Anda di halaman 1dari 16

1

PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


MADZHAB SUNNI 1

MUHAMMAD ERWIN
Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas
E-mail : muhammaderwin886@gmail.com

ABSTRAK

Mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid
dalam memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Ialam. Munculnya
mazhab, sebagai bagian dari proses sejarah penetapan hukum islam tertera rapi
dari generasi sahabat, tabi’in, hingga mencapai masa keemasan pada khalifa
Abbasiyah, akan tetapi harus diakui mazhab telah memberikan sumbangsih
pemikiran besar dalam penetapan hukum fiqh Islam. Sebab-sebab terjadinya
perbedaan pendapat/mazhab dikarenakan perbedaan persepsi dalam ushul fiqh
serta perbedaan interpretasi atau penafsiran mujtahid. Menganut paham untuk
bermazhab, dikarenakan faktor “ketikdakmampuan” kita untuk menggali hukum
syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan As-
Sunnah). Bermazhab secara besar dapat ditempuh dengan cara memahami bahwa
sesungguhnya pemahaman kita terhadap perbedaan pendapat di kalangan mazhab
mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau
menyimpang dari Islam.

Kata Kunci : Mazhab dan Perbedaan

PENDAHULUAN

Semua makhluk di dunia ini dilahirkan dengan keadaan yang berbeda-beda,


mulai dari bentuk, karakteristik, letak geografis dan lain-lain. Bahkan manusia
pun dilahirkan berbeda-beda, tidak mungkin semuanya sama, terutama dalam pola
fikir dan kemampuan intelektual mereka pun juga berbeda. Sehingga ketika
hukum berbicara, banyak sekali perbedaan pendapat yang muncul, ada yang
menyetujui dan ada pula yang menentang secara radikal.
2

Fiqh merupakan hasil ijtihad manusia, yang bersifat relatif, dan dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah faktor mujtahidnya atau siapa yang
berijtihad, faktor situasi dan kondisi yakni dalam situasi dan kondisi
bagaimanakah waktu mujtahid tersebut beristimbat, bagaimana situasi
pemerintahan pada waktu itu, dan sebagainya.

PEMBAHASAN

A. Madzhab Hanafi
1. Sejarah Madzhab Hanafi
Mazhab ini didirikan oleh Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Ulama
besar yang dikenal dengan nama Imam Hanafi itu terlahir di Kufah, Irak,
pada 80 H. Ia adalah seorang ahli fikih keturunan bangsa Persia yang
kemudian menetap di Irak. Imam Hanafi menimba ilmu fikih kepada
Hammad bin Abi Sulaiman. Setelah gurunya meninggal, ia menjadi
pengajar. Imam Hanafi mengarahkan murid-muridnya dalam pencarian
hakikat dan inti persoalan dan pengenalan terhadap ilah (alasan) serta
hukum di balik teks tertulis.1
Dasar yang dipakai oleh mazhab Hanafi adalah Alquran, Sunnah,
dan fatwa sahabat yang merupakan penyampai. Mazhab ini juga
menggunakan qiyas sebagai dasarnya dan juga istihsan, yaitu qiyas yang
berlawanan dengan nas. Imam Hanafi juga menggunakan ijma, yaitu
kesepakatan para mujtahid mengenai suatu kasus hukum pada suatu masa
tertentu.
Selain itu, ia juga menggunakan dasar urf, yaitu adat kebiasaan
orang Islam dalam satu masalah tertentu yang tidak disebut oleh nas
Alquran. Penyusun pendapat, fatwa, dan hadis dari Imam Hanafi adalah
murid-muridnya, yaitu Yakub bin Ibrahin al-Ansari atau Abu Yusuf, dan

1
Muhammad Yusuf. 2005. Fiqh dan Ushul Fiqh. Halaman 99
3

Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Mereka menyusun kitab yang berisi


masalah fikih mazhab Hanafi.2
Ada sejumlah faktor yang mendorong berkembangnya mazhab itu
dan mampu bertahan selama lebih dari lima abad. Faktor utamanya,
banyaknya murid yang berguru kepada Imam Hanafi. Mereka giat
menyebarkan ajaran kepada orang-orang di sekitar mereka sehingga
timbullah generasi kedua yang menganut mazhab tersebut.

Mazhab ini tersebar di daerah yang memiliki tradisi yang berbeda. Dari
tradisi yang berbeda ini melahirkan putusan menurut mazhab Hanafi.
Mazhab Hanafi sempat menjadi mazhab resmi Dinasti Abbasiyah.
Mazhab ini juga tersebar di negara yang dikuasai Dinasti Ottoman, daerah
Anatolia (Asia Tengah), India, dan wilayah Transoksania (Turkistan, Asia
Tengah).
Mazhab ini berkembang pula di Suriah, bahkan sempat dijadikan
mazhab negara. Di Mesir, mazhab Hanafi juga menjadi mazhab negara
ketika pemerintahan Muhammad Ali (1805-1849).3
2. Pemikiran madzhab Hanafi
Adapun pemikiran madzhab ini, maka mazhab Hanafi dikenal
sebagai Imam Ahlu ar-ra’yi serta fikih dari Irak. Ia dikenal banyak
menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu
hukum, yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama dalam
madzhab ini meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan
kaidah istihsan. Muhammad Salam Madkur menguraikan
karakteristik manhaj Hanafi, bahwa fikih Hanafi membekas kepada ahli
Kufah (negeri Imam Abu Hanifah dilahirkan) yang mengembangkan
aplikasi adat, qiyas, dan istihsan. Bahkan dalam tingkatan imam, ia sering
melewatkan beberapa persoalan; yakni apabila tidak ada nash, ijma’,
dan qaul sahabat kepada qiyas, dan apabila qiyasnya buruk (tidak

2
Ibid,. halaman 100
3
Ibid,. halaman 101
4

rasional), Imam Hanafi meninggalkannya dan beralih ke istihsan, dan


apabila tidak meninggalkan qiyas, Imam Hanafi mengembalikan kepada
apa-apa yang telah dilakukan umat Islam dan apa-apa yang telah diyakini
oleh umat islam, begitulah hingga tercapai tujuan berbagai masalah.4
Alasannya: kaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam
menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila
suatu hadist mereka nilai sebagai hadist ahad. Yang menjadi pedoman
dalam menetapkan hukum Islam (fikih) di kalangan madzhab Hanafi
adalah: Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Fatwa sahabat, Qiyas, Istihsan,
‘Ijma’.
Dalam analisis Muhammad Said Tanthowi, dasar atau prinsip
ijtihad Hanafi menyandarkan kepada, “kemudahan, toleransi, menghargai
martabat manusia, kebebasan berpikir, dan kemaslahatan umat.”5
Berbagai pendapat Abu Hanifah yang dibukukan oleh muridnya
antara lain: Zhahir ar-Riwayah dan an-Nawadir yang dibukukan oleh
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, Al-Kafi yang dibukukan oleh Abi
Al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Maruzi (w. 344
H), Al-Mabsut (syarah al-Kafi dan dianggap sebagai kitab induk mazhab
Hanafi) yang dibukukan pada abad ke-5 oleh Imam as-Sarakhsi, Al-
Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, yang dilestarikan oleh
Imam Abu Yusuf yang dikenal sebagai peletak dasar usul fiqh madzhab
Hanafi.
Madzhab Hanafi sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat
dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/logika dalam
mengupas masalah fikih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antara
latar belakangnya adalah karena beliau sangat berhati-hati dalam
menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin
atas keshahihan suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk tidak

