Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MADZHAB IMAM ABU HANIFAH (IMAM HANAFI)


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
KELAS 71

Disusun oleh:
NINDITA CAHYA MUMPUNI (161610101111)

UNIVERSITAS JEMBER
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat
dan Hidayah-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah tentang salah satu madzhab
yaitu Madzhab Hanafi tanpa suatu kendala yang berarti.
Makalah ini saya buat sebagai salah satu sarana untuk lebih mendalami
materi tentang adannya madzhab di kalangan umat Islam. Kesempurnaan hanya
milik Tuhan Yang Maha Esa, untuk itu saya mohon maaf apabila dalam makalag
ini masih terdapat kesalahan baik dalam isi ataupun sistematika. Saya juga
berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk pendalaman materi pada mata
kuliah Pendidikan Agama Islam

Jember, 12 Oktober 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................... 2
Daftar isi ........................................................................................................ 3
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 4
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Madzhab ............................................................................................ 5
2.2 Biografi Abu Hanifah......................................................................... 5
2.3 Kepribadian dan sifat-sifat Abu Hanifah............................................ 5
2.4 Pengembaraan Menuntut Ilmu........................................................... 6
2.5 Pemikiran Abu Hanifah...................................................................... 6
2.6 Karya-Karya Abu Hanifah................................................................. 7
2.7 Ketokohan Imam Abu Hanifah.......................................................... 9
2.8 Wafatnya Imam Abu Hanifah............................................................ 11

BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan 12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 13

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Imam Abu Hanifah adalah salah seorang ulama atau faqih yang cukup besar
dan luas pengaruhnya dalam pemikiran hukum Islam. Sebagaimana diceritakan
oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Abu Hanifah adalah seorang faqih dan ulama
yang lebih banyak menggunakan ra‟yu atau setidak-tidaknya lebih cenderung
rasional. Pemikiran Abu Hanifah banyak pengaruhnya dan berkembang di
berbagai kawasan negeri Islam, seperti Irak, Syam dan sekitarnya serta tersebar di
Mesir dan daerah-daerah lainnya.
Di Indonesia tokoh Imam Abu Hanifah juga populer di masyarakat. Namun,
kepopuleran itu hanya sebatas ketokohannya saja. Sedangkan pemikiran Abu
Hanifah mengenai hukum Islam kurang populer. Oleh karena itu, perlu adanya
pengkajian terhadap pemikiran-pemikiran Abu Hanifah agar dapat memperkaya
khasanah keilmuan hukum Islam di Indonesia. Selain itu Imam Hanifah memiliki
aklhaq yang terpuji yang patut untuk kita jadikan suri tauladan dalam menjalani
kehidupan.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mazhab
Mazhab (bahasa Arab: ‫مذهب‬, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab,
yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan
seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi
seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para
ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode
(manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian
orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-
batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-
kaidah.
2.2 Biografi Abu Hanifah
Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H/699 M.
Demikianlah menurut riwayat yang masyhur. Nama beliau yang sebenarnya
mulai dari kecil ialah Nu‟man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayahnya
keturunan dari angsa Persia (Kabul, Afganistan), tetapi sebelum beliau
dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Dengan ini teranglah bahwa beliau
bukan keturunan dari bangsa Arab, melainkan beliau dilahirkan di tengah-
tengah bangsa Persia. Ia lebih populer dipanggil Abu Hanifah, karena diantara
putranya ada yang dinamakan Hanifah, ini menurut satu riwayat. Dan menurut
riwayat yang lain, sebab ia mendapat gelar Abu Hanifah, karena ia adalah
orang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh
melakukan kewajibannya dalam beragama. Karena perkataan “Hanif” dalam
bahasa Arab itu artinya “cenderung” atau “condong” kepada agama yang
benar. Dan ada pula yang meriwayatkan, bahwa sebab ia mendapat gelar
dengan “Abu Hanifah” itu lantaran dari eratnya berteman dengan “tinta”.
Karena perkataan “ Hanifah” menurut lughat Irak artinya “ dawat ” atau
“tinta”. Yakni ia di mana-mana senantiasa membawa dawat guna menulis atau
mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari para gurunya atau lainnya.
Dengan demikian lalu ia mendapat gelar Abu Hanifah.
2.3 Kepribadian dan sifat-sifat Abu Hanifah
Abu Hanifah dikenal jujur dan tidak suka banyak omong, akrab dengan
sahabat-sahabatnya dan tidak suka membicarakan keburukan orang lain. Ia
bekerja sebagai penjual kain dan hidup dari hasil kerjanya sendiri. Ia juga tidak
menyukai pembicaran duniawi. Jika ditanya soal-soal agama, dengan suka-cita
ia menguraikannya secara panjang lebar dan bersemangat. Ketika Sufyan ats-
Tsauri ditanya tentang ketidaksukaan Abu Hanifah menggunjing orang, ia
mengatakan: “Akalnya lebih cerdik untuk dapat dipengaruhi hal-hal yang

