Anda di halaman 1dari 28

TUGAS AL-ISLAM KEMUHAMMADIYAAN

SEJARAH PERKEMBANGAN MAZHAB HANAFI, SYAFI’I, HAMBALI,

MALIKI DAN ZHAHIRI

DOSEN PEMBIMBING

Dr. ANI ARYATI, S.Ag., M.Pd.I

DISUSUN OLEH :

HALIMAH TUSAKDIAH (94221004)

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

PALEMBANG

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK KIMIA

2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
A. Sejarah Mazab Hanafi................................................................................ 1
1. Biografi Singkat Imam Hanafi............................................................. 1
2. Metode Ijtihad Imam Hanafi................................................................ 3
B. Sejarah Mazhab Syafi’i....................................................................................... 5

1. Biografi Singkat Imam Syafi’i............................................................. 5


2. Metode Ijtihad Imam Syafi’i................................................................ 8
3. Perkembangan Mazhab Syafi’i............................................................. 9
C. Perbedaan Istinbat Hukum Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i.......................... 10

D. Mazhab Maliki.................................................................................................... 12
1. Metodologi ..........................................................................12
2. Perkembangan ..........................................................................14
3. Kitab-Kitab ..........................................................................16
E. Mazhab Hambali................................................................................................. 17
1. Metodologi ..........................................................................17
2. Perkembangan ..........................................................................18
3. Kitab-Kitab ..........................................................................21
F. Mazhab Zhahiri................................................................................................... 22
1. Kedudukan mazhab Zhahiri.................................................................. 24
2. Ulama penganut mazhab Zahiri............................................................ 25

ii
SEJARAH PERKEMBANGAN MAZHAB HANAFI, SYAFI’I,

HAMBALI, MALIKI DAN ZHAHIRI

A. Sejarah Mazhab Hanafi

1. Biografi Singkat Imam Hanafi

Mazhab Hanafi merupakan mazhab yang paling tua di antara

empat mazhab ahli sunnah wal jama’ah yang populer. Mazhab ini

dinisbahkan kepada imam besar Abu Hanifah An- Nu’man bin Tsabit bin

Zauti At-Taimi Al-Kufi atau lebih dikenal dengan nama Abu Hanifa. Abu

Hanifah dilahirkan di Kufah tahun 80 H, dan meninggal di Baghdad tahun

150 H.

Imam Abu Hanifah tumbuh dalam keluarga pedagang, namun

ketekunannya yang tinggi mempelajari ilmu agama mengantarkannya pada

kedudukan yang tinggi di kalangan ulama. Dikenal sebagai kalangan

tabi‟it Tabi‟in (generasi setelah tabi‟in), meskipun pada masanya ada

beberapa orang sahabat yang masih hidup, namun beliau tidak sempat

menemuinya dan berguru kepadanya. Maka beliau berguru kepada

beberapa orang tabi‟in yang sempat berguru kepada para sahabat

radhiallahuanhum ajma‟in.

Menurut suatu riwayat, ia dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah,

karena ia mempunyai seorang putra bernama Hanifah. Menurut kebiasaan,

nama anak menjadi panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu

(Bapak/Ayah), sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Tetapi

1
menurut Yusuf Musa, ia disebut Abu Hanifah karena ia selalu berteman

dengan “tinta” (dawat), dan kata Hanifah (‫ )حنيفة‬menurut bahasa Arab

berarti “tinta”. Abu Hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis dan

mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari teman-temanya.

Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di Kufah yang pada waktu itu

merupakan pusat pertemuan para ulama fiqih yang cenderung rasional. Di

Irak terdapat Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah bin Mas’ud

(wafat 63 H/682 M). kepemimpinan madrasah Kufah kemudian beralih

kepada Ibrahim Al-Nakhha’i, lalu Hammad bin Sulaiman Al-Asy’ari

(wafat 120 H). Hammad bin Sulaiman adalah seseorang Imam Besar

(terkemuka) ketika itu. Ia murid dari Al-Qamah ibn Qais dan Al-Qadhi

Syuriah, keduanya adalah tokoh dan pakar fiqih yang terkenal di Kufah dari

golongan tabi‟in. dari Hammad ibn Abi Sulaiman itulah Abu Hanifah

belajar fiqih dan hadits. Setelah itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke

Hijaz untuk mendalami fiqih dan hadits sebagai nilai tambah dari apa yang

ia peroleh di Kufah. Sepeninggal Hammad, majelis madrasah Kufah

sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala madrasah. Selama

itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqih.

Fatwa-fatwa itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi

yang dikenal sekarang ini.

Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah, ahli zuhud

serta sudah sampai kepada tingkatan ma’rifat kepada Allah SWT. Dalam

bidang fiqih beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal

abad kedua hijriah dan beliau banyak belajar pada ulama-ulama Tabi‟in,

2
seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar. Abu Hanifah

adalah seorang ulama yang sangat mempunyai kepandaian yang sangat

tinggi dalam mempergunakan ilmu mantiq dan menetapkan hukum syara‟,

dengan qiyas dan istihsan. Beliau juga terkenal sebagai seorang ulama yang

berhati- hati dalam menerima sesuatu hadits.

Murid-murid Abu Hanifah yang juga beperan dalam

mengembangkan dan memperluas pandangan-pandangan (pendapat-

pendapat) Abu Hanifah adalah sebagai berikut:

a. Abu Yusuf bin Ibrahim Al-Anshari (113-183 H)

b. Zufar bin Huzail bin Qais Al-Kufi (110-158 H)

c. Muhammad bin Hasan Bin Farqad as Syaibani (132-189 H)

d. Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu Al-Kufi Maula Al-Anshari (133-204 H)

Empat orang inilah murid Abu Hanifah yang peling terkenal.

