Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH DAN USUL FIQIH

A. FIQIH

Dr Abdul Wahab Khallaf (w. 1956 M) membagi periodisasi perkembangan fiqih dalam tiga babak.
Periode pertama saat Nabi Muhammad saw masih hidup, periode kedua pada masa sahabat saat Nabi
sudah tiada, dan periode ketiga pada masa tabi’in, tabi’ tabi’in, dan para imam mujtahid. Tiap-tiap
periode memiliki dinamika yurisprudensinya masing-masing. Imam Abdul Mu’ali al-Juwaini (w.
1085 M), seorang guru besar Madrasah Nizamiyyah, atau biasa disebut Imam Al-Haramain, dalam
Al-Waraqat mendefinisikan fiqih sebagai berikut:

Artinya, “Mengetahui hukum-hukum syari’at melalui metode ijtiad.” ( Syarah Mahalli atas Al-
Waraqat, hal. 26) Dari definisi di atas, Imam Jalaluddin al-Mahalli mencontohkan, diantaranya:

 mengetahui hukum wajib dalam niat wudhu,


 hukum sunah pada shalat witir,
 niat malam hari untuk berpuasa Ramadhan adalah syarat wajib, dan lain sebagainya.

Semua hukum tersebut diketahui dengan jalan ijtihad oleh para ulama. (Syarah Mahalli atas Al-
Waraqat, hal. 26) dalam kitab-kitab ushul fiqih, para ulama membedakan ruang kajian antara fiqih dan
ushul fiqih. jika Fiqih lebih fokus ke hukum-hukum parsial yang diketahui melalui ijtihad

Fiqih berarti tidak lepas dari pembahasan hukum Islam. Menurut Abdul Wahab Khallaf (w. 1956 M),
salah seorang ulama pakar ushul fiqh dari Mesir, dalam sejarahnya, fiqih terbagi menjadi tiga periode.
(lihat Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, hal. 15-16)

1. adalah pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup. Pada dasarnya, hukum atas suatu
perbuatan sudah terbentuk sejak zaman Rasulullah, sejak pertama kali Islam itu hadir karena
Islam sendiri sejak awal sudah bermuatan akidah, akhlak, dan hukum atas perbuatan manusia.
Pada periode ini, Rasulullah lah yang menjadi satu-satunya rujukan fatwa umat Islam. Hukum-
hukum fiqih saat itu terdiri hari hukum Allah dan rasul-Nya dengan acuan Al-Qur’an dan as-
Sunnah. Jadi, tidak mungkin terjadi selisih pendapat hukum saat itu. Karena memang hanya ada
satu pemegang otoritas hukum, yaitu Rasulullah saw.
2. adalah pada masa sahabat Nabi. Rasulullah sudah tidak ada. Bagaimanapun, problematika sosial
akan terus berkembang dan, tentu, hukum Islam tidak bisa lepas dari hal ini. Pada periode ini
banyak persoalan-persoalan agama muncul yang tidak ditemui pada saat Nabi hidup.   Otomatis,
para sahabat melakukan ijtihad, memutuskan perkara, memberikan fatwa, menetapkan hukum
syari’at, dengan tetap mengacu pada hukum periode pertama. Sehingga produk hukum pada saat
itu terdiri dari hukum Allah dan Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan keputusannya yang
bersumber dari Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijtihad sahabat. Pada periode ini ini juga belum ada
kodifikasi fiqih secara khusus.
3. tabi’in, tabi’in, dan para imam mujtahid (abad kedua dan ketiga Hijriyah). Pada periode ini
bukan hanya periodisasi yang menjadi faktor perkembangan hukum fiqih semakin kompleks,
tetapi juga karena semakin luasnya kekuasaan Islam dan banyaknya pemeluk Islam dari penjuru
dunia dengan pluralitas sosio kultur dan geografis. Tentu, masalah yang dihadapi umat Muslim,
terutama para imam mujtahid, lebih serius. Pada akhirnya, semua itu mendorong para imam
mujtahid untuk memperluas medan ijtihad dan menetapkan hukum syara’ atas semua peristiwa
yurisprudensi Islam serta membuka bahasan dan pandangan baru bagi mereka. Ketetapan
hukum pada periode sebelumnya tetap menjadi acuan periode ini. Pada periode ketiga ini,
hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum Allah dan rasul-Nya, fatwa dan putusan para sahabat,
fatwa imam mujtahid dan hasil ijtihad mereka, yang bersumber dari al-Qur’an, hadits, ijtihad
para sahabat, dan ijtihad para imam mujtahid. Barulah pada periode ini terjadi kodifikasi hukum
Islam yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas (w. 795 M) dalam kitabnya yang berjudul Al-
Muwattha atas permintaan Khalifah al-Manshur (w. 775 M) (khalifah kedua Bani Abbasiyah).
Kitab ini berisi hadits-hadits dan fatwa para sahabat, tabi’in, serta tabi’ tabi’in yang valid (sahih)
menurut Imam Malik. Kitab ini dijadikan landasan hukum fiqih oleh penduduk Hijaz.
Berikutnya, Abu Yusuf (w. 798 M), pengikut mazhab Imam Abu Hanifah (w. 797 M),
menyusun beberapa kitab fiqih yang kemudian menjadi rujukan negeri Irak. Disusul oleh Imam
Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani (w. 189 H), yang juga pengikut mazhab Imam Abu
Hanifah, menyusun kitab Zahir ar-Riwayah as-Sittah yang kemudian dikomentari oleh Imam
Syamsul A’immah al-Sarkhusy (w. 490 H) dengan kitabnya Al-Mabsuth, yang menjadi rujukan
fiqih mazhab Hanafi. Setelah itu disusul oleh Muhammad bin Idris as-Syafi’ (w. 820 M) atau
yang dikenal dengan Imam Syafi’ menulis kitab fiqih yang diberi judul Al-Umm di Mseir.
Kitab ini menjadi pijakan dalam fikih mazhab Syafi’i.
B. USUL FIQIH

