Anda di halaman 1dari 21

PERIODISASI PERKEMBANGAN FIQH

Kamil Syafruddin*

I. Pendahuluan.

Terdapat dua dimensi dalam memahami hukum Islam. Pertama, hukum


islam berdimensi ilahiyah yang kita yakini bersumber dari Allah SWT. Dalam
dimensi ini kita meyakini bahwasanya hukum Islam adalah ajaran yang suci.
Dalam pengertian seperti ini hukum Islam dipahami sebagai syari’at yang
cakupannya sangat luas, bukan hanya masalah hukum tapi juga segala
permasalahan yang ada baik teologi, hukum, dan akhlak.

Kedua, hukum Islam berdimensi Insaniyah. Dalam dimensi ini, hukum


Islam merupakan upaya manusia secara sungguh-sungguh untuk memahami
ajaran yang dinilai suci. Dalam dimensi ini hukum Islam dipahami sebagai hasil
pemikiran yang dilakukan dengan berbagai pendekatan yang dikenal dengan
Ijtihad. Fiqh sebagai hasil pemikiran tidaklah bersifat statis, karena kebutuhan
manusia adalah sesuatu yang tak terbatas, dan Fiqh juga harus terus berkembang
guna memenuhi kebutuhan manusia.

Hal ini bisa kita lihat melalui perkembangan istilah fiqh sendiri yang pada
masa awal islam dipakai sebagai istilah yang mencakup semua aspek
permasalahan agama, akhirnya menjadi satu disiplin ilmu yang khusus membahas
tentang hukum ‘amali. Fiqh Islam seperti yang kita kenal sekarang sebagai satu
disiplin ilmu yang eksklusif dalam permasalahan hukum tidaklah muncul
sekaligus. tapi Fiqh islam berkembang secara bertahap sampai menjadi satu
disiplin ilmu yang khusus.

Berdasarkan uraian diatas, maka yang ingin dibahas dalam makalah ini
adalah
II. Pembahasan.

Pada dasarnya, