Anda di halaman 1dari 30

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

ULUMUL QUR'AN M. Daud Yahya, Dr. S. Ag, M. Ag

BIOGRAFI ULAMA - ULAMA HADITS

OLEH:

KELOMPOK 14

Latifah 210101010123

Nurul Hasanah 210101010177

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA

2021 M/1443 H
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Karena


berkat rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah “Ulumul Hadits”.

Shalawat dan salam tidaklah lupa kita sampaikan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW. Beserta keluarga, kerabat, sahabat dan pengikut
beliau hingga akhir zaman.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut membantu
dalam menyelesaikan makalah ini karena tanpa bantuan dan dukungan dari
mereka mungkin kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu.

Kami menyadari bahwa makalah kami masih memiliki kekurangan baik


dalam segi bacaan, isi, tulisan dan sebagainya. Karena hal tersebut kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar kiranya dapat membantu
makalah ini agar menjadi lebih baik.

Kami sadar bahwa sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah


SWT. Sedangkan manusia merupakan tempatnya kekurangan dan salah. Akhir
kata Kami mengucapkan terima kasih apabila ada salah kata kami mohon maaf.

Banjarmasin, Desember 2021

Kelompok 14
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................

DAFTAR ISI ..............................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...............................................................................


B. Rumusan Masalah .........................................................................
C. Tujuan Penulisan ...........................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Al-Bukhari ...........................................................................................
B. Imam Muslim .......................................................................................
C. Anas bin Malik .....................................................................................
D. Az-Zuhri Ahmad bin Hambal ................................................................
E. Ath-Thabrani .......................................................................................
F. Hakim An-Naisaburi ............................................................................
G. Imam Al-Baihaqi ..................................................................................
H. Imam An-Nawawi ................................................................................
I. Imam Ibnu Hajar Al-'Asqalani ..............................................................
J. Imam As-Suyuthi .................................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam mempelajari hadits kita tidak hanya mempelajari ilmu-
ilmu yang berkenaan dengan hadits saja, tetapi kita juga perlu
mempelajari tokoh-tokoh yang telah berjasa besar dalam memelihara
dan menyebarluaskan hadits-hadits Nabi yang merupakan sumber ajaran
Islam setelah Al-Qur’an. Berkat jasa merekalah hadits-hadits Nabi saw
sampai di tangan kita. Para ulama hadits, adalah tokoh-tokoh agama
yang menempati posisi khusus dalam umat ini.
Kedudukan mereka di mata umat begitu mulia dan agung,
mengingat jasa dan peranan mereka yang begitu besar dalam menjaga
kemurnian syariat Islam. Inilah keistimewaan ulama hadits
dibandingkan ulama dari disiplin ilmu lainnya. Merekalah para
pembawa panji sunnah Nabi, yang merupakan sumber ilmu kedua
setelah Alquran. Sunnah Rasulullah merupakan muara yang padanya
setiap cabang ilmu agama akan kembali. Tidak ada satu ulama pun dari
berbagai disiplin ilmu agama, yang tidak membutuhkan penjelasan
mereka tentang sunnah Rasulullah.

B. Rumusan Masalah
1. Al-Bukhari
2. Imam Muslim
3. Anas bin Malik
4. Az-Zuhri Ahmad bin Hambal
5. Ath-Thabrani
6. Hakim An-Naisaburi
7. Imam Al-Baihaqi
8. Imam An-Nawawi
9. Imam Ibnu Hajar Al-'Asqalani
10. Imam As-Suyuthi
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui para tokoh-tokoh ulama hadist.
2. Untuk mengetahui biografi singkat para ulama hadist.
3. Untuk mengetahui nama – nama kitab yang dikarang oleh
para imam – imam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Al-Bukhari
Imam Bukhari memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bib Barduzbah Al-Ju’fi al-
Bukhari ( Dalam bahasa Arab: ‫بو‬Z‫)البخاري إسماعيل بن محمد هلال عبد أ‬. Beliau lahir di
Bukhara, 13 Syawal 194 H atau 21 Juli 810. Imam Bukhari adalah ahli
hadis yang termasyhur di antara para ahli hadis sejak dulu hingga kini
bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu
Majah bahkan dalam buku-buku fiqih dan hadis, hadis-hadisnya memiliki
derajat yang tinggi. Sehingga beliau mendapat julukan Amirul Mukminin
fil Hadits (pemimpin orang-orang yang beriman dalam hal ilmu hadis).
Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail atau Imam Al-Bukhari telah
ditinggal ayah beliau saat masih dini. Tak lama setelah ditinggal wafat
ayahnya Abu Abdullah Muhammad mendapat cobaan yang sangat berat,
yaitu Abu Abdullah Muhammad mengalami sakit yang teramat di kedua
matanya, hingga menyebabkan beliau menjadi kebutaan. Dengan doa ibu
beliau yang sangat khusuk, dan atas ijin Allah SWT. Alhamdulillah Abu
Abdullah Muhammad dapat melihat lagi seperti dahulu kala.
Sekitar usia 16 tahun Imam Bukhari telah menghafal banyak kitab
dari ulama yang terkenal. Selain itu, beliau juga menghafal hadits dari
ulama tersebut. Sekaligus juga mempelajari biografi seluruh periwayatan
dari hadits tersebut. Dari tanggal kelahirannya, tempat lahirnya, wafatnya
dan apa saja yang penting dalam kehidupan ulama tersebut.
Pada usia ini Abu Abdullah Muhammad (Imam Bukhari) pergi ke
kota Mekkah bersama kakak dan ibunya untuk menunaikan ibadah haji,
setelah ibadah haji selesai Abu Abdullah Muhammad tidak ikut pulang ke
kampung halamannya bersama ibu dan kakaknya, beliau tetap tinggal di
Mekkah untuk menuntut ilmu. Di sinilah Abu Abdullah Muhammad
mendalami hadits dari tokoh-tokoh ahli hadits seperti Al-Walid, Al-
Azraqi, Ismail bin Salim, Al-Saiqh, dan lain-lain.
Kemudian pada usia 18 tahun, Abu Abdullah Muhammad mulai
menulis kitab Qadlaya Al-Sahabah wa Al-Tabi’in. Dan pada usia inilah
beliau mulai hijrah ke Madinah untuk memperdalam ilmu hadits dari para
ulama besar disana. Dan di Madinah beliau juga mengaram kitab dengan
judul At-Tarikh Al-Kabir. Beliau (Abu Abdullah Muhammad) menulis
biografi lebih dari 1.000 an ulama dalam buku At-Tarikh tersebut. Beliau
juga salat 2 rakaat setiap menulis satu biografi ulama.
Beberapa kota yang didatangi Abu Abdullah Muhammad untuk menimba
ilmu ataupun untuk bertemu dengan guru-gurunya antara lain : Makkah,
Madinah, Syam, Baghdad, Wasit, Basrah, Bukhara, Kufah, Mesir, Harah,
Naisapur, Qarasibah, Asqalan, Himsh, dan Khurasan.
Sewaktu Imam Bukhari masih menuntut ilmu, beliau sering
dijadikan bahan ejekan oleh teman–teman beliau, karena tidak pernah
mencatat sewaktu pembelajaran. Beliau hanya mendengarkan dan sesekali
bertanya oleh gurunya, akan tetapi Abu Abdullah Muhammad selalu sabar
dan tidak pernah murka, hingga suatu kali ada teman Abu Abdullah
Muhammad yang sudah kelewatan, barulah mereka tercengang dengan
kehebatan ingatan dari Abu Abdullah Muhammad tersebut. Abu Abdullah
Muhammad atau Imam Bukhari memang dikaruniai oleh Allah SWT daya
ingat yang sangat luar biasa. Bahkan Abu Abdullah Muhammad tidak
pernah mencatat apapun yang gurunya sampaikan, akan tetapi Abu
Abdullah Muhammad dapat menghafal 15.000 hadits diluar kepalanya
dengan lengkap, serta apa saja keterangan yang gurunya sampaikan.
Abu Abdullah Muhammad pernah berkata “Saya tidak akan
meriwayatkan hadits yang aku terima dari sahabat dan Tabi’in, sebelum
mengetahui tanggal lahirnya, hari wafatnya dan tempat tinggalnya. Aku
juga tidak akan meriwayatkan hadits mauquf dari sahabat dan Tabi’in
kecuali ada dasarnya yang ku ketahui dari kitabullah dan sunah Rosulluh”.
Al-Allamah Al-Aini Al-Hanafi berkata “Imam Al-Bukhari adalah seorang
Hafizh, cerdas, cerdik dan cermat, ia memiliki kemampuan mengingat
yang luar biasa, sudah masyhur dan disaksikan para ulama yang tsiqah”.
Kemudian beliau pindah dari Kota Naisabur, menuju ke
Samarkand, tepatnya di Desa Khartank sekitar 2 farsakh atau sekitar 12
km dari Samarkand. Beliau kemudian mendapatkan cobaan yang sungguh
berat. Sampai akhirnya beliau jatuh sakit. Sehingga suatu malam, beliau
berdoa kepada Allah ‫جاهلل جل‬: "Ya Rabb, sesungguhnya telah sempit bagiku
dunia yang sebenarnya luas. Maka ambillah nyawaku." Tak lama, beliau
wafat pada malam Sabtu bertepatan dengan malam Idul Fitri. Beliau
dikebumikan setelah salat zuhur pada tahun 256 Hijriah di Desa Khartank
yang terletak dekat dengan Samarkand, sekarang lebih dikenal dengan
nama Uzbekistan. Beliau wafat diusia 62 tahun kurang 13 hari. Dan
telah menghafal
100.000 hadits shahih beserta sanad dan matannya. Selain itu hafal
200.000 hadits tidak shahih sanad dan matannya.
Diantara karya-karya Imam Bukhari :
1. Al-Adab Al Mufrad
2. At-Tharikh As-Shaghir
3. At-Tharikh Al Awsat
4. At-Tharikh Al Kabir
5. At-Tafsir Al Kabir
6. Kitsb al’Ilah
7. Raf’ul yadam fis salah
8. Kitab Ad-Du’afa
9. Al-Jami as-Shahih