Mereka adalah merupakan ulama-ulama Hanafiah yang berusaha

menyebarkan pendapat-pendapat serta mempertahankannya. Hal ini sesuai

dengan uraian Khudlari Beyk sebagai berikut: Empat orang itulah yang

menyebarkan mazhab orang-orang Irak (Mazhab Hanafi) dan orang-orang

menerimanya dari mereka berempat.

2. Metode Ijtihad Imam Hanafi

Abu Hanifah dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berpegang

kepada Al-Kitab, As-Sunnah, Al-Ijma’, Al-Qiyas dan Istihsan. Dalam

menjelaskan dasar-dasar mazhabnya Abu Hanifah berkata sebagai berikut:

3
“Aku berpegang dengan Kitabullah. Jika tidak aku dapatkan
(dalam Kitabullah),maka aku berpegang kepada sunnah Rasulullah
SAW. Dan Jika aku tidak mendapatkannya, dalam kitabullah dan
Sunnah Rasul maka aku berpegang kepada perkataan para sahabatnya.
Maka jikalau perkara itu sudah sampai kepada Ibrahim An Nakha‟I,
Asy Sya‟bi, Ibnu SIrin, Al-Hasan, Atha dan Sa‟id bin Musayyab…
mereka kesemuanya berijtihad, maka akupun berijtihadlah sebagaimana
mereka berijtihad.6

Menurut sejarawan, bahwa pada masa pemerintahan dinasti

Umayyah dan Abasiyyah, Abu Hanifah pernah ditawari beberarapa

jabatan resmi, seperti di Kufah yang ditawarkan oleh Yazid bin Umar

(pembesar kerajaan), akan tetapi Abu Hanifah menolaknya. Pada masa

dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far Al-Manshur pernah pula meminta

kedatanganya di Baghdad untuk diberi jabatan sebagai hakim, namun ia

menolaknya. Akibat penolakan itu ia dipenjarakan sampai ia meninggal

dunia. Abu hanifah hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah

dan 18 tahun pada masa dinasti Abbasiyah. Alih kekuasaan dari Umayyah

yang runtuh kepada Abbasiyah yang naik tahta, terjadi di Kufah sebagai

ibu kota Abbasiyah sebelum pindah ke Baghdad. Kemudian dibangun oleh

khalifah kedua Abbasiyah Abu Ja’far Al-Manshur (754-775 M), sebagai

ibu kota kerajaan tahun 762.

3. Perkembangan Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak). Kemudian

berkembang dan tersebar luas ke Negara-negara Islam bagian timur pada

permulaan masa perkembangannya berkat kekuasaan Imam Abu Yusuf

yang menjabat Hakim Agung di Baghdad dan berkat pengutamaan

khalifah-khalifah Abasiyah terhadap mazhab tersebut dalam lapangan

4
peradilan. Para pengikutnya tersebar di berbagai Negara, seperti Irak,

Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunis, Turkistan, Syiria, Mesir dan

Libanon. Mazhab Hanafi pada masa Khilafah Bani Abbas merupakan

mazhab yang banyak dianut oleh umat Islam dan pada pemerintahan

kerjaan Usmani, mazhab ini merupakan mazhab resmi Negara. Sekarang

penganut mazhab ini tetap termasuk golongan mayoritas di samping

mazhab Syafi’i.

B. Sejarah Mazhab Syafi’i

1. Biografi Singkat Imam Syafi’i

Mazhab ini dinisbatkan kepada Muhammad bin Idris bin Al-

Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Shaa’ib bin Abdullah bin Ubaid bin

Hasyim bin Al-Muthalib bin Abdu Manaf bin Qushai Al- Qurasyi Al-

Mathlabi Al-Hijazi Al-Makki. Kemudian lebih dikenal dengan Imam

Syafi’i. nasab keturunannya bertemu Rasulullah SAW pada Abu Manaf.

Imam Syafi’i dilahirkan di Gaza (Palestina) tahun 150 H, yaitu tahun

wafatnya Abu Hanifah. Bapaknya meninggal ketika beliau masih kecil,

kemudian pada usia dua tahun dibawa ibunya ke Mekkah dan belajar Al-

Qur’an di sana. Sedangkan wafatnya di negeri Mesir pada tahun 204 H.

Sejak kecil sudah tampak kecerdasannya, setelah hafal Al-Qur’an pada

usia tujuh tahun dia menghafal kitab Muwaththa karangan Imam Malik,

pada usia sepuluh tahun.

Pada usianya yang ke-20, beliau meniggalakan Mekkah

mempelajari ilmu fiqih dari Imam Malik. Merasa masih harus

memperdalam pengetahuannya beliau berangkat ke Irak sekali lagi

5
mempelajari fiqih dari murid-murid Imam Abu Hanifah yang masih ada.

Dalam perantauannya tersebut, beliau juga sempat mengunjungi Persia

dan beberapa tempat lain. Setelah wafat Imam Malik (179 H), beliau

kemudian pergi ke Yaman menetap dan mengajarkan ilmu di sana, Harun

Al-Rasyid setelah mendengar kehebatan beliau kemudian meminta beliau

untuk datang ke Baghdad. Imam Syafi’i memenuhi undangan tersebut

sejak saat itu beliau dikenal secara luas dan banyak orang belajar

kepadanya. Pada waktu itulah mazhab beliau mulai dikenal.

Ibnu Hajar mengatakan pula, bahwa ketika kepemimpinan fiqih di

Madinah berpuncak pada Imam Malik, Imam Syafi’i pergi ke Madinah

untuk belajar kepadanya. Dan ketika kepemimpinan fiqih di Irak

berpuncak pada Abu Hanifah dan Syafi’i belajar fiqih di Irak kepada

Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibany salah seorang murid Abu

Hanifah, oleh sebab itu pada Imam Syafi’i berhimpun pengetahuan fiqih

Ashab Al-Hadits (Imam Malik) dan fiqih Ashab Al-Ra’yi (Abu Hanifah).

Ketika usianya mendekati 30 tahun, imam Syafi’i menikahi

seorang wanita bernama Humaidah binti Nafi’ bin Uyaynah bin Amr bin

Utsman bin Affan. Pernikahan tersebut dilangsungkan setelah gurunya

Imam Malik bin Anas meninggal dunia. Di samping menikahi wanita

terhormat, Imam Syafi’i juga menikahi seorang budak perempuan. Dari

pernikahannya dengan wanita keturunan Utsman ini, ia dikarunia seorang

putra dan dua putri, anak pertamanya bernama Abu Utsman Muhammad

menjadi hakim di kota Aleppo. Sedangkang dua putrinya bernama

Fatimah dan Zainab. Adapun dari pernikahannya dengan budak

6
perempuan, Imam Syafi’i hanya dikaruniai seorang anak yang diberi nama

Al- Hasan bin Muhammad bin Idris yang meninggal saat masih kecil.

Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam, hal ini berdasarkan atas

masa dan tempat beliau mukim. Yang pertama adalah Qaulul Qadim,

yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidup di Irak. Dan yang kedua

ialah Qaul Jadid, yakni mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di

Mesir pindah dari Irak. Dalam menerangkan keistimewaan Imam

Syafi’i, pengarang I‟annatut Thaalibin menyatakan :

Bahwasanya Imam Syafi‟i r.a membagi malam kepada tiga


bagian: sepetiganya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, sepertiga
lagi dipergunakan unruk sembahyang dan yang sepertiganya lagi untuk
istirahat (tidur). Dan bahwa beliau setiap hari membaca Qur‟an satu
kali khatam, sedang pada bulan ramadhan beliau menamatkan Qur‟an
sampai enam puluh kali khatam, yang kesemuanya itu beliau baca
sewaktu dalam sembahyang.13

Imam Syafi’i banyak mempunyai sahabat-sahabatnya baik di Irak

maupun di Mesir. Mereka itu adalah orang-orang yang menjadi juru

dakwah dan berusaha mengembangkan mazhab Syafi’i. adapun sahabat-

sahabat beliau yang berasal dari Irak ialah antara lain:

a. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid bin Yaman Al-Kalahi Al- Bagdadi.

b. Ahmad bin Hanbal yang menjadiImam Mazhab keempat.

c. Hasan bin Muhammad bin Shabah Az Za’farani Al- Bagdadi.

d. Abu Ali Al Husain bin Ali Al Karabisi.

e. Ahmad bin Yahya bin Abdul Aziz Al-Bagdadi.

Adapun sahabat Imam Syafi’i dari Mesir ialah:

a. Yusuf bin Yahya al Buwaithi al Misri.

7
b. Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al Muzani al Misri.

c. Rabi’ bin Abdul Jabbar al Muradi.

d. Harmalah bin Yahya bin Abdullah Attayibi.

e. Yunus bin Abdul A’la Asshodafi al Misri

f. Abu Bakar Muhammad bin Ahmad.

Itulah sahabat-sahabat Imam Syafi’i dan murid-muridnya yang

terkenal dan menjadi sumber bagi orang-orang yang mempelajarinya,

karena mereka menyusun dan mengarang kitab- kitab yang memuat

pendapat-pendapat mazhab Syafi’i. Hingga akhirnya mazhab Syafi’i

berkembang ke seluruh pelosok dunia Islam.

2. Metode Ijtihad Imam Syafi’i

Metode ijtihad yang digunakan oleh Imam Syafi’i dapat

dipahami dari perkataannya yang tercantum dalam kitabnya, Al- Umm,

sebagai berikut:

dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur‟an dan Sunnah. Jika tidak


ada, maka dengan mengqiyaskan kepada Al- Qur‟an dan Sunnah.
Apabila Sanad hadits bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Dan
shahih sanadnya, maka itulah yang dikehendaki. Ijma‟ sebagai dalil
adalah lebih kuat khabar ahad dan hadits menurut zhahirnya. Apabila
suatu hadits mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang
zhahirlah yang utama. Kalau hadits itu sama tingkatannya, maka yang
lebih shahihlah yang lebih utama. Hadits munqhati‟ tidak dapat
dijadikan dalil kecuali jika diriwayatkan oleh Ibnu Al-Musayyab. Suatu
pokok tidak dapat diqiyaskan kepada pokok yang lain dan terhadap
pokok. Tidak dapat dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada
cabang dapat dikatakan mengapa, apabila sah mengqiyaskan cabang
kepada pokok, maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah.

Dari perkataan beliau tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa

8
pokok-pokok pikiran beliau dalam mengistinbatkan hukum adalah:

a. Al-Qur’an dan As-Sunnah

b. Ijma’

c. Qiyas

Qiyas sebagai langkah penetapan hukum, Imam Syafi’i sangat

berhati-hati. Qiyas digunakan hanya apabila di dalam Al- Qur’an dan

Sunnah Nabi tidak membicarakan sesuatu yang ditanyakan hukumnya.

Nas Al-Qur’an dan Al-Hadits yang sudah jelas maksudnya, apalagi sudah

diamalkan oleh Nabi dan para sahabatnya, tidak perlu dipersoalkan

kemungkinannya untuk ditakwilkan. Beliau tidak ‚berpikir bebas seperti

yang ditempuh Abu Hanifah. Ia berpendapat bahwa, ilmu itu Al-Kitab,

Al-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Atsar, baru kemudian Al-Qiyas. Qiyas tidak

boleh dilakukan kecuali oleh orang yang menguasai hukum-hukum Kitab

Allah, Sunnah Rasul dan pendapat kaum salaf, ijma’ dan ikhtilaf, serta

bahasa Arab yang baik dan benar.

3. Perkembangan Mazhab Syafi’i

Penyebaran mazhab Syafi’i ini antara lain di Irak, lalu berkembang

dan tersiar di Khurasan, Pakistan, Syam, Yaman, Persia, Hijaz, India,

daerah-daerah Afrika dan Andalusia sesudah tahun 300 H. Pada masa

sekarang, mazhab Syafi’i dianut oleh umat Islam di Libia, Mesir,

Indonesia, Philipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina,

Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China,

Sunni-Russia dan Yaman. Demikianlah keadaan mazhab Syafi’i pada

9
masa sekarang ini. Dan bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia

menganut mazhab tersebut sejak dulu hingga dewasa ini.17

C. Perbedaan Istinbat Hukum Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i

Perbedaan istinbat atau pendapat dalam hukum Islam bagaikan buah

yang banyak yang berasal dari satu pohon, yaitu pohon Al-Qur’an dan

Sunnah. Bukan sebagai buah yang banyak yang berasal dari berbagai macam

pohon. Akar dan batang pohon itu adalah Al-Qur’an dan Sunnah, cabang-

cabangnya adalah dalil-dalil naqli dan aqli, sedangkan buahnya adalah hukum

Islam (fiqih) meskipun berbeda-beda atau banyak jumlahnya. Dalam sejarah

perkembangan hukum Islam, perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum

beberapa masalah hukum telah terjadi dikalangan para sahabat Rasulullah

SAW. Ketika beliau masih hidup perbedaan pendapat itu segera dapat

dipertemukan dengan mengembalikannya kepada Rasulullah SAW. Setelah

beliau wafat, maka sering timbul perbedaan pendapat di antara para sahabat

dalam menetapkan hukum terhadap masalah tertentu.

Perbedaan pendapat (khilafiyah) bukan hal yang harus diributkan,

apalagi sampai meretakkan ukhuwah Islamiyah karena suatu kelompok

merasa paling benar dan menyalahkan yang lain. Perbedaan pendapat adalah

sesuatu yang wajar. Kita, yang tidak sanggup berijtihad sendiri, boleh ittiba',

yakni mengikuti atau memilih pendapat mana saja sesuai keyakinan dan

pemahaman kita sendiri, disertai pengetahuan dan pemahaman akan

landasan/argumen masing- masing pendapat. Para sahabat Nabi dan para

tabi'in pun sering berselisih pendapat dalam berbagai hukum furu'. Tetapi hal

itu tidak sedikit pun merugikan mereka, dan tidak pula meretakkan

10
persaudaraan dan persatuan mereka. Dalam fiqih atau hukum Islam muncul

madzhab-madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Dalam bidang

politik muncul aliran-aliran: Sunni, Syi'ah, dan Khawarij. Dalam tasawuf

tampil aliran-aliran: Al-Ghazali, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd. 18

Terdapat beberapa perbedaan pendapat antara mazhab Hanafi dan

Mazhab Syafi’i sebagai contoh, dalam masalah hukum orang yang

meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa

shalat itu wajib. Menurut pendapat Hanafi orang yang meninggalkan shalat

wajib dengan alasan karena malas dan meremehkan orang tersebut harus

ditahan selama-lamanya, atau sampai ia sadar. Sedangkan menurut Syafi’i

orang tersebut harus dibunuh.

Perbedaan masalah selanjutnya yaitu permaslahan tentang menikahai

anak dari hasil zina, pada bagian ini terdapat beberapa masalah. Hanafi

bependapat:

“Anak perempuan dari hasil zina itu haram dikawini sebagaimana


keharaman anak perempuan yang sah. Sebab, anak perempuan tersebut
merupakan darah dagingnya sendiri. Dari segi bahasa dan tradisi
masyarakat („urf) dia adalah anaknya sendiri. Tidak diakuinya ia sebagai
anak oleh syar‟i, dari sisi hukum waris, tidak berarti ia bukan anak
kandungnya secara hakiki, namun yang dimaksud adalah menafikan akibat-
akibat syar‟i-nya saja, misalnya hukum waris dan memberi nafkah”.

Sementara itu menurut Syafi’i:

11
“Seorang laki-laki boleh mengawini anak perempuannya dari hasil
zina, saudara perempuan, cucu perempuan, baik dari anaknya yang laki-
laki maupun yang perempuan, dan keponakan perempuannya, baik dari
saudaranya yang laki-laki maupun yang perempuan, sebab wanita-wanita
itu secara syar‟i adalah orang-orang yang bukan muhrim, dan di antara
mereka berdua tidak bisa saling mewarisi”.19

D. Mazhab Maliki

Mazhab Maliki adalah satu dari empat mazhab fikih atau hukum

Islam dalam Sunni. Dianut oleh sebagian umat Muslim yang kebanyakannya

berada di kawasan Hijaz (kini bagian dari Arab Saudi), terutama di Madinah,

kemudian juga di Afrika Utara seperti Mesir, Libya, Tunisia, dan Aljazair,

bahkan hingga ke Eropa seperti Sisilia di Italia dan Andalusia di Spanyol.

Mazhab ini didirikan oleh salah satu imam dan ahli hadis di Madinah, Malik

bin Anas atau bernama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirul

Ashbani. Mazhab ini adalah mazhab yang berdiri kedua dari empat mazhab

Sunni, setelah mazhab Hanafi.

1. Metodologi

Seperti halnya mazhab lainnya, mazhab Maliki memiliki pedoman

dasar yang sistematis. Mazhab ini berpegang pada:

1. Nash Al-Qur'an

2. Dhâhir Al-Qur'an

3. Mafhum Al-Qur'an atau mafhum muwâfaqah

4. Dalil Al-Qur'an atau mafhum muchâlafah

5. Tanbieh Al-Qur'an

12
6. Nash Hadis

7. Dhâhir Hadis

8. Mafhum Hadis

9. Dalil Hadis

10. Tanbieh Hadis

11. Ijma' ahlul Madinah. Terkadang menolak hadits yang berlawanan atau

yang tak diamalkan ulama Madinah

12. Qiyas

13. Perkataan Sahabat (Atsar)

14. Istihsan

15. Amar makruf nahi mungkar

16. Istishhab

17. Mashlahat Mursalah

18. Syariat

Imam Malik memiliki metodologi yang berbeda dibandingkan

dengan imam mazhab yang lain. Perbedaan itu diantaranya; (1) Imam

Malik menjadikan amal ahli Madinah (hujjah) lebih dahulu dari qiyas. (2)

Imam Malik menjadikan mashlahat mursalah sebagai salah satu penetapan

hukum. (3) Imam Malik terkadang memposisikan atsar di atas qiyas. (4)

Imam Malik tidak mensyaratkan kamahsyuran hadis dalam urusan perkara

umum.

Imam Malik juga menggunakan hadis mursal. Beliau juga

mensyaratkan penerimaan hadis ahad, selama hadis itu tidak menyalahi

amal ahli Madinah. Imam Malik juga menetapkan hukum dengan istihsan,

13
tetapi tidak sebanyak penggunaannya pada para fuqahamazhab Hanafi.

Perbedaan yang paling mencolok dari mazhab Maliki ialah beliau

berpegang pada riwayat ahli Hijaz dalam hal perawi Hadis.

2. Perkembangan

Seperti halnya Abu Hanifah dan mazhab Hanafi yang didirikannya,

Imam Malik juga memiliki banyak murid-murid yang tersohor yang juga

berkontribusi dalam penyebaran mazhab Maliki. Beberapa murid Imam

Malik itu antara lain:

1. Abu Marwan 'Abdul Malik Ibn 'Abdul Aziz Ibn Abie Salamah Al-

Madjisjun (212 H)

2. Abu Muhammad 'Abdullah Ibn Wahb Ibn Muslim Al-Quraisy (125 H-

197 H)

3. Asjhab Ibn 'Abdul 'Aziz Al-Qasiy Al-'Amiry Al-Dja'dy (140 H-204 H)

4. Abu Muhammad 'Abdullah Ibn 'Abdul Hakam (155 H-214 H)

5. Abu 'Abdillah 'Abdur Rahman Ibnul Qasim Al-Waqy (191 H)

6. Al-Hasan 'Ali Ibn Zijâd At-Tunisiy (183 H)

7. Ashbagh Ibnul Faradj Al-Amawy (226 H)

8. 'Iesâ Ibn Dienâr Al-Andalusy (212 H)

9. Sahnun 'Abdus Salam Ibn Sa'ied At-Tanuchy (240 H)

10. Yahja Ibn Yahja Ibn Katsier Al-Laisty (234 H)

11. Abu 'Abdillah Zijâd Ibn 'Abdur Rahman Al-Qurtubhy (193 H)

12. 'Abdul Malik Ibn Habieb As-Silmy (238 H)

14
Banyak murid-murid Imam Malik yang rela datang dari negeri-

negeri lain demi menuntut ilmu langsung darinya. Murid-murid Imam

Malik itu dua diantaranya adalah Abu Muhammad 'Abdullah Ibn 'Abdul

Hakam dan Asbagh Ibnul Faradj Al-Amawy berasal dari Mesir. Selain

dari Mesir, Imam Malik juga memiliki murid dari Andalusia (sekarang

bagian dari Spanyol), yakni Abu 'Abdillah Zijâd Ibn 'Abdur Rahman Al-

Qurthuby atau yang dikenal juga dengan nama Sjabthun.

Selain adanya murid Imam Malik yang berasal dari Andalusia,

mazhab Maliki berkembang di sana juga disebabkan oleh beberapa faktor

lain. Faktor- faktor tersebut diantaranya; (1) pemimpin Andalusia saat itu,

Hisyam ibn Abdur Rahman memerintahkan rakyatnya untuk menganut

mazhab Maliki, (2) para hakim (Qadi) di masa kepemimpinan Al-Hakam

ibn Hisjâm diharuskan bermazhab Maliki, dan (3) adanya kesamaan

karakter sosial-budaya antara Madinah dengan Andalusia kala itu.

Salah satu faktor yang mendukung perkembangan mazhab Maliki

di Afrika adalah kepemimpinan Al-Mu'izz ibn Badis di Ifriqiya (sekarang

bagian dari Tunisia). Al-Mu'izz memerintahkan rakyatnya untuk menganut

mazhab Maliki. Sementara itu pula banyak murid-murid Imam Malik yang

berasal dari Mesir kembali ke negerinya dan menyebarkan mazhab Maliki.

Tokoh-tokoh yang berkontribusi menyebarkan mazhab Maliki di Mesir

antara lain; 'Utsman ibn Al-Hakam, 'Abdur Rahman ibn Al-Qasim, Asjhab

ibn 'Abdil Hakam dan Ibn Wahab.

15
3. Kitab-Kitab

Imam Malik adalah salah satu imam mujtahid yang membukukan

dan menyusun sendiri kitabnya. Kitab yang disusun oleh Imam Malik itu

adalah Al-Muwatta, kitab ini pula yang menjadi pegangan dan pedoman

bagi penganut mazhab Maliki di berbagai belahan dunia. Tetapi murid-

murid Imam Malik juga ada yang membukukan fatwa-fatwanya. Murid

Imam Malik yang pertama membukukan fatwa Imam Malik ialah Asad

Ibn Furâd. Kitab yang dibukukan oleh Asad Ibn Furâd kemudian

diberinama Al-Asadijah. Kemudian murid Imam Malik lainnya, yakni Ibnu

Qâsim juga membukukan kitab yang diberinama Al-Mudauwanah yang

didalamnya meliputi kurang lebih 36000 perkara. Kitab Al-Mudauwanah

juga menjadi pegangan para penganut mazhab Maliki.

Selain kitab-kitab di atas, para fuqaha mazhab Maliki juga

memiliki kitab-kitab tersohor lainnya. KItab-kitab tersebut antara lain:[12]

1. Al-Muchtasharul Kabier

2. Al-Muchtarasul Ausath

3. Al-Muchtarasul Shagier (ditulis oleh Abdul Hakam)

4. Ahkâmul Qurän

5. Al-Watsâiq

6. Adabul Qudlâh (ditulis oleh Muhammad Ibn Abdillah Ibn Abdil

Hakam)

7. Al-Djâmi' (ditulis oleh Sahnun)

8. Al-Madjmu'ah (ditulis oleh Muhammad Ibnu Ibrahiem)

9. Al-Mabsuth (ditulis oleh Isma'il Ibn Ishâq Al-Qâdli)

16
E. Mazhab Hambali

Mazhab Hambali atau Al-Hanabilah adalah mazhab fikih dalam

Islam yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Imam Ahmad bin

Hambal atau Imam Hambali.

1. Metodologi

Pada dasarnya prinsip-prinsip dasar dalam mazhab Hambali

hampir sama dengan mazhab Syafi'i, hal ini dikarenakan Imam

Hambali berguru pada Imam Syafi'i. Mazhab Hambali memiliki 5

dasar yang utama, yaitu:

1) Nas Al-Qur'an dan Hadis marfuk.[3][4] Bila Imam Hambali

mendapatkan suatu hadis, beliau kemudian berfatwa (beriftâ)

dengan tidak memperdulikan keterangan-keterangan yang

menyalahinya. Hal tersebut dilakukan Imam Hambali karena beliau

memilih untuk mengabaikan perbuatan-perbuatan yang menyalahi

hadis. Imam Hambali juga tidak mendahulukan suatu pendapat,

baik qiyas ataupun perkataan sahabat diatas kedudukan hadis yang

shahih.

2) Fatwa Sahabat. Bila Imam Hambali mendapat fatwa atau perkataan

dari seorang sahabat Rasul, dan beliau tidak mengetahui pendapat

sahabat lain yang bertentangan dengannya, maka beliau jadikan

fatwa sahabat itu sebagai hujah.

3) Pendapat Sahabat. Bila Imam Hambali mendapati adanya pendapat

dari para sahabat Rasul, maka beliau memilahnya dengan

mempertimbangkan mana yang lebih dekat dengan Al-Qur'an dan

17
Hadis. Imam Hambali juga tidak meninggalkan perkataan para

Sahabat untuk membuat ijtihad sendiri. Jika ada pendapat para

Sahabat yang tidak sesuai atau kurang sesuai dengan Al-Qur'an dan

Hadis, maka Imam Hambali akan menerangkan kekhilafan atau

kekeliruan dengan tidak menegaskan pendapat mana yang akan

diambil.

4) Hadis mursal dan hadis daif. Imam Hambali tetap

mempertimbangkan hadis mursal dan hadis daif apabila tidak

didapati keterangan-keterangan yang menolak hadis tersebut. Bagi

Imam Hambali berhujah dengan hadis daif tidak masalah, selama

hadis daif tersebut tidak bathil, tidak munkar, dan tidak ada perawi-

perawinya yang dituduh dusta. Bagi Imam Hambali melihat dan

merujuk pada hadis mursal dan hadis daif lebih utama dari kias.

5) Kias. Imam Hambali menggunakan kias bila dalam keadaan

mendesak atau darurat saja. Kondisi darurat yang dimaksud adalah

ketika beliau tidak mendapati hadis (baik hadis sahih, hadis mursal,

dan hadis daif) atau perkataan sahabat yang bisa dipakai. Imam

Hambali juga tidak menggunakan kias bila dalil-dalil yang

didapatnya saling bertentangan satu sama lain.

2. Perkembangan

Mazhab Hambali pertama kali berkembang di Bagdad, Irak

yang mana di sanalah tempat asal Imam Hambali. Pada awal abad ke-4

mazhab Hambali mulai menyebar ke kawasan Nejd, lalu kemudian ke

18
Mesir. Menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy yang mengutip dari

para ulama-ulama sejarah Tasjrie', mazhab Hambali kurang banyak

pengikutnya dan kurang luas persebarannya.

Kurang luasnya penyebaran mazhab Hambali dikarenakan

Imam Hambali begitu tegas bepegang tegus pada riwayat, dan tidak

mau berfatwa jika tidak berlandaskan pada nash Al-Qur'an dan hadis

marfuk. Selain itu, Imam Hambali juga sangat sedikit melakukan

ijtihad, beliau juga menggunakan kias hanya ketika terpaksa saja.

Menurut Muhammad Hasbi Ash' Shiddieqy, pendirian Imam

Hambali tegas itulah yang sebenarnya membuat beliau berbeda dengan

imam-imam mazhab yang lain. Walaupun imam-imam yang lain

menggunakan kias juga disebabkan karena tidak menemukannya

dalam nas Al-Qur'an dan Hadis. Pendirian Imam Hambali ini pula

yang membuat beliau menjadi imam mazhab yang paling banyak

mengumpulkan hadis diantara imam mazhab yang lain.[13] Beberapa

ulama mazhab lain pun, juga terkadang melihat mazhab Hambali untuk

menemukan beberapa hadis yang sesuai untuk perkara-perkara

tertentu.

Mazhab Hambali kemudian menemukan momentumnya untuk

tumbuh dan berkembang ketika Arab Saudi berdiri. Kerajaan Arab

Saudi yang didirikan oleh Abdul Aziz bin Saud berdiri di kawasan

Hijaz dan Nejd bermazhab Hambali. Karena pengaruh pemerintahan

Arab Saudi yang menggunakan mazhab Hambali, maka mazhab ini

19
kemudian mulai mendapatkan kedudukan yang istimewa di

masyarakat, khususnya di Arab Saudi.

Meskipun tidak berkembang di wilayah yang luas, Imam

Hambali tetap memiliki banyak murid. Beberapa murid Imam Hambali

yang termasyhur antara lain:

1) Ishâq At-Tamimy, yang terkenal dengan nama Abu Ya'kub Al-

Kausadj.

2) Muhammad Ibn 'Abdullah Al-Baghdady, yang terkenal dengan

nama Hamdan.

3) Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hani 'Ath Thâiy, yang terkenal dengan

nama Abu Bakar Al-Atsram.

4) Ahmad Ibn Muhammad Ibn Al-Hadjdjadj Al-Mawarzy.

5) Ishâq Ibn Ibrahim, yang terkenal dengan nama Ibn Rahawaih Al-

Mawarzy.

Sampul depan kitab Al-Musnad karya Imam Hambali yang

sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu, dipublikasikan oleh

penerbit Maktabae Rehmania di Lahore, Pakistan.

Para murid Imam Hambali juga memiliki murid-murid yang

tersohor, dua diantaranya adalah; 'Umar Ibn Al-Husain atau yang

dikenal dengan nama Abul Qâsim Al-Chiraqy dan Ahmad Ibn

Muhammad Ibn Hârun yang dikenal juga dengan nama Abu Bakr Al-

Challâal.

20
3. Kitab-Kitab

Sebenarnya Imam Hambali melarang murid-muridnya untuk

mencatat fatwa-fatwa yang beliau katakan, hal ini dikarenakan Imam

Hambali khawatir fatwanya akan menjadi panduan fikih yang umum

dan tetap untuk segala zaman. Imam Hambali juga khawatir jika

diantara fatwa-fatwa beliau ada yang keliru dan sudah diubah dengan

fatwa-fatwa yang lain.

Meskipun melarang muridnya untuk mencatat perkataannya,

Imam Hambali tetap menulis kitab hadis yang diberinama Al-Musnad

atau yang dikenal juga dengan nama Musnad Ahmad. Kitab tersebut

berisi 40.000 hadis.[17] Imam Hambali berkata dalam musnadnya:

"Aku telah kumpulkan dalam Musnad ini segala hadis Nabi. Tidak ada

di dalam kitabku, hadis yang tidak dapat dijadikan hujah.

Al-Musnad ini adalah kitab hadis yang terbesar diantara kitab-

kitab fikih mazhab lainnya. Selain itu kitab Al-Musnad ini juga adalah

kitab hadis terbesar yang masuk dalam percetakan modern.

Pada periode awal mazhab hanbali, banyak diantara murid-

murid Imam Ahmad yang membukukan pendapat-pendapat beliau

dalam kitab-kitab masail, diantaranya karya Imamd Abu Dawud.

Adapun kitab-kitab mazhab hanbali yang populer pada periode ini

diantaranya Jami' Ar-Riwayat karya Imam al-Khallal dan al-

Mukhtashar al-Khiraqi. Jami' Ar-Riwayat merupakan himpunan

pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad, sedangkan

Mukhtashar al-Khiraqi berisi hasil ijtihad Imam Al-Khiraqi dalam

21
menguatkan salah satu dari sekian pendapat Imam Ahmad dalam suatu

bab.

Pada periode berikutnya (pertengahan), para ulama hanabilah

mulai menyusun ushul fikih mazhab hanbali, diantaranya Al-Qadi Abu

Ya'la. Mukhtashar al-Khiraqi dijabarkan oleh Syaikhul Islam al-

Muwaffaq Ibnu Qudamah dalam syarahnya, al-Mughni. Al-Mughni

merupakan salah satu karya terbesar di kalangan para ulama Hanabilah

yang berisi perbandingan pendapat antar mazhab, baik yang empat

maupun yang lainnya. al-Muwaffaq juga menulis kitab al-'Umdah, al-

Muqni' dan al-Kafi yang merupakan satu rangkaian kurikulum

bertingkat. Keluarga Qudamah bin Miqdam juga berandil besar

melalui kitan 'Umdah al-Ahkam karya al-Hafizh Abdul Ghani al-

Maqdisi yang berisi hadits-hadits hukum.

F. Mazhab Zhahiri

Mazhab Zhahiri adalah salah satu mazhab fikih dan akidah dalam

lingkup ahlus sunnah yang mencapai masa jayanya semenjak abad ke-3

hingga ke-8 H. Pengikut mazhab ini mengimani secara harfiah ayat-ayat Al-

Quran dan Hadits sebagai satu-satunya sumber hukum Islam. Keyakinan

mazhab ini menolak adanya permisalan (kias) dan pemikiran pribadi (Ra'y)

sebagai bagian dari sumber hukum fikih. Selain itu juga tidak menganggap

fungsi konsesus (Ijmak). Dalam bidang akidah, keyakinan mazhab ini hanya

menyifati Allah menurut dengan apa yang ada dan tertulis jelas dalam Al-Qur-

an saja dan menolak dengan keras praktik antropomorfisme

22
(Penyerupaan/tasybih). Praktik pendekatan tradisi Islam ini diperkirakan

dimulai di Irak pada abad ke-9 M (ke-3 H) oleh Dawud bin Khalaf (w. 883

M), meskipun karya-karya miliknya tak dapat dijumpai lagi. Mazhab ini

menyebar dari Irak ke Persia, Afrika bagian utara, juga ke Andalusia di mana

seorang imam terkenal yang bernama Ibnu Hazm menjadi ulama-besarnya di

sana, mayoritas prinsip-prinsip mazhab Zhahiri di masa awal berasal darinya.

Meskipun mendapat kritik keras oleh banyak ulama akidah dari mazhab-

mazhab lainnya (atas keyakinan literalisnya), mazhab Zhahiri murni tetap

dapat bertahan selama lebih dari 500 tahun dalam berbagai keadaanya dan

diyakini pada masa-masa akhirnya melebur kepada mazhab Hambali.