4
Djazuli. 2005. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penetapan Hukum Islam,
halaman 124
5
Ibid,. halaman 125
5

menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu


banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain
yang punya dalil nash syar’i. Selain itu, karena kurang tersedianya hadits
yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal.
Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang
beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100
tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-
Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.
3. Metode Istimbath Hukum Dan Contohnya Dalam Bidang Muamalah
Abu Hanifah adalah seorang imam mujtahid yang bercorak
rasional. Ia adalah pendiri Mazhab hanafi. Dalam melakukan istinbath
hukum, Abu hanifah banyak mendasarkan ijtihadnya kepada ra'yu. Ia
sangat selektif dalam menerima hadis. Muamalah manusia dan adat
istiadat ['urf] selalu menjadi perhatiannya jika tidak bisa menempuh jalan
istihsan. Pemikiran Abu hanifah yang rasional ini dipengaruhi oleh
dinamika hukum dan kultur masyarakat yang berkembang di Kufah
[Irak]. Kufah adalah sebuah kota yang terletak jauh dari Madinah yang
menjadi pusat tersiarnya hadis Nabi. Secara berurutan, sistematika sumber
hukum Islam Abu Hanifah adalah : al Qur'an, Sunnah, Fatwa, Shahabat,
Qiyas, Istihsan, dan Urf. Sikapnya lebih mendahulukan ra'yu daripada
hadis ahad. Apabila terjadi pertentangan antar hadis, Abu Hanifah
menetapkan hukum dengan jalan qiyas dan istihsan. Meskipun sudah
memakai qiyas, Abu Hanifah tetap menggunakan istihsan. Meskipun
sudah memakai qiyas, Abu Hanifah tetap menggunakan istihsan.6

B. Madzhab Maliki
1. Sejarah Madzhab Maliki
Mazhab Maliki didirikan oleh Malik bin Anas bin Malik bin Abi
Amir al-Asbahi, atau yang dikenal dengan nama Imam Malik. Ia lahir di
Madinah pada 93 H dan wafat pada 179 H. Imam Malik adalah seorang

6
Nourouzzaman Shiddiqi. 1994. Sunni dalam Perspektif Sejarah, halaman 1
6

ahli hadis dan fikih yang paling terpercaya. Ia menguasai fatwa Umar bin
Khathab, Abdullah bin Umar bin Khathab, dan Aisyah binti Abu Bakar.
Pada awalnya, Imam Malik memfokuskan studinya pada ilmu
hadis. Ia mengarahkan perhatiannya pada fiqh ra’yu (penalaran) ahli
Madinah yang diterimanya. Corak ra’yudi Madinah adalah perpaduan
antara nash-nash dan berbagai maslahat. Imam Malik mengajar ilmu hadis
di Masjid Nabawi. Ia juga memberikan fatwa terhadap kasus yang sudah
terjadi.
Imam Malik tidak mau memberikan fatwa terhadap kasus yang
belum pernah terjadi, walaupun hal tersebut diramalkan akan terjadi. Ia
juga tidak ingin memutuskan fatwa terkait wewenang hakim. Dalam
menanggapi pemikiran yang berbeda dalam masalah akidah, sang ulama
besar itu selalu menggunakan fikih dan hadis sebagai jalan keluarnya.

Kitab terbesar Imam Malik adalah Al-Muwatta’, yaitu kitab hadis


pertama yang pernah disusun. Kitab ini berisi hadis-hadis dalam tema
fikih yang pernah dibahas Imam Malik, seperti praktik penduduk
Madinah, pendapat tabiin, dan pendapat sahabat tabiin yang ditemuinya.

Menurut Ensiklopedi Islam, Alquran menjadi dasar istinbatmazhab


ini. Seperti halnya mazhab yang lain, Alquran menjadi dasar utama
syariat dan hujah mazhab Maliki. Imam Malik mengambil dari nas yang
tidak menerima takwil dan mengambil bentuk lahirnya. Dasar keduanya
adalah Sunah.7
Sunah yang diambil oleh Imam Malik untuk mazhabnya adalah
sunah mutawatir, yaitu yang diriwayatkan oleh suatu golong an kepada
orang banyak yang diyakini tidak akan membuat kesepakatan bohong
atau dusta, sunah masyhur, dan khabar ahad.

7
Djazuli. 2005. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penetapan Hukum Islam,
halaman 129
7

Dasar ketiga dari mazhab yang tersebar di Hedjaz ini adalah


praktik penduduk Madinah yang dipandang sebagai hujah, apabila praktik
tersebut benar-benar dinukilkan oleh Nabi Muhammad SAW. Imam
Malik mencela ahli fikih yang tidak mau mengambil praktik penduduk
Madinah, bahkan menyalahinya.8
Sebagai dasar keempat, Imam Malik mengambil fatwa sahabat. Ia
memandang fatwa ini wajib dilaksanakan karena tidak mungkin mereka
melakukan hal tersebut tanpa perintah dari Rasulullah. Qiyas menjadi
dasar kelima dari mazhab Imam Malik yang lahir di Madinah ini.
Ia mengambil qiyas dalam pengertian umum yang merupakan
penyamaan hukum perkara. Dasar terakhir yang dipakai adalah az-zara'i,
yaitu sarana yang membawa pada hal haram akan menjadi haram dan
sebaliknya.
2. Pemikiran madzhab Maliki
Perjalanan hidup Imam Malik tidak jauh berbeda dengan Imam
Abu Hanifah, ia pernah disiksa, diseret sampai bahunya terlepas, bahkan
dipenjara karena sering menjelaskan hadist-hadist sehingga masyarakat
terdorong untuk memberontak dan tidak mau membaiat khalifah. Pada
masa akhir tuanya, ia menderita sakit dan sakitnya bertambah parah.
Banyak orang yang tidak tahu sakit yang diderita Imam Malik. Ia
meninggal di Madinah (179 H) pada usia 86 tahun.
Dalam pemikirannya, prinsip dasar madzhab Maliki adalah: Al-
Qur’an, Sunnah Nabi SAW, ‘Ijma, Tradisi penduduk Madinah (statusnya
sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa sahabat, Al-
maslahah al-mursalah, ‘urf, Istihsân, Istishâb, Sad adz-dzarî’ah, Syar’u
man qoblana.9
Kemudian Imam Asy-Syatibi menyederhanakan dasar fikih
madzhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah Nabi
SAW, Ijma’, Rasio.

8
Ibid,. halaman 130
9
Ibid,. halaman 131
8

Alasannya: menurut imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi


penduduk Madinah di zamannya merupakan bagian dari sunnah Nabi
SAW. Yang termasuk rasio adalah al-maslahah al-mursalah, sadd adz-
dzar’iah, istihsan, ‘urf, dan istishab. Menurut para ahli ushul fiqh,
qiyas jarang sekali digunakan mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih
mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
3. Metode Istimbath Hukum Dan Contohnya Dalam Bidang Muamalah
Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam
menetapkan hukum. Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum
untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan
hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah
dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu
yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap seperti hukum
pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula sebaliknya.10

C. Madzhab Syafi’i
1. Sejarah Madzhab Syafi’i
Mazhab ini dinamakan sesuai dengan pendirinya, Imam Syafi’i.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i.
Mazhab ini muncul pada pertengahan abad ke-2 Hijriah.
Imam Syafi’i memiliki pemikiran fikih yang khas dan berbeda
dibandingkan kedua mazhab terdahulunya. Sumber acuan mazhab ini
adalah paham dan pemikiran Syafi’i yang dimuat dalam kitabnya, Ar-
Risalah, Al-Umm, Ikhtilaf al-Hadits, dan lain-lain. Para ulama mazhab ini
mengembangkan kitab-kitab tersebut dengan memberikan penjelasan atau
komentar setelahnya.11
Seperti dua mazhab lain, mazhab Syafi’i mempunyai dasar
Alquran, Sunah, ijma, dan qiyas. Sunah yang diambil sebagai dasar
adalah sunah daif yang tidak terlalu lemah, tidak bertentangan dengan

10
Ibid,. halaman 132
11
Djazuli. 2005. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penetapan Hukum Islam,
halaman 140
9

dalil yang kuat, dan bukan untuk menetapkan yang halal dan haram atau
masalah keimanan.
Dalam mazhab ini, hadis mempunyai kedudukan yang tinggi,
bahkan disebutsebut posisinya setara dengan Alquran. Menurut Imam
Syafi'i, hadis memiliki kaitan yang erat dengan Alquran. Ia juga
berpendapat Rasulullah menetapkan setiap hukum yang pada hakikatnya
merupakan hasil pemahaman yang beliau dapat dari Alquran.
Di kalangan penganut mazhab Syafi'I, dikenal metode maslahat,
yaitu metode penerapan hukum yang berdasarkan kepetingan umum.
Hanya saja, maslahat ini hanya terbatas pada maslahat yang mu'tabarah,
yaitu yang secara khusus ditunjuk oleh nas dan maslahat yang sesuai
kehendak Allah SWT.12
2. Pemikiran madzhab Syafi’i
Keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fikih dan hadist pada
zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya. Sebagai orang yang
hidup pada zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlul
hadist dan Ahlul ra’yi, Imam Syafi’i berupaya untuk mendekatkan kedua
aliran ini. Oleh karena itu, ia belajar kepada Imam Maliki sebagai
tokoh Ahlul hadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai
tokoh Ahlul ra’yi.
Dalam penetapan hukum Islam, Imam Syafi’i menggunakan: Al-
Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma’ sahabat, Qiyas (tetapi dalam
pengguanaannya tidak luas).13
Imam Syafi’i menolak istihsan sebagai salah satu cara
mengistinbathkan hukum syara’. Penyebarluasan pemikiran mazhab
Syafi’i diawali melalui kitab ushul fiqhnya ar-Risâlah dan kitab
fikihnya al-Umm, kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para
muridnya yaitu Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H) seorang ulama

12
Ibid,. halaman 141
13
Djazuli. 2005. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penetapan Hukum Islam,
halaman 157
10

besar Mesir, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H), dan ar-
Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H).
3. Metode Istimbath Hukum Dan Contohnya Dalam Bidang Muamalah
Imam Syafi’i dalam menentukan Hukumnya, beliau mempunyai
metode dan prosedur tersendiri yaitu, adapun prosedurnya adalah sebagai
berikut: “Hukum asal adalah al-Qur’an dan Sunnah; apabila tidak
ditemukan di dalam al-Qur‟an dan Sunnah maka, menggunakan Qiyas
(analogi) terhadap al Qur’an atau Sunnah (Lara 2017).
Prosedur Istinbath Hukum Imam Syafi’i tersebut ini sebagaimana
yang diungkapkan beliau dalam kitabnya, ar-Risalah sebagai berikut
“Tidak boleh seorang mengatakan dalam hukum selamanya ini, halah atau
haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah kitab
suci, qur’an, sunnah, ‘ijma’ dan qiyas” (Yanggo 1997).14
Metode istinbath Imam Syafi’i secara garis besar dapat dilihat dari
kitab alUmm, sebagaimana yang dikutip oleh Ali Hasan, sebagai berikut:
“ilmu itu bertingkat secara berurutan pertama-tama adalah al-Qur’an dan
as-Sunnah apabila telah tetap, kemudian kedua Ijma’ ketika tidak ada
dalam al-Qur’an an as-Sunnah dan ketiga Sahabat Nabi (fatwa sahabi)
dan kami tahu dalam fatwa tersebut tidak adanya ikhtilaf di antara
mereka, keempat ikhtilah sahabat Nabi, kelima qiyas yang tidak
diqiyaskan selain kepada al-Qur’an dan as-Sunnah karena hal itu telah
berada di dalam kedua sumber, sesungghunya mengambil ilmu dari yang
teratas” (Hasan 2002).
Imam Syafi’i menempatkan Al Qur’an dan hadits mutawatir pada
martabat pertama. Dan alasan Imam Syafi’i menempatkan hadits
mutawatir sama dengan Al Qur’an dalam penentuan hukum karena
menurutnya, sunnah mutawatir berfungsi menjelaskan al Qur’an, hal ini
tentu berbeda dengan hadits ahad yang tidak bisa dianggap sebagai
penjelas Al Qur’an. Disamping alasan di atas itu, Imam Syafi’i
berpendapat bahwa al-Qur'an dan hadits keduanya merupakan wahyu,