5
menghapuskan kebaikan-kebaikannya”. Tentang ke- wara- an Abu Hanifah, ia
menolak jabatan hakim (qadhi) pada masa pemerintahan bani Umayyah dan
Abbasiyah. Yazid bin Hubairah, gubernur Irak pada pemerintahan bani
Umayyah, menyiksanya karena tetap menolak menjadi hakim. Pada
pemerintahan Abu Ja‟far al-Mansur, khalifah kedua dari Bani Abbas, ia
dipanggil untuk pindah ke Baghdad. Saat itu al-Mansur memaksa dan bahkan
bersumpah agar Abu Hanifah menerima untuk diangkat sebagai hakim, tetapi
ia juga bersumpah untuk tidak menerima jabatan selamanya. Abu Hanifah
begitu sadar bahwa masa depan fiqh harus bebas dari kekangan penguasa.
Sebab hanya dengan menghindari ikatan-ikatan kedudukan ia dapat leluasa
mengembangkan kajian-kajian fiqhiyah. Itulah sebabnya Abu Hanifah
memperjuangkan kebebasan berpendapat dengan segala kekuatan yang
dimilikinya. Demikianlah dalam diri Abu Hanifah berkumpul ilmu orang
rasionalis yang paling masyhur.
2.4 Pengembaraan Menuntut Ilmu
Abu Hanifah belajar fiqh dan Hadits dari Hammad selain dari Ibrahim
an- Nakha‟i dan asy – Sya‟bi. Tapi masa belajarnya dengan an- Nakha‟i dan
asy-Sya‟bi tidak selama dari Hammad. Abu Hanifah belajar dari Hammad
selama 22 tahun. Setelah berumur 40 tahun, beliau pisah untuk mengakar
sendiri di Masjid Kufah. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Abu Hanifah
berkata kepada Abu Mansur tentang bagaimana ia mempelajari fiqh. “Ibrahim
meriwayatkan dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin
Mas‟ud dan Abdullah bin Abbas, Mansur berkata, “Wah, kamu telah
membekali dirimu wahai Abu Hanifah, sesuai dengan keinginanmu, dari
orang-orang yang suci, bersih dan diberkahi Abu Hanifah dikenal memiliki
banyak ilmu syariah dan bahasa Arab. Dari dia sendiri diriwayatkan beberapa
wajah bacaan al-Qur‟an. Keahliannya dalam fiqh mendapatkan kesaksian dan
pujian-pujian dari ulama salaf terhadap Abu Hanifah, diantaranya; Imam
Syafi‟i berkata, “Semua orang dalam ilmu fiqh menginduk kepada Abu
Hanifah.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Siapa yang ingin mengerti tentang
fiqh maka hendaklah belajar kepada Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya,
sebab semua orang dalam masalah fiqh menginduk kepadanya.” Termasuk
contoh-contoh yang menunjukkan penghormatan ulama salaf kepada Abu
Hanifah adalah bahwa ketika saudara Sufyan ats-Tsauri meninggal 6 dunia,
orang-orang datang berziarah. Abu Hanifah pun datang ber-ta‟ziyah. Sufyan
berdiri menghormati beliau, lalu mempersilakan duduk di tempatnya dan dia
duduk di belakang Abu Hanifah. Abu Yusuf, salah satu sahabat utama Abu
Hanifah, mengatakan: “Saya tidak pernah melihat orang yang lebih ahli dalam
menafsirkan hadits selain Abu Hanifah. Ia sangat cermat dan kritis dalam
menilai kesahihan suatu hadits.”
2.5 Pemikiran Abu Hanifah
Pemikiran-pemikiran Abu Hanifah dalam bidang fiqh, diantaranya:

6
1. Mempermudah dalam hal urusan ibadah dan muamalah. Misalnya, Abu
Hanifah berpendapat bahwa jika badan atau pakaian terkena najis, maka
boleh dibasuh dengan barang cair yang suci, seperti air bunga mawar,
cuka, dan tidak terbatas pada air saja. Dalam hal zakat, Abu Hanifah
membolehkan zakat dengan nilai (uang) sesuai dengan banyaknya kadar
zakat.
2. Berpihak pada yang fakir dan lemah. Contohnya, Abu Hanifah
mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak, sehingga zakat itu
dikumpulkan untuk kemaslahatan orang-orang fakir. Abu Hanifah
berpendapat, orang yang punya utang tidak wajib membayar zakat jika
utangnya itu lebih 8 banyak dari uangnya. Ini menunjukkan belas kasihnya
kepada orang yang punya utang.
3. Pembenaran atas tindakan manusia sesuai dengan kadar kemampuannya.
Abu Hanifah berusaha menjadikan amal manusia itu benar dan diterima
selagi memenuhi syarat-syaratnya. Contohnya ia berpendapat bahwa
Islamnya anak kecil yang berakal tapi belum baligh dianggap sebagai
Islam yang benar seperti halnya orang dewasa.
4. Menjaga kehormatan manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya. Karena itu
Abu Hanifah tidak mensyaratkan wali nikah bagi perempuan yang baligh
dan dewasa atas orang yang dicintai, baginya hak untuk menikahkan diri
sendiri dan nikahnya sah.
5. Kendali pemerintah di tangan seorang imam (penguasa). Karena itu,
kewajiban seorang imam (pemimpin secara syariat) untuk mengatur
kekayaan umat Islam yang membentang luas di atas bumi untuk
kemaslahatan umat. Kewajiban lainnya adalah pengaturan kepemilikan
tanah mati (bebas) bagi yang mengolahnya yaitu menjadikannya lahan siap
pakai. Kaidah-kaidah brilian dan selaras inilah yang membuat Abu
Hanifah layak mendapatkan gelar “Imam Ahlu ar- Ra‟yi”. Ini tidak
berlebihan, karena beliau telah berjuang dan berusaha keras menggunakan
qiyas pada hukum-hukum yang tidak ada dasarnya dalam nash. Selain itu,
Abu Hanifah juga menguasai ilmu ber-istimbath (menggali hukum) dari
hadits, sehingga dapat mengambil intisari yang bermanfaat bagi umat, dan
tidak bertentangan dengan nashnya.
6. Pendapat Imam Abu Hanifah yang berkaitan dengan fiqh lainnya yaitu,
bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif . Kedudukan wakaf
dipandang sama dengan kedudukan „ariyah (pinjam-meminjam). Karena
masih tetap milik wakif , benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan di-
hibah- kan wakif kepadayang lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf
yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat dan wakaf
yang diikrarkan. Secara tegas wakaf itu terus dilanjutkan meskipun wakif
telah meninggal dunia. Bahwa perempuan boleh menjadi hakim di
pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan
perkara pidana. Alasannya, karena perempuan tidak boleh menjadi saksi

7
pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu
menurutnya, perempuan hanya boleh jadi hakim yang menangani perkara
perdata. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakannya adalah qiyas
dengan menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hakim
perempuan sebagai al- Far‟i
2.6 Karya-Karya Abu Hanifah
Perlu diketahui bahwa Abu Hanifah tidak pernah menulis kitab tentang
mazhabnya. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa Abu Hanifah tidak
menulis kitab secara langsung kecuali beberapa “ risalah” kecil yang
dinisbahkan kepadanya, seperti risalah yang dinamakan al-Fiqh al-Akbar dan
al-Alim wa al- Muta‟alim. Walau demikian mazhabnya sangat populer dan
tersebar luas. Ini karena hasil perjuangan murid-murid Abu Hanifah dalam
mengembangkan dan menyebarluaskan pemikirannya terutama pada istimbath
yang ia rumuskan. Diceritakan bahwa Imam Abu Yusuf merupakan orang yang
pertama menulis beberapa buku berdasarkan mazhab Hanafi dan
menyebarkannya ke berbagai daerah untuk dipelajari. Demikian pula halnya
dengan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani banyak menimba ilmu dari Abu
Hanifah dan menyebarkan pemikiran-pemikiran beliau melalui karya-
karyanya. Dari sejumlah sumber, menyebutkan bahwa Abu Hanifah sendiri
tidak meninggalkan karya atau buku yang ditulisnya langsung, kecuali apa
yang dinukil oleh para murid beliau. Abu Zahrah, menceritakan bahwa
penulisan di bidang ushul fiqh untuk pertama kali disusun oleh murid Imam
Abu Hanifah. Hal senada juga disebutkan oleh pengikut dan para muridnya.
Diantara murid Abu Hanifah yang paling terkenal dan merupakan rang yang
pertama menulis buku ushul fiqh berdasarkan pandangan Abu Hanifah adalah
Imam Abu Yusuf (w. 182 H). Dan karya Abu Yusuf ini pada akhirnya menjadi
pegangan mazhab Hanafi, dalam ushul fiqh. Menurut penuturan Imam Nadim
sebagaimana dikutip oleh Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, bahwa
Abu Yusuf dan Zufar adalah dua orang murid yang sangat berjasa dalam
merumuskan dan mengembangkan pemikiran Abu Hanifah dan mazhab ushul
Hanafi. Abu Yusuf sendiri banyak menghasilkan karya-karya yang didasarkan
kepada mazhab Hanafi, seperti kitab az-Zakah, as-Shiyam, al-Faraidh, al-
Hudud, al-Kharaj dan al-Jami‟. Dan diantara karya Abu Yusuf yang terkenal
adalah kitab al-Kharaj. Selain Abu Yusuf dan Zufar, Muhammad ibn Hasan
asy-Syaibani juga salah seorang murid Abu Hanifah yang terkenal dan berjasa
dalam mengembangkan mazhab Hanafi. Ibn Hasan mengikuti cara-cara
istimbath yang telah dirintis oleh Abu Yusuf berdasarkan pemikiran Abu
Hanifah. Menurut riwayat, bahwa para ulama Hanafiyah (yang bermazhab
Hanafi) telah membagi-bagi masalah fiqh Hanafiyah menjadi tiga tingkatan,
yakni:
1. Masail al-Ushul yaitu masalah-masalah yang termasuk zhahir ar- Riwayah,
yaitu pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dan sahabatnya,
seperti Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar. Muhammad ibn al-Hasan asy-

