Disusun Oleh:
NAMA
NIM
PROGRAM STUDI
FAKULTAS
UNIVERSITAS
KOTA
2022
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
2.1 Profil Mazhab Hanafi.........................................................................................3
2.2 Profil Mazhab Maliki.........................................................................................5
2.3 Profil Mazhab Syafi’i.........................................................................................8
2.4 Profil Mazhab Hambali....................................................................................10
BAB III...................................................................................................................13
PENUTUP..............................................................................................................13
3.1 Kesimpulan......................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis menemukan beberapa
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana profil mazhab Hanafi
2. Bagaimana profil mazhab Maliki
3. Bagaimana profil mazhab Syafi’I
4. Bagaimana profil mazhab Hambali
1.3 Tujuan
Sedangkan tujuan penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui profil mazhab Hanafi
2. Untuk mengetahui profil mazhab Maliki
3. Untuk mengetahui profil mazhab Syafi’I
4. Untuk mengetahui profil mazhab Hambali
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
b. Hadits: Hadits merupakan penjelas dari pada Al-Qur’an yang asih bersifat
umum.
d. Qiyas: beliau akan menggunakan Qiyas apa bila tidak ditemukan dalam
Nash Al-Qur’an, Hadits, maupun Aqwalus shahabah. Istihsan: merupakan
kelanjutan dari Qiyas. Epnggunaan Ar-Ra’yu lebih menonjol lagi,istihsan
menurut bahasa adalah “menganggap lebih baik”, menurut ulama Ushul Fiqh
Istihsan adalah meninggalkan ketentuan Qiyas yang jelas Illatnya untuk
mengamalkan Qiyas yang bersifat samar.
e. Urf, beliaua mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dalam
kebutuhan srta memeperhatikan muamalh manusia dan apa yang
mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau menggunakan segala urusan
(bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an ,As-Sunnah dan Ijma’ atau Qiyas ),
beliau akan menggunakan Istihsan, jika tidak bisa digunakan dengan istihsan
maka beliau kembalikan kepada Urf manusia.
Selain itu, dasar dasar ilmu hukum tersebut ada pula berapa pendirian
terhadap taqlik yaitu Sebagai seorang ulama, beliau tidak membenarkan
seorang bertaklid buta (tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu
juga kepada para Ulama beliau menginginkan seorang bersikap kritis dalam
menerima fatwa dalam ajaran agama. Bahakan beliau pernah berkata “Tidak
Halal bagi seorang yang ating fatwa dengan perkataanku, selam ia belum
mengerti dari mana perkataanku”.
Dalam mengistinbathkan hukum, beliau melihat terlebih dahulu
kepada kitabullah, bila tifdak ditemukan dilanjutkan kepada sunnah jika tidak
ditemukan pula dalam sunnah beliau melihat kepada perkataan para sahabat,
lalu beliau menggunakan jalan pikiran untuk mengambil pendapat mana yang
sesuai dengan jala pikiran dan ditiggal mana yang tidak sesuai.
4
2.2 Profil Mazhab Maliki
Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik bin Amr al-Asbahi lahir di
Madinah pada tahun 93 H (714 M). Rumah leluhurnya itu di Yaman, namun
kakeknya menetap di Madinah setelah memeluk Islam. Sebenarnya terdapat
perbedaan pendapat tentang kelahirannya, tetapi pendapat yang paling kuat
adalah apa yang disebutkan oleh Imam yahya bin Bakir bahwa beliau
mendengar imam malik berkata: “aku dilahirkan pada 93 H".
Lahir dalam keluarga berada, Imam Malik tidak perlu bekerja untuk
mencari nafkah. Dia sangat tertarik untuk mempelajari Islam, dan akhirnya
mengabdikan seluruh hidupnya untuk mempelajari Fiqh. Imam Malik
menerima pendidikan dalam kota yang paling penting dari pembelajaran
Islam, Madinah, dan tinggal di mana keturunan langsung dan pengikut para
sahabat Nabi, sallallahu alayhi wasallam, tinggal.
Namun, ia adalah orang tentang siapa asy-Syafi'ee berkata, "Ketika
ulama disebutkan, Malik adalah seperti bintang di antara mereka." Malik
mengatakan bahwa ia tidak duduk untuk memberikan fatwa, sebelum tujuh
puluh ulama Madinah pertama bersaksi kompetensinya dalam
melakukannya. Imam Malik menjadi Imam di Madinah, dan salah satu Imam
yang paling terkenal dari Islam. Adapun sumber hukum Imam Malik dalam
menetapkan hukum Islam adalah berpegang pada:
a. Al-Qur’an
Dalam memegang Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum
berdasarkan atas zahir nash Al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum
al-Mukhalafah dan mafhum al-Aula dengan memperhatikan ‘illatnya.
b. Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik
mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur’an.
Apabila dalil syar’iy menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan
pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara
makna zahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka
yang dipegang adalah makna zahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang
dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl Al-Madinah, maka
5
ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir
Al-Qur’an (sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah mutawatir atau
masyhurah).
c. Ijma’ Ahl al-Madinah
Ijma’ ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl al-Madinah
yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari
hasil ijtihad ahl al-Madinah. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam
Malik.
d. Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan Sahabat disini adalah sahabat besar, yang
pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini
berarti bahwa yang dimaksud dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud
hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar
itu tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari
Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan bahwa fatwa
sahabat tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat
diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada
Qiyas.
e. Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang
dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah
dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath,
kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath’iy.
Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten.
Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar
ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah,
maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut tidak
benar berasal dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar ahad
tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas
dan mashlahah.
6
f. Al-Istihsan
Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: “Menurut hukum dengan
mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully
(menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada
qiyas, sebab menggunakan istihsan itu,tidak berarti hanya mendasarkan pada
pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya
pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan”.
g. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya,
baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan
demikian, maka maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan
syari’at diturunkan. Tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui Al-
Qur’an, sunnah atau ijma’. Para ulama yang berpegang kepada maslahah
mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi
sebagai berikut:
h. Sadd Al-Zara’i
Imam Malik menggunakan sadd al-Zara’i sebagai landasan dalam
menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju
kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan
semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
i. Istishhab
Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam
menetapkan hukum. Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk
masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum
yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah dinyatakan adanya,
kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya
tersebut, hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula
sebaliknya.
j. Syar’u Man Qablana
Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik
menggunakan kaedah syar’u man qablana syar’un lana, sebagai dasar hukum.
Tetapi menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas
7
pernyataan Imam Malik yang menyatakan demikian. Menurut Abd. Wahab
Khallaf, bahwa apabila Al-Qur’an dan sunnah shahihah mengisahkan suatu
hukum yang pernah diberlakukan buat umat sebelum kita melalui para Rasul
yang diutus Allah untuk mereka dan hukum-hukum tersebut dinyatakan pula
di dalam Al-Qur’an dan sunnah shahihah, maka hukum-hukum tersebut
berlaku pula buat kita.
8
- Ar-Risalah
9
3. Pendapat para sahabat.
Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu
yang sudah disepakati, seperti ijmak mereka untuk membiarkan lahan
pertanian hasil rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya.
4. Qiyas.
Imam Syafi’i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi syariat
Islam untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran dan sunnah yang tidak ada
nash pasti. Beliau tidak menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan
sebuah hukum dari seorang mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum
syariat dalam masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid.
5. Istidlal.
Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum, apabila tidak
menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua
sumberistidlal yang diakui oleh imam Syafi’i adalah adat istiadat (‘urf) dan
undang-undang agama yang diwahyukan sebelum Islam (istishab). Namun
begitu, kedua sumber ini tidak termasuk metode yang digunakan oleh imam
Syafi’i sebagai dasar istinbath hukum yang digunakan oleh imam Syafi’i.
10
menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya. Ada beberapa
ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan
mazhab Hambali, diantaranya :
Adapun sumber hukum dan metode istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal
dalam menetapkan hukum adalah:
11
4. Qiyas
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal
dan hadits dha’if, maka ia menganalogikan / menggunakan qiyas. Qiyas
adalah dalil yang digunakan dalam keadaan dharurat (terpaksa)
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mażhab Fiqh dalam pembahasan ini adalah aliran-aliran pemahaman
hukum syara’ dari seorang mujtahid yang diistinbat dari Al-Qur’an dan hadis.
Atau dapat diartikan bermazhab Fiqh adalah mengikuti hasil ijtihad seseorang
mujtahid tentang hukum sesuatu masalah atau mengikuti kaidah-kaidah
istinbatnya. Tokoh-tokoh madżhab antara lain imam syafi’i, hanafi, hambali,
dan maliki. Ilmu fiqh yaitu sebagai ilmu pengetahuan tentang ketentuan
Tuhan yangberkaitan dengan segala tindakan manusia yang memiliki dampak
hukum berdasarkanperintah Tuhan.
Secara lebih spesifik kemudian fiqh diklasifikasikan menjadi
dua.Pertama, fiqh ibadah yaitu semua perbuatan yang berkaitan
dengan perbuatanmanusia yang berhubungan dengan Tuhannya. Kedua,
fiqih muamalat yaitu semuabentuk kegiatan transaksional seperti: deposito,
jual beli, pidana, perdata. Perkembangan Ilmu fiqh dibagi menjadi
beberapa periode yaitu periodeRasullulah, periode Sahabat, periode
Imam Mujtahid dan pembukuan ilmu fiqh, Periode kemunduran, dan
periode Kebangkitan kembali.
13
DAFTAR PUSTAKA
Wildan Jauhari. 2018. Biografi Imam Ahmad bin Hanbal. Jakarta Selatan:
Rumah FiqihPublishing
Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al Umm,
penterjemah: Mohammad Yasir Abd Mutholib,( Jakarta: Pustaka Azzam,
2015)cet.12, h.3.
Ahmad Asy-Syurbari, Sejarah dan Biografi Empat Mazhab, ( Jakarta: Amzah,
2015), cet 8, h. 17.
Pakih Sati, Jejak Hidup dan Keteladanan Imam 4 Mazhab,( Yogyakarta : Kana
Media,2014),cet 1, h. 16.
Rahmat, R. (2020). Latar Belakang Sosial Lahirnya Mazhab Hambali.
BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam , 1(3), 505-515.
https://doi.org/10.36701/bustanul.v1i3.204
LAMPIRAN
14