14
Ibid,. halaman 158
11

yang mana al qur’an merupakan wahyu matluwin sementara hadits


merupakan wahyu ghairu matluwin, meskipun tentu kekuatan keduanya
dalam argumentasi hokum tidak sama. (Yanggo 1997).15

D. Madzhab Hanbali
1. Sejarah Madzhab Hambali
Mazhab besar ini didirikan oleh Ahmad bin Hanbal atau terkenal
dengan nama Imam Hanbali. Ia merupakan keturunan dari Rasulullah dan
telah ditinggal ayahnya sejak kecil. Ia diasuh oleh ibunya di bawah
pengawasan pamannya. Imam Hanbali menuntut ilmu di kota ilmu
pengetahuan, Baghdad. Di sana ia belajar tentang keislaman seperti
hafalan Alquran, hadis, dan sejarah Rasulullah.
Sunah dan hadis yang dikumpulkan Imam Hanbali berasal dari
hadis Nabi Muhammad serta fatwa sahabat. Saat berusia 40 tahun, ia
mulai mengajarkan fatwa mengenai fikih. Corak fikih yang diajarkannya
berpedoman pada sunah dan hadis Nabi SAW.
Ia tidak menulis buku tentang fikih dan melarang murid-muridnya
menuliskan fatwa yang disampaikannya. Namun, Imam Hanbali menulis
satu kitab, yaitu Al-Musnadyang berisi kumpulan hadis yang
diriwayatkan Ahmad dari para rawi tepercaya.16
Menurut Ibnu Qayyim, ada lima dasar pedoman pokok mazhab ini.
Yang utama tentu saja Alquran dan hadis. Imam Hanbali lebih
mendahulukan nas daripada fatwa sahabat yang tidak diketahui ada yang
menentang. Apabila ada sahabat yang berbeda pendapat, ia akan
mengambil kesimpulan yang mendekati Alquran dan hadis. Ia juga
mengambil hadis mursal dan daif.
2. Pemikiran madzhab Hambali
Imam Ahmad adalah seorang pakar hadist dan fiqh. Imam Syafi’i
berkata ketika melakukan perjalanan ke Mesir, ”Saya keluar dari Baghdad

15
Ibid,. halaman 159
16
Yusuf, Muhammad, dkk. 2005. Fiqh dan Ushul Fiqh, halaman 115
12

dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan
paling faqih melebihi Ibnu Hanbal,”
Dasar mazhab Hanbali adalah Al-Quran, Sunnah, fatwa sahahabat,
Ijma’, Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah, sadd adz-dzarai’.
Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya.
Namun pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari perkataan,
perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau
mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih
hadist. Beliau memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad
mengunakan hadist mursal dan hadis dlaif yang derajatnya meningkat
kepada hasan bukan hadis bathil atau munkar.
Di antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal
anak terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal . Shalih bin
Ahmad lebih menguasai fikih dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai
hadits. Murid yang adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama
aslinya; Ahmad bin Muhammad, Abdul Malik bin Abdul Hamid bin
Mihran, Abu Bakr Al-Khallal, Abul Qasim yang terakhir ini memiliki
banyak karangan tentang fikih madzhab Ahmad. Salah satu kitab fikih
madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.17
Prinsip dasar Madzhab Hanbali adalah: An-Nushush, yaitu Al-
Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’, fatwa Sahabat, jika terdapat
perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas,
maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan
sunnah Nabi SAW, Hadits mursal atau hadits daif yang didukung
oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma’, dan apabila dalam
keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas.
Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan
yang amat terpaksa. Prinsip dasar Madzhab Hanbali ini dapat dilihat
dalam kitab hadits Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam
perkembangan Madzhab Hanbali pada generasi berikutnya, mazhab ini