B. Imam Muslim
Imam Muslim dilahirkan di Naisabur (sekarang daerah Rusia) pada
tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul
Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an
Naisaburi. Dalam sejarah Islam kala itu Naisabur termasuk dalam
sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di
sekitar
Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid,
Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih
kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur,
juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota yang
menjadi peradaban keilmuan di kawasan Asia Tengah. Di sini pula
bermukim banyak ulama besar. Perhatian dan minat Imam Muslim
terhadap ilmu hadits memang telah ada sejak usia dini. Di usia yang begitu
belia beliau telah berkonsentrasi dan fokus mempelajari hadits. Pada tahun
218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usia beliau kurang dari 15 tahun.
Beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan daya ingat
hafalan yang luar biasa. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim
sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad
Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW,
dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah
menyebutkan periwayatan hadits.
Beliau menulis sebuah kitab Shahih yang dikenal dengan Shahih
Muslim. Kitab ini disusun lebih sistematis dari Shahih Bukhari. Kedua
kitab hadis shahih ini; Shahih Bukhari dan Shahih Muslim biasa disebut
dengan Ash Shahihain. Kedua tokoh hadis ini biasa disebut Asy Syaikhani
atau Asy Syaikhaini, yang berarti dua orang tua yang maksudnya dua
tokoh ulama ahli hadist. Imam Muslim dikenal sangat tawadhu dalam
meriwayatkan hadits, sehingga telah mampu meriwayatkan puluhan ribu
hadits. Dalam penyusunan hadits beliau menggunakan metode ilmu jarh
dan ta’dil. Yaitu, menilai cacat tidaknya suatu hadits. Sehingga imam
muslim dikenal terbaik kedua setelah imam bukhari dalam ilmu hadits.
Beliau meninggal dunia pada sore hari Ahad bulan Rajab tahun 261
Hijriah dan dikuburkan di Naisaburi.
Diantara karya-karya Imam Muslim:
1. Al- Asma Wal kuna
2. Rijalul ‘Urwah
3. Thabaqat
4. Al-Mukhadhramin
5. Al-Jami
6. At- Tamyiz
7. Al-Wuhdan
8. Masyayikh Malik
9. Masyayikh Syu’bah
10. Masyayikh ats-Tsawri

C. Anas bin Malik


Anas bin Malik berasal dari suku Bani Najjar dan tinggal di
Madinah. Beliau merupakan anak dari Ummu Sulaim. Beliau dikenal
sebagai sahabat nabi dan juga sebagai pelayan nabi Muhammad karena saat
nabi tiba di Madinah, ibu Anas bin Malik menghadiahkan Anas bin Malik
sebagai pelayan Rasulullah. Karena beliau sering bersama dengan
Rasulullah sehingga banyak menghafal hadits dan menjadi salah satu
sahabat nabi yang banyak meriwayatkan hadits. Nama panggilan beliau
adalah Abu Hamzah.
Kala itu Rasulullah pergi ke Madinah pada tahun 622, kemudian
ibu beliau membawa Anas bin Malik ke hadapan Rasulullah, bermaksud
menghadiahkan kepada Rasulullah sebagai pembantu beliau. Rasulullah
pun senang dan menerima Anas sebagai pelayan beliau. Kemudian ia
mengusap kepala Anas bin Malik dengan tangannya dan memegang
kuncirnya dengan jari-jari beliau yang lembut dan membawa Anas ke
keluarga Rasulullah serta mendoakannya : “Ya Allah, perbanyaklah harta
dan anaknya. Berkahilah ia dan masukkanlah ke dalam surga.
Masukkanlah ia ke dalam surga”.
Sehingga sejak kecil beliau sudah menjadi khadim yang melayani
keperluan Rasulullah dan hidup dalam penjagaan Rasulullah dan hal
tersebut berlangsung selama 10 tahun. Beliau termasuk salah satu dari
enam sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits, jumlah
hadits yang beliau riwayatkan adalah sejumlah 2.286 hadits, dimana beliau
mendengar riwayat tersebut baik secara langsung maupun dari sahabat
senior lainnya
seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Mu'adz bin
Jabal dan lainnya. Sedangkan orang-orang yang meriwayatkan dari beliau
antara lain : al-Hasan al-Bashri, az-Zuhri, Qatadah, Tsabit al-Bannani, dan
lainnya. Bahkan Imam al-Mizzi menyebutkan bahwa jumlah perawi yang
mengambil riwayat dari sahabat Anas bin Malik berjumlah sekitar 200
orang. Meski demikian, beliau termasuk orang yang sangat hati-hati dalam
meriwayatkan hadits yang bersumber dari Rasulullah, dengan menyatakan
di akhir riwayatnya dengan perkataan : "atau sebagaimana yang
disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam". Beliau adalah
orang yang paling baik shalatnya baik dalam kondisi mukim maupun safar,
beliau juga terbiasa berdiri dalam shalatnya dalam waktu yang lama
hingga telapak kaki beliau pecah-pecah, Abu Hurairah pernah berkata:
“Aku tidak pernah melihat sosok yang sifat shalatnya paling mirip dengan
Nabi melebihi Ibnu Ummi Sulaim (yakni Anas)". Kemudian, beliau
meninggal pada tahun 709 di Kota Basrak, Irak.

D. Az-Zuhri Ahmad bin Hambal


Imam Az-Zuhri memiliki nama lengkap yaitu Abu Bakar
Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri. Beliau lahir pada tahun 51
H. Beliau seorang yang memiliki kedudukan di Daulah Bani Umayyah dan
juga seorang yang kaya lagi dermawan. Beliau memiliki kemampuan
hafalan yang kuat disertai dengan kecerdasan yang tinggi. Sehingga,
beliau adalah orang pertama yang membukukan ilmu hadits atas perintah
Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Dalam periwayatan hadits beliau mengambil ilmu dari para senior
seperti Sayyidi Tabi’in Sai’id bin Musayyib, Urwah bin Zubair, Ak-Qasim
bin Muhammad dan lain sebagainya. Beliau juga menulis seluruh yang
beliau dengar serta ulet dalam menuntut ilmu. Sehingga Ahmad bin
Hambal berkata, “Az-Zuhri adalah manusia yang terbaik hadits nya dan
terbagus jalan sanadnya”. Kemudian beliau wafat di usia 73 tahun pada
tahun 124.
E. Ath-Thabrani
Imam At-Thabrani adalah seorang perawi hadits yang juga
menguasai ilmu tafsir. Beliau lahir pada tahun 260 H atau 873 M. Dikota
Acre( Sekarang wilayah Israel). Beliau termasuk ulama yang memiliki
umur panjang, yaitu hamper 100 tahun. Dalam periwayatan hadits beliau
melakukan safar atau perjalanan. Dimulai tahun 273 H, yang saat itu
beliau baru berusia 13 tahun. Perjalanan di mulai dari kota Syam menuju
Bagdad, Kuffah, Basrah, dan Isfahan. Kemudian menuju kota Hijaz,
Yaman, Mesir ,dan negeri jazirah Arab lainnya. Perjalanan dalam mencari
hadits berlangsung sekitar 33 tahun lamanya. Sehingga selama kurun
waktu tersebut beliau telah belajar kepada hamper 1.000 guru. Sehingga
beliau mendapat pujian dari Imam Adz-Dzahabi:’’Dia adalah seorang
hafizh yang mashur. Seorang musnad dunia.’’(Adz-Dzahabi: Tarikhul
Islam,8/143).
Beliau juga banyak mengarang buku-buku yang bermanfaat.
Diantaranya adalah yang paling terkenal yaitu mu’jamnya, terdiri dari
Mu’jam al-Kabir, Mu’jam al-awsath. Sedangkan karya beliau yang lain
adalah pembahasan tentang kitab ad-Du’a, kitab ‘Isyratin Nisa, Kitab Al-
Manasik, Kitab Al-Awail, Kitab As-Sunnah, kitab An-Nawadir, Musnad
Syu’bah, Musnad Sufyan, dan lain-lain.
Menjelang wafat, Imam Ath-Thabrani bermukim di kota Isfahan
yang terletak di negara Persia. Hingga pada tahun 360 H atau 971 M
beliau wafat diusia kurang lebih 100 tahun.

F. Hakim An-Naisaburi
Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi
(321 H/933 M – 405 H/1014 M) atau yang terkenal dengan sebutan Al-
Hakim saja, adalah salah seorang imam di antara ulama - ulama hadits dan
seorang pembuat kitab yang terkemuka di zamannya.
Namanya lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin
Abdullah bin Muhammad bin Handawaihi bin Nu'aim al-Dhabbi al-
Thahmani al-Naisaburi, juga terkenal dengan sebutan gelarnya Ibnu al-
Baiyi.
Ia dilahirkan di Naisabur pada pagi Jumat, bertepatan dengan 3
Rabiul Awal pada tahun 321 H. Ia pernah dilantik sebagai hakim di
Naisabur pada tahun 359 H, sehingga dikenal dengan nama “ al-Hakim ”.
Ia wafat juga di Naisabur pada tahun 405 H.
Awal pendidikan ilmu agama didapatkannya dari ayah dan bapak
saudaranya, kemudian ia berguru pula kepada Abu Hatim bin Hibban pada
tahun 334 H. Ia juga disebutkan telah belajar ilmu fiqih kepada seorang
ulama besar di Naisabur, yaitu Ali bin Sahal Muhammad bin Sulaiman al-
Shaluki al -Syafi'i. Setelah itu pada tahun 340 H, ia berhijrah
meninggalkan kampung halamannya menuju Irak.
Di sana, ia mempelajari ilmu hadits dari Ali bin Ali bin Abi
Khurairah, seorang faqih yang terkenal. Setelah menunaikan ibadah haji,
ia kemudian bersafari mencari ilmu ke Khurasan dan negara-negara lain.
Ia ingin mencari dan mengumpulkan hadits, hingga disebutkan bahwa ia
telah mendengar hadits dari sejumlah besar para ulama , serta menurut
riwayat gurunya sekitar 1.000 orang.
Terdapat banyak para ahli ilmu yang meriwayatkan hadits darinya,
di antaranya Daruquthni, Abu Bakar Al-Qaffal Al-Syasy dan teman-
temannya. Ia senantiasa bermuzakarah dan bermuhadharah bersama para
ulama hadits , bahkan pernah juga bermubhahasah dengan Daruquthni.
Selain itu, ia juga menghasilkan karya-karya berupa penulisan dalam
pelbagai jenis ilmu. Di antara kitab - kitab kitab yang terkenal, yaitu
Ma'rifat 'Ulum al- Hadits , al-Madkhal 'ala 'ilmi al- Shahih , al-Mustadrak
'ala al- Shahihain , Fadhail al-Imam al-Syafi'i, dan al-Amali.

G. Imam Al-Baihaqi
Imam Al Baihaqi adalah seorang ulama ahli fiqh, ushul fiqh,
hadist, dan salah seorang ulama besar mazhab Syafi’i. Beliaulah penulis
kitab Sunan Al Baihaqi yang terkenal itu. Imam Al-Baihaqi bernama
lengkap
Imam Al-Hafizh Al-Muttaqin Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali
bin Musa Al-Khusrauijrdi Al-Khurasani Al-Baihaqi. Baihaq adalah
sejumlah perkampungan di wilayah Naisabur. Beliau adalah seorang
ulama besar dari Khurasan (desa kecil di pinggiran kota Baihaq) dan
penulis banyak kitab terkenal.
Al-Baihaqi lahir di bulan Sya’ban tahun 384 H yang bertepatan
dengan bulan September 994 Masehi.1 Lahir di desa Khusraujirdi,
termasuk daerah Baihaq, Naisabur.
Imam Al-Baihaqi hidup pada masa Daulah Al-‘Abbasiyah. Beliau
mengembara mencari ilmu ke Khurasan, Irak, dan Hijaz. Dalam Siyar
A’lam An-Nubala, Imam Adz-Dzahabi bercerita tentang perjalanan Imam
Al-Baihaqi dalam menuntut ilmu. Beliau mengatakan bahwa Imam Al-
Baihaqi ketika berusia 15 tahun telah mendengar dari Abu Al-Hasan
Muhammad bin Al-Husain Al-Alawi, sahabat dari Abu Hamid bin Asy-
Syarqi dan beliau adalah guru yang paling dahulu bagi Imam Al-Baihaqi.
Beliau luput dari menyimak secara langsung dari Abu Nu’aim Al-
Isfarayini, sahabat Abu ‘Uwanah, dan meriwayatkan darinya secara ijazah
mengenai jual beli. Beliau juga mendengar dari Imam Al-Hakim Abu
Abdillah Al- Hafizh lalu memperbanyak riwayat darinya dan lulus
darinya.2
Beliau berguru kepada ulama-ulama terkenal dari berbagai negara.
Beliau harus menempuh perjalanan panjang dan melelahkan untuk bisa
menghadiri majelis ilmu tersebut. Di antara guru-gurunya adalah sebagai
berikut:
1. Imam Abul Hassan Muhammad bin Al-Husain Al-Alawi
2. Abu Abdillah Al-Hakim, pengarang kitab Al-Mustadrak ‘ala Ash-
Shahihain
3. Abu Tahir Az-Ziyadi

1
Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra hal. 18 oleh Imam Al-Baihaqi.
2
Siyar A’lam An-Nubala (18/164) oleh Imam Adz-Dzahabi.
4. Abu Abdur-Rahman Al-Sulami
5. Abu Bakr bin Furik

Pujian Ulama kepada beliau Imam Al-Haramain mengatakan,


“Tidak ada satu pengikut Asy-Syafi’i pun melainkan Asy-Syafi’i memiliki
jasa kepadanya, kecuali Al-Baihaqi, karena dia berjasa kepada Asy-Syafi’i
berkat karya-karyanya yang berisikan pembelaan terhadap mazhabnya dan
pendapat-pendapatnya”.3
At-Taj As-Subki mengatakan, “Imam Al-Baihaqi adalah salah satu
imam kaum muslimin dan penyeru kepada tali Allah yang kukuh. Beliau
adalah penghafal besar, ahli ushul yang tiada bandingnya, zuhud, wara’,
taat kepada Allah, membela mazhab, baik ushul maupun furu’-nya, salah
satu bukit ilmu”.4
Abdul-Ghaffar Al-Farsi Al-Naisaburi dalam bukunya “Dzail
Tarikh Naisaburi” memuji imam Al-Baihaqi setinggi langit dengan
mengatakan, “Abu Bakr Al-Baihaqi Al-Faqih Al-Hafizh Al-Ushuli Ad-
Din Al-Wari’, orang nomor satu pada zamannya dalam hal hafalan, orang
yang tiada bandingannya di antara para sejawatnya dalam hal
kesempurnaan dan ketelitian, salah satu pemuka murid Al-Hakim, dan dia
mengunggulinya dengan berbagai macam ilmu. Beliau menulis hadis,
menghafalkannya semenjak kecil, mendalaminya, serta menguasainya.
Beliau mengambil ilmu ushul dan melakukan perjalanan menuntu ilmu ke
Irak, daerah berbukit dan Hijaz, kemudian menulis karya ilmiah. Karyanya
hampir mencapai seribu juz, yang belum pernah didahului oleh seorang
pun sebelumnya. Beliau menghimpun ilmu hadis dan fikih, menjelaskan
tentang ‘illat hadis dan meninjau tentang perbedaan-perbedaan hadis-
hadis. Para ulama meminta beliau untuk berpindah dari daerah An-
Nahiyah ke Naisabur untuk mendengar kitab-kitabnya. Beliau pun datang
padatahun 314 H, lalu mereka

3
Thabaqat Asy-Syafi’iyyah (4/10) oleh Tajuddin As-Subki

4
Thabaqat Asy-Syafi’iyyah (4/8) oleh Tajuddin As-Subki
bermajelis untuk mendengarkan kitab Al-Ma’rifah dan para ulama
menghadirinya. Dia mengikuti jalan ulama, merasa puasdengan yang
sedikit.5
Imam Adz-Dzahabi pun memuji beliau dengan mengatakan,
“Seandainya Al-Baihaqi mau membuat madzhab untuk dirinya di mana dia
berijtihad, niscaya dia mampu melakukannya karena keluasan ilmu dan
pengetahuannya tentang perselisihan ulama. Karena itu, kalian melihatnya
membela permasalahan-permasalahan yang didukung oleh hadis sahih”.
Ibnu ‘Asakir berkata, Syekh Abu Al-Hasan Al-Farisi berkata, “Al-
Baihaqi berjalan di jalan para ulama, qana’ah terhadap yang sedikit,
dihiasi dengan zuhud dan wara’,serta tetap seperti demikian sampai
meninggal”. Ibnu Katsir berbicara tentang akhlak beliau, Al-Baihaqi
adalah orang yang zuhud dan menerima sesuatu yang sederhana, banyak
beribadah dan wara’.
Sejumlah kitab penting telah ditulisnya dan mempunyai nilai tinggi
di sisi para ulama-ulama setelahnya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa
karyanya mencapai seribu jilid9. Kitab-kitab karangan beliau pun
mempunyai keistimewaan dibandingkan yang lainnya, karena diurutkan
dengan urutan yang begitu teliti dan cermat dan tidak ada yang seperti
beliau. Karena itu tidak ada yang seperti beliau sebelumnya. Di antara
karya beliau:
1. Kitab As-Sunan Al-Kubra dalam 10 jilid
2. Kitab Syu’ab Al-Iman dalam 2 jilid
3. Kitab Dala’il An-Nubuwwah dalam 4 jilid
4. Kitab Al-Asma wa Ash-Shifat dalam 2 jilid
5. Kitab Ahkam Al-Qur’an dalam 2 jilid
6. Kitab Takhrij Ahadits Al-Umm
7. Kitab Al-Ma’rifat fi As-Sunan wa Al-Atsar dalam 4 jilid
8. Kitab Al-Mu’taqad dalam 1 jilid
9. Kitab Al-Ba’tswa An-Nusyur dalam 1 jilid

5
Tadzkirah Al-Huffadz (3/1133) oleh Imam Adz-Dzahabi
10. Kitab Manaqib Asy-Syafi’i dalam 1 jilid dan masih banyak lagi
yang lainnya.
Imam al-Baihaqi meninggal pada hari Sabtu di Naisabur, Iran,
tanggal 10 Jumadil Ula 458 H (9 April 1066 M). Dia lantas dibawa ke
tanah kelahirannya yaitu Baihaq dan dimakamkan di sana. Beliau hidup
selama 74 tahun.

H. Imam An-Nawawi
Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi
Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram
tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus)
yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau
yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di
katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran
sebelum menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-
Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya,
namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut.
Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling
pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang
besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliau pun menjadi
semakin besar.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian
pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya ke Dimasyq dengan
menghadiri halaqah-halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota
tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-
Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama.
Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin
sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya
yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan
dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat
pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam
waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Diantara syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin
Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah
Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan
diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-
Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy, Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu
‘Abdil Hadi. Pada tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama
ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan menetap disana selama satu
setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia mengajar
di Darul
Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk mengambil gaji.
Beliau digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama) dan
membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam
adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang
menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang
meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau
berkata: “Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku
Muhyiddin.”
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan
bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan
banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk
ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar,
termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam.
Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang
halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris
untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh
kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan
berkata: “Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak
untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: “Kenapa !?”
Beliau menjawab: “Karena berisi kedhaliman yang nyata.” Raja semakin
marah dan berkata: “Pecat ia dari semua jabatannya!” Para pembantu raja
berkata: “Ia tidak punya jabatan sama sekali.” Raja ingin membunuhnya
tapi Allah
menghalanginya. Raja ditanya: “Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal
sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Raj apun menjawab: “Demi
Allah, aku sangat segan padanya.”
Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang
terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:
Dalam bidang hadits: Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj (Syarah
Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin
Nadzir.
Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-
Majmu’. Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul
Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan
memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain
karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan
beliau dalam berjuang.
Secara umum beliau termasuk salafi dan berpegang teguh pada
manhaj ahlul hadits, tidak terjerumus dalam filsafat dan berusaha
meneladani generasi awal umat dan menulis bantahan untuk ahlul bid’ah
yang menyelisihi mereka. Namun beliau tidak ma’shum (terlepas dari
kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi pada uluma-
ulama di zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat Allah
Subhanah. Beliau kadang men-ta’wil dan kadang-kadang tafwidh. Orang
yang memperhatikan kitab-kitab beliau akan mendapatkan bahwa beliau
bukanlah muhaqqiq dalam bab ini, tidak seperti dalam cabang ilmu yang
lain. Dalam bab ini beliau banyak mendasarkan pendapat beliau pada
nukilan-nukilan dari para ulama tanpa mengomentarinya.
Adapun memvonis Imam Nawawi sebagai Asy’ari, itu tidak benar
karena beliau banyak menyelisihi mereka (orang-orang Asy’ari) dalam
masalah-masalah aqidah yang lain seperti ziyadatul iman dan khalqu
af’alil ‘ibad. Karya-karya beliau tetap dianjurkan untuk dibaca dan
dipelajari,
dengan berhati-hati terhadap kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak boleh
bersikap seperti kaum Haddadiyyun yang membakar kitab-kitab karya
beliau karena adanya beberapa kesalahan di dalamnya.
Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa kerajaan Saudi ditanya
tentang aqidah beliau dan menjawab: “Lahu aghlaath fish shifat” (Beliau
memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah). Imam Nawawi
meninggal pada 24 Rajab 676 H –rahimahullah wa ghafara lahu-.

I. Imam Ibnu Hajar Al-'Asqalani


Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin
Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar atau yang lebih
dikenal sebagai Ibnu Hajar al-Asqalani lahir pada tahun 773 H, di Mesir.
Ayah beliau meninggal dunia ketika beliau masih kecil, tepatnya pada
bulan Rajab 779 H, atau saat Ibnu Hajar berusia enam tahun.
Pada akhir hayatnya, Ibnu Hajar menderita sakit, tepatnya tahun 852
H. Hingga akhirnya meninggal karena penyakit tersebut setelah shalat
isya, di penghujung malam sabtu tanggal 28 Zulhijjah 852 H. Di antara
yang ikut serta mengangkat jenazahnya adalah sang Sultan dan para
pengiringnya.
Beliau dimakamkan di daerah Bani al-Kharubi, dekat pusara Imam
al-Laits bin Sa’d yang berada di depan Masjid ad-Dailami. Semoga Allah
menganugerahkan rahmat yang luas serta pahala yang melimpah
kepadanya dari setiap ilmu beliau yang berguna bagi agama Islam dan
umatnya.
Ibnu Hajar memulai masa remaja dengan menghafal al-Qur’an, dan
dikatakan beliau memiliki hafalan yang sangat cepat. Karena itulah, pada
usia Sembilan tahun beliau sudah bisa menghafal seluruh isi al-Qur’an di
bawah bimbingan Syekh Shadru ad-Din ash-Shafti.
Berkaitan dengan masalah ini al-Hafizh as-Suyuthi menyatakan,
“Pada mulanya Ibnu Hajar fokus mendalami sastra dan syair (puisi).
Namun, ketika telah mencapai tujuannya dalam bidang ini, sejak tahun 794
H beliau mendalami hadis. Beliau juga banyak mendengar hadis dari
berbagai sumber dan mengembara sampai ke Irak. Di negeri tersebut,
beliau berguru
kepada Syekh al-Hafizh Abu al-Fadhl al-‘Iraqi. Tidak mengherankan jika
Ibnu Hajar sangat unggul dalam ilmu hadis, dan begitu menonjol dalam
seluruh cabang keilmuan ini”.
Menginjak dewasa, Ibnu Hajar berguru kepada asy-Syams bin al-
Qatthan, salah seorang pensihatnya dalam ilmu fikih dan Bahasa Arab.
Selain itu, beliau juga berguru ilmu fikih kepada al-Ibnasi, Balyaqni, dan
Ibnu Mulqin. Pengembaraan keilmuan Ibnu Hajar hingga ke negeri-negeri
yang termasuk wilayah Syam, Mesir, dan Hijaz. Terbukti, beliau pernah
mengembara ke Mekah, Damaskus, Yaman, Alexandria, dank e Qush
(Afganistan) pada tahun 793 H, sampai ke daerah Sha’id di Mesir. Selain
itu, beliau juga mempelajari hadis dari ulama-ulama Haramain (Mekah dan
Madinah), Baitul Maqdis (Palestina), Nablus (Palestina), Ramlah, dan
Gaza. Ibnu Hajar tercatat memiliki banyak
guru yang menjadi kepercayaannya untuk memecahkan
berbagai permasalahan. Jumlah gurunya bahkan tak tertandingi oleh
siapa pun pada zamannya. Semua gurunya sangat menguasai sekaligus
paling menonjol dalam bidangnya masing-masing. Di antaranya adalah
Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad at- Tanukhi al-Ba’albaki (dalam bidang
baca al-Qur’an atau qira’at), az-Zain al-‘Iraqi (dalambidang
ilmu hadis), al-Haitsami, al-Balqini, dan
Majduddinal-Fairus Abadi (seorang ahli Bahasa), dan al-‘Izz bin Jama’ah.
Karena itulah Ibnu Hajar sangat menguasai berbagai disiplin ilmu.
Beliau mengutip (hadis-hadis) Abu al-‘Abbas dari Ahmad bin
Umar al-Baghdadi, sementara hadis-hadis Abu Hurairah beliau kutip dari
Abdurrahman bin al-Hafizh adz-Dzahabi dan Ibnu ‘Irfah al-Maliki.
Sedangkan dari kalangan wanita, beliau mengutip dari Maryam binti al-
Adzra’i.
Tidak hanya itu, Ibnu Hajar juga telah mendokumentasikan daftar
guru-gurunya yang paling menonjol berikut biografi mereka dalam
karyanya yang berjudul al-Majma’ al-Mu’assan bi al-Mu’jam al-Mufahras.
Dalam kitab tersebut beliau menuliskan biografi guru-gurunya secara
alfabetis, dan membaginya menjadi dua bagian. Pertama, mereka pernah
mengajarinya ilmu hadis secara riwayat (riwayah). Di samping itu, Ibnu
Hajar juga mengklasifikasikan guru-gurunya berdasarkan ketinggian
derajat mereka menjadi lima kelompok. Dalam setiap biografi masing-
masing guru, beliau menuliskan hadis apa saja yang pernah beliau dengar
dari guru tersebut. Sehingga sistematika penyusunan kitab itu berdasarkan
hadis- hadis yang beliau dengar dari mereka
Di antara para murid yang pernah berguru kepada Ibnu Hajar
adalah Syaikh Islam Zakariya bin Muhammad al-Anshari, Syamsuddin
Muhammad bin Abdurrahman as-Sakhawi, Jamal Ibrahim al-Qalqasyandi,
al-‘Izz bin Fahd, al-Burhan al-Biqa’I, Syaraf Abdul Haqq as-Sinbathi, dan
lain-lain.
Selain mengajar, Ibnu Hajar juga menjadi seorang mufti (pemberi
fatwa) dan pendikte hadis, memegang tampuk kepemimpinan dewan guru
di berbagai sekolah, seperti al-Hasaniyyah, al-Manshuriyyah, al-
Baibarsiyyah, dan lain-lain. Beliau juga menjadi pemimpin di Lembaga
pengadilan,mengarang berbagai kitab yang sangat bermanfaat dan tak
tertandingi dalam bidang Ulumul Hadis. Lebih dari itu, beliau juga telah
mendiktekan hadis yang beliau hafal di lebih dari serubu majelis. Dan di
negeri Sultan Bilbars, beliau telah mendiktekan hadis selama kurang lebih
20 tahun.
Pada masa pemerintahan Sultan al-Mua’ayyad (Mesir) beliau
berkali-kali diminta menjadi hakim di negeri-negeri Syam, tetapi selalu
menolak. Namun, pada akhirnya beliau menjadi hakim di Mesir pada masa
pemerintahan Sultan al-Asyraf. Diantara karya – karya beliau :
1. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, mulai ditulis tahun 817 H,
dan selesai pada hari pertama bulan Rajab tahun 842 H. Kitab ini
telah dicetak berkali-kali.
2. Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, dicetak di Dar ash-Shadir,
Beirut, Lebanon.
3. Lisan al-Mizan, dicetak di percetakan Darul Ma’arif, Haidar
‘Abad, Deccan, India.
4. Tahzdib at-tahzdib, dicetak di India dan Mesir.
5. Taqrib at-Tahzdib, dicetak di Darul Kitab al-‘Arabi, Mesir, tahun
1380 H.
6. Ta’jil al-Manfa’ah bi Zawa’id Rijali al-A’immah al-Arba’ah,
dicetak di Darul Mahasin, Kairo, Mesir, tahun 1386 H.
7. Ad-Durar a-Kaminah fi A’yan al-Mi’ah ats-Tsaminah, dicetak di
Dar al-Jil, Beirut, Lebanon.
8. Syarh Nakhbati al-Fikr, dicetak berkali-kali.
9. Al-Ihtifal bi Bayani Ahwali ar-Rijal.
10. Nuzhatul al-Albab fi al-Alqab.

