Anda di halaman 1dari 20

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Hadits Tarbawi Dr, Hairul Hudaya, S. Ag,


M.Ag

Hadis Kedudukan dan Pentingnya Orang Alim

Disusun Oleh:
KELOMPOK 8

1. Dewi Ariyanti Putri 210101010190


2. Nor Ismah 210101010214

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
A. Pengertian Orang Alim atau Ulama.............................................................2
B. Kedudukan dan Pentingnya Orang Alim atau Ulama..................................2
C. Hadis Tentang Kedudukan dan Pentingnya Orang Alim atau Ulama..........4

BAB III PENUTUP...............................................................................................17


A. Kesimpulan.................................................................................................17
B. Saran............................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Arti fungsi adalah kegunaan sesuatu dalam rangkaian jabatan atau sistem,
dan ada yang memberi arti sama dengan peranan, dalam arti orang atau sesuatu
yang menjadi atau melakukan sesuatu tugas atau sistem yang penting, sesuai
dengan kedudukannya. Adapula orang yang sering menyamakan antara kata
fungsi dam peranan dengan tugas atau kewajiban bila dikaitkan dengan kata yang
lain.
Adapun arti tanggung jawab dalam pembicaraan ini tentunya dihubungkan
dengan kata ulama adalah sampai dimana atau tugas kewajiban ulama tersebut
telah ditunaikan oleh ulama yang bersangkutan didalam rangka melaksanakan
kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh Allah. Tentu saja tanggung jawab
ulama adalah tanggung jawab yang sesuai dengan fungsi atau peranan ulama di
dalam melaksanakan segala kewajiban disegala bidang yang menjadi tanggung
jawabnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian orang alim atau ulama ?
2. Bagaimana kedudukan dan pentingnya orang alim atau ulama ?
3. Bagaimana hadits yang membahas mengenai kedudukan dan pentingnya
orang alim atau ulama ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian orang alim atau ulama.
2. Untuk mengetahui kedudukan dan pentingnya orang alim atau ulama.
3. Untuk mengetahui hadis yang membahas mengenai kedudukan dan
pentingnya orang alim atau ulama.

1
BAB II
PEMBAHASAN

D. Pengertian Orang Alim atau Ulama


Kata ulama berasal dari bahasa Arab, yaitu merupakan bentuk jamak
dari kata ‘alim yang bermakna “tahu atau mengetahui”. Dengan begitu, ulama
dapat dimaknai dengan seseorang atau sekelompok orang yang memiliki
tingkat pemahaman keislaman yang luas dan mendalam disertai dengan
keikhlasan dan kejujuran dalam berbuat. Badruddin H Subky merumuskan,
ulama adalah hamba Allah yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan
luas baik kauniyah dan tanziliyah, serta selalu beribadah dan takut kepada
Allah. M Hasbi Amiruddin mendefinisikan ulama sebagai orang-orang yang
mempunyai pengetahuan tentang ayat-ayat Allah, baik yang bersifat kauniyah
maupun Qur’aniyah. Atas dasar ini ia mengungkapkan bahwa di antara
kriteria ulama adalah mereka yang selalu menggunakan ilmunya untuk
mengantarkan manusia kepada kebenaran.
Secara praktis Rusjdi Ali Muhammad menyebutkan beberapa
persyaratan umum yang harus ada pada seorang ulama, antara lain menguasai
al-Qur’an dan Hadits secara sempurna, mengetahui hal-hal yang berhubungan
dengan ijma dan Qiyas sehingga ia tidak sampai mengeluarkan fatwa yang
bertentangan dengan aturan hukum Islam, menguasai bahasa Arab, ushul
fiqh, menguasai hal-hal yang berhubungan dengan maqasid al-Syar’iyah
dalam menetapkan hukum. Dari beberapa definisi itu dapat dipahami bahwa
ulama adalah orang-orang Islam yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
berpengetahuan luas, berakhlak mulia dan mengabdikan hidupnya untuk
Allah, agama dan masyarakat secara ikhlas.1

1
Juhari, “Pencitraan Ulama Dalam Al-Qur’an”, Jurnal Peurawi, Vol, 1 No, 2. (2018). h. 25

2
E. Kedudukan dan Pentingnya Orang Alim atau Ulama
Allah menjadikan mereka (para ulama) sebagai makhluk yang
berkedudukan tinggi setelah malaikat, dalam masalah kesaksian keesaan
Allah Swt. Nabi saw, juga menegaskan bahwa ulama adalah pewaris Nabi.
Hal ini sesuai hadits yang diriwayat oleh Abu Dawud sebagai berikut:
‫ِإ َّن ال ُْعلَ َماءَ َو َرثَةُ اَأْلنْبِيَ ِاء َوِإ َّن اَأْلنْبِيَاءَ مَلْ يُ َو ِّرثُوا ِدينَ ًارا َواَل ِد ْرمَهًا َو َّرثُوا الْعِْل َم‬
“Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan
dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu.” (HR. Abu Dawud:
3157)
Berdasar hadits di atas, bahwa ulama adalah ahli waris nabi karena
itu ulama mempunyai tugas sesuai dengan apa yang dikerjakan nabi
(Ghofur, 2007). Tugas-tugas diantaranya adalah:
a. Menyampaikan ajaran kitab suci itu secara baik dan bijaksana dengan
tidak mengenal takut dan siap menanggung resiko.
b. Menjelaskan kandungan kitab suci.
c. Membawa kabar gembira, memberi peringatan, mengajak kepada
Allah dan memberi cahaya.
d. Memberi putusan atas problem yang terjadi di masyarakat.2
Kedudukan menentukan peranan seseorang, begitupun kedudukan
ulama akan menentukan peranan ulama. Semasa awal sejarah Islam,
negara telah mengatur berbagai persoalan dalam masyarakat. Untuk
mengatur pelaksanaan salat berjamaah, mengurus mesjid dan mengurus
ibadah haji, semua dilakukan oleh pemerintah. Keadaan ini berlanjut
meski ulama masih ikut mengurusi masjid. Pemerintah masih bertanggung
jawab terhadap berbagai bentuk upacara keagamaan (Qureshi, 1983: 8).
Ketika negara tidak lagi mengurus masjid, masyarakat mengurus masjid
mereka sendiri. Masjid, yang pada umumnya mempunyai sedikit anggota
pengurusnya, dipimpin oleh seorang imam yang bertugas memimpin
sembahyang berjamaah. Seorang imam juga bertanggung jawab untuk
memimpin berbagai aktivitas keagamaan di masjid. Dalam hal ini, ulama
telah menggantikan negara dalam pengurusan masjid. Ulama menjadi

2
Mu’adz, Puspita Handayani, dkk, Islam dan Ilmu Pengetahuan Buku Ajar Al-Islam dan
Kemuhamadiyahan (AIK) 4, (Sidoarjo: Umsida Press, 2016), h. 15-16

3
pengurus dan juga imam shalat di mesjid. Karena posisinya sebagai
pengurus dan imam mesjid, maka kedudukan imam yang juga seorang
‘alim adalah lebih tinggi daripadapengurus mesjid yang lainnya (Qureshi,
1983: 8).
Di samping itu, ajaran Islam melingkupi seluruh aspek kehidupan
manusia (Qureshi, 1983: 9). Untuk mengurus berbagai perkara yang
berhubungan dengan kehidupan sosial, masyarakat memerlukan seorang
‘alim atau ulama yang menguasai ilmu-ilmu agama dan juga pengetahuan
keduniaan. Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, beliaulah yang
bertanggung jawab membimbing umat. Setelah beliau wafat, tanggung
jawab tersebut diganti oleh para sahabat, pengikutnya dan seterusnya oleh
para ulama. Dengan kata lain, setelah rantai kenabian putus, bimbingan
dalam bidang keagamaan hanya boleh diberikan oleh para ulama. Juga,
hanyalah ulama yang memiliki otoritas menerjemahkan dan menafsirkan
teks-teks atau ajaran Islam. Dengan demikian, keperluan akan memiliki
ulama sebagai pembimbing umat dan penerjemah teks-teks keislaman
tidak terelakan, sehingga ulama menduduki posisi yang tinggi di
lingkungan masyarakat Islam.
Dalam sejarah umat Islam, kedudukan ulama tidak semata
dikaitkan dengan fungsi-fungsi keagamaan tetapi juga fungsi-fungsi
lainnya (Bagader, 1983), sehingga ada ulama yang berperanan aktif di luar
bidang pendidikan dan dakwah seperti di bidang politik dan ekonomi.
Menurut Kamar (1984: 37), kedudukan dan fungsi ulama juga dikaitkan
dengan tanggung jawab dalam masyarakat (Islam). Oleh karena itu,
seorang ‘alim atau ulama memikul tanggung jawab untuk membina
masyarakat. Di samping itu, ulama berstatus sebagai pengawal dan
pentransfer ilmu-ilmu keislaman, dan juga penjamin utama kelanjutan
sejarah spiritual dan intelektual masyarakat Islam (Algar, 1987: 115).3

F. Hadis Tentang Kedudukan dan Pentingnya Orang Alim atau Ulama

3
Ahdi Makmur, Ulama dan Pembangunan Sosial, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016), h. 19-
23

4
1. Wafatnya Ulama Sebagai Tanda Dicabutnya Ilmu

‫ك َع ْن ِه َش ِام بْ ِن عُ ْر َوةَ َع ْن َأبِي ِه‬ ٌ ِ‫َدثَنِي َمال‬


َّ ‫قَال ح‬َ ‫س‬ ٍ ْ‫يل بْ ُن َأبِي َُأوي‬ ِ ‫ح َّ ِإ‬
ُ ‫َد َثنَا ْس َماع‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ َ ‫ت رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ِ َ َ‫اص ق‬
ُ َ ُ ‫ال َسم ْع‬ ِ ‫َع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َع ْم ِرو بْ ِن ال َْع‬
ِ ِ ِ ِ ِ ً ‫ْم انْتِ َز‬ ِ
‫ض‬ ِ ‫ْم بَِق ْب‬
َ ‫ض الْعل‬ ُ ِ‫اعا َي ْنتَ ِزعُ هُ م ْن الْعبَاد َولَك ْن َي ْقب‬ َ ‫ض الْعل‬ ُ ِ‫ول ِإ َّن اللَّهَ اَل َي ْقب‬ُ ‫َي ُق‬
‫س ِئلُوا فََأ ْفَت ْوا بِغَْي ِر‬ ِ ِ
ُ َ‫وس ا ُج َّهااًل ف‬
ً ُ‫َّاس ُرء‬ُ ‫َم ُي ْب ِق َعال ًم ا اتَّخَ َذ الن‬ ْ ‫الْعُلَمَاء َحتَّى ِإ َذا ل‬
ٌ ‫َد َثنَا َج ِر‬
‫ير‬ َّ ‫َد َثنَا ُقَت ْيبَةُ ح‬
َّ ‫قَال ح‬
َ ‫اس‬ َّ ‫ي ح‬
ٌ َّ‫َد َثنَا َعب‬ ُّ ‫قَال ال ِْف َربْ ِر‬
َ ‫َأض لُّوا‬َ ‫ض لُّوا َو‬ َ َ‫ِعل ٍْم ف‬
)‫َع ْن ِه َش ٍام نَ ْح َوهُ (البخارى‬

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Abu Uwais berkata, telah
menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin 'Urwah dari bapaknya dari
Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash r.a berkata: aku mendengar Rasulullah
Saw bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak menarik kembali ilmu
pengetahuan dengan jalan mencabutnya dari hati sanubari manusia,
tetapi dengan jalan mematikan orang-orang berpengetahuan (ulama).
Apabila orang berpengetahuan telah punah, maka masyarakat akan
mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin yang akan dijadikan
tempat bertanya. Orang-orang bodoh”
Mufrodat:
Mufrodat Makna Mufrodat Makna

‫ي َ ْقب ُِض‬ Menggenggam ‫ُرُؤ وس ًا‬ Pemimpin


,

‫انْزِت َ اع ًا‬ Cabutan ‫َوأضَ لُّوا‬ dan


menyesatkan

Penjelasan hadis:
Sebelum kita jauh membahas penjelasan hadits di atas, perlu kita
ketahui bahwa yang di maksud orang pandai dalam hadits tersebut adalah
ulama. Kata ulama berasal dari bahsa Arab yaitu ‫الم‬LL‫ع‬ bentuk jamaknya
adalah ‫علماء‬ artinya orang yang mengetahui. Istilah ulama menurut kaidah
bahasa Arab adalah dalam bentuk jamak. Kemudian Umar Hasyim

5
menyebutkan kata ulama berarti orang yang mengerti atau orang yang
berilmu pengetahuan.
‫ض ا ْل ِع ْل َم ا ْنتِ َزاعًا‬
ُ ِ‫( اَل يَ ْقب‬Allah tidak menarik kembali ilmu pengetahuan
dengan jalan mencabutnya) atau menghapusnya ilmu dari lubuk hati
sanubari. Rasulullah mengucapkan hadits ini pada haji wada’,
sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dari
hadits Abu Umamah, bahwa saat haji Wada’ Nabi SAW bersabda,
“pelajarilah ilmu sebelum datang sebelum datang masa punahnya ilmu
tersebut," Arabi berkata, "Bagaimanakah cara ilmu diangkat atau
dipunahkan? Beliau bersabda, "Punahnya ilmu itu dengan punahnya para
ulama (orang yang menguasai ilmu tersebut)."
              Hadits ini berisi anjuran menjaga ilmu, peringatan bagi
pemimpin yang bodoh, peringatan bahwa yang berhak mengeluarkan
fatwa adalah pemimpin yang benar-benar mengetahui, dan larangan bagi
orang yang berani mengeluarkan fatwa tanpa dasar ilmu pengetahuan.
Hadits ini juga dijadikan alasan oleh jumhur ulama untuk mengatakan,
bahwa pada zaman sekarang ini tidak ada lagi seorang mujtahid.4

2. Hilangnya Ilmu Sebagai Tanda Kiamat

‫س بْ ِن‬ِ َ‫اح َع ْن َأن‬ َّ ‫ث َع ْن َأبِي‬ِ ‫ال ح َّد َثنَا َع ْب ُد الْوا ِر‬ ِ


ِ َّ‫التي‬ َ َ َ َ‫َح َّد َثنَا ع ْم َرا ُن بْ ُن َم ْي َس َر َة ق‬
‫اع ِة َأ ْن ُي ْرفَ َع‬ ِ ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه َعلَي ِه وسلَّم ِإ َّن ِمن َأ ْشر‬ ٍ ِ‫مال‬
َ ‫الس‬
َّ ‫اط‬ َ ْ َ ََ ْ ُ َ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫ك ق‬ َ
)‫الزنَا (صحيح البخارى‬ ِّ ‫ب الْ َخ ْم ُر َويَظ َْه َر‬ ِ
َ ‫ْج ْه ُل َويُ ْش َر‬َ ‫ت ال‬ َ ُ‫ْم َو َيثْب‬
ُ ‫الْعل‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Imran bin Maysarah berkata, telah
menceritakan Abdul Warits dari Anas radhiallahu’anhu, dia berkata,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda. “Diantara
tanda-tanda hari kiamat, ialah punahnya ilmu, meningkatnya kebodohan,
diminumnya khamer, dan merajelelanya zina.”5

4
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Fathul Baari Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 374-
375
5
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Shahih Bukhari Muslim, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2017), h. 996

6
Mufrodat:
Mufroda Makna Mufroda Makna
t t

‫الساعَ ِة‬ َّ Kiamat ‫الْ َجه ُْل‬ Kebodohan

‫يُ ْرفَ َع‬ Diangkatnya ‫َوي َ ْظه ََر‬ dan


tampaknya
Penjelasan Hadis:
Bab ini merupakan anjuran untuk menuntut ilmu. Sesungguhnya
ilmu tidak akan punah kecuali dengan kematian ulama, seperti yang akan
ditegaskan nanti, selama masih ada orang yang mempelajari ilmu, maka
kepunahan ilmu tidak akan terjadi. Sesungguhnya telah dijelaskan dalam
hadits ini bahwasanya diangkatnya ilmu adalah tanda hari kiamat.
 ‫الس&&&&&&&&&اعَ ِة‬
َّ ‫َ ِاط‬ ‫( َأرْش‬Tanda-tanda kiamat), bahwa diantara tanda-

tandanya ada yang biasa terjadi dan ada yang di luar kebiasaan atau yang
tidak pernah terjadi sebelummya.
   ُ ‫( َأ ْن يُ ْرفَ&& َع الْعِمْل‬Diangkatnya ilmu) dalm riwayat Nasa'i dati Imran,

seorang guru Imam Bukhari, kata-kata (‫أن‬ ) tidak disebutkan. Maksud


diangkatnya ilmu ialah meninggalnya para ulama.
 ‫ َويَثْبُ َ&ت‬  (meningkatnya) Dalam Riwayat Muslim,  ‫ويبث‬  Yang berarti
tafsirnya. Al-Karmani lengah sehingga dia menisbatkan riwayat Muslim
kepada Bukhari, namun Imam Nawawi menceritakannya dalam Syarh
Muslim, Al Karmani mengatakan, "Dalam riwayat  ‫وينبت‬Saya katakan,

bahwa semua ini tidak terdapat dalam Shahihaini”


 ‫( َويُرْش َ َب الْ َخ ْم ُر‬diminumnya khamar ), maksudnya adalah banyaknya
orang yang meminum khamar dan mempertontonkannya dengan terang-
terangan.
‫َوي َ ْظه ََر ّ ِالزاَن‬ ( merajalelanya zina ) atau tersebarnya perzinaan seperti

dalam riwayat muslim:

7
‫عن ا نس بن مالك ألحدِّثنكم حديثا ال يح ّدثكم أحد بعدي سمعت رسول‬
‫يقل العلم ويظهر الجهل و‬ ِ
ّ ‫اهلل صلي اهلل عليه و سلّم يقول من أشرا ط الساعة أن‬
‫يقل الرجال حتي يكون لخمسين امرأ ًة القيّم الواحد‬
ّ ‫يظهر الزنا وتكثر النساء و‬.
Artinya: “Dari Anas Radhiallahu “anhu, dia berkata “akan
kusampaikan kepada anda semua hadita yang tidak akan disampaikan
orang kepadamu sepenggalku. Saya mendengar Rasulullah SAW.
Bersabda: “diantara tanda-tanda kiamat ialah berkurangnya ilmu,
meratanya kebodohan, munculnya perzinahan, banyaknya perempuan dan
sedikitnya laki-laki, sehingga bagi lima puluh orang hanya seorang
pengawalnya”.
Dalam hadits Abu Musa dalam Bab “Zakat” disebutkan dengan
jelas, “sedikitnya kaum laki-laki dan banyaknya kaum perempuan” dimana
hal ini merupakan fenomena yang bukan karena sebab lain, akan tetapi
memang takdir Allah ,menetapkan akhir zaman dengan mengurangi anak
laki-laki yang lahir dan memperbanyak anak perempuan. Banyaknya
jumlah wanita sebagai tanda-tanda kiamat adalah sesui dengan timbulnya
kebodohan dan punahnya ilmu.
Maksud (setiap lima puluh) adalah sejumlah perempuan dan laki-
laki adalah 50 berbanding 1, atau mungkin juga kata tersebut adalah kiasan
yang menggambarkan banyaknya jumlah kaum hawa. Hal ini dikuatkan
oleh hadits Abu Musa yang menyebutkan, “kamu melihat seorang laki-
laki diikuti empat puluh wanita”
‫القيّم‬ (pengawal) atau orang yang mengurus urusan kaum hawa.
Huruf “lam” pada kata tersebut berfungsi untuk mengisyaratkan, bahwa
kaum laki-laki adalah sebagai pemimpin kaum wanita.
Disebutkannya lima tanda kiamat secara khusus adalah
mengisyaratkan bahwa lima tanda-tanda inilah yang pemicu kesenjangan
dan kerusakan, dimana dengan menjaga hal-hal ini akan membawa
kebaikan dunia dan akhirat. Pertama adalah agama, karena dengan
punahnya ilmu berarti agama juga sekarat. Kedua adalah akal, karena
dengan minum alkohol akan merusak pikiran. Ketiga adalah keturnan

8
karena perzinahan akan merusak keturunan, keempat jiwa dan harta,
karena dengan banyaknya peperangan akan merusak keduanya.
Al-Karmani mengatakan, kerusakan lima perkara, ini merupakan
tanda runtuhnya dunia, karena manusia telah meremehkannya dan tidak
ada nabi ;agi setelah nabi kita Muhammad SAW, maka hal-hal tersebut
akan jadi kenyataan.
Al-Qurtubi menyatakan, bahwa disini memberitahukan akan ilmu
kenabian, karena nabi memberitakan apa yang akan menjadidan hal itu
sungguh-sungguh terjadi, khususnya pada zaman sekarang.
Dalam kitab Tadzkirah, Al-Qurtubi juga mengatakan “mungkin
yang dimaksud dengan”Al-Qayyim ”orang yang mengurusi urusan
perempuan, terlepas apakah dia seorang istri atau tidak. Mungkin juga
hal itu terjadi pada zaman dimana tidak tersisa lagi orang yang tidak
mengucapkan Allah, sehinnga dia mengawini hanya seorang istri karena
tahu hukum syar’i” saya katakan bahwa hal tersebut telah kita jumpai
pada beberapa umara (penguasa) dan orang-orang yang selain mereka pada
masa sekarang.6

3. Hal-hal yang melunakkan hati

‫َدثَنِى‬َّ ‫َد َثنَا ُس لَْي َما ُن بْ ُن بِالَ ٍل ح‬ َّ ‫َد ح‬ ٍ ‫َد َثنَا َخالِ ُد بن م ْخل‬ َّ ‫َدثَنِى ُم َح َّم ُد بْ ُن عُثْمَا َن ح‬ َّ ‫ح‬
َ ُْ
- ‫ول اللَّ ِه‬ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ال ق‬َ َ‫يك بْ ُن َع ْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َأبِى نَ ِم ٍر َع ْن َعطَ ٍاء َع ْن َأبِى ُه َر ْي َر َة ق‬ ُ ‫َش ِر‬
ِ ِ ‫قَال من ع‬
،‫ب‬ َ ‫َادى لى َوليًّا َفقَ ْد آ َذ ْنتُ هُ بِ ال‬
ِ ‫ْح ْر‬ َ ْ َ َ َ‫ « ِإ َّن اللَّه‬- ‫صلى اهلل عليه وسلم‬
‫ال َع ْب ِدى‬ ِ ُ ‫ض‬ ْ ‫َى ِم َّما ا ْفَت َر‬ ٍ ِ َّ ‫ب ِإل‬
ُ ‫َز‬ َ ‫ َومَا ي‬، ‫ت َعلَْي ه‬ َّ ‫ب ِإل‬ َ ‫َى َع ْب دى بِ َش ْىء‬
َّ ‫َأح‬ َ ‫َر‬
َّ ‫َومَا َتق‬
، ‫ت َس ْم َعهُ الَّ ِذى يَ ْس َم ُع بِ ِه‬ ِ ِ ‫َى بِالن‬
ْ ‫ فَِإ ذَا‬، ُ‫َّواف ِل َحتَّى ُأحبَّه‬
ُ ‫َأحبَْبتُ هُ ُك ْن‬ َ َّ ‫ب ِإل‬ ُ ‫َر‬َّ ‫َيَتق‬
‫ َوِإ ْن‬، ‫ش بِهَا َو ِر ْجلَهُ الَّتِى يَ ْم ِش ى بِهَا‬ ِ ِ ِ ِ
ُ ُ‫ َويَ َدهُ الَّتى َي ْبط‬، ‫ص َرهُ الَّذى ُي ْبص ُر بِ ه‬ َ َ‫َوب‬
ِ ٍ ِ ِ ِ
ُ‫ت َع ْن َش ْىء َأنَا فَاعلُ ه‬ ُ ‫َر َّد ْد‬َ ‫ َومَا ت‬،ُ‫اس َت َعاذَنى ُألعي َذنَّه‬ ْ ‫ َولَِئ ِن‬، ُ‫َس َألَنِى ُأل ْعطَينَّه‬
)‫اءتَهُ » (البخاري‬ َ ‫ت َوَأنَا َأ ْك َرهُ َم َس‬ َ ‫ يَ ْك َرهُ ال َْم ْو‬، ‫س ال ُْمْؤ ِم ِن‬ِ ‫ُّدى َع ْن َن ْف‬ ِ ‫َترد‬
َ
Artinya:

6
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Fathul Baari Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 340-
343

9
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin 'Utsman bin
Karamah, telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad, telah
menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal, telah menceritakan
kepadaku Syarik bin Abdullah bin Abi Namir dari 'Atho` Dari Abu
Hurairah , dia berkata : Rasulullah SAW bersabda , “Sesungguhnya Allah
berfirman , Barangsiapa memusuhi wali - Ku , maka sesungguhnya Aku
memaklumkan perang terhadapnya Dan tiada sesuatu yang lebih Aku
cintai dari apa yang dilakukan oleh hamba - Ku untuk mendekatkan diri
kepada - Ku daripada mengerjakan apa yang Aku wajibkan kepadanya .
Dan tidaklah hamba - Ku terus menerus mendekatkan diri kepada - Ku
dengan melakukan amalan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.
Apabila Aku telah mencintainya , maka Aku menjadi pendengarannya
yang dia gunakan untuk mendengar , menjadi penglihatannya yang dia
gunakan untuk melihat , menjadi tangannya yang dia gunakan untuk
berbuat , dan menjadi kakinya yang dia gunakan untuk berjalan . Jika dia
meminta kepada - Ku niscaya Aku beri, dan jika memohon perlindungan
kepada - Ku niscaya Aku melindunginya. Dan Aku tidak pernah bimbang
terhadap sesuatu yang Aku sendiri pelakunya sebagaimana kebimbangan
- Ku terhadap jiwa seorang mukmin yang membenci kematian sementara
Aku pun tidak suka berbuat buruk terhadapnya.”

Mufrodat:
Mufrodat Makna Mufrodat Makna

‫آ َذنْ ُت ُه‬ Mengumumkan ‫ي َْس َم ُع‬ Mendengar

‫تَ َق َّر َب‬ Mendekat ُ ‫ي ُ ْبرِص‬ Melihat

‫َأ َح َّب‬ Mencintai ‫ُمساءتَه‬ Menyusahkannya

Penjelasan Hadis:
Kata tawaadhu’ berasal dari akar kata dhi’ah artinya rendah hati
terhadap orang yang ingin dihormati. Ada juga yang mengatakan, bahwa
itu adalah sikap menghormati orang yang memiliki keutamaan yang lebih

10
darinya. ‫َم ْن عَادَى ىِل َو ِليًّا‬ (Barangsiapa memusuhi wali-Ku). Yang dimaksud

dengaan “wali Allah” adalah orang yang mengerti tentang Allah dan selalu
melaksanakan ketaatan kepada-Nya serta ikhlas dalam beribadah kepada-
Nya. Ibnu Hubairah dalam kitab Al Ifshah berkata, “kalimat ‫عَ&&ادَى ىِل َو ِل ًّيا‬
(memusuhi wali-Ku) artinya menjadikannya sebagai musuh. Menurutku,
maknanya tidak lain adalah memusuhinya karena perwaliannya. Demikian
ini jika mencakup peringatan tentang menyakiti hati para wali Allah yang
tidak mutlak, yang dikecualikan darinya adalah apabila kondisinya
menuntut terjadinya perselisihan di antara dua wali dalam perseteruan atau
pengadilan, yang intinya adalah mencari yang benar. Karens pernah juga
terjadi perdebatan antara Abu Bakar dan Umar, antar Al Abbas dan Ali
dan sebagainya.”
‫( فَ َق&&&&&&دْ آ َذنْ ُت&&&&&& ُه‬Maka sesungguhnya Aku telah memaklumkan

terhadapnya). Maksudnya, Aku memberitahukan kepadanya. ‫اِب لْ َح ْر ِب‬


(perang). Dalam riwayat Al Kasymihani disebutkan, ‫ب‬
ٍ ْ‫ ر‬L‫بِ َح‬. Al Fakihani
berkata, "lni mengandung ancaman keras, karena orang yang memerangi
Allah pasti akan binasa. Ini merupakan ungkapan kiasan yang sangat
mendalam, karena yang membencorang yang mencintai Allah berarti
menentang Allah, dan orang yang menentang Allah berarti membangkang
terhadap-Nya, sedangkan orang yang membangkang terhadap-Nya maka
Allah membinasakannya. Barangsiapa menolong wali Allah, maka Allah
akan memuliakannya."
Ath-Thufi berkata, "Ketika wali Allah adalah orang yang berwali
kepada Allah dengan ketaatan dan ketakwaan, maka Allah akan
melindunginya dengan melihara dan menolongnya. Allah telah
memberlakukan kebiasaan, bahwa musuhnya musuh adalah teman, dan
temannya musuh adalah musuh. Maka musuh wali Allah adalah musuh
Allah, karena itu, siapa yang memusuhi wali Allah, maka dia sama dengan
orang yang memusuhi Allah, dan siapa yang memerangi wali Allah, maka
sama dengan memerangi Allah."

11
‫َو َما تَ َق َّر َب ىَل َّ َع ْب ِدى ِبىَش ْ ٍء َأ َح َّب ىَل َّ ِم َّما افْرَت َ ضْ ُت عَلَ ْي& ِه‬ (Dan tiada sesuatu yang
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
lebih Aku cintai dari apa yang dilakukan oleh hamba - Ku untuk
mendekatkan diri kepada - Ku daripada mengerjakan apa yang Aku
wajibkan kepadanya). Termasuk dalam kalimat ini adalah semua
kewajiban, baik fardhu ain maupun fardhu kifayah. Secara zhahir adalah
khusus apa yang pada asalnya memang diwajibkan Allah. Sedangkan
cakupannya terhadap kewajiban yang diwajibkan sendiri oleh hamba,
ْ ‫ا ْفت ََر‬
maka ini perlu diteliti lebih jauh, karena redaksinya menyatakan, ُ‫ضت‬
‫ ِه‬S‫( َعلَ ْي‬Yang Aku wajibkan kepadanya). Kecuali bila diambil dari makna
yang lebih umum. Jadi, melaksanakan kewajiban- kewajiban adalah amal
yang paling dicintai Allah. Ath-Thufi berkata, "Perintah melaksanakan
kewajiban adalah pasti, dan akibat meninggalkannya adalah hukuman.
Beda halnya dengan amalan sunah, baik perintah melaksanakannya
maupun akibat meninggalkannya, walaupun sama dalam hal perolehan
pahala. Kewajiban lebih sempurna daripada amalan sunah. Karena itulah
kewajiban lebih dicintai Allah dan lebih bisa mendekatkan diri kepada-
Nya. Selain itu, kewajiban laksana pondasi, sedangkan amalan sunah
laksana cabang dan bangunan. Melaksanakan kewajiban sesuai dengan
perintah berarti telah melaksana kan perintah, menghormati yang
memerintahkan, mengagungkan-Nya dengan ketundukan kepada-Nya, dan
menampakkan keagungan ketuhanan serta kehinaan penghambaan. Oleh
karena itu, mendekatkan diri dengan melaksanakan kewajiban merupakan
amal yang paling agung, dan orang yang melaksanakan kewajiban kadang
melaksankaannya karena takut hukuman. Sementara orang yang
melaksanakan amalan sunah kadang tidak melaksanakannya, kecuali
karena ingin mendapat jasa, sehingga diganjar dengan kecintaan yang
merupakan puncak keinginan setiap orang yang mendekatkan diri dengan
jasanya."
‫ب ِإلَ َّى‬
َ ‫( تَقَ َّر‬Mendekatkan diri kepada-Ku). Abu Al Qasim Al Qusyairi
berkata, "Dekatnya hamba kepada Tuhannya adalah dengan keimanan,
kemudian dengan kebaikan. Sedangkan dekatnya Tuhan kepada hamba-
Nya di dunia adalah memberikan pengakuan khusus kepadanya,

12
sedangkan di akhirat adalah memberikan keridhan khusus kepadanya.
Tidaklah sempurna kedekatan harnba kepada kebenaran kecuali setelah
sempuma kedekatannya kepada Sang Pencipta. Dekatnya Tuhan dengan
ilmu dan kekuasaan bersifat umum untuk semua manusia, dengan
kelembutan dan pertolongan bersifat khusus untuk orang-orang khusus,
dan dengan kesantunan bersifat khusus untuk para wali."

‫( اِب لنَّ َوا ِف&&&&&&لِ َحىَّت ُأ ِحبَّ ُه‬Dengan melakukan amalan-amalan sunnah

sehingga Aku mencintainya). Dalam riwayat Al Kasymihani kata ‫َْأح َب ْب ُت & ُه‬
disebutkan dengan redaksi, ‫ُأ ِحبَّ ُه‬ (Aku mencintainya). Secara zhahir,

kecintaan Allah kepada hamba-Nya terjadi karena hamba selalu


bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan melakukan amalan

sunah. Bahwa yang dimaksud dengan ‫( ِ لنَّ َوا ِفل‬amalan-amalan sunah) adalah

amalan yang menyertai amalan wajib dan berfungsi untuk melengkapinya.