Meskipun Dawud Al-Zhahiri banyak dianggap sebagai penggagas

mazhab ini, tetapi para pengikut mazhab ini lebih banyak mengikuti pendapat

tokoh-tokoh ulama salaf sebelumnya seperti Sufyan al-Tsauri dan Ishaq bin

Rahawaih sebagai pendahulu (salaf) peletak prinsip-prinsip mazhab Zhahiri.

Prof. Abdul Aziz al-Harbi dari Universitas Ummul Qura menyatakan bahwa

generasi pertama umat Islam telah mengikuti metode mazhab ini oleh karena

itu mazhab ini dapat juga disebut sebagai mazhab dari generasi awal umat

Islam.

Pada masa terbaiknya pengikut mazhab ini terdiri dari mayoritas

muslim yang tinggal di kawasan Mesopotamia, Iran bagian selatan,

Semenanjung Iberia, Kepulauan Balears dan Afrika bagian Utara. Mazhab ini

awalnya memiliki pengaruh pada lembaga peradilan di Irak. Para ulama dari

mazhab Zhahiri ditunjuk menjadi hakim kota oleh pemerintahan Baghdad,

Syiraz, Isfahan, Firuzabad, Ramlah, Damaskus, Sindh dan Fustat.[3][4] Di

23
wilayah timur yang dikuasai dinasti Abbasiyah, Mazhab Zhahiri harus

bersaing dengan mazhab yang lain, tetapi karena kurang memiliki kedekatan

secara personal dan politik dengan pemerintahan mengakibatkan Mazhab

Zhahiri kurang populer. Pada masa itu empat mazhab fikih yang besar adalah

Hanafi, Maliki, Zhahiri, dan Syafi'i, sedangkan mazhab Hambali belum

dianggap sebagai mazhab fikih tersendiri.

Dengan berbagai sebab seperti politik, dukungan resmi pemerintah

atas mazhab lain, mazhab Zhahiri perlahan kehilangan dominasinya di seluruh

kawasan Irak dan Persia. Mazhab Zhahiri masih berpengaruh di Syam hingga

tahun 788 M, juga memegang pengaruh yang kuat di Mesir untuk waktu yang

lebih lama, tetapi pada perkembangannya mereka kehilangan sebagian besar

pendukung di timur secara keseluruhan. Meskipun ajaran Zhahiri terus

bertahan terutama dikalangan ulama dan ahli hadis, masyarakat mulai jarang

mengikut mazhab ini sehingga banyak ahli sejarah mulai menyatakannya telah

punah. Saat ini, mazhab ini masih diikuti oleh komunitas-komunitas kecil di

Maroko dan Pakistan. Banyak ahli hadis di era belakangan yang memiliki

kecenderungan untuk mengikuti sebagian metode yang digunakan mazhab

Zhahiri yakni tidak secara keseluruhan dan ketat.

1. Kedudukan mazhab Zhahiri

Seringkali mazhab Zhahiri mendapat kritik dari mazhab-mazhab

yang lain dalam pengambilan hukum yang mengharuskan mengambil

makna literal dari setiap nash yang ada. Kritik keras kebanyakan datang

dari ulama mazhab Maliki dan Syafi'i. Imam Abu Bakr Ibnul Arabi, yang

ayahnya adalah seorang pengikut mazhab Zahiri menganggap beberapa

24
kaidah hukum mazhab Zhahiri sebagai hal yang tidak dapat diterima.

Imam Ibnu Abdil Barr yang awalnya adalah seorang pengikut mazhab

Zahiri bahkan tidak memasukkan Dawud az-Zahiri dalam daftarnya

mengenai para ahli fikih Sunni terbesar. Imam Nawawi dikatakan

menyalahkan metode mereka secara keseluruhan. Imam Adz-Dzahabi dan

Ibnu ash-Shalah meski tidak setuju dengan metode Zhahiri namun mereka

tetap membela legitimasi Zhahiri sebagai mazhab yang memiliki landasan

ilmiah dalam menetapkan hukum sebagaimana mazhab-mazhab yang lain.

Dari kalangan ulama mazhab Hanbali, Ibnul Qayyim meski juga

memiliki kritik terhadap mazhab Zhahiri, ia tetap membela legitimasi

mazhab tersebut, dengan menyatakan sebuah retorika bahwa satu-satunya

"dosa" mereka adalah "Mengikuti kitab Tuhan mereka dan meneladani

Nabinya". Hubungan yang paling pelik adalah antara Zahiri dengan Sufi

(Tasawuf), sepanjang sejarahnya, pengikut Zhahiri terus mengkritik

dengan keras terhadap ajaran Tasawuf maupun para penganutnya.

2. Ulama penganut mazhab Zahiri

Beberapa ulama dan tokoh yang menganut mazhab Zhahiri secara

penuh maupun parsial.

 Dawud bin Khalaf azh-Zhahiri; Imam dari mazhab ini.


 Muhammad bin Dawud; putra Dawud bin Khalaf.
 Ibnu Abi Ashim; Ahli hadis dari masa awal.
 Ibnu Hazm; Ulama dari Al-Andalus, kitabnya Al-Muhalla adalah salah
satu kitab fikih utama dari mazhab Zhahiri.
 Ibnu Jarir ath-Thabari, yang kemudian memulai mazhabnya sendiri
 Al-Humaidi; Ahli hadis

25
 Abdullah al-Qaisi, yang memiliki andil besar tersebarnya mazhab ini
di Al-Andalus
 Ibnu Arabi, Mistikus sufi dari Al-Andalus.
 Ibnu Tumart; Pendiri dinasti Al-Muwahhidun, diikuti beberapa kalifah
keturunannya setelahnya. dll.

26

Anda mungkin juga menyukai