Kamil Syafruddin*
I. Pendahuluan.
Hal ini bisa kita lihat melalui perkembangan istilah fiqh sendiri yang pada
masa awal islam dipakai sebagai istilah yang mencakup semua aspek
permasalahan agama, akhirnya menjadi satu disiplin ilmu yang khusus membahas
tentang hukum ‘amali. Fiqh Islam seperti yang kita kenal sekarang sebagai satu
disiplin ilmu yang eksklusif dalam permasalahan hukum tidaklah muncul
sekaligus. tapi Fiqh islam berkembang secara bertahap sampai menjadi satu
disiplin ilmu yang khusus.
Berdasarkan uraian diatas, maka yang ingin dibahas dalam makalah ini
adalah
II. Pembahasan.
Menurut Khudlari Bik periodisasi sejarah hukum islam adalah sebagai berikut:
Setelah kita melihat periodisasi yang dibuat oleh para muarrikh fiqh, kita bisa
menyederhanakan kepada beberapa periodisasi perkembangan fiqh sebagai
berikut :
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode
Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada
masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya,
dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah
sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah
SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara
bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik
yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode
Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan
politik.
Fiqh pada masa Rasulullah SAW adalah fiqh waqi’ ‘amali, artinya: hukum
dibahas setelah terjadinya suatu kejadian ( mencari hukum setelah kejadian ).
Istilah fiqh dipakai untuk segala sesuatu yang dipahami dari nash-nash Al-Qur’an
dan As-Sunnah baik mengenai persoalan ‘aqidah, akhlak, ataupun hukum. Jadi,
Fiqh pada masa ini bersifat praktek dan bukan teori, dimana para sahabat meminta
fatwa ( ) يستفتونكdan bertanya ( ) يسألونكtentang hukum setelah terjadinya suatu
kejadian. Jadi metode pensyari'atan pada masa ini memakai 2 cara:
Pada periode ini Rasuluulah adalah tokoh utama yang menjadi panutan hukum
para sahabat dalam memahami segala sesuatu, Rasulullah SAW menyampaikan
apa yang diterimanya dari Allah SWT dan menjelaskannya kepada mereka baik
aspek ibadah, politik, akhlak dan sosial. Pada masa awal islam ini istilah fiqh dan
‘ilm mempunyai arti yang sama. Para Fuqaha dan Ulama pada masa ini dikenal
dengan sebutan Qurra yaitu orang yang mampu membaca dan menghafal Al-
Qur’an dan juga mengamalkan hukum-hukumnya.
Ibnu Mas’ud r.a berkata: “ Kami jika menghafal dan mempelajari 10 ayat Al-
Qur’an tidak akan berpindah ke ayat yang lain sampai benar-benar mengetahui
maknanya dan mengamalkannya.
Istilah Qurra juga umum dikenal dikalangan kaum muslimin, karena membaca
adalah suatu hal yang tak umum di Arab pra Islam. Tujuh puluh orang yang diutus
Rasulullah SAW kepada orang-orang yang baru memeluk Islam untuk mengajari
pokok-pokok Islam dikenal sebagai Qurra.
Sumber hukum pada masa Rasulullah adalah Wahyu Ilahi, baik yang
ditilawahkan (Al-Qur’an) atau pun yang tidak ditilawahkan ( As-Sunnah ).
2. Ulama Hadits dan Ulama Ushul sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu
Yusuf dari golongan Hanafiah dan juga Asy-Syafi’i membolehkan
ijtihad Nabi Muhammad pada sesuatu yang tidak ada nashnya.
Pada perang Tabuk sebahagian orang munafik tidak mau ikut serta dalam
perang tabuk, dan merekapun memberikan alasan-alasan yang palsu untuk
mendapatkan keizinan Rasul, lalu Rasulullah memberikan izin kepada
mereka untuk tidak ikut dalam perang tabuk. Allah menegur Rasulullah
atas keizinan yang diberikan kepada mereka sebagaimana Firman Allah
dalam surat At-Taubah ayat 46.
