Anda di halaman 1dari 12

UJIAN TENGAH SEMESTER

USHUL FIQIH

NAMA : Widya Wulandari Tanjung


NIM : 2216040096
KELAS : Aksya- A
JURUSAN : Akuntansi Syari’ah
A. PENGERTIAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN ALIRAN-ALIRAN
DALAM USHUL- FIQIH

1. Pengertian ushul-fiqih

Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua kata, yaitu Ushul dan
Fiqih. Rangkaian kata Ushul dan Fiqih tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari
rangkaian dua buah kata itu ushul bagi fiqih.

Fiqh menurut bahasa, berarti paham atau tahu secara mendalam. Fiqhi secara istilah
adalah ilmu tentang hokum hukum syara‟ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan fiqih adalah kumpulan hukum-hukum syara‟ mengenai
perbuatan dari dalil-dalil yang terperinci.Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang
terperinci,ialah bahwa satu persatu dalil,baik dari alQur`an maupun al-Hadis menunjuk kepada
suatu hukum tertentu,seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat.

Pengertian usul fiqh secara terminology menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah ilmu
tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh
hukum-hukum syara‟ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Maksud dari
kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara‟ mengenai
perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan ( masalik )
yang harus ditempuh oleh mustanbith untuk memperoleh hukum-hukum syara'.

Dengan demikian, Ushul al-Fiqih bisa dijelaskan sebagai kaidah yang mendasari
diraihnya potensi (kemampuan) kaidah yang menguasai hukum-hukum perbuatan (al-
ahkamal„amaliyyah) dari dalil-dalil kasus perkasus(al-adilahattafshiliyyah).Karena itu fiqih juga
disebut sebagai koleksi (majmu’) hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf dan diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili.
2. Sejarah munculnya aliran-aliran ushul-fiqih

1. Ushul Fiqh pada masa Rasulullah Saw

Ushul fiqh baru lahir pada abad kedua hijriah. Pada abad ini daerah kekuasaan
umat Islam semakin luas dan banyak orang yang bukan arab memeluk agama Islam.
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih dahulu dibandingkan ushul fiqh
sebagai sebuah metode memecahkan hukum.

Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup
Rasulullah saw. sendiri. Rasulullah saw. dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-
persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat
dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama
dikemudian hari.

2. Ushul fiqh pada masa Sahabat

Periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada


hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya
saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan
belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, para sahabat
telah mempraktikkan ijma’, qiyas, dan istishlah (maslahah mursalah) bilamana hukum
suatu masalah tidak ditemukan secara tertulus dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah saw., ushul fiqh pada era
sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda
pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog
semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang
metodologi.
3. Ushul fiqh pada masa Tabi’in

Pada masa tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan
bertambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan baru yang muncul
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi
tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para
pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan sunnah,
mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi,
ijma’ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas, dan maslahah mursalah yang telah
dihasilkan oleh generasi sahabat.

4. Ushul Fiqh pada masa Imam-imam Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i

Imam Abu Hanifah an-Nu’man, pendiri madzhab Hanafi menjelaskan dasar-dasar


istinbath-nya yaitu, berpegang kepada Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya,
ia berpegang pada Sunnah Rasulullah.Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah
terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan. Orang Irak, khususnya Imam Abu
Hanifah mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas, meskipun benar secara metode,
dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam.

3. Perkembangan aliran dalam ushul- fiqih

Sejarah perkembangan ushul fiqih menunjukkan bahwah ilmu tersebut tidak


berhenti,melainkan berkembang secara dinamis Ada beberapa aliran metode penulisan
ushul fiqh yang saat ini dikenal.Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul
fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah)dan aliran fuqaha (Aliran Hanafiyah).
Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan.

i. Aliran Mutakallimin

Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah.Alasan penamaan


tersebut bisa dipahami karena orang paling pertama mewujudkan cara penulisan ushul
fiqh seperti ini adalah Imam Syafi’I,dan dikenal sebagai aliran Mutakallimin karena
para pakar dibidang ini setelah Imam Syafi’I adalah dari kalangan Mutakallimin (ahli
ilmu kalam).Beberapa ciri aliran ini dalah Ushul Fiqh disajikan secara rasional,
filosofis,dan teoritis tanpa disertai dengan contoh,dan murni tanpa mengacu kepada
mazhab fiqih tertentu yang sudah ada.

ii. Aliran Fuqah

Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama
madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya
banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh,
mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-
pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.

iii. Aliran Gabungan

Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh


aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan
adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh.
Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan
kaidah yang menjadi sandarannya.

4. Tokoh Aliran dalam Ushul-Fiqih


a. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (80 H-150 H

Nama lengkap beliau adalah an-Nu’man bin Tsabit bin Zutha bin Mahmuli
Taymillah bin Tsa’labah . Beliau hidup di baghdad pada masa khalifah Abdullah
bin Marwan . Beliau juga dipandang sebagai pendiri mazhab Hanafi . Beliau
pernah tinggah di mekah serta mempelajari hadis serta ilmu dari orang yang
beliau jumpai dan beliau pula memperkaya koleksi hadistnya dengan metodologi
yang mencerminkan aliran ahli Ra’yi yang beliau pelajari dari imam Hammad ,
dengan menggunkan Al-qur’an dan hadist/sunnah sebagai sumber pertama dan
kedua.
b. Imam Malik bin Anas (93 H-179 H)

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Malik bin Anas As Syabahi Al Arabi
bin Malik bin Abu ‘Amir bin Harits . Beliau dikenal sebagai ahl hadist . Beliau juga
disebut sebagai pendiri mazhab maliki, Beliau lebih banyak menggunakan hadist
dibandingkan imam Hanafi karena domisili beliau yang sama dengan rasullulah di
Madinah .

c. Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H )

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin
al-Saib bin Abdu-Yazid bin Hasim,Sumber ijtihad beliau adalah Al-Qur’an, As-
Sunnah,Ijma’Perkataan Sahabat Qias ,Istishab,Beliau disebut juga sebagai pendiri
mazhab syafi’I atau mutakkalimin.

d. Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (164 H-241 H)

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad ibn Hanbal
ibn Hilal ibn Asad alSyaibaniy al-Bagdady, Beliau juga disebut sebagai pendiri
mazhab hambali pendekatan ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal adalah Alquran dan
Hadis/Sunnah(marfu'ah), fatwa sahabat yang tidak ada perselisihan di antara
mereka.

5. Karya-Karya dalam Ushul-Fiqih


a. Al – Risalah

Disusun oleh imam syafi’i . Kitab al – risalah adalah buku yang pertama kali terkenal
dalam ushul fiqh .Oleh karena ini buku ini menjadi referensi utama dalam studi ushul
fiqh dan banyak masyarakat yang menggunakannya , misalnya Syarh Abi Bakar al –
syairafi . Kitab ini membahsa tentang ilmu al – qur’an , hal ihwal yang ada dalam al –
qur’an dan disertai juga dengan hadist nabi , ijma , qiyas , ijtihad dan istihsan.

b. Al – Burhan fi ushul al – fiqih

Disusun oleh imam al – haramain . Buku menjadi salah satu buku standar ushul fiqih
aliran mutakkalimin . Buku ini membahas sekitar ushul fiqih
c. Taqwim al – adillah

Karya dari imam abu zaid al – dabbusi ahli ushul fiqih dari kalangan hanafiyah . Buku ini
merupakan ushul fiqih dari standar Hanafi di cetak di kairo .

d. Ushul al – syarakhsi

Disusun oleh imam Muhammad ibnu ahmad syams al – aimmah . buku ini dikenal
sebagai rujukan utama mazhab Hanafi

B. IJTIHAD DAN MUJTAHID


1. Pengertian ijtihad

Dalam pengertian yang umum, ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan dan energi
sampai dalam batas maksimal dalam memahami suatu persoalan. Adapun pengertian ijtihad
secara istilah, ada yang merumuskan secara integral yang menyangkut segala aktivitas keilmuan
dalam berbagai bidang kehidupan.

Sebagaimana pengertian ijtihad diartikan sebagai segala daya upaya yang dicurahkan
seorang mujtahid dalam mengembangkan dan menggali bidang teologi, politik, tasawuf, filsafat
dan fiqih.

2. Objek/ lapangan ijtihad


Adapun lapangan yang dapat menjadi objek ijtihad adalah:
1. Lapangan yang dibawa oleh nas yang zanni. Baik dari segi kedudukannya
maupun dari segi pengertiannya. Nas seperti ini terdapat di dalam Hadis. Ijtihad
dalam hal ini ditujukan Ijtihad. dalam segi sanad dan penyahihannya, juga dari
pertalian pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari.
2. Lapangan yang dibawa oleh nas qat’I kedudukannya, tetapi zanni pengertiannya.
Nas seperti ini terdapat dalam Al-Qur’a ndan Hadis juga. Objek ijtihad di sini
ialah dari segi pengertiannya saja.
3. Lapangan yan dibawa oleh nas yang Zanni kedudukannya,tetapi qat’i
pengertiannya. Nas ini hanya terdapat dalam Hadis. Objek ijtihad dalam hal ini
ialah segi, sahihnya Hadis, dan pertaliannya dengan Rasulullah. Dalam ketiga
lapangan ini, daerah ijtihad terbatas sekitar nas sehingga seorang mujtahid tidak
dapat melampuai kemungkinan kemungkinan pengertian nas.
4. apangan yang tidak ada nasnya atau tidak diijma’kan dan tidak pula diketahui
dengan pasti. Disini orang yang berijtihad memakai qiyas, istihsan, urf, atau jalan
lain. Disinilah daerah ijtihad lebih luas dari pada ketiga lapangan lainnya.

3. Sejarah perkembangan ijtihad dari masa kemasa

Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa aktivitas ijtihad telah dimulai sejak


masa Nabi, baik yang pernah dilakukan oleh nabi sendiri maupun oleh para sahabat. Para
sahabat melakukan aktivitas ijtihad sesuai dengan pengetahuan, pengalaman dan
kecerdasan mereka masing-masing yang didukung oleh integritas, kecintaan dan kesetian
mereka kepada agama yang dibawa oleh Nabi.

Ijtihad sahabat pada masa Nabi dilakukan di bawah bimbingan dan pengawasan
Nabi, mendapat pembetulan jika salah dan mendapat pengokohan jika benar.Sepeninggal
Nabi, ijtihad sahabat benar-benar berfungsi sebagai penggalian hukum, bahkan
dipandang sebagai suatu kebutuhan yang harus dilakukan untuk menyelesaikan berbagai
kasus yang timbul kemudian yang tidak dijumpai dalam Al Qur'an dan As Sunnah.
Apalagi pada masa itu daerah kekuasaan Islam makin bertambah luas, sehingga banyak
persoalan-persoalan hukum yang timbul.

Pada masa-masa berikutnya kegiatan intelektual ini berangsur-angsur mengalami


surut, dan perlahan-lahan aktivitas ijtihad mulai mundur, kemudian datang periode taklid.
Dalam fase kemunduran ini kebanyakan fuqaha telah menurun semangatnya atau telah
lemah motivasinya untuk menjadi mujtahid mutlak. Kalaupun ada, aktivitas ijtihad yang
dilakukan mengambil bentuk ijtihad dalam mazhab. Ulama- ulama kaliber besar yang
sederajat dengan Abu Hanifah, Malik Ibnu Anas, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin
Hanbal tidak terdapat lagi, kebekuan untuk melakukan ijtihad ini sampai muncul suatu,
pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup. Pendapat mengenai pintu ijtihad tertutup tersebut
menjadi polemik dan kontroversial Di kalangan madzhab Hambali dan golongan syiah
berpendapat bahwa ijtihad tidak pernah tertutup dan tidak ada seorangpun yang berhak
menutupnya.

4. Tingkat Mujtahid
1. Al-mujtahid al-Mustaqil
Mujtahid yang mendirikan fiqh atau dasar metode dan kaidah yang di
tetapkankannya sendiri. Atau dengan rumusan lain ia adalah mujtahid yang telah
memiliki ushul fiqh dan fiqh sendiri, yang tidak sama dengan ushul fiqh dan fiqh
yang di bangun oleh mujtahid lain. Imam empat adalah contoh yang tergolong
dalam ketegori ini.
2. Al mujtahid al muthlaq ghair ak-mustaqil
Mujtahid yang mencakup kriteria (syarat syarat) berijtihad tetapi metode
yang di gunakan terikat pada imam yang di anutnya, mujtahid level ini, walaupun
terikat pada salah satu metode madzhab dalam melakukan ijtihad, ia tidak
terpengaruh oleh imam mazhab tersebut. Dengan kata lain, ia adalah tingkat
mujtahid yang memiliki fiqh sendiri, tetapi tidak memiliki ushul fikih. Contoh
mujtahid dalam tingkat ini antara lain, Abu Yusuf (113- 183 H), Muhamad (132-
189 H), dan Zufar (110-157H), pengikut Abu Hanafih ; Ibn al-Qasim (w.191H)
dan syhab (140-204H) dari pengikut Malik, al-Buwaethi (w.231H), az-Za’faarani
(w. 306H), al-Muzani (175-264) dari kalangan pengikut as- Syafi’i.
3. Al Mujtahid al Muqayyah atau al-mujtahid at-takhrij
Seseorang yang telah memenuhi kriterial berijtihad dan mampu menggali
hukum dari sumbernya. Walaupun ia mujtahid yang tidak menginginkan keluar
dari dalil-dalil dan pandangan imamnya, namun ia tetap berupaya meng-istinbath-
kan hukumnya.
4. Mujtahid al fatwa
Pakar fiqh yang berusaha memelihara madzhab nya, mengembangkan dan
mengetahui seluk beluk serta mampu memberikan fatwa dalam koridor yang telah
di tetapkan oleh imam madzhab nya, tetapi tidk mampu ber- istidlal.
5. Syarat syarat mujtahid
Menurut Nasrul rusli yang mengutip pedapat al syaukani syarat syarat yang harus
di miliki seorang mujtahid adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui alquran dan sunnah,terutama yang berhubungan dengan hukum.
2. Mengetahui ijma’ sehingga tidak mengeluarkan fatwa yang berbeda. Al
Syaukani tidak menempatkan ijma’secara ketat, hanya bagi mereka yang
berkeyakinan bahwa ijma’sebagai sumber hukum.
3. Mengetahui bahasa arab.
4. Mengetahui ilmu ushul fiqh,ilmu ini sangat pokok bagi seorang mujtahid
karena dengan ilmu ini mujtahid akan bergerak atau ber ijtihad merespon
segala persoalan yang muncul.
5. Mengetahui naskh mansukh.

C. HUKUM SYAR’I
1. Pengertian Hukum Syar’i
Menurut mayoritas ulama hukum syar’i adalah “Firman (kalam) Allah yang
berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, yang mengandung tuntutan, pilihan atau
ketetapan. Maksud dari “Khiṭab atau firman Allah”adalah Firman Allah Swt secara
langsung yaitu Al-Qur’an atau Firman-Nya tetapi melalui perantara yaitu sunnah,
ijma’dan semua dalil syar’i. Yang di maksud “iqtiḍa’adalah tuntutan, baik tuntutan
untuk melakukan atau meninggalkan,atau tuntutan secara pasti maupun tidak pasti.

2. Pembagian Hukum Syar’i


a. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah firman Allah Swt yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang menghendaki tuntutan untuk melakukan atau menjauhi
atau untuk membuat pilihan. Di namakan hukum taklifi karena adanya
pembebanan atau tuntutan kepada manusia.
b. Hukum Wad’i
Hukum wad’i adalah firman Allah Swt yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain,
sebagai syarat adanya yang lain dan sebagai penghalang adanya yang lain.

3. Macam-Macam Hukum Takfili


a. Wajib ialah sesuatu yang dituntut mengerjakannya dengan tuntutan yang pasti
atau sesuatu yang mengerjakannya berpahala dan meninggalknnya berdosa,
seperti shalat lima waktu, puasa ramadhan, menghormati kedua orang tua dan
rendah hati.
b. Mandub adalah bentuk masdar dari nadaba-yandubu-nadb, yang berarti
mengajak atau menganjurkan. Jadi, mandub berarti sesuatu yang dianjurkan oleh
agama. Menurut istilah ushul fiqh, mandub atau sunah adalah hukum yang
dituntut oleh asy-syari’ (Allah) kepada mukalaf untuk dikerjakan, tetapi dengan
menggunakan redaksi yang tidak tegas.
c. Makruh adalah bentuk isim maful (objek) dari kata kariha-yakrahu-karhan-
karihunmakruhun, yang secara bahasa berarti membenci. Jadi, makruh artinya
sesuatu yang dibenci. Istilah lain yang sering digunakan adalah karahah.
d. Secara bahasa kata mubah berarti “sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan”.
Menurut istilah ushul fiqh, seperti dikemukaan oleh Abdul Karim Zaidan,
bererti: sesuatu yang diberikan pilih oleh syariat apakah seorang mukalaf akan
melakukan atau tidak melakukannya, dan tidak ada hubungannya dengan dosa
dan pahala.
4. Hukum Wad’i
a. Pengertia Hukum Wad’i
tuntunan meletakkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau pencegah bagi
lainnya (terciptanya hukum),”
b. Pembagian Hukum Wad’i
1. Sebab
Sebab dalam hukum wadh'i adalah tanda hingga lahirnya hukum Islam.
Tanpa tanda (sebab) itu, seorang mukalaf tidak dibebani hukum syariat
2. Syarat
Suatu ibadah atau perkara syariat lazimnya mewajibkan adanya syarat
harus dipenuhi. Tanpa adanya syarat, perkara itu batal dan tak boleh
dikerjakan. Sebagai misal, saksi adalah syarat sahnya pernikahan dan niat
menjadi syarat sahnya puasa.tanpa saksi atau niat, maka kedua perkara tadi
batal dan dianggap tidak sah. Syarat adalah hukum wadh'i yang menjadi
pengiring suatu ibadah atau sahnya hukum syariat Islam tersebut.
3. Penghalang (Mani’)
Jenis hukum wadh'i lainnya adalah penghalang atau mani'. Kendati
seseorang dibebankan perkara syariat, namun karena adanya penghalang,
perkara itu menjadi batal.
4. Azimah dan Rukhsah
Secara umum, suatu perkara syariat ditinjau dari pengerjaannya terbagi
dalam dua kondisi, yaitu azimah dan rukhsah. Suatu ibadah dalam kondisi
azimah maksudnya berada dalam hukum asli perkara tersebut. Hukum asal
yang belum berubah. Sebaliknya, kondisi rukhsah adalah keringanan
sebagai pengecualian dari kondisi azimah.

Anda mungkin juga menyukai