haqq yang merupakan hakikat, essensi atau substansi. Sedangkan aspek al-
khalq, luar dan yang tampak merupakan bayangan yang ada karena adanya
aspek yang pertama (al'haqq). Paham ini selanjutnya membawa kepada
timbulnya paham bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan)
sebenarya satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah
wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya bayang atau foto copy dari
wujud Tuhan. Paham ini dibangun dari suatu dasar pemikiran bahwa Allah
sebagai diterangkan dalam al-hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, dan
oleh karena itu dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian alam ini merupakan
cermin bagi Allah. Pada saat la ingin melihat diri-Nya, ia cukup dengan melihat
alam ini. Pada benda-benda yang ada di alam ini Tuhan dapat melihat diri-Nya,
karena pada benda-benda alam ini terdapat sifat-sifat Tuhan, dan dari sinilah

13
timbul paham kesatuan. Paham ini juga mengatakan bahwa yang ada di alam
ini kelihatannya banyak tetapi sebenarnya satu. Hal ini tak ubahnya seperti
orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di
sekelilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya kelihatan banyak, tetapi
sebenarnya dirinya hanya satu. Dalam Fushush al'Hikam sebagai dijelaskan
oleh al-Qashimi dan dikutip Harun Nasution, fama wahdatul wujud ini antara
lain terlihat dalam ungkapan: “Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau
perbanyak cermin ia menjadi banyak”.
Paham Wahdatul Wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di
Murcia, Spanyol di tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke
Tunis di tahun 1145, dan di sana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M. ia pergi
ke Mekkah dan meninggal di Damaskus di tahun 1240 M. Selain sebagai sufi,
Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang
dikarangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200, di antaranya ada
yang hanya 10 halaman, tetapi ada pula yang merupakan ensiklopedia tentang
sufisme seperti kitab Futuhah al'Makkah. Disamping buku ini, bukunya yang
termasyhur ialah Fusus al-Hikam yang juga berisi tentang tasawuf.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada
puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan
renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. la menyajikan ajaran tasawufnya
dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari
tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj.
h. Aliran Ahlus Sunah
As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan baik
itu dalam perkara kebaikan maupun perkara kejelekan. Maka As-Sunnah yang
dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah ialah jalan yang ditempuh dan
dilaksanakan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam serta para shahabat
beliau, dan pengertian Ahlus Sunnah ialah orang-orang yang berupaya
memahami dan mengamalkan As-Sunnah An-Nabawiyyah serta menyebarkan

14
dan membelanya. Menurut bahasa Arab pengertiannya ialah dari kata Al-Jamu’
dengan arti mengumpulkan yang tercerai berai.
Istilah ahlu sunnah yang paling tua pernah dicatat adalah berasal dari kata-kata
Ibnu Siiriin, seorang tabi'i yang hidup dizaman akhir pemerintahan Muawiyah
dan awal pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Ibnu Siiriin hidup pada tahun
33H-110H. Kata-kata ibnu siiriin itu diabadikan dalam Sahih Muslim hadits
nomor 27 sbb:

‫يرينَ قَا َل لَ ْم يَ ُكونُوا‬ ِ ‫ص ٍم األَحْ َو ِل ع َِن اب ِْن ِس‬ ِ ‫َّاح َح َّدثَنَا إِ ْس َما ِعي ُل بْنُ َز َك ِريَّا َء ع َْن عَا‬ِ ‫صب‬ َّ ‫َح َّدثَنَا أَبُو َجعْ فَ ٍر ُم َح َّم ُد بْنُ ال‬
‫ظ ُر إِلَى أَ ْه ِل‬َ ‫ت ْالفِ ْتنَةُ قَالُوا َس ُّموا لَنَا ِر َجالَ ُك ْم فَيُ ْنظَ ُر إِلَى أَ ْه ِل ال ُّسنَّ ِة فَي ُْؤ َخ ُذ َح ِديثُهُ ْم َويُ ْن‬ ِ ‫يَسْأَلُونَ َع ِن ا ِإل ْسنَا ِد فَلَ َّما َوقَ َع‬
‫َع فَالَ ي ُْؤخَ ُذ َح ِديثُه ُْم‬ ْ
ِ ‫البِد‬.

