Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH MADZHAHIB TAFSIR

Tafsir Hanafiyah
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Madzahib Tafsir

Oleh:
Mawaddah (17210857)
Nadia Marfuatim Muthoharoh (17210860)
Nely Soraya (17210867)

Dosen Pengampu:
M. Ulinnuha, Lc, MA

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Madzahib tafsir merupakan ilmu yang berusaha mengkaji kritis mengenai berbagai upaya
untuk memahami setiap makna kata sehingga satu kata memiliki beragam tafsir dan berbagai
pemahaman dan dengan berbagai kepentingan. Pentingnya mempelajari madzahib tafsir agar
terbuka wawasan dan luasnya ilmu pengetahuan yang adalah dalam berbagai tafsir Al-Qur’an.
Dengan mengetahui berbagai macam corak-corak tafsir yang dipengaruhi suatu aliran atau
ideologi akan membuat cara pandang menjadi luas dan tidak fanatik terhadap suatu penafsiran
sehingga tidak gampang menyalahkan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi dan perjalanan intelektual Imam HanafiBag?
2. Bagaimana penafsiran menurut Imam Hanafi?

C. Tujuan
1. Mengetahui biorafi dan perjalanan intelektual Imam Hanafi
2. Mengetahui karakteristik penafsiran Imam Hanafi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Hanafi

Imam Hanafi memiliki nama lengkap An-Nu’man bin Tsabit bin Zauth bin Mah. Lahir di
Kufah pada tahun 80 H pada zaman Dinasti Umayyah, ketika raja Abdul Malik bin Marwan
memerintah. Ia diberi gelar “An-Nu’man” yang berarti darah atau roh, agar menjadi generasi
penerus kebaikan. Ayahnya merupakan tokoh ahli fikih dan tokoh masyarakat. Ia mendapat
gelar “hanifah” (mu’annats dari asal kata hanif) yang berarti ahli ibadah, karena ia senang dan
condong terhadap agama kebenaran. Dalam riwayat lain gelar tersebut dikarenakan ia terus
menerus membawa tinta (tinta dalam bahasa Iraq adalah hanifah).1
Sejak kecil, kecenderungannya terhadap ilmu pengetahuan telah tampak, terutama
berkaitan dengan agama Islam. Ia banyak belajar kepada para tabi’in, seperti Ata bin Abi Rabah
dan Nafi’ Maula Ibnu Umar. Ia juga banyak mengkaji hadis dan fikih dari ulama-ulama di
negeri terkemuka.
Abu Hanifah sering disebut sebagai pemuka ahl ra’yi. Pemilihannya menggunakan akal-
rasional dalam menetapkan hukum ketika tidak menemukan landasan hadis yang populer
merupakan langkah kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadis, karena takut adanya dusta
dalam periwayatan hadis. Kerangka berpikir inilah yang kemudian diadopsi oleh para
muridnya. Diantara muridnya yang terkenal adalah Abu Yusuf dan Al-Syaibani. Abu Yusuf
merupakan pemuka fikih di Bashrah dan Kufah. Ia sangat ahli dalam meriwayatkan hadis
sehingga ia menjadi seorang hafidz. Ia memiliki andil besar dalam perkembangan madzhab
Hanafi.
Imam Abu Hanifah merupakan seorang imam yang berjiwa besar, bijak dlam bidang ilmu
pengetahuan dan tepat dalam memberikan suatu keputusan atas suatu masalah atau peristiwa
yang dihadapi. Ia seorang pedagang pakaian sutra di Kufah, dikenal kebenarannya dalam
bermuamalah dan tidak suka menipu. Ia baik pergaulannya, dermawan, wara’, dan terpercaya
tidak membicarakan haids kecuali yang dihafalnya. Ia bagus pemikirannya, jeli pendapatnya,
cakap beranalogi, pakar dalam fikih dan tokohnya. Ibnu Mubarak berkata, “Orang yang paling
paham dalam fikih adalah Abu Hanifah, saya belum pernah melihat orang yang ahli dalam
masalah fikih seperti dia.”2
B. Pengertian Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi adalah aliran fikih yang merupakan hasil ijtihad imam Abu Hanifah
berdasarkan Al-Qur’an dan sunah rasulullah saw. Dalam pembentukannya, madzhab ini
banyak menggunakan ra’yu (hasil pemikiran manusia) Karena itu madzzhab ini terkenal
sebagai madzhab aliran ra’yu. Selain itu, madzhab Hanafi merupakan madzhab fikih pertama
dari empat madzhab fikih besar.
Madzhab Hanafi mulai tuumbuh di irak yang merupakan tempat kediaman imam Abu
Hanifah. saat itu irak adalah tempat pengembangan fikih aliran ra’yu yang berakal dari masa
sahabat. Ibnu Mas’ud merupakan seorang sahabat yang dikirim Umar bin al-Khatab untuk
menjadi guru dan kadi di Kuffah (irak) denngan membawa paham fikih Umar. Umar bin al-
Khattab (42 SH/ 581 M-23 H/ 644M) terkenal sebagai ahli dalam hukum islam, yang hasil