17
Ibid,. halaman 116
13

juga menerima istihsan, sadd az-Zarî’ah, ‘urf; istishâb, dan al-maslahah


al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Para pengembang Madzhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam
Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin
Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-
Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-
Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Madzhab Hanbali
ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-
masing menyusun buku fikih sesuai dengan prinsip dasar Madzhab
Hanbali di atas.
Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan
mengembangkan Madzhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju
dengan pendapat fikih Imam Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai
pengembang dan pembaru Madzhab Hanbali. Disamping itu, jasa
Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan
penyebarluasan Madzhab Hanbali juga sangat besar. Pada zamannya,
Madzhab Hanbali menjadi madzhab resmi Kerajaan Arab Saudi.
3. Metode Istimbath Hukum Dan Contohnya Dalam Bidang Muamalah
Adapun sumber hukum dan metode istinbath Imam Ahmad ibn
Hanbal dalam menetapkan hukum adalah:
a. Nash dari Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Qur’an dan dari
Sunnah Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum
adalah dengan nash itu.18
b. Fatwa para sahabat Nabi SAW
Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-
Qur’an maupun dari hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa
dari para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di kalangan

18
Yusuf, Muhammad, dkk. 2005. Fiqh dan Ushul Fiqh, halaman 124
14

mereka. Apabila terdapat perbedaan di antara fatwa para sahabat,


maka Imam Ahmad ibn Hanbal memilih pendapat yang lebih dekat
kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
c. Hadits Mursal dan Hadits Dha’if
Apabila ia tidak menemukan dari tiga poin di atas, maka beliau
menetapkan hukum dengan hadits mursal dan hadits dha’if. Dalam
pandangan Imam Ahmad ibn Hanbal, hadits hanya dua kelompok
yaitu, hadits shahih dan hadits dha’if.
d. Qiyas
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari
hadits mursal dan hadits dha’if, maka ia menganalogikan /
menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang digunakan dalam
keadaan dharurat (terpaksa)
e. sadd al-dzara’i
yaitu melakukan tindakan preventif terhadap hal-hal yang negatif.19

19
Ibid,. halaman 125
15

PENUTUP
Menurut ulama fiqih mazhab adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang
dijalan oleh seorang ahli fiqih Mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain,
yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu’.
bermazhab bukanlah tingkah laku orang awam saja, tetapi merupakan sikap
yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam
Bukhari masih tergolong orang yang bermazhabSyafi’i. Jadi, ada tingkatan
bermazhab atau bertaqlid. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi
pula tingkat bermazhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan
mungkin akhirnya berijtihad sendiri. Pertanyaan mengapa kita bermazhab
akan terjawab dengan sendirinya dengan penjelasan taqlid dan Ijtihad
dibawah ini.
Jelasnya, orang yang bermazhab sama artinya dengan orang yang
mengamalkan al-Quran dan al-Hadits, karena semua pendapat yang
difatwakan oleh imam-imam mazhab adalah hasil dari kajian mereka terhadap
al-Quran dan al-Hadits.Bahkan untuk memudahkan orang-orang awam,
mereka siang malam berusaha mengkaji dan menggali hukum-hukum
didalam al-Quran dan al-Hadits yang notabene ribuan dan tidak berurutan,
mereka atur sedemikian rupa, diurutkan dari bab ke bab. Sehingga hukum-
hukum islam lebih mudah dipelajari.
16

DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddiedy, Hasbi. 1974. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang
Djazuli. 2005. Ilmu Fiqh : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum
Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Hanafi, A.1984. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Shiddiqi, Nourouzzaman. 1994. Sunni dalam Perspektif Sejarah. Jurnal Al Jamiah
Yusuf, Muhammad, dkk. 2005. Fiqh dan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN Sunan kali

Anda mungkin juga menyukai