Dahulu kami tidak bertanya soal sanad, namun ketika terjadi fitnah maka
sebutkanlah pada kami rijal2 kamu dan lihatlah bila itu dari ahlu sunnah maka
ambillah hadits mereka dan lihatlah bila dari ahli bid'ah maka janganlah kamu
ambil hadits mereka.
Walaupun dari asal kata ahlu sunnah di sini adalah orang yang mengikuti
sunnah nabi, namun di balik itu bisa kita lihat muatan politisnya. Zaman fitnah
yang dikatakan ibnu siiriin tentulah apa yang dia lihat dari pergolakan politik
Muawiyah/Yazid melawan Ali ra. Sehingga ahlu bid'ah yang dimaksud pastilah
Syiah. Hal ini berarti bahwa istilah ahlu sunnah pertama kali diperkenalkan
bukan mengacu pada "yang mengikuti sunnah nabi" - karena Syiah juga
meriwayatkan hadits/sunnah nabi- melainkan lebih sebagai istilah anti
syiah/golongan yang berseberangan dengan syiah, yaitu orang-orang yang
berada di sisi muawiyah/yazid. Nampaknya kata-kata Ibnu siiriin inilah yang
dikemudian hari membuat dua golongan yang asalnya merupakan golongan
yang berbeda dalam orientasi politik berkembang menjadi dua aliran dalam
islam: ahlu sunnah dan syiah.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa Akhlak Tasawuf berasal dari dua kata pembagian yakni
Akhlak dan Tasawuf. Adapun pengertian akhlak secara umum yakni suatu hal
yang telah tertanam di hati entah itu bernilai baik maupun buruk sekalipun karena
akhlak timbul tanpa perlu dipikirkan dan dipaksa terlebih dahulu. Sedangkan yang
disebut Tasawuf ialah suatu cara dalam proses untuk mendekatkan diri kepada
Allah dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Jadi, dapat ditarik benang
merah yakni pengertian Akhlak Tasawuf ialah salah satu disiplin ilmu yang
terdapat dalam ajaran agama Islam yang mempelajari tata cara berprilaku yang
baik dan mulia serta tentunya sesuai aturan Islam sehingga kita bisa mendekatkan
diri kita kepada Allah dengan sepenuhnya dan memiliki rasa tenang saat berada di
dekat-Nya. Akhlak Tasawuf memiliki kaitan yang sangat erat dalam kehidupan
sehari-hari yakni untuk mencapai akhlak yang mulia diperlukan proses-proses
yang biasanya dilakukan oleh pengamal tasawuf. Begitupun sebaliknya, belum
dikatakan bertasawuf dengan benar apabila pencapaian akhlak yang mulia belum
terpenuhi. Didalamnya juga terdapat ruang lingkup akhlak, sumber kajian tasawuf,
dan manfaat mempelajari Akhlak Tasawuf.

3.2 Saran
1. Bagi Lembaga
Sebagai lembaga Pendidikan Agama Islam di Bandung, STT Bandung
merupakan dambaan umat Islam dalam membentuk insan yang berakhlak
mulia. Mengacu pada hal tersebut, penulis mengaharapkan kepada lembaga
untuk lebih memperhatikan STT Bandung secara menyeluruh, demi
terselenggaranya pendidikan yang seimbang antara dunia dan akhirat.
2. Bagi dosen

16
Dosen dalam dunia pendidikan adalah orang tua bagi mahasiswa, maka figur
seorang dosen merupakan hal terpenting dalam dunia kampus. Oleh karena itu
penulis mengharapkan lebih meningkatkan cakrawala pandangannya tentang
ajaran agama Islam yang benar, dan mengantisipasi perkembangan dunia luar,
sehingga dapat mempengaruhi akhlak mahasiswa dalam menghadapi segala
ujian maupun cobaan hidup. “Mengajarlah dengan hati maka apa yang
disampaikan akan diterima dengan baik”.
3. Bagi Mahasiswa
Untuk mahasiswa STT Bandung, untuk selalu bersungguh-sungguh dalam
perkuliahan di mana perkuliahan tasawuf akan memberikan dampak yang
positif terhadap kehidupan yang nantinya akan kalian jalani di masa yang akan
datang.

17
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Syamsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta. Pena Grafika


Amzah
Anwar, Rosihon. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia
Tasman, Humami. 2005. Akhlak dan Tasawuf. Yogyakarta. Pokja Akademik UIN
[1] Muh. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu tasawuf (Jakarta, CV. Pusaka Setia, 2008)
hlm 11.
[2] Athaullah ahmad, Diktat Ilmu Akhlak dan Ilmu Tasawuf (Fakultas Syari’ah, IAIN
Sunan Gunung Jati, Serang, 1985) hlm 96
[3]Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988), hlm 2.
[4]Oswal, Nichomachean Ethics (Indiana Polis, New York, 1962) hlm. xix.

[5]Mourice B Mitchell, Encyclopedia of britanica, vol III (chicago, Wiliam Benton


Publisher, 1968) hlm. 973.
[6]Abu Al-Fadhal Jamal al-Din Muhammad Ibnu Mukram Ibnu Mansyur, Lisan Al-
Arab, Jilid X (Beirut 1990), hlm. 85.
[7]A. Mustofa, Akhlak Tasawuf. Bandung (Pustaka Setia,....), hlm. 206.
[8] Abdul Mustaqim. Akhlak tasawuf. ( Yogyakarta:Kaukaba, 2013), hlm. 5.

18

Anda mungkin juga menyukai