8
Syaibani telah mengumpulkan pendapat-pendapat tersebut yang kemudian
disusun dalam kitab yang bernilai tinggi, Zahir ar-Riwayah. Kitab-kitab
yang termasuk Zahir ar-Riwayah ada enam buah, yaitu:
(1) al- Mabsuth atau al-Ashl
(2) al- Jami‟ al –Kabir
(3) al- Jami‟ ash –Shagir
(4) as-Siyar al-Kabir
(5) as-Siyar ash-Shagir
(6) az-Ziyadat
Keenam kitab tersebut kemudian disusun oleh Hakim asy-Syahid menjadi
satu kitab yang diberi nama al- Kafi . Kitab ini dikomentari atau diberi
syarah oleh Syamsu ad-dhin asy-Syarkhasyi dan dikenal dengan nama al-
Mabsuth.
2. Masail An-Nawadir yaitu pendapat-pendapat yang diriwayatkan Abu
Hanifah dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam kitab yang termasuk
Zahir ar-Riwayah. Adapun kitab-kitab terkenal yang termasukan-Nawadir
adalah al- Kaisaniyyat, ar-Ruqayyat, al-Haruniyyat, al-Jurjaniyyat dan
Badai‟ ash-Shanai‟ fi Tartib asy-yarai‟.
3. Al-Fatawa wa al-Waqi‟at yaitu yang berisi masalah-masalah keagamaan
yang dari istimbath-nya para mujtahid yang bermazhab Imam Hanafi yang
datang kemudian, pada waktu mereka ditanyai tentang masalah hukum-
hukum keagamaan, padahal mereka tidak dapat menjawabnya, lantaran
dalam kitab-kitab mazhabnya terdahulu tidak didapati keterangannya,
kemudian mereka berijtihad guna menjawabnya. Adapun tentang kitab al-
Fatawa wa al-Waqi‟at yang pertama kali ialah kitab an-Nawazil karya Abi
al-Laits as-Samarqandi. Kitab-kitab yang terkenal susunan ulama Hanafiah
mutaakkhirin diantaranya adalah; jami‟ al -Fushulain, Dharar al-Hukkam,
Multaqa al-Akhbar, Majmu‟ al -Anshar dan Radd al- Mukhtar „ala Dhar al
-Mukhtar yang tekenal dengan hasSelain kitab-kitab fiqh, dalam aliran
Hanafi terdapat kitab ushul al- Fiqh dan Qawaid al-Fiqhiyah . Kitab-kitab
ushul al-fiqh dalam aliran Hanafi adalah:
(1) ushul al-Fiqh karya Abu Zaid ad-Duyusi (w.430 H)
(2) ushul al-Fiqh karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 430 H)
(3) ushul al-Fiqh karya an- Nasafi (w. 790 H) dan syarah-nya Misykat al-
Anwar.
Selain kitab fiqh dan ushul al-Fiqh, ulama Hanafiah juga membangun
kaidah-kaidah fiqh yang kemudian disusun dalam kitab tersendiri.
Diantara kitab qawaid al-Fiqhiyyah aliran Hanafi yaitu, Ushul al-Karkhi
karya al-Karkhi (260-340 H), Ta‟ziz an -Nazhar karya Abu Zaid al-Dabusi
(w. 430 H) , Al-Asybah wa an- Nazha‟ir karya ibn Nujaim (w. 970 H)
Majami‟ al -Haqaiq karya Abu Said al-Khadimi (w. 1176 H) Majallah al-
Ahkam al-Adhiyyah (Turki Usmani, w. 1292 H)
2.7 Ketokohan Imam Abu Hanifah

9
Menurut riwayat yang telah banyak diriwayatkan oleh sebagian ulama
ahli hadits bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda; “ Jika sekiranya
ilmu pengetahuan itu tergantung di bintang tsuraya niscaya akan dicapai oleh
beberapa orang dari keturunan bagsa Persia”. Berhubung dengan adanya hadits
ini, diantara para ulama ada yang memberi keterangan bahwa hadits ini
mengandung basyirah (berita gembira) dari Nabi SAW. Yang dimaksud
dengan kata-kata “beberapa orang dari keturunan bangsa Persia” itu antara lain
ialah yang mulia Imam Abu Hanifah. Karena beliau itu adalah seorang dari
keturunan bangsa Persia dan beliaupun di kala hayatnya tidak ada seorangpun
yang dapat membandingi tentang ilmu pengetahuannya, kecerdasan fikirannya,
keluhuran budinya dan keteguhan jiwanya. Sepanjang riwayat, bahwa mazhab
Hanafi dikembangkan oleh sahabat yang sekaligus murid beliau, diantaranya
Imam Abu Yusuf dan Imam Zufar. Pada masa pemerintahan khalifah Harun ar-
Rasyid menjabat kepala negara bagi dunia Islam, beliau menyerahkan urusan
kehakiman kepada Imam Abu Yusuf. Maka segenap urusan kehakiman dalam
kerajaan ar-Rasyid ada di tangan kekuasaannya. Urusan resmi di tiap-tiap kota
pada masa itu, seperti Iraq, Khurasan, Syam, Mesir bahkan sampai ke Tapal
batas Afrika beliau serahkan kepada orang yang dipercayainya. Beliau tidak
menyerahkan jabatan itu, melainkan kepada orang yang menjadi sahabatnya
dan yang sependirian dengan mazhabnya (mazhab Hanafi). Dengan terpilihnya
Imam Abu Yusuf menjadi qadli, maka segenap qadli dan hakim di segenap
daerah dan kota di kala itu pada umumnya yang terdiri dari para ulama‟ yang
bermazhab Hanafi menjadi gemar mempelajari kitab-kitab yang beraliran
Hanafi, karena ingin mendapat kedudukan atau pangkat. Demikianlah
permulaan tersiarnya aliran mazhab Imam Abu Hanifah. Selanjutnya mazhab
Imam Hanafi baru dikenal orang Mesir sesudah tahun 164 H. Karena di kala itu
telah diangkat oleh kepala negara al-Mahdi seorang qadli yang bermazhab
Hanafi yang mula-mula menyiarkan mazhab Hanafi di Mesir. Terutama selama
pemerintahan Islam ada di tangan para kepala negara dari keturunan
Abbasiyah, makin berkembanglah mazhab ini di Mesir sampai tahun 358 M.
Tatkala Mesir berada di tangan kekuasaan para raja keturunan Fatimiyyah.
Dibawa pula ke sana aliran mazhab mereka yaitu mazhab Syi‟ah al-
Ismailiyyah. Tidak saja mazhab ini tersiar di sana karenanya, tetapi kedudukan
qadli dipengaruhi juga oleh mazhab itu. Bahkan mazhab Syi‟ah pernah
menjadi mazhab pemerintahan dengan resmi. Setelah pemerintahan Mesir jatuh
ke tangan al-Ayyubi, mereka menindas dan mengikis habis mazhab itu.
Kemudian kerajaan al-Ayyubi mendirikan sekolah-sekolah untuk mencetak
ulama‟ di masa mendatang yang mengikuti mazhab Syafi‟i dan Maliki. Sultan
Salahuddin al-Ayyubi juga mendirikan sekolah untuk memberikan pengajaran
mazhab Hanafi. Sejak saat itu mazhab Hanafi mendapat kekuatan kembali
untuk berkembang di tengah-tengah Mesir. Pada tahun 641 H Sultan Saleh
Najmuddin mendirikan madrasah yang dinamakan madrasah as-Shalihiyyah.
Dalam madrasah ini diberikan pengajaran-pengajaran mazhab empat yang

10
masyhur, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali sebagai tindakan
pembalasan untuk membasmi aliran-aliran mazhab yang lain. Pada umumnya
penduduk di Afrika (Algeria, Tunisia dan Tripoli) adalah pengikut mazhab
Hanafi yang dibawa oleh Ibnu Farukh Abu Muhammad al-Farisi. Kemudian ia
menyerahkan urusan kehakiman kepada Assad bin Farrat bin Sinan yang dapat
mengembangkan aliran mazhab Hanafi di sana. Demikian sehingga datang
kesana al- Mu‟iz bin Badis dengan membawa aliran mazhab Maliki lalu dapat
menarik sebagian besar penduduknya untuk memeluk mazhab Maliki. Namun
masih ada sebagian kecil dari mereka yang masih tetap menganut mazhab
Hanafi. Keluarga raja di Tunisia adalah pengikut mazhab Hanafi. Urusan
kehakiman di sana diserahkan kepada dua qadli yang beraliran Hanafi dan
Maliki. Demikian pula mufti besar di sana juga ada dua, yaitu yang bermazhab
Hanafi dan yang bermazhab Maliki. Tetapi yang bertanggung jawab
keseluruhannya ialah yang bermazhab Hanafi. Sepanjang riwayat setelah Mesir
jatuh ke tangan kekuasaan bangsa Turki, maka kedudukan qadli dan urusan
kehakiman diserahkan kepada ulama yang bermazhab Hanafi. Karena mazhab
Hanafi menjadi mazhab resmi bagi pihak kerajaan Usmaniyyah dan bagi
segenap pembesar negara. Dengan demikian bahwa sebagian besar pendudu
Mesir terpengaruh oleh mazhab Hanafi dengan tujuan agar mudah
mendapatkan kedudukan qadli atau hakim. Sekalipun demikian nama mazhab
Hanafi tidaklah begitu tersiar ke dusun-dusun dan ke hulu-hulu Mesir tetapi
terbatas di dalam kota saja. Kebanyakan penduduk Dusun dan Hulu daerah
Mesir tetap bermazhab Syafi‟i. Selanjutnya mazhab Hanafi tersiar dan
berkembang di negeri-negeri Syam, Iraq, India, Afganistan, Kaukasus, Turki
dan Balkan negeri-negeri yang lain . Demikianlah diantara riwayat tersiarnya
mazhab Imam Hanafi di dunia ini.
2.8 Wafatnya Imam Abu Hanifah
Beliau pernah dipukul pemerintah karena menolak permintaan Gubernur
untuk menjadi hakim. Beliau meninggal di Baghdad, tahun 150 H, dalam usia
70 tahun. Semoga Allah merahmati Imam Abu Hanifah.

