Di susun oleh :
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat yang Maha Kuasa Allah SWT. karena atas
rahmat serta hidayahnya penyusun makalah dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam
tidak lupa penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan penyusun ucapkan terima kasih
kepada Ibu Dr. Kurnia Muhajarah, M.S.i selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu Fiqh.
Dalam penulisan ini, penyusun makalah menyadari bahwa masih banyaknya kesalahan serta
kekeliruan baik dalam hal berkenaan materi maupun dalam hal pengetikan materinya. Maka dari itu,
diharapkan adanya saran dan kritik untuk senantiasa ke depannya dapat memperbaiki kesalahan yang
ada pada makalah ini. Semoga para pembaca makalah ini juga dapat menambah wawasan serta ilmu
pengetahuan setelah membaca makalah ini
DAFTAR ISI
1
Sultan Syarif Kasim, BIOGRAFI IMAM AHMAD IBN HANBAL, Pekanbaru, Riau, 4 Januari, 2005, hal 16
2
Husnul Khatimah, SEJARAH PEMIKIRAN HUKUM AHMAD BIN HANBAL, STAIN Nurul Huda Kapongan, Juni 2017
Pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid yaitu pada umur 16 tahun Imam Ahmad
mulai mempelajari hadist secara khusus.Orang yang pertama kali didatangi untuk belajar
hadist adalah Hasyim ibn Basyr ibn Khazin al-Wasiti.
Tekadnya untuk menuntut ilmu dan menghimpun hadist mendorongnya untuk
mengembara ke pusat-pusat ilmu keIslaman seperti Basrah, Hijaz, Yaman, Makkah dan
Kufah. Bahkan beliau telah pergi ke Basrah dan Hijaz masing-masing sebanyak lima kali.
Dan pengembaraan tersebut beliau bertemu dengan beberapa ulama besar seperti ‘Abd ar-
Razzaq ibn Humam, ‘Ali ibn Mujahid, Jarir ibn ‘Abd al-Hamid, Sufyan ibn ‘Uyainah, Abu
Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim al- Anshari (murid Imam Abu Hanifah), Imam Syafi’i dan lain-
lain. Pertemuannya dengan Imam Syafi’i itulah beliau dapat mempelajari fiqh, ushul fiqh,
nasikh dan mansukh serta kesahihan hadist.
Perhatiannya terhadap hadist membuahkan kajian yang memuaskan dan memberi
warna lain pada pandangan fiqhnya. Beliau lebih banyak mempergunakan hadist sebagai
rujukan dalam memberi fatwa-fatwa fiqhnya.12Karya beliau yang paling terkenal adalah al-
Musnad.Didalamnya terhimpun 40.000 buah hadist yang merupakan seleksi dari 70.000 buah
hadist.Ada yang berpendapat bahwa seluruh hadist dalam kitab tersebut adalah shahih.
Sebagian lainnya mengatakan bahwa didalamnya terdapat beberapa hadist da’if
(lemah).13Dalam al-Musnad tersebut, dapat kita jumpai sejumlah besar fiqh sahabat, seperti
fiqh ‘Umar, fiqh ‘Ali dan fiqh Ibnu Mas’ud. Umur beliau dihabiskan untuk menuntut ilmu
terutama di dalam bidang hadist. Beliau tidak berhenti belajar walaupun telah menjadi Imam
dan telah berumur lanjut.
Sebagai ulama besar Imam Ahmad tidak luput dari berbagai cobaan.Cobaan terbesar
yang dihadapinya adalah pada masa pemerintahan al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan al-
Wasiq.Pada masa itulah aliran Mu’tazilah mendapat sukses besar karena menjadi mazhab
resmi Negara.Para tokoh Mu’tazilah menghembuskan isu yang tidak bertanggung jawab yaitu
terjadinya peristiwa Khalq al-Qur’an (pemakhlukan terhadap al-Qur’an).
BAB II
KARYA DAN PEMIKIRAN IMAM HANBALI
Ahmad ibn Hanbal adalah seorang ilmuwan yang produktif. Diabanyak menulis kitab.
Salah satu kitabnya yang paling agung dan monumental adalah kitab yang diberi nama
Musnad Ahmad ibn Hanbal.Yaitu kitab yang berupa kumpulan hadits Rasulullah SAW yang
berjumlah 40.000 hadits. Hadits-hadits tersebut dia kumpulkan dari perawi-perawi yang
dipercayai. Kitab tersebut dijadikan pedoman dalam menyelidikihadits-hadits. Kitab dia yang
lain adalah “Az Zuhdi” yang menjelaskan sampai kemana kezuhudan Nabi- Nabi, sahabat-
sahabat, khalifah-khalifah danimam yang bersumberkan hadits, atsardan “akhbar”. Adapun
kitab-kitab yang lainnya adalah:
1. Kitab al-‘Ilal
2. Kitab al-Tafsir
3. Kitab al-Nasikh wal Mansukh
4. Kitab Al-Zuhd
5. Kitab Al-Masail
6. Kitab Fadail al-Sahabah
7. Kitab Al-Faraid
8. Kitab Al-Manasik
9. Kitab Al-Imam
10. Kitab Al-Asyribah
11. Kitab Ta’at al-Rasul
12. Kitab Al-Rad ‘ala al-Jahmiyyah
Kitab yang disebut terakhir merupakan sebuah buku risalah dari surat Ahmad ibn
Hanbal dalam menanggapi pendapat golongan Jihamiyah, yang mengatakan bahwa : al-
Quran adalah percakapan AllahSWT yang hawadits. Dalam risalah tersebut Imam Ahmad ibn
Hanbal mengatakan bahwa golongan Jihamiyah dengan segala macam pendapatnya itu kafir
dan halal dibunuh.3
3
Sultan Syarif Kasim, BIOGRAFI IMAM AHMAD IBN HANBAL, Pekanbaru, Riau, 4 Januari, 2005
Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari
akar kata dzahaba (pergi). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan
(ath-tharξq). Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang
artinya “pendapat”. Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah
Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam
memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. 4
Selanjutnya Imam Hambali Dalam bidang fiqh, beliau mengemukakan Hujjah
menolak pendapat yang berdasarkan pemikiran sendiri dan yang tidak sesuai dengan al
Quran dan as sunnah. Aliran ini dikenali dengan nama Madzhab Hambali. Imam Hanbali
pun menekankan semangat anti ar ra’yu (pemikiran atau filsafat dengan landasan logik)
Dalam penafsiran terhadap al Quran, Imam Ahmad benar-benar mementingkan
penafsiran yang datangnya dari as sunnah. Adapun sikap beliau dapat diklasifikasikan
menjadi tiga :
a) Sesungguhnya dzahir al-Quran tidak mendahulukan as sunnah
b) HanyaRosulullah SAW saja yang berhak untuk menafsirkan al-Quran, maka tidak
ada seorangpun yang berhak untuk menafsirkannya atau mentakwilkannya
karena as sunnah telah banyak menafsirkan dan menjelaskan al-Quran.
c) Jika tidak ditemukan penafsiran dari Nabi SAW, (maksudnya adalah as sunnah),
maka beliau memakai penafsiran para sahabat, karena merekalah yang
menyaksikan turunnya al-Quran dan mendengarkan takwilnya dari Rosulullah.
Selain itu, para sahabat dinilai lebih mengetahui as sunnah yang mereka
gunakan sebagai penafsir al-Quran.
Fikih Ahmad bin Hanbal dan Metode Itimbath Hukumnya
Pemikiran fikih Imam Ahmad sangat dipengaruhi oleh kedalaman pengetahuannya
tentang hadis. Hadis menempati posisi sentral, di samping Alquran dalam mazhab fikihnya.
Dia menentang keras pendapat yang berdasarkan kepada Alquran semata dengan
mengabaikan hadis. Tetapi bukan berarti Imam Ahmad bersikap pesimis dalam menerima
hadis. Hadis-hadis diseleksinya dengan ketat, terutama hadis-hadis hukum. Hadis-hadis yang
tidak berkaitan langsung dengan masalah hukum, dia memperlonggar seleksi penerimaannya.
Ahmad berprinsip bahwa fatwa harus berdasarkan dalil-dalil yang bisa diterima dan
dipertanggungjawabkan. Dia menentang fatwa tanpa dasar yang kuat atau fatwa yang berdasarkan
pemikiran saja.
4
Taupik dan Ali Mansyur, FIQH DAN 4 MADZHAB Kajian Fiqh-Ushul Fiqh, Bandung, 2014, hal 198
Alquran dan Sunnah disebutkan secara bersamaan dan pada tempat yang sejajar di
peringkat pertama urutan sumber dan dalil hukum. Keduanya mempunyai hubungan timbal
balik yang erat. Kehujjahan sunnah ditetapkan melalui aqidah, sementara itu sunnah sendiri
merupakan penjelasan bagian Alquran. Apabila Ahmad menemukan nash dalam Alquran atau
sunnah, maka ditetapkan hukum berdasarkan dalil tersebut. Dia tidak mempertimbangkan
dalil lain yang mungkin memiliki perbedaan dalam penunjuk hukum dengan nash-nash
tersebut, meski berupa fatwa sahabat sekalipun.
Fatwa Sahabat
Apabila para sahabat mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah hukum dan tidak
terdapat perbedaan pendapat di antara mereka, maka Ahmad menerimanya sebagai sumber
dan dalil hukum setelah alQur'an dan Sunnah. Meskipun tidak terdapat perbedaan pendapat,
Ahmad tidak menyebutnya sebagai ijmak. Ahmad lebih suka menyebutnya dengan fatwa
sahabat.
Hadis Mursal dan Hadis Dha'if
Dalil dan sumber hukum selannjutnya menurut Ahmad adalah hadis mursal dan hadis
dha'if. Ahmad membagi tingkatan hadis ditinjau dari kualitas perawinya kepada hadis shahih
dan hadis dha'if. Hadis dha'if yang dimaksud Ahmad tidak sama dengan hadis dha'if dalam
pengertian ilmu hadis yang membagi hadis kepada, hasan dan dha'if. Hadis dha'if versi
Ahmad dapat dikelompokkan kepada hadis Hasan dalam kategorisasi hadis dalam ilmu hadis
dewasa ini.
Qiyas
Apabila Ahmad tidak menemukan dalil hukum dalam Alquran Sunnah, fatwa sahabat
dan tabi'in, serta hadis mursal dan hadis dha'if, maka Ahmad menggunakan qiyas.
Penggunaan qiyas ini dilakukan dalam keadaan terpaksa, dalam arti tiada dalil-dalil lain
seperti yang disebut di atas. Di samping menggunakan ke lima dalil dan sumber hukum yang
dijelaskan Ibnu Qayyim di atas, menurut Abu Zahra, Imam Ahmad juga menggunakan dalil
atau sumber lain seperti ijmak, al-mashalih, istishlah, zara'i dan istishlah.
Ijmak
Ijmak merupakan kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa tentang suatu hukum
syarah berdasarkan dalil-dalil dari Alquran dan Sunnah (dan juga qiyas menurut sebagian
fuqaha'). Ijmak dari segi lapangan hukumnya terbagi dua. Pertama, ijmak tentang dasar-dasar
kewajiban seperti jumlah raka'at salat, puasa dan haji. Barang siapa yang mengingkari ijmak
ini berarti mengingkari masalah-masalah agama yang harus diketahui secara pasti dan berarti
telah keluar dari Agama; kedua, Ijmak di luar masalah-masalah di atas seperti ijmak para
sahabat tentang kewajiban membunuh orang yang murtad.
BAB III
DASAR HUKUM DAN METODE ISTINBATH IMAM HANBALI
Adapun dasar-dasar hukum yang digunakan Imam Ahmad bin Hanbal adalah:
1. Al-Qur’an dan Hadits, yakni apabila beliau mendaparkan nash, maka beliau tidak
lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-
pendapat sahabat yang menyalahinya.