J. Imam As-Suyuthi
Allah selalu menjaga keutuhan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melalui keberadaan para huffazh hadits yang menghafal hadis-
hadis Nabi. Kalbu-kalbu mereka menjadi wadah penyimpan ilmunya.
Usaha yang mereka lakukan tidaklah mudah, membutuhkan
ketelitian, ketekunan, kecerdasan, dan daya ingat yang kuat. Kesibukan
mereka untuk menepis dusta atas nama Nabi melalui penyeleksian antara
hadis yang sahih dan hadis yang bermasalah (lemah, palsu, dan lain-lain),
menyebarkan hadis yang benar-benar dinisbatkan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan umat dari
hadis-hadis lemah dan palsu agar diwaspadai dan disingkirkan dari umat.
Di antara tokoh terkemuka yang dianggap sebagai pakar hadis pada
masanya, yaitu Imam Al-‘Allamah Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi.
Ulama ini, pada zamannya, dikenal sebagai seorang yang alim
dalam bidang hadis dan cabang-cabangnya, baik yang berkaitan dengan
ilmu rijal, sanad, matan, maupun kemampuan dalam mengambil istimbat
hukum dari hadis.
Beliau lahir setelah waktu magrib, malam Ahad, pada permulaan
tahun 849 H di daerah Al-Asyuth, atau juga dikenal dengan “As-Suyuth”.
Secara lengkap, ia bernama Abdur Rahman bin Kamaluddidn Abu Bakar
bin Muhammad bin Sabiquddin Abu Bakar bin Fakhruddin Utsman bin
Nashiruddin Muhammad bin Saifuddin Khidr bin Najmuddin Abu Ash-
Shalah Ayyub bin Nashiruddin Muhammad bin Syekh Hammamuddin Al-
Hammam bin Al-Kamal bin Nashiruddin Al-Mishri Al-Khudhairi Al-
Asyuthi Ath-Thalani Asy-Syafi’i.
Nasab keluarganya bersambung kepada keluarga Persia, yang
pindah ke Mesir di distrik Khudairiyah, sebelah timur Baghdad, dan
kemudian bermukim di daerah Al-Asyuth, sebelum kelahirannya. Namun,
ada keterangan lain yang menyebutkan bahwa ayahnya berdarah Arab.
Allah menganugerahkan kepadanya kemudahan untuk meraih ilmu
sejak kecil, kecerdasan di atas rata-rata, dengan lingkungan yang kondusif.
Dia hidup di lingkungan keluarga yang kental nuansa ilmiahnya.
Sewaktu kecil, ayahnya pernah membawanya ke majelis Syekh
Muhamamd Al-Majdzub dan memperoleh doa keberkahan darinya. Dia
juga sempat diajak ke majelis Al-Hafizh Ibnu hajar dan
mendapatkan ijazah (rekomendasi periwayatan umum) darinya.
Pada umur lima tahun, sang Ayah meninggal dunia, sehingga ia
tumbuh dalam keadaan yatim. Setelah itu, ia berada di bawah pengasuhan
beberapa ulama besar pada masa itu. Di antaranya, Kamaluddin bin Al-
Hammad. Di tangan ulama ini, As-Suyuthi kecil menghafal Alquran saat
berusia delapan tahun. Demikian pula, kitab Al-Umdah, Minhajul Fiqh
wal Ushul, dan Alfiyah Ibnu Malik menjadi kitab-kitab berikutnya yang ia
hafal di luar kepala.
Menjadi bagian kenikmatan yang diraih oleh As-Suyuthi, ia hidup
pada masa ulama besar yang sangat mendalami bidang-bidang ilmu yang
beragam. Hal ini membekaskan pengaruh yang dalam pada diri ulama
besar ini dalam aspek luasnya wawasan dan penguasaan ilmiahnya.
As-Suyuthi memulai kesibukannya mencari ilmu dalam usia empat
belas tahun. Dia mengaku, “Aku mulai menyibukkan diri dengan
pendalaman ilmu agama sejak permulaan tahun 864 H. Aku pelajari fikih
dan nahwu dari sejumlah guru. Aku mengkaji ilmu faraidh (ilmu
pembagian
warisan) dari Allamah Syihabuddin Asy-Syamashai. Dengan Syekh ini,
aku mempelajari kitab Al-Majmu. Pada tahun 866 H, aku sudah mendapat
rekomendasi untuk mengajar Bahasa Arab dan sempat menulis kitab
pertamaku yang berjudul Syarah Al-Isti’adzah wal Basmalah.”
Adapun untuk ilmu fikih, ia pelajari dari Sirajuddin Al-Bulqini.
Tafsir, ia reguk dari Asy-Syaraf Al-Manawi. Ilmu Bahasa Arab, ia pelajari
dari Taqiyyuddin Asy-Syumani dan Muhyiddin Ar-Rumi.
Berkaitan dengan ilmu hadis, ia menjumpai ulama-ulama senior
dalam bidang itu, sehingga ia dapat mempelajari kitab ummahatu kutubil
hadits (buku-buku induk hadis) dan mushthalah kepada ulama-ulama yang
kompeten dalam bidang tersebut, misalnya: Taqiyyuddin Asy-Syibii,
Qasim bin Qathlu Bugha, dan Taqiyyuddin bin Fahd. Ia mempelajari kitab
Shahih Muslim dari Syamsuddin As-Sakrafi. Ia mengkaji kitab Nakhbatul
Fikr di hadapan At-Taqiyyi Asy-Syumani.
Para guru As-Suyuthi juga tidak terbatas kaum lelaki saja. Dia juga
sempat belajar dari beberapa guru wanita yang ahli dalam bidang hadis
maupun fikih pada masa itu. Di antaranya: Ummu Hana Al-Mishriyyah,
Aisyah bin Abdil Hadi, Sarah binti As-Siraj bin Jama’ah, Zainab binti Al-
Hafizh Al-Iraqi, dan Ummu Fadhal binti Muhammad Al-Maqdisi.
Guna menimba ilmu, dia tak segan-segan berkeliling kota di
banyak negeri, untuk menjumpai ulama-ulama lainnya yang ahli di
bidangnya. Kota-kota di Syam, Hijaz, India, Maroko, Sudan pernah ia
jelajahi.
Tatkala sampai di Mekkah, pada Rabiul Awwal 869 H, untuk
menunaikan ibadah haji, ia meneguk air zamzam seraya memanjatkan doa
agar mencapai derajat ilmiah dalam fikih sekelas Sirajuddin Al-Bulqini
dan dalam bidang hadis sekelas Al Hafizh Ibnu Hajar.
Dalam perjalanannya menuntut ilmu agama, ia mempunyai prinsip
dalam mencari ilmu, yaitu menerapkan dua manhaj talaqqi ilmu (metode
mencari ilmu). Pertama, memilih satu guru dan bermulazamah kepada guru
tersebut dalam waktu yang cukup atau sampai sang Guru meninggal.
Kedua, dalam mencari ilmu, ia tidak membatasi diri pada syekh-syekh
tertentu saja.
Walaupun ia seseorang yang bermazhab Syafi’i dalam bidang fikih,
ternyata itu tidak menghalanginya untuk mendalami fikih dari Izzudin Al-
Hanafi.