11
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Nama lengkap Imam Abu Hanifah adalah al- Nu’man ibn Tsabit ibn al-
Zutha al-Farisi, dilahirkan di Kufah pada 80 Hijriah. Beliau salah satu dari
keempat tokoh Madzahibul al-Arba’ah termasyhur dan berkembang di dunia
islam. Masa kecil Abu Hanifah berbeda dengan ketiga Imam fikih lainnya yaitu
Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Pasalnya ketiganya memulai
menimba ilmu sejak usia dini, sedangkan Abu Hanifah tidak demikian. Ketika
kecil beliau berprofesi sebagai pedagang dan sering berlalu lalang, pulang pergi
kepasar untuk membiayai kehidupan keluarga. Abu Hanifah muda juga pandai
memanajemen waktu yang dimilikinya. Terlihat jelas ketika beliau mendapati
waktu luang disela-sela kesibukannya berdagang, tak sedikitpun beliau menyia-
nyiakannya untuk bersantai, melainkan lebih memilih untuk menceburkan diri
berkecipung dalam kawah ilmu pengetahuan. Pemikiran beliaupun mulai tergugah
dan terbentuk dalam satu paradigma yang kuat, ketika beliau menaruh perhatian
besar pada ilmu pengetahuan dan berbagai pendapat peninggalan para sahabat
Irak. Hingga menjadikan beliau berani berdialog dan berdebat dengan penganut
agama dan aliran yang berbeda. Beliau memiliki konsep yang jelas dalam
pengambilan hukum agama dari sumber-sumbernya. Dalam Tarikh Baghdad
disebutkan sebuah pernyataan dari Abu Hanifah mengenai konsep yang
digunakannya, yakni “Aku merujuk kitab Allah. Bila aku tidak menemukan (dasar
hukum) didalamnya, aku akan merujuk sunnah. Bila di dalam keduanya aku juga
tidak menemukan, aku akan merujuk perkataan para sahabat; aku akan memilih
pendapat siapa saja dari mereka yang ku kehendaki, aku tidak akan pindah dari
satu pendapat ke pendapat sahabat yang lain. Apabia didapatkan pendapat
Ibrahim, al-Sya’bi, ibnu Sirrin, al-Hasan, al-Atha’, Sa’id ibnu Musayyab, dan
sejumlah seorang yang lainnya, dan mereka semua sudah berijtihad, maka aku
akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”. Imam Abu Hanifah, selain
terkenal kewira’iannya dalam mengambil keputusan, beliau juga dikenal sebagai
pelopor pertama dalam menyusun kitab fikih secara kelompok-kelompok dalam
pengklarifikasiannya. Diawali dari bab bersuci (taharah) kemudian disusul shalat
dan seterusnya. Demikian juga, ia dikenal sebagai orang yang menghatamkan al-
Qur’an di satu tempat di mana ia meninggal sebanyak 7000 kali. Imam Abu
Hanifah meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 150H/ 767M ketika berusia 70
tahun

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman.2007. Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan


Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika.
Djazuli, A. 2007. Kaidah-Kaidah Fiqh : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana.
Hery Sucipto. 2003. Ensiklopedi Tokoh Islam (Dari Abu Bakar sampai Nashr dan
Qardhawi). Jakarta: PT Mizan Pustaka
Muhammad Jawad Mughniyah. 2006. Fikih Lima Madzhab. Terjemahan oleh,
Masykur A.B. dkk. Jakarta: Penerbit Lentera. Suwaidan
Dr Tariq. 2013. Biografi Imam Abu Hanifah. Jakarta: Zaman.
Zahrah, Muhammad Abu . 008. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus

13

Anda mungkin juga menyukai