1
M. Iqbal Juliansyahzen, Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah: Sebuah Kajian Sosio-Historis Seputar
Hukum Keluarga, dalam Jurnal Al-Mazahib, Vol. 03, No. 01. 2015. hlm. 75
2
Abdurrahman Kasdi, Metode Ijtihad dan Karakteristik Fiqih Abu Hanifah, dalam Jurnal Yudisia, Vol.
05, No. 02. 2014. hlm. 219
ijtihadnya banyak berorientasi pada tujuan hukum atau inti permasalahan hukum dengan
memahami ayat atau hadis secara rasional.
Di daerah baru tersebut, permasalahan akan dijawab lebih beragam dibandingkan dengan
dimadinah. Untuk itu, Ibnu Mas’ud di desa supaya berijtihad mengembangkan prinsip-prinsip
hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah nabi saw. Ibnu Mas’ud terkenal banyak melakukan kyas
dalam memecahkan berbagai masalah. Karena itu, pemahan kyasnya menjadi cikal bakal dari
aliran ra’yu di irak. Sewaktu menjadi guru, ia sempat membentuk kader-kader dari kalangan
tabi’in yang akan melestarikan faham fikihnya termasuk seorang tokoh bernama al-Qamah bin
Qayis an-Nakha’I (w. 62 H) selanjutrnya aliran fikih ini diwarisi kepada Ibrahim an-Nakha’I
(w. 76 H), dan kemudian kepada imam Hammad bin Abi Sulaiman (w. 120 H), dari imam
Hammad inilah imam Abu Hanifah berguru sehingga ia menjadi alim.3
C. Sejarah kemunculan Tafsir Hanafiyah
Awal mula munculnya tafsir fikih sudah ada sejak masa Rasulullah Saw. Perdebatan
diantara sahabat kebanyakan mengenai masalah hukum, disebabkan karena perbedaan
pemahaman.
Dimasa rasulullah para sahabat memahami Al-Qur’an dengan insting kearaban mereka.
Jika terjadi kesulitan dalam memahami suatu ayat, mereka kembali kepada rasulullah saw, lalu
rasulullah menjelaskannya kepada mereka.
Setelah rasulullah saw wafat, para fuqaha dari kalangan sahabat mengendalikan umat
dibawah kepemimpinan Khulafah Rasyidin. Jika terdapat persoalan-persoalan baru yang belum
pernah terjadi sebelumnya, maka Al-Qur’an merupakan tempat kembali mereka dalam
mengistimbatkan hukum-hukum syara’nya. Merekapun sepakat akan hal tersebut. Jarang
sekali mereka berselisih pendapat ketika terdapat kontradiksi dalam memahami suatu lafadz,
seperti perselisihan mereka mengenai ‘iddah bagi wanita hamil, apakah ‘iddah itu berahir
dengan melahirkan atau empat bulan sepuluh hari ataukah dengan waktu paling lama diantara
semuanya? Ini semua mengingat allah berfirman:

َ ‫َوالَّذِينَ يُت ََوفَّ ْونَ ِم ْن ُك ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًجا يَت ََربَّصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن أ َ ْربَعَةَ أ َ ْش ُه ٍر َو‬
ۖ ‫ع ْش ًرا‬
“orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS.
Al-Baqarah:234)”
Ketika tiba masa empat madzhab imam fikih dan setiap imam membuat dasar-dasar istinbat
hukum masing-masing dalam tafsirnya serta berbagai peristiwa semakin banyak dan persoalan-
persoalanpun menjadi bercabang-cabang, maka semakin bertambah pula aspek-aspek
perbedaan pendapat dalam memahami ayat, hal ini dibebkan perbedaaan segi dalalahnya,
bukan karena fanatisme terhadap suatu madzhab, melainkan karena setiap ahli fikih berpegang
pada apah yang dipandangnya benar. Karena itu dia tidak memandang dirinya hina jika ia
mengetahui kebenaran dan dari pihak lain, untuk merujuk kepadanya.
Keadaan tetap berjalan demikian, sampai datanglah masa talid dan fanatisme madzhab.
Maka pada masa ini aktivitas para pengikut imam hanya berfokus pada penjelasan dan
pembelaan madzhab mereka sekalipun untuk ini mereka harus membawa ayat-ayat Al-Qur’an
kepada makna yang lemah dan jauh. Dan sebagai akibatnya munculah tafsir fikih yang khusus

3
Ushuluddin 7B, Dermaga Tafsir Kumpulan Makalah Madzhahib at-Tafsir, Ciputat : 2019, h. 144
membahas ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an. Didalamnya fanatisme madzhab terkadang
menjadi semakin memuncak dan terkadang pula mereda. Penulisan tafsir dengan metode dan
corak demikian terus berlangsung sampai masa kini. Dan itulah yang kita namakan tafsir fikih.
Diantara kitabnya yang terkenal adalah:
1) Ahkamul Qur’an oleh al-Jashash (terbit)
2) Ahkamul Qur’an oleh al-Kaya al-Haras (manuskrip)
3) Ahkamul Qur’an oleh Ibnul ‘Arabi (terbit)
4) Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an oleh al-Qurthubi (terbit)
5) Al-Iklil fi Istinbathit Tanzil, oleh as-Suyuthi (manuskrip)
6) At-Tafsiratul Ahmadiyah fi Bayanil Ayatisy-Syar’iyah, oleh Mula geon (terbit di india)
7) Tafsiru Ayatil Ahkam, oleh syaikh Muhammad as-Syayis (terbit)
8) Tafsiru Ayatil Ahkam, oleh syaikh Manna al-Qathan (tebit)
9) Adwa’ul Bayan, oleh syaikh Muhammad al-Syinkiti (terbit)
Kitab tafsir yang temasuk dalam tafsir Hanafiyah adalah Ahkam al-Qur’an karya al-
Jashash.4
D. Sekilas tentang Tafsir Ahkamul Qur’an karya al-Jashash
1. Biografi pengarang
Ia adalah Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar-Razi, terkenal dengan nama Al-Jashash (tukang
plester) di nisbatkan pada pekerjaan al-Jashash (tukang plester). Ia salah seorang imam fikih
Hanafi abad ke empat hijriyah. Dan kitabnya Ahkamul Qur’an dipandang sebagai kitab tafsir
kitab tafsir terpenting, terutama bagi pengikut madzhab Hanafi.
Beliau lahir pada tahun 305 H ditanah kelahirannya, di kota Rayyi Irak. Kemudian pada
tahun 325 H beliau pergi ke Baghdad untuk belajar. Al-Jashash dikenal sebagai orang yang
dzahib dan wara’ dan juga merupakan ulama pilihan yang bermadzhab Hanafi. Sedangkan,
wafatnya ada Ahad. 7 Dzulhijjah di Baghdad tahun 370 H. Kitab lain menyebutkan beliau
meninggal pada tahun 376 H.
Al-Jashash hidup pada masa perkembangan ilmu pengetahuan dan ulama yang ahli
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam sejarah pendidikannya, dia pergi ke berbagai
kota terkenal pada masanya. Ia berguru pada Abu Sahal al-Zujaj, Abu Hasan al-Haraki, dan
kepada ahli fikih lainnya pada masa itu. Proses belajarnya menetap di Baghdad dan perjalanan
mencari ilmunya pun berakhir disana. Belajar tentang zuhud kepada al-Haraki dan mengambil
manfaat darinya. Saat dia mencapai maqam zuhud, diminta untuk menjadi penghulu (kadi)
tetapi ditolaknya. Dan ketika diminta lagi ia tetap menolaknya.
Nama kitab Ahkam Al-Qur’an ternyata tidak hanya milik al-Jashash seorang, tetapi ada
juga yang lain seperti, tafsir Ahkamul Qur’an karya Ibnu ‘Arabi dan Ahkamul qur’an karya
Kiya al-Harasi. Dari ketiga pengarang kitab tafsir diatas, tentunya memiliki kesamaan dan
perbedaan.5
2. Latar belakang penulisan tafsir
Pada dasarnya, penulisan karya tafsir al-Jashash merupakan bentuk semangat intelektual
muslim yang berhak mendapatkan penghormatan yang sangat pesat. Sebagaimana ungkapan
dalam muqaddimah kitab tafsirnya Ahkam al-Qur’an bahwa penyusunan kitabnya ia memulai
dengan menyodorkan corak keilmuan tentang ushul fiqh, yang didalamnya terdapat

4
Ushuluddin 7B, Dermaga Tafsir Kumpulan Makalah Madzhahib at-Tafsir, Ciputat : 2019, h. 145
5
Ushuluddin 7B, Dermaga Tafsir Kumpulan Makalah Madzhahib at-Tafsir, Ciputat : 2019, h. 147
pembahasan ushul al-tauhid, dan sangat memungkinkan metode tersebut dapat dijadikan
sebagai cara untuk mengetahui makna-makna Al-Qur’an.
Berdasarkan sejarah dinamika perkembangan tafsir periode pertengahan ditandai
dengan bergesernya tradisi penafsiran dari tafsir berbasis riwayat (tafsir al-ma’tsur) ke tafsir
berbasis nalar (tafsir bi al-ra’yi) sehingga mengakibatkan tradisi penafsiran lebih di dominasi
oleh kepentingan-kepentingan politik, madzhab, atau ideology keilmuan tertentu.
Sejak awal, al-Jashash telah dikenal sebagai pengikut imam Hanafi yang mengantarkannya
kepada sebuah pemikiran berbasis nalar sehingga berpengaruh pula dalam penafsirannya dalam
Al-Qur’an. Dalam hal ini al-Dzahabi juga mengungkapkan dalam kitabnya Al-Tafsir wa al-
Mufassirun bahwa al-Jashash dalam menafsirkan al-Qur’an cenderung bermadzhab Hanafi.6
3. Bentuk, metode dan corak penafsiran
Kitab tafsir Ahkam al-Qur’an karya al-Jashash termasuk dalam tafsir bi al-ma’tsur (bil
riwayah). Yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dengan perkataan sahabat atau
dengan apa yang dikatan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in, disamping itu juga ia mengemukakan
beberapa pendapat berdasarkan pada pemikirannya. Tafsir ini mendapat pengakuan sebagai
tafsir yang bercorak fikih yang memiliki kedududkan penting khusus dikalangan madzhab
Hanafiyah. Karena padanya berproses argument-argumen yang menguatkan madzhab
Hanafiyah serta bantahan-bantahan terhadap yang menyanggah maddzhab Hanafiyah. Dalam
metodenya, beliau menempuhnya dengan penafsiran secara tahlili. Metode tahlili adalah suatu
metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat dari berbagai seginya, dengan
memperhatikan runtutan ayat al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf.7
4. Sistematika penulisan
Terkait dengan sistematika penafsirannya, al-Jashash menampilkan surat persurat lalu
menyebutkan pokok-pokok bahasan tentang hukum yang terkandung dalam surat tersebut.
Selanjutnya ia memulai dengan menjelaskan ayat-ayat yang terkait dengan masalah hukum,
kemudian melakukan penggalian hukum dengan menyebutkan beberapa pendapat yang
diungkapkan dalam perkataan “qila” (dikatakan). Dalam menafsirkan ayat tafsirnya al-Jashash
menyatakan penjelasan hukum dan menentukan tarjihnya berdasarkan ajaran madzhabnya.
Disamping itu, al-Jashash mencantumkan banyak kutipan-kutipan pendapat ahli fikih mulai
dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi sesudah mereka. Bahkan, pemikiran-pemikiran
rasional mereka juga ia kemukakan. Menurut Nashruddin bahwa al-Jashash tidak terlihat
keinginan penulisannya untuk membawa pembaca ke suatu titik kesimpulan yang harus dianut,
melainkan dia membiarkan berbagai pendapat yang dikemukakan itu bergulir begitu saja tanpa
ada penekanan atau tarjih dari penulis.
Sedangkan Manna al-Qathttan berpendapat bahwa al-Jashash dianggap sangat ekstrim
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, begitu pula menyanggah mereka yang tidak
sependapat dengannya. Bahkan, berlebih-lebihan dalam mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an
sehingga menyebabkan pembaca enggan menerusan bacaanya, karena ungkapan-ungkapannya
dalam membicarakan madzhab lain sangat pedas.8
5. Conton Penafsiran al-Jashash
a. Fanatisme Madzhab

6
Ushuluddin 7B, Dermaga Tafsir Kumpulan Makalah Madzhahib at-Tafsir, Ciputat : 2019, h. 149
7
Ushuluddin 7B, Dermaga Tafsir Kumpulan Makalah Madzhahib at-Tafsir, Ciputat : 2019, h. 150
8
Ushuluddin 7B, Dermaga Tafsir Kumpulan Makalah Madzhahib at-Tafsir, Ciputat : 2019, h. 150
Kitab tafsir Ahkam al-Qur’an adalah kitab tafsir yang dikarang oleh ahmad bin Ali al-Razi.
Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir yang dijadikan rujukan oleh ulama-ulama Hanafi tentang
fikih, Karena tafsir Ahkam al-Qur’an ini adalah kitab tafsir yang isinya atau tafsirannya
mengarah kepda permasalahan fikih khususnya fikih Hanafi. Kitab tafsir Ahkam Al-Qur’an
merupakan kitab tafsir yang istimewa, tafsirannya menggunakan metode bi al-Ma’tsur,
sedangkan biasanya orang yang bermadzhab Hanafi lebih condong kepada ra’yu dari pada
riwayat.
Dalam kitab ini pengarang membatasi diri pada penafsiran ayat yang berhubungan dengan
hukum-hukum cabang. Ia mengemukakan satu atau beberapa ayat lalu menjelaskan maknanya
dengan atsar dan memaparkan masalah fikihbyang berhubungan dengannya baik hubungan itu
dekat maupun jauh, serta mengemukakan berbagai perbedaan pendapat antar madzhab
sehingga pembaca merasa bahwa ia sedang membaca sebuah kitab fikih bukan kitab tafsir.
Al-Jashash telampau panatik buta terhadap madzhab Hanafi sehingga mendorongnya untuk
memaksa-maksakan penfsiran ayat dan pentakwilannya, guna mendukung madzhabnya. Ia
sangat ekstrim menyanggah mereka yang tidak sependapat dengannya dan bahkan berlebihan
dalam mentakwilkan sehingga menyebabkan pembaca tidak suka meneruskan bacaannya,
karena ungkapan-ungkapan yang digunakannya cukup pedas terhadap madzhab lain.
Rasa panatik al-Jashash terhadap madzhab Hanafi sangatlah kental, sehingga dalam
penafsirannya mengantarkan kepada doktrin untuk memaksakan diri untuk menyanggah
argumen lain untuk mentakwil sebagian ayat Al-Qur’an bernuansa fikih. Disamping itu pula
dalam pembasan tafsirnya lantaran berupaya memaparkan argument-argumen lain yang
dianggap bertentangan dengan madzhabnya. Berdasarkan pengamatan penulis, nyatalah
pembaca akan meratakan fanatisme yang ia untaikan dalam tafsirnya sebagai contoh
penafsirannya dalam surah al-Baqarah (2: 187) yang berbunyi:
‫ام إِلَى اللَّ ْي ِل‬ ِ ‫ث ُ َّم أَتِ ُّموا‬
َ َ‫الصي‬
“… kemudian (sempurnakanlah) puasa itu sampai datang malam …”
Dapat dipahami dalam penafsirannya, bahwa al-Jashash mencoba menarik kesimpulan
secara zhahirnya kedalam konteks ibadah kuasa sunah. Siapa saja yang melaksanakan puasa
sunah, maka wajib baginya menyempurnakan puasanya hingga terbenamnya matahari. Contoh
lain pada surah al-Baqarah: 232

َ‫وِف َٰذَلِك‬ِ ‫َض ْوا بَ ْينَ ُه ْم بِ ْال َم ْع ُر‬ َ ‫ضلُو ُه َّن أ َ ْن يَ ْنكِْحْ نَ أ َ ْز َوا َج ُه َّن إِذَا ت ََرا‬ ُ ‫سا َء فَبَلَ ْغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَ ََل ت َ ْع‬
َ ِ‫طلَّ ْقت ُ ُم الن‬
َ ‫َوإِذَا‬
‫َّللاُ يَ ْعلَ ُم َوأ َ ْنت ُ ْم ََل ت َ ْعلَ ُمون‬
َّ ‫ط َه ُر َو‬ْ َ ‫اَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر َٰذَ ِل ُك ْم أ َ ْز َك َٰى لَ ُك ْم َوأ‬
َّ ِ‫ظ بِ ِه َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم يُؤْ ِم ُن ب‬ ُ ‫ع‬َ ‫يُو‬
“apabila kamu mencerai istri-istrimu lalu habis iddahnya maka janganlah kamu (para
wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan calon suami mereka, apabila telah terdapat
kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah ang dinasehatkan kepada orang-
orang yang beriman diantara kamu kepada allah dihari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan
lebih suci. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.”
Pada ayat ini dari berbagai seginya al-Jashash menjadikannya sebagai dalil, bahwasannya
bagi perempuan yang telah jatuh talak dan telah habis masa iddahnya dan hendak ingin
melangsungkan nikahnya, maka tidak mesyaratkan adanya wali yang menyertakan izin
darinya. 9

9
Ushuluddin 7B, Dermaga Tafsir Kumpulan Makalah Madzhahib at-Tafsir, Ciputat : 2019, h. 151

Anda mungkin juga menyukai