Al Fakihani berkata, "Makna hadits ini adalah bila seorang hamba
melaksanakan kewajiban, dan juga melakukan secara terus menerus
amalan sunah seperti shalat, puasa dan sebagainya, maka akan
mendatangkan kecintaan Allah." Dengan demikian jelaslah bahwa yang
dimaksud dengan mendekatkan diri dengan amalan sunah adalah bagi
yang telah melaksanakan kewajiban, bukan sekadar melaksanakan amalan
sunah saja. Para ulama berkata, "Orang yang disibukkan oleh amalan
wajib hingga tidak melaksanakan amalan sunah, maka dia dimaklumi,
sedangkan yang disibukkan oleh amalan sunah hingga tidak melaksanakan
amalan wajib maka dia tertipu."
‫( فَ& َذا َأ ْح َب ْب ُت& ُ&ه ُك ْن ُت مَس ْ َع ُه اذَّل ِ ى ي َْس& َم ُع ِب& ِه‬Maka Aku menjadi pendengarannya
‫ِإ‬
yang dia gunakan untuk mendengar). Al Kasymihani menambahkan kata, ‫ِب‬
‫( ِه‬Dengannya). ‫( َوبَرَص َ ُه اذَّل ِ ى ي ُ ْبرِص ُ ِب& & & ِه‬Menjadi penglihatannya yang dia

gunakan untuk melihat). lni hanya berfungsi sebagai perumpamaan.


Maknanya adalah aku menjadi pendengarannya dan penglihatannya dalam
mementingkan perintah-Ku, karena dia menyukai ketaatan kepada-Ku dan
lebih mengutamakan melayani-Ku sebagaimana dia menyukai anggota

13
tubuh itu. Maksudnya semuanya disibukkan oleh-Ku, sehingga tidak
mengarahkan pendengarannya kecuali apa yang membuat-Ku ridha, dan
tidak melihat dengan penglihatannya kecuali apa yang Aku perintahkan.
Maksudnya Aku sampaikan dia kepada tujuannya. Seakan-akan dia
meraihnya dengan pendengaran-Nya, penglihatan-Nya dan seterusnya.
Aku memberikan pertolongan kepadanya sehingga bagaikan menjadi
pendengarannya, penglihatannya, tangannya dan kakinya saat ia
menghadapi musuhnya.
‫ َولَنِئ ِ ْاس َت َعا َذىِن ُأل ِع َيذن َّ ُه‬، ‫( َو ْن َس& &َألَىِن ُألع ِْط َينَّ ُه‬Jika dia meminta kepada-Ku
‫ِإ‬
niscaya Aku beri, dan jika dia memohon perlindungan kepada-Ku niscaya
Aku melindunginya). (Jika dia meminta kepada-ku, niscaya Aku beri).
Maksudnya Allah akan memberikan kepadanya apa yang dia minta. ِ ‫َولَنِئ‬
‫ْاس َت َعا َذىِن ُأل ِعي َذن َّ ُه‬ (Dan jika dia memohon perlindungan kepada-Ku niscaya

Aku melindunginya). Maksudnya, Allah akan melindunginya dari apa yang


ditakutinya. Dari sini disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan nawaafil
adalah semua perkataan dan perbuatan yang disunahkan. Bahwa bentuk
pengabulan doa bermacam-macam; Bisa terjadi secara langsung seperti
yang dimohonkan, atau diakhirkan karena hikmah tertentu, atau bentuk
pengabulan itu tidak seperti yang dimohonkan, karena dalam hal yang
dimohonkan itu tidak ada maslahat, sedangkan apa yang diberikan itu
terkandung maslahat.
‫( َو َم&&ا تَ& َ&ر َّدد ُْت َع ْن ىَش ْ ٍء َأاَن فَا ِعهُل ُ تَ& َ&ر ُّد ِدى َع ْن ن َ ْف ِس الْ ُم& ْؤ ِم ِن‬Dan Aku tidak pernah

bimbang terhadap sesuatu yang Aku sendiri pelakunya sebagaimana


kebimbangan-Ku terhadap jiwa seorang mukmin). Di dalam kitab Al
Hilyah pada biographi Wahab bin Munabbih disebutkan, "Sungguh aku
temukan dalam kitab-kitab para nabi, bahwa Allah berfirman, 'Aku tidak
pernah bimbang terhadap sesuatu sebagaimana kebimbangan-Ku untuk
mencabut ruh orang mukmin' ." Al Khaththabi berkata, "Keraguan bagi
Allah adalah tidak mungkin, dan mengada-ada terhadap-Nya tentu saja
tidak dibenarkan. Namun dalam masalah ini ada dua penakwilan, yaitu:

14
Pertama, kadang seorang hamba hampir binasa di masa hidupnya
karena penyakit yang menimpanya atau kemiskinan yang menderanya, lalu
dia berdoa kepada Allah sehingga Allah menyembuhkannya dan
menghilangakn segala kesulitan darinya. Maka perbuatan Allah ini adalah
seperti keraguan seseorang yang hendak melakukan suatu perbuatan,
kemudian dia melihat hal lain sehingga yang itu ditinggalkan dan
berpaling darinya. Namun demikian sang hamba harus berjumpa dengan
Allah bila telah sampai waktunya, karena Allah telah menetapkan
kefanaan terhadap semua makhluk-Nya, dan mengkhususkan keabadian
bagi diri-Nya.
Kedua, Aku tidak pernah bimbang terhadap para utusan-Ku yang
Aku sendiri pelakunya sebagaimana kebimbangan-Ku pada mereka
terhadap jiwa seorang mukmin. Ini seperti cerita yang disebutkan dalam
kisah Musa Ketika Musa menampar mata malaikat maut, maka malaikat
itu kembali lagi kepadanya. Maksudnya adalah belas kasihan, kelembutan
dan kehalusan Allah terhadap sang hamba."
Al Kalabadzi mengatakan, bahwa ini adalah bentuk ungkapan sifat
perbuatan untuk mengungkapan sifat dzat, yakni tardiid (pengulangan)
diungkapkan dengan taraddud (kebimbangan). Ia menjadikan sebab
pengulangan untuk menunjukkan ragam kondisi hamba seperti melematr
dan menguat hingga beralih kepada kecintaannya kepada hidup dan
kematian, lalu saat itulah dia dimatikan. Kadang Allah memunculkan di
dalam hati hamba-Nya keinginan terhadap apa yang ada di sisi-Nya, rasa
rindu kepada-Nya dan mencintai perjumpaan dengan-Nya sehingga dia
mengingrnkan kematian dan tidak lagi membenci kematian. Allah juga
mengabarkan bahwa kadang hamba membenci kernatian dan membuatnya
terganggu, sedangkan Allah tidak suka mernbuatnya merasa terganggu.
Oleh karena itu kebencian terhadap kematian dihilangkan darinya. Setelah
itu kematian datang menjernputnya, sementara dia dalam keadaan
merindukan-Nya."

