Anda di halaman 1dari 8

1. jelas kan pengertian objek dan kegunaan mempelajari usul fiqih fiqh ?

Ushul Fiqh adalah Ilmu pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara global, metode penggunaan
dalil tersebut, dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya. Sementara Jumhur
Ulama Ushul Fiqh, seperti yang dikemukakan oleh Khudlari Beik, mendefinisikan bahwa ushul
fiqh sebagai himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara dari
dalil-dalilnya.

Dua pengertian Ushul Fiqh di atas memliki penekanan yang berbeda. Menurut ulama Syafiiyah,
penekanannya pada objek kajian ushul fiqh, yakni dalil-dalil yang bersifat ijmali (global),
bagaimana cara menginstinbath (menggali) hukum, serta syarat orang yang menggali hukum atau
syarat seorang mujtahid. Sedangkan menurut jumhur ulama, penekanannya pada operasional atau
fungsi ushul fiqh, yaitu bagaimana menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh dalam menggali
hukum syara.

Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa Ushul Fiqh adalah ilmu pengetahuan di mana
objeknya dalil hukum atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggalian
yang digunakan dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya dengan menertibkan dalil-dalil
dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut.

Objek Kajian Ushul Fiqh

Muhammad al-Juhaili menyebutkan bahwa objek kajian Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:

1. Sumber-sumber hukum syara, baik yang disepakati, seperti al-Quran dan Sunnah
maupun yang diperselisihkan, seperti istihsan dan mashlahah mursalah
2. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan
ijtihad
3. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara dzahir, ayat dengan ayat
atau sunnah dengan sunnah, dan lain-lain baik dengan jalan pengompromian (al-Jamu
wa al-Taufiq), menguatkan salah satu (tarjih), pengguguran salah satu atau kedua dalil
yang bertentangan
4. Pembahasan hukum syara yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang
bersifat tuntutan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhshah)
5. Juga dibahas tentang hukum, hakim, mahkum alaih, dan lain-lain;
6. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam mengistinbath hukum dan cara
menggunakannya
Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqh

Tujuan yang hendak dicapai oleh ilmu Ushul Fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah
terhadap dalil-dalil syara yang terperinci agar sampai kepada hukum-hukum syara yang bersifat
amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat
dipahami nash-nash syara dan hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat
dipahami secara baik dan tepat apa saja yang dirumuskan mujtahid dan bagaimana mereka
sampai kepada rumusan itu.

2. jelas kan secara singkat sejarah perkembangan dan aturan2usul fiqih

Di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami
hukum-hukum syari, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Quran, atau melalui sunnah beliau saw.

Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya Al-Quran dan
mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping itu mereka adalah para ahli bahasa
dan pemilik kecerdasan berpikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga sepeninggal
Rasulullah saw mereka pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk dapat berijtihad,
meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada mereka yang dapat
mereka gunakan di saat memerlukannya.

Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-
bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang peradabannya, hal ini menyebabkan
melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di sisi
lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang
belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.

Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka dalam
berijtihad:

Madrasah ahlir-rayi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah.


Madarasah ahlil-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah.
Perbedaan dua madrasah ini terletak pada banyaknya penggunaan hadits atau qiyas dalam
berijtihad. Madrasah ahlir-rayi lebih banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad, hal
ini disebabkan oleh:

Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka
lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan mereka
sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat seseorang kecuali melalui proses seleksi yang
ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad begitu banyak,
maka mau tidak mau mereka mengandalkan qiyas (analogi) dalam menetapkan hukum.
Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan kehidupan masyarakat Irak yang
sangat kompleks.
Mereka mencontoh guru mereka Abdullah bin Masud ra yang banyak menggunakan qiyas
dalam berijtihad menghadapi berbagai masalah.
Sedangkan madrasah ahli hadits lebih berhati-hati dalam berfatwa dengan qiyas, karena situasi
yang mereka hadapi berbeda, situasi itu adalah:

Banyaknya hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang
memerlukan ijtihad.
Contoh yang mereka dapati dari guru mereka, seperti Abdullah bin Umar ra, dan Abdullah bin
Amr bin Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam berfatwa.
Perbedaan kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, sehingga membuat para ulama
merasa perlu untuk membuat kaidah-kaidah tertulis yang dibukukan sebagai undang-undang
bersama dalam menyatukan dua madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai perhatian
terhadap hal ini adalah Al-Imam Abdur Rahman bin Mahdi rahimahullah (135-198 H). Beliau
meminta kepada Al Imam Asy-Syafii rahimahullah (150-204 H) untuk menulis sebuah buku
tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka lahirlah kitab Ar-
Risalah karya Imam Syafii sebagai kitab pertama dalam ushul fiqh.

Hal ini tidak berarti bahwa sebelum lahirnya kitab Ar-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada
sama sekali, tetapi ia sudah ada sejak masa sahabat ra dan ulama-ulama sebelum Syafii, akan
tetapi kaidah-kaidah itu belum disusun dalam sebuah buku atau disiplin ilmu tersendiri dan
masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ulama. Imam Syafii lah orang pertama yang
menulis buku ushul fiqh, sehingga Ar Risalah menjadi rujukan bagi para ulama sesudahnya
untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini.

Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafii ra memang pantas untuk memperoleh kemuliaan
ini, karena beliau memiliki pengetahuan tentang madrasah ahlil-hadits dan madrasah ahlir-rayi.
Beliau lahir di Ghaza, pada usia 2 tahun bersama ibunya pergi ke Mekkah untuk belajar dan
menghafal Al-Quran serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil beliau sudah mendapat
pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu kabilah yang terkenal dengan kefasihan
berbahasa. Pada usia 15 tahun beliau sudah diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy salah
seorang ulama Mekkah untuk memberi fatwa.

Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam penduduk Madinah, Imam Malik
bin Anas ra (95-179 H) dalam selang waktu 9 tahun meskipun tidak berturut-turut beserta
ulama-ulama lainnya, sehingga beliau memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu hadits dan
fiqh Madinah. Lalu beliau pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak kepada Muhammad bin
Hasan Asy-Syaibani ra (wafat th 187 H), murid Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit ra
(80-150 H).

Dari latar belakangnya, kita melihat bahwa Imam Syafii memiliki pengetahuan tentang kedua
madrasah yang berbeda pendapat, maka beliau memang orang yang tepat untuk menjadi orang
pertama yang menulis buku dalam ilmu ushul. Selain Ar-Risalah, Imam Syafii juga memiliki
karya lain dalam ilmu ushul, seperti: kitab Jimaul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits.

Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu ushul
fiqh:

Adanya perdebatan sengit antara madrasah Irak dan madrasah Hijaz.


Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam akibat interaksi dengan
bangsa lain terutama Persia.
Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan
kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.
Setelah Ar-Risalah, muncullah berbagai karya para ulama dalam ilmu ushul fiqh, di antaranya:

1. Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad Ar-Ray, ketiganya karya Isa bin Aban bin
Shadaqah Al-Hanafi (wafat th 221 H).
2. An-Nasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
3. Al-Ijma, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud bin Ali Az-Zhahiri
(200-270 H).
4. Al-Mutamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mutaziliy Asy-Syafii
(wafat th 436H).
5. Al-Burhan karya Abul Maali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini/Imamul-haramain (410-
478 H).
6. Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad (wafat 505 H).
7. Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy (wafat 606 H).
8. Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi (wafat 631 H).
9. Ushul Al-Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi (wafat 340 H).
10. Ushul Al-jashash karya Abu Bakar Al-Jashash (wafat 370 H).
11. Ushul as-Sarakhsi karya Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsi (wafat 490 H).
12. Kanz Al-Wushul Ila marifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad Al-Bazdawi (wafat 482 H).
13. Badiun-Nizham karya Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Saati Al-hanafi (wafat 694 H).
14. At-Tahrir karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal dengan Ibnul
Hammam (wafat 861 H).
15. Jamul-jawami karya Abdul Wahab bin Ali As Subki (wafat 771 H).
16. Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-gharnathi yang dikenal dengan nama
Asy-Syathibi (wafat 790 H).
17. Irsyadul-fuhul Ila Tahqiq Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-
Syaukani (wafat 1255 H).

3. jelas kan pengertian sumber2 hukum islam

sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti wadah

ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al

Quran dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti

keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma, dan

qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-

hukum yang dikandung oleh Al Quran dan sunah Rasulullah SAW

Secara sederhana hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang

diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat

itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam

atau syara maka hukum Islam berarti: seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT

dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf)

yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam. Maksud kata seperangkat

peraturan disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan

yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.

4. jelas kan syarat2 seorang mujtahit

Syarat-Syarat Mujtahid
Pintu ijtihad selalu terbuka pada setiap masa, dengan perkembangan, ijtihad selalu
diperlukan. Namun demikian tidak berarti setiap orang boleh melakukan ijtihad. Akhir-
akhir ini, sebagian cendekiawan Islam merasa berhak dan mau berijtihad, tanpa melihat
kesulitan proses ijtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan mau atau tidak mau, tetapi
persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang tidak mampu untuk berijtihad
mengundang bahaya, sebab untuk melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-
syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat mujtahid.
Pada umumnya, syarat-sayat ijtihad yang dikemukakan oleh para ulama usul fikih berfokus
pada empat hal.
Pertama, memiliki pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya. Hal itu harus
ditunjang oleh pengkajian dan penelaahan seluk-beluk kesusasteraan Arab baik yang
berbentu prosa maupun puisi.
Kedua, mengetahui nas-nas Alquran perihal hukum-hukum syarak yang dikandungnya,
ayat-ayat hukumnya, dan cara meng-istinb-kan hukum darinya. Mujtahid juga harus
mengetahui asbb al-nuzl, nsikh wa al-manskh, serta tafsir dan takwil dari ayat-ayat
yang di-istinb-kan.
Ketiga, mengetahui nas-nas hadis. Mujtahid harus mengetahui hukum syariat yang
didatangkan oleh hadis dan mampu mengeluarkan hukum mukalaf darinya. Di samping itu,
ia juga dituntut mengetahui derajat dan nilai hadis.
Keempat, mengetahui maqid al-syarah, tingkah laku dan adat kebiasaan manusia yang
mengandung maslahat dan madarat, serta illat hukum dan dapat menganalogikan peristiwa
dengan peristiwa yang lain.[7]
Dalam kitab Ul al-fiqh, Muammad Ab Zahrah mengajukan delapan syarat, yaitu (1)
mengetahui bahasa Arab, (2) mengetahui ilmu Alquran; nsikh dan manskh-nya, (3)
mengetahui dengan baik sunnah, (4) mengetahui posisi-posisi ijmak dan kontroversialitas,
(5) mengetahui analogi (al-qiys), (6) mengetahui maqid al-akm, (7) memiliki
pemahaman dan pandangan yang sehat, dan (8) memiliki niat yang niat dan iktikad yang
bersih dan lurus.[8]
Muhammad Musa Tawana dalam bukunya yang berjudul al-ijtihad mengelompokkan
syarat-syarat mujtahid ke dalam beberapa bagian berikut rinciannya.
Pertama, persyaratan umum (al-syur al-mmah), yang meliputi: (1) balig, (2) berakal
sehat, (3) kuat daya nalarnya, dan (4) beriman atau mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (al-syur al-assiyyah), yaitu syarat-syarat mendasar yang
menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan berikut: (1) mengetahui Quran, (2)
memahami sunnah, (3) memahami maksud-maksud hukum syariat, dan (4) mengetahui
kaidah-kaidah umum (al-qawid al-kulliyt) hukum Islam.
Ketiga, persyaratan penting (al-syur al-hmmah). Syarat-syarat ini mencakup: (1)
menguasai bahasa Arab, (2) mengetahui ilmu uul al-fiqh, (3) mengetahui ilmu mantik atau
logika, dan (4) mengetahui hukum asal suatu perkara (al-barah al-aliyyah).
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syur al-takmliyyah) yang mencakup: (1) tidak ada
dalil qaiy bagi masalah yang diijtihadi, (2) mengetahui tempat-tempat khilafiyah atau
perbedaan pendapat, dan (3) memelihara kesalehan dan ketakwaan diri.[9]
5. bagaimana perkembangan usul fiqih di indonesia yg di ketahui

Sebagaimana yang telah disebutkan tadi bahwa para ulama telah berusaha untuk

membukukan ilmu ushul fiqh, sedangkan pada waktu itu ulama-ulama di Indonesia sibuk

untujk mempelajari ilmu fiqh mazhab Imam SyafeI dan mengajarkan Tafsir Jailanin, juga

hal-hal yang berhubungan dengan ilmu Nahu dan Sharaf.

Orang yang bisa mempelajari bermacam-macam ilmu dengan menerjemahkannya dari

bahasa Arab ke bahasa Melayu pada masa itu mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya

dari masyarakat. Sedangkan sebhagioan para Ulama pergi ke Mekah untuk menunaikan

ibadah haji dan untuk menambah ilmu-ilmu agama, bahkan untuk mencukupkanbermacam-

macam Ilmu.sesampai mereka di Mekah mereka berusaha untuk mempelajari bermacam-

macam ilmu di masjidil Haram.

Yang pertama kaliu mempelajari di bidang ilmu pengetahuan adalah Alm. Syekh Ahmad

Khatib orang Minangkabau (Sumatera Barat), salah seorang imam yang tekun sebagai imam

SyafeI di Mesjid Haram dalm belajar.

Alm Ahmad Khatib mendapat penghargaan yang amat tinggi dan keuntungan yang banyak

dalam bermacam-macam ilmu Agama, bahkan dalam ilmu pasti. Setelah itu barulah mereka

mempelajari Ilmu Ushul Fiqh, Tauhid, Musththalah Hadist, BAyan, Maaniy, BadiArud,

Qawafiy, dan lain-lain.

Selesainya mereka mempelajari dan menuntut Ilmu Di Mekah barulah mereka pulang ke
negerinya masing-masing dan mulailah mereka menebarkan ilmu-ilmu tersebut, di antar mereka
yang terkenal di Sumatera Barat ialah Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Abdul Karim
Amarullah, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abbas Abdullah, Syekh Ibrahim Musa, Syekh
Sulaiman Ar Rusuli, Syekh Jamil JAbo, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Abdullah
HAlaban, serta beberapa ulam lainnya.
Semenjak itu tersiarlah ilmu tersebut di daerah-daerah dan pelosok-pelosok, bahkan diwaktu

itu mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada orang-orang yang mempunyai minat dan

keinginan untuk mempelajarinya, ini terjadi pada tahun 1310 H (1890).

Walaupun ilmu Ushul Fiqh sudah menjadi berita yang termasyhur di Indonesia, bahkan

ulama-ulama di waktu itu bertekun mempelajarinya.mengharapkan masalah-masalah fiqh,

sehingga mereka tidak langsung menerima apa yang di katakn oleh Fuqaha sebelumnya,

tetapi adalah dengan menyelidiki secara mendalam, bahkan mereka memakai dalil yang kuat

dalam undang-undang yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh. Kemudian barulah

mengatiur pelajaran Ushul Fiqh dalm bermacam-macam tingkatan. Seperti:Tingkatan

Ibtidaiyah,Tsanawiyah, Aliyah dan lain-lain .

Anda mungkin juga menyukai