Berkat ketekunan dan ketelatenannya dalam memperdalam ilmu,
akhirnya, As-Suyuthi mampu menguasai ilmu agama. Tidak hanya dalam
satu disiplin ilmiah ia menjadi kampiun, tetapi lebih dari satu disiplin
ilmiah.
Dia pernah berkata, “Aku dikaruniai kedalaman ilmu dalam tujuh
bidang, yaitu: tafsir, hadis, fikih, nahwu, al-ma’ani, al-bayan, dan al-badi.”
Dalam kesempatan lain, ia berkata tentang dirinya, “Kalau aku mau,
aku akan menulis sebuah karya tulis dalam setiap permasalahan, lengkap
dengan keterangan para ulama dan dalil-dalilnya yang naqli atau
pun qiyasi serta komparasi (perbandingan) antar-mazhab, namun itu semua
dengan pertolongan dari Allah, bukan lantaran kemampuan atau
kekuatanku.”
Pertama kali ia mengeluarkan fatwa terjadi pada tahun 871 H.
Ketika itu, kemampuan ilmiahnya sudah banyak, sehingga banyak
pertanyaan yang diarahkan kepadanya dari banyak tempat. Dari sini, ia
mulai berfatwa dan menjawab permasalahan agama. Fatwa-fatwa ulama
ini bisa dijumpai melalui kitabnya yang berjudul Al-Hawi.
Beliau masih memberikan fatwa sampai beliau meninggalkan
gelanggang ini dan memilih hidup menyendiri di kediamannya di Raudhah.
Ada beberapa jabatan yang ia pegang pada masa hidupnya. Semuanya tidak
lepas dari dunia keilmuan. Pertama kali, ia mengajar Bahasa Arab dengan
rekomendasi gurunya yang bernama Taqiyyuddin Asy-Syumani.
Kemudian, kesibukannya mengajar mulai bertambah di Jami’ Asy-
Syaukani, Jami’ Thalani, dan secara khusus mengajar hadis di
Syaikhuniyah.
Hubungannya dengan para Khalifah Abbasiyah terjalin dengan
baik, tumbuh berdasarkan rasa kasih sayang. Sikap saling menasihati dan
memberi pengertian menghiasai persahabatan mereka. Dia menjalin
hubungan yang baik ini lantaran meyakini harusnya kakhilafahan berada di
tangan orang-orang keturunan Suku Quraisy. Adapun hubungan dengan
para penguasa Daulah Mamalik yang menguasai Mesir, ia sangat menjaga
diri.
Dia sempat menjumpai lima belas penguasa Daulah Mamalik dan
berhubungan juga dengan mereka, tetapi dengan penuh kewaspadaan diri
dan menjaga ‘izzah (harga diri, ed.). Hingga kemudian ia tidak pernah lagi
menjalin hubungan dengan mereka. Dalam hal ini, dia menulis kitab Ma
Rawhu As-Salathin fi Adami Al-Maji ila As-Salathin.
Salah seorang penguasa Daulah Mamalik sering memintanya untuk
datang ke istana, tetapi ia tidak pernah menyambut permintaan itu. Sampai
ada yang berkomentar kepadanya, “Sesungguhnya, sebagian orang alim
kerap datang kepada penguasa dan raja untuk menyelesaikan persoalan
masyarakat.” As-Suyuthi menjawab, “Petunjuk salaf yang menganjurkan
untuk tidak sering-sering mengunjungi mereka. Itu adalah lebih baik.”
Meski begitu, ternyata tokoh-tokoh negara tetap mengunjungi
ulama ini. Demikian juga orang-orang kaya. Sering, dalam kunjungan itu,
mereka menawarkan harta benda, namun As-Suyuthi menolaknya dan
mengembalikannya kepada sang pemilik.
Pada usia empat puluh tahun, ia mengundurkan diri dari kegiatan
mengajar, untuk menyendiri. Permohonan diri ini ia tulis dalam bukunya,
At-Tanfis. Setelah itu, kesibukannya lebih banyak untuk ibadah, mengkaji
ulang tulisan -tulisannya, dan menjauhi serba-serbi dunia.
Pada akhir usianya, ia ditimpa penyakit yang ganas, bengkak pada
lengan kirinya. As-Suyuthi meninggal karena pengaruh penyakitnya ini.
Beliau menutup usianya pada malam Jumat, 19 Jumadil Ula 911 H, di
kediamannya di Raudhah, dekat dengan sungai Nil, dalam usia 61 tahun
dan 10 bulan. Pemakamannya dihadiri oleh banyak orang.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam mempelajari hadits kita tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu
yang berkenaan dengan hadits saja, tetapi kita juga perlu mempelajari
tokoh-tokoh yang telah berjasa besar dalam memelihara dan
menyebarluaskan hadits-hadits Nabi yang merupakan sumber ajaran Islam
setelah Al-Qur’an. Berkat jasa merekalah hadits-hadits Nabi Muhammad
saw sampai di tangan kita. Para ulama hadits, adalah tokoh-tokoh agama
yang menempati posisi khusus dalam umat ini.
Kedudukan mereka di mata umat begitu mulia dan agung,
mengingat jasa dan peranan mereka yang begitu besar dalam menjaga
kemurnian syariat Islam. Inilah keistimewaan ulama hadits dibandingkan
ulama dari disiplin ilmu lainnya. Merekalah para pembawa panji sunnah
Nabi, yang merupakan sumber ilmu kedua setelah Alquran. Sunnah
Rasulullah merupakan muara yang padanya setiap cabang ilmu agama
akan kembali. Tidak ada satu ulama pun dari berbagai disiplin ilmu
agama, yang tidak membutuhkan penjelasan mereka tentang sunnah
Rasulullah.
DAFTAR PUSTAKA

Majalah As-Sunnah, edisi 5, tahun IX, 1426 H/2005 M. Dengan penyuntingan


bahasa oleh redaksi www.KisahMuslim.com

biografi-imam-bukhari-buta-di-waktu-kecil-tapi-hafal-100000-hadits-shahih

https://www.asilha.com/2020/11/16/biografi-singkat-imam-bukhari-untuk-
memberikan-motivasi-terhadap-anak-usia-dini/

https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Ismail_al-
Bukharihttps://sanguilmu.com/islam/sejarah-singkat-imam-muslim/

https://id.wikipedia.org/wikiImam_Muslim

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210401173529-284-625067/kisah-
anas-bin-malik-pelayan-setia-nabi-yang-riwayatkan-hadis

Sumber: https://muslim.or.id/21590-biografi-imam-at-tirmidzi.html

Sumber: www.muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/20589-biografi-imam-al-baihaqi.html

https://santri.laduni.id/post/read/46862/biografi-imam-ibnu-hajar-al-asqalani

Anda mungkin juga menyukai