‫( يَ ْك َر ُه الْ َم ْو َت َوَأاَن َأ ْك َر ُه َم َس َاءتَ ُه‬Ia membenci kematian sementara Aku tidak


senang menyusahkannya). Di dalam kitab Az-Zuhd, Al Baihaqi

15
menyandarkan kepada A1 Junaid, dia berkata, "Kebencian ini karena
dalam kematian itu sang mukmin akan mendapati kesulitan dan derita
kematian. Jadi maknanya bukan Aku membuatnya membenci kematian,
karena kematian itu mengantarkannya kepada rahmat dan ampunan Allah."
Menurut Al Karmani, maksudnya adalah, Aku pun tidak suka karena dia
membenci kematian, maka Aku tidak segera mencabut nyawanya,
sehingga Aku seperti orang yang bimbang. Syaikh Abu Al Fadhl bin Atha'
berkata, "Hadits ini menunjukkan kemudian wali, karena dia keluar dari
pengaturannya kepada pengaturan Tuhannya, keluar dari pertolongannya
untuk dirinya kepada pertolongan Allah untuk dirinya, dan keluar dari
daya dan kekuatannya kepada kebenaran tawakkalnya. Jadi, bukanlah
jaminan bagi seseorang yang menyakiti seorang wali kemudian dia tidak
mendapat musibah yang menimpa dirinya, atau hartanya atau anaknya,
bahwa nantinya akan selamat dari pembalasan Allah. Karena musibahnya
bisa lebih berat, misalnya musibah yang menimpa agamanya."7
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits:
1. Besarnya kedudukan seorang wali, karena dirinya diarahkan dan
dibela oleh Allah ta'ala.
2. Perbuatan - Perbuatan fardhu merupakan perbuatan-perbuatan yang
dicintai Allah ta’ala.
3. Siapa yang kontinyu melaksanakan amalan sunnah dan
menghindar dari perbuatan maksiat maka dia akan meraih
kecintaan Allah ta'ala.
4. Jika Allah ta'ala telah mencintai seseorang maka Dia akan
mengabulkan doanya.8

7
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Fathul Baari Jilid 31, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 375-
394

8
Muhyiddin Yahya bin Syaraf Nawawi, Hadist Arba’in Nawawiyah , (Jakarta: Maktab Dakwah,
2010), h. 109-111

16
BAB III
PENUTUP

G. Kesimpulan
Kata ulama berasal dari bahasa Arab, yaitu merupakan bentuk
jamak dari kata ‘alim yang bermakna “tahu atau mengetahui”. Dengan
begitu, ulama dapat dimaknai dengan seseorang atau sekelompok orang
yang memiliki tingkat pemahaman keislaman yang luas dan mendalam
disertai dengan keikhlasan dan kejujuran dalam berbuat. Ulama adalah ahli
waris nabi karena itu ulama mempunyai tugas sesuai dengan apa yang
dikerjakan nabi (Ghofur, 2007).
Hadits pertama berisi anjuran menjaga ilmu, peringatan bagi
pemimpin yang bodoh, peringatan bahwa yang berhak mengeluarkan
fatwa adalah pemimpin yang benar-benar mengetahui, dan larangan bagi
orang yang berani mengeluarkan fatwa tanpa dasar ilmu pengetahuan.
Hadits ini juga dijadikan alasan oleh jumhur ulama untuk mengatakan,
bahwa pada zaman sekarang ini tidak ada lagi seorang mujtahid
Hadits kedua merupakan anjuran untuk menuntut ilmu,
sesungguhnya ilmu tidak akan punah kecuali dengan kematian ulama,
seperti yang akan ditegaskan nanti, dan selama masih ada orang yang
mempelajari ilmu, maka kepunahan ilmu tidak akan terjadi. Sesungguhnya
telah dijelaskan dalam hadits ini bahwasanya diangkatnya ilmu adalh
diantara tanda hari kiamat. Hadits ketiga merupakan anjuran untuk
memuliakan wali, jangan memusuhinya, dan melaksanakan amalan sunnah

17
dan menghindar dari perbuatan maksiat maka dia akan meraih kecintaan
Allah ta'ala.

H. Saran
Demikianlah tugas penyusunan makalah ini. Harapan kami dengan
adanya tulisan ini dapat bermanfaat dan bisa difahami oleh para pembaca.
Apabila ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon
maaf yang sebesar- besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al- Asqalani, Ibnu Hajar, Terjemah Fathul Baari Jilid 1, Jakarta: Pustaka Azzam,
2006.

Al- Asqalani, Ibnu Hajar, Terjemah Fathul Baari Jilid 31, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006.

Baqi, Muhammad Fu’ad Abdul, Shahih Bukhari Muslim, Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2017.

Handayani, Puspita, Mu’adz, Islam dan Ilmu Pengetahuan Buku Ajar Al-Islam
dan Kemuhamadiyahan (AIK) 4, Sidoarjo: Umsida Press, 2016.

Juhari. 2018. “Pencitraan Ulama Dalam Al-Qur’an”, Jurnal Peurawi, Vol, 1 No,
2.

Makmur, Ahdi, Ulama dan Pembangunan Sosial, Yogyakarta: Aswaja Pressindo,


2016.

Yahya, Muhyiddin, Hadist Arbai’in Nawawiyah, Jakarta: Maktab Dakwah, 2010.

18

Anda mungkin juga menyukai