2. Ahmad bin Hanbal berfatwa dengan fatwa para sahabat, ia memilih pendapat
sahabat yang tidak menyalahinya (ikhtilaf) dan yang sudah sepakat.
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad bin Hanbal memilih salah satu
pendapat mereka yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan asSunnah.
4. Ahmad bin Hanbal menggunakan Hadits Mursal dan Dhaif apabila tidak ada atsar,
qaul sahabat atau ijma’ yang menyalahinya.
5. Apabila tidak ada dalam nash, as-Sunnah, qaul sahabat, riwayat masyhur, hadits
mursal dan dhaif, Ahmad bin Hanbal menganalogikan (menggunakan qiyas) dan
qiyas baginya adalah dalil yang digunakan dalam keadaan terpaksa.
Metode Istinbāţh hukum Imam Ahmad bin Hanbal
Metode Istinbāţh Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum apabila beliau
telah mendapati suatu nash dari Al-Qur’an dan dari Sunnah Rasul yang shahihah, maka
beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu.
Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun dari
hadits shahih, maka ia menggunakan fatwafatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada
perselisihan di kalangan mereka.
Apabila terdapat perbedaan di antara fatwa para sahabat, maka Imam Ahmad ibn
Hanbal memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila ia tidak
menemukan dari tiga poin di atas, maka beliau menetapkan hukum dengan hadits mursal dan
hadits dha’if. Dalam pandangan Imam Ahmad ibn Hanbal, hadits hanya dua kelompok yaitu,
hadits shahih dan hadits dha’if.
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan
hadits dha’if, maka ia menganalogikan/menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang
digunakan dalam keadaan dharurat (terpaksa). Dan yang terakhir, Imam Ahmad bin Hanbal
juga menggunakan sadd al-dzara’i untuk melakukan tindakan preventif terhadap hal-hal yang
negatif.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pemaparan tersebut, kita dapat mengetahui bahwa Ahmad bin Hanbal adalah
seorang ilmuan hukum yang termasuk paling tekstual dalam memahami Al Qur’an dan
sunnah. Kecintaan beliau terhadap sunnah dan hadith Nabi Muhammad SAW, membuat
beliau dikenal masyarakat luas sebagai ilmuan hadith daripada ilmuan fiqh. Sebagai
pembela hadith Nabi yang sangat gigih, dapat dilihat dari cara-cara yang digunakan
dalam memutuskan hukum, yakni tidak menggunakan akal kecuali dalam keadaan yang
sangat terpaksa.
Pemikiran fikih Imam Ahmad sangat dipengaruhi oleh hadis dan keluasan
pengetahuannya tentang hadis. Hal ini terlihat jelas dari penempatan posisi hadis dalam ushul
fikihnya dan intensitas penggunaan hadis dan fatwa-fatwanya. Oleh sebab itu corak
pemikiran fikih Ahmad Ibn Hanbal disebut juga dengan fikih sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
H, K. (2017, Juni). SEJARAH PEMIKIRAN HUKUM AHMAD BIN HANBAL. 11(1). Retrieved
Mei 17, 2022
Marzuki. (2005, Agustus). AHMAD BIN HANBAL. Pemikiran Fikih dan Ushul Fikihnya, 2.
Retrieved Mei 17, 2022
Ningrum, I. S. (2017). Dasar-Dasar Para Ulama Dalam Berijtihad dan. 5(1). Retrieved Mei 17, 2022
S, S. K. (2005, januari 4). BIOGRAFI IMAM IBN HANBAL. BAB II. Retrieved Mei 17, 2022
Taupik, A. k. (2014). FIQIH 4 MADZHAB. Kajian Fiqh-Ushul Fiqh. Retrieved Mei 17, 2022, from
https://journal.ibrahimy.ac.id/index.php/lisanalhal/article/view/166