Ilmu ushul fiqih merupakan cabang ilmu dalam Islam yang memiliki kedudukan sangat penting.
Dalam diskursus hukum Islam, ushul fiqih merupakan konsep logis yang menjadi rumusan hukum.
Dalam sejarah yurisprudensinya, ushul fiqih memiliki perjalanan panjang hingga mengalami
kodifikasi dan tersusun dengan sistematis.

Imam Abdul Mu’ali al-Juwaini (w. 1085 M), guru besar Madrasah Nizamiyyah, atau biasa disebut
Imam Al-Haramain, dalam Al-Waraqat (yang disyarahi Imam al-Mahalli) mendefinisikan ushul
fiqih sebagai berikut, “Ushul fiqih merupakan dalil-dalil fiqih yang bersifat global. Seperti
keglobalan perintah (al-amr) menunjukkan hukum wajib dan larangan (an-nahyu) menunjukkan
hukum haram. Juga membahas hujah-hujah seperti: perbuatan Nabi Muhammad saw, konsensus
ulama (‘ijma), analogi (qiyas), istihsan dan lain sebagainya.” ( Syarah Mahalli atas al-Waraqat, hal.
38)
dapat dipahami bahwa wilayah kajian kajian ilmu fiqih) dan penggunaan dasar-dasar hukum syariat,
baik yang disepakati imam empat (muttafaq alaih) atau sebaliknya, tidak disepakati semua imam
(mukhtalaf fih).

 SEJARAH
Pada abad pertama (masa Nabi Muhammad saw dan para sahabat), belum ada pembicaraan
soal ushul fiqih dengan segala bentuk kaidah-kaidahnya. Saat Nabi saw masih hidup, acuan
hukum Islam langsung diputuskan oleh Rasulullah saw berdasarkan wahyu ilahi yang
terkandung dalam Al-Qur’an. Jadi, fatwa dan putusan hukum yang Nabi keluarkan tidak
membutuhkan dasar (ushul) dan kaidah-kaidah yang dibutuhkan. Sudah dicukupkan dengan
wahyu yang Allah turunkan. Kemudian, pada masa sahabat (setelah Nabi saw wafat). Dalam
berfatwa dan membuat putusan hukum Islam, para sahabat langsung mengacu pana nash (Al-
Qur’an dan hadits) yang mereka pahami dengan pemahaman bahasa Arab mereka yang masih
orisinil. Arti orisinil di sini adalah belum tercemari oleh faktor-faktor luar yang mempengaruhi
kemampuan kebahasaan mereka dalam memahami nash. Selain itu, dengan pernah hidup
semasa Rasulullah, juga menjadi nilai plus tersendiri bagi para sahabat. Di samping
keberkahan suhbah (hidup semasa dengan Nabi saw), mereka juga mengetahui langsung faktor
historis turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul) dan hadits (asbabul wurud) yang berkaitan
dengan hukum tertentu. Dengan begitu, para sahabat belum membutuhkan kaidah-kaidah
sebagaimana yang terdapat dalam ushul fiqih. Pasca-generasi sahabat, wilayah kekuasaan
Islam semakin luas. Sehingga pemeluk Islam semakin banyak dari berbagai bangsa dengan
tipikal sosial dan geografis yang plural (beragam), terjadilah asimilasi bangsa Arab dengan
bangsa-bangsa lain. Akibatnya, orisinilitas bahasa Arab mulai terancam. Sehingga banyak
kerancuan dalam memahami nash. Hal ini mendorong untuk dibakukannya batasan dan kaidah
bahasa demi menjaga orisinalitas yang telah hilang. Dengan demikian, pemahaman atas nash
tetap terkontrol sebagaimana saat dipahami oleh penerima nash tempo dulu.
 DUA ARUS BESAR MADRASAH USUL FIQIH
Masa pembentukan hukum Islam yang telah berlangsung lama, sampai muncullah dua aliran
ushul fiqih dengan metode yang berbeda. Yaitu madrasah Ahlu al-Hadits (tekstualis) dan
madrasah Ahlu al-Ra’yu (rasionalis). Perbedannya,
Ahlu al-Hadits membatasi kajiannya pada Al-Qur’an dan hadits Nabi. Mereka sangat berhati-
hati dan tidak mau melangkah lebih jauh. Mereka tidak mendukung kajian nalar. Pendek kata,
Ahlu al-Hadits beraliran tekstualis. Berbeda dengan Ahlu al-Hadits,
Ahlu al-Ra’yu lebih menggunakan rasio dalam menetapkan hukum Islam. Prinsip mereka
adalah satu, kemaslahatan umat. Dibanding Ahlu al-Hadits, Ahlu al-Ra’yu lebih rasionalis.
Pada fase ini tidak hanya muncul dua aliran tersebut yang membuat kompleksitas kajian
hukum Islam. Muncul pula kelompok yang melenceng dari dari batas wajar. Mereka lebih
menggunakan nafsu untuk menjadikan dalil. Kondisi memprihatinkan ini semakin mendesak
untuk segara disusun batasan dan bahasan dalil-dalil syara’ serta cara menggunakannya. Dari
sini lah mulai terbentuk ilmu ushul fiqih.
 KODIFIKASI USUL FIQIH

Selang 200 tahun berlalu. Ushul fiqih mulai tersebar luas di sela-sala hukum fikih. Hal ini
karena setiap imam mujtahid dari empat imam (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) selalu
memaparkan dalil pada setiap hukum yang dikeluarkan, berikut metode pengambilannya.
Semua metode dan hujah-hujah ini tercakup dalam kaidah-kaidah ushul fiqih. Orang yang
pertama kali menghimpun kaidah yang tersebar itu dalam sebuah kitab tersendiri adalah Imam
Abu Yusuf (w. 798 M), penganut mazhab Hanafi. Hanya saja, karyanya tidak sampai ke tangan
kita. Sementara orang yang pertama kali menyusun kitab kaidah-kaidah ushul fiqih dengan
pembahasan yang sistematis, disertai penjelasan berikut metode penelitiannya adalah Imam
Muhammad bin Idris as-Syafi’i (w. 204 H), atau biasa dipanggil Imam Syafi’i. Kitab itu diberi
nama Ar-Risalah. Nasibnya lebih beruntung, kitab ini sampai ke tangan kita, untuk kali
pertamanya. Sehingga Imam Syafi’i disebut sebagai peletak dasar ushul fiqih.

 MADZHAB PENULIASAN USUL FIQIH


Setelah as-Syafi’i, para ulama mulai banyak yang menyusun kitab ushul fiqih. Ada yang
meringkasnya, ada pula yang membahasnya panjang lebar. Kemudian muncul dua mazhab
dalam penulis ushul fiqih, mazhab teolog (ahlu al-kalam) dan mazhab Hanafi. Masing-masing
menggunakan metode yang berbeda. Sebagaimana dikutip dari kitab ‘Ilmu Ushul al-Fiqh oleh
Abdul Wahab Khallaf (hal. 18), karakter mazhab teolog adalah pembuktian terhadap kaidah-
kaidah dan pembahasannya secara logis dan rasional dengan didukung dalil-dalil yang ada.
Selama dalil-dalil tersebut dapat menguatkan suatu kaidah, maka kaidah ini dipakai. Mayoritas
mazhab teolog adalah dari ulama Syafi’iyah dan Malikiyah. Kitab-kitab yang populer
menggunakan metode ini diantaranya adalah Al-Mustashfa oleh Imam Ghazali (w. 631 H) dan
Al-Minjah oleh Imam al-Baidhawi (w. 685 H).
Sementara karakter ulama ushul fiqih mazhab Hanafi adalah, mereka membuat kaidah-kaidah
dan pembahasan ushul fiqih yang mereka lihat bahwa kaidah dan pembahasan tersebut telah
digunakan oleh imam-imam mereka terdahulu dalam berijtihad. Para pendahulu mereka tidak
meninggalkan kaidah, tapi hanya masalah-masalah furu’. Dari masalah-masalah furu’ yang
sudah ada itu, mereka kumpulkan dengan masalah furu’ yang serupa. Kemudian menghasilkan
kaidah dari masalah-masalah furu’ yang telah diserupakan tadi. Sederhananya, jika mazhab
teolog dari ushul menghasilkan furu’, kalau mazhab Hanafi dari furu’ menghasilkan ushul.
Kitab yang masyhur menggunakan metode ini diantaranya adalah Ushul oleh Abu Zaid al-
Dabusi (w. 430 H), Ushul oleh Fakhrul Islam al-Bazdawi (w. 430 H), dan al-Manar oleh al-
Hafidz an-Nasafi (w. 790 H). Untuk kitab berisi penjelasan dan komentar yang terbaik adalah
Misykatul Anwar. Selain dua mazhab di atas, ada pula ulama yang mengombinasikan metode
keduanya. Artinya, membuktikan kaidah-kaidah ushul fiqih sekaligus membenarkan dalilnya,
juga menerapkan kaidah-kaidah ushul fiqih terhadap masalah furu’ sekaligus hubungan kaidah
dengan masalah tersebut.
Kitab yang masyhur menggunakan metode kombinasi ini diantaranya Badi’u an-Nidzam oleh
Mudzaffarudin al-Baghdadi al-Hanafi (w. 694 H), at-Taudhih li Shadri as-Syari’ah dan at-
Tahrir oleh Kamal bin Hamam (w. 861 H), dan Jam’ul Jawami’ oleh Tajuddin as-Subki (w.
1370 M). Terakhir, penulis tutup dengan rekomendasi kitab-kitab ushul fiqih kontemporer dari
Abdul Wahab Khallaf, di antanya yaitu Irsyad al-Fuhul oleh as-Syaukani (w. 1250 H), Ushul
al-Fiqh oleh Muhammad Hudhari Bik (w. 1927 M), dan Tashilul Wushul ila ‘Ilm al-Ushul
oleh Muhammad Abdurrahman ‘Id al-Mahlawi (w. 1920 M).

Anda mungkin juga menyukai