Diantara sahabat yang melakukan ijtihad pad zaman Rasulullah SAW adalah
mereka yang diutus menjadi qadhi diantaranya: 'Ali bin Abi Thalib yang diutus
Rasulullah untuk menjadi qadhi di Yaman, Mu'adz bin Jabal yang diutus
Rasulullah menjadi qadhi di Yaman, dan Khudzaifah al-Yamani yang diutus Nabi
untuk menyelesaikan sengketa dinding antara tetangga yang saling mengakui
dinding itu milik mereka, begitu juga dengan 'Amr bin Ash yang pada suatu hari
Rasulullah berkata kepadanya : Putuskanlah hukum untuk masalah ini, kemudian
dia berkata:"saya memutuskan hukum sedangkan engkau ada ya Rasulullah ?
Nabi menjawab: "Ya".
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya,
moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal
ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan
masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang
para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-
persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para
sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak
dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi
SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula
jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
2. Zaman sahabat adalah zaman berakhirnya masa tasyri'. Inilah dasar dari
ilmu fiqh yang pertama. Bila pada zaman tasyri' orang merujuk
pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan
merujuk pada Rasulullah, pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri
sendiri (ra'yu) jika tidak ada nash dengan tidak melewatkan Al-Qur'an dan
As-Sunnah. Sementara itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara
Islam dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah
baru. Dan para sahabat merespon situasi ini dengan mengembangkan fiqh
(pemahaman) mereka.
3. Ijtihad para sahabat menjadi rujukan yang harus diamalkan, perilaku mereka
menjadi sunnah yang diikuti.
Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan bila mazhab
sahabat menjadi rujukan penting bagi perkembangan fiqh Islam sepanjang sejarah.
1. Setelah Nabi wafat, timbul dua pandangan yang berbeda tentang otoritas
kepemimpinan umat Islam. Hal ini berhubungan langsung dengan otoritas
penetapan hukum. Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk
menetapkan hukum- hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur'an
setelah Rasulullah wafat dipegang ahl al-Bait. Hanya merekalah--menurut
nash dari Nabi Muhammad SAW--yang harus dirujuk untuk
menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah.
Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa berhentinya wahyu,
karena setelah Nabi Muhammad wafat masih terdapat para pewarisnya
yang terjaga dari kesalahan (ma'shum). Kelompok ini kelak dikenal
dengan kelompok Syi'ah. Kelompok kedua memandang tidak ada orang
tertentu yang ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah
Ilahi. Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarik hukum-
hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat.
Kelompok ini kelak disebut Ahl al-Sunnah.
2. Adanya perbedaan memahami nash. Kata quru dalam wal muthalaqatu
yatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru' diartikan berbeda-beda.
Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan "quru" itu haidh. Zaid ibn
Tsabit mengartikannya masa bersuci di antara haidh dengan haidh lagi.
Ibn Umar menafsirkan al-muhshanat dalam ayat wa al muhshanat min
alladzina utu al-kitab sebagai wanita Muslim, karena itu Ibn Umar
mengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki Muslim. Ibn 'Abbas
menganggap ayat itu sebagai pengecualian (takhshish) dari ayat wa la
tankihu al-musyrikat hatta yu'minna. Utsman tampaknya sependapat
dengan Ibn 'Abbas, karena ia menikah dengan Nailah, wanita Nashrani,
dan Thalhah menikahi wanita Yahudi dari Syam.
C. Fiqh pada Masa Tabi'in hingga Lahirnya Mazhab Fiqh ( Bani Umayah, 661-750
M ).
Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah para khalifah
sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan al-hadits. Abu bakar
meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar 537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586
hadits. Jika semua hadits mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang
dari 27% hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah (Abu Huraiah meriwayatkan
5374 hadits). Karena itu, para tabi'in, yakni mereka yang berguru pada sahabat,
umumnya bukanlah murid al-Khulafa al-Rasyidin.
Pada masa Bani Umayah kekuasaan politik sangatlah berpengaruh besar dalam
perkembangan fiqh, terutama banyak sekali didapati manipulasi hadits yang
menguntungkan pihak penguasa. Perlu kita garis bawahi, bahwa pada masa inilah
munculnya berbagai aliran-aliran yang merupakan akibat dari ketidakpuasan
terhadap penguasa. Sehingga keadaan fiqh pun ikut terpengaruh oleh suasana
yang ada.
Mulai dari masa ini perkembangan fiqh sangat luar biasa dari pemahamannya
yang dipakai untuk segala urusan agama mulai mengarah kepada satu disiplin
ilmu yang berdiri sendiri. Adapun faktor-faktor berkembangnya fiqh pada masa
ini adalah:
1. Umat Islam mulai tahun jama'ah ini terpecah menjadi tiga partai besar:
Khawarij, Syi'ah, Ahlu As-Sunnah wal Jama'ah.
Pada masa tabi'in terdapat tiga pembagian geografis yang besar dalam dunia
Islam yaitu: Iraq, Hijaz dan Syiria.Iraq sendiri memiliki dua mazhab Bashrah dan
Kufah. Begitu pula Hijaz juga memiliki dua pusat kegiatan hukum yaitu Mekkah
dan Madinah. Mazhab Syiria kurang tercatat dalam buku-buku teks awal,
meskipun demikian hukum dari mazhab ini dapat kita ketahui melalui tulisan Abu
Yusuf.
Mekkah: 'Atha bin Abi Rabah (w. 114 H ), 'Amr bin Dinar ( w. 126 H )
Madinah: Sa'id bin al-Musayyib ( w. 94 H ), 'Urwah bin al-Zubayr, Abu Bakar bin
'Abdul Rahman, 'Ubaydillah bin 'Abdullah, Kharijah bin Zayd, Sulayman bin
Yasar, Al-Qasim bin Muhammad. Mereka ini umumnya dikenal sebagai tujuh ahli
hukum dari Madinah.
Bashrah: Muslim bin Yasar, Al-Hasan bin Yasar, Muhammad bin Sirin.
Kufah: 'Alqamah bin Qays, Masruq bin al-Ajda, Al-Aswad bin Yazid, Syurayh
bin al-Harits. Mereka ini adalah para sahabat yang terkenal dari 'Abdullah bin
Mas'ud.
Syiria: Qabisah bin Dzuwayb, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, Makhul, Al-Awza'i.
Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu
Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan,
ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah
ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur
(memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk
menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan
lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang
berjudul al-Muwaththa' (Yang Disepakati).
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh
dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini
adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan
Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh
pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i.
Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias,
istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
Para fuqaha masa taqlid itu sepakat meninggalkan ijtihad, dapat disebabkan
adanya aneka ragam fatwa yang bersimpang siur tak terkendali lagi, yang
menyebabkan para fuqaha menjauhkan diri dari ijtihad, dan adakalanya sudah
malas berijtihad dan memang fahamnya sudah terpaku pada pendapat bahwa pintu
ijtihad sudah tertutup.
Diantara ulama-ulama yang hidup pada masa ini adalah: Ibnu Hazm al-Zahiri,
Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Taimiah.
Bangkitnya kembali fiqh Islam pada periode ini dapat kita lihat dengan fakta
yang ada diantaranya:
Beginilah keadaan fiqh setelah masa jumud sampai sekarang yang kita
rasakan. Namun, saat ini pun kita merasakan bahwa fiqh seakan ilmu yang statis
yang perkembangannya sangat lamban, dan untuk saat ini profil-profil para
pembaru fiqh pendobrak taqlid sangatlah patut untuk ditiru guna bisa
menghasilkan manuver-manuver baru bagi perkembangan fiqh yang sesuai antara
akal dan pemahaman fiqh itu sendiri.
III. PENUTUP.
Mengutip apa yang disampaikan oleh pembimbing mata kuliah Ushul fiqh
DR. Ali Yasa Abu Bakar, bahwasanya perbuatan yang dilakukan jika keluar dari
pendapat mazhab tertentu, namun belum tentu keluar dari perbuatan sahabat.
Imam syafi’i pernah berwasiat bahwasanya “jika nanti kalian mendapatkan dalil
yang shahih yang bertentangan dengan mazhabku, maka ambillah ia karena itulah
mazhabku.” Kemudian beliau juga mencela orang yang berta’assub kepada
seorang pribadi ahli hukum, karena kebenaran yang mutlak itu sebenarnya hanya
milik ALLAH dan RasulNYA.
Jad Al-Haq Ali Jad Al-Haq, Al-Fiqh Al-Islami, Ma’had Ad-Dirasah Al-
Islamiyah, Cairo 1986, cet I, hal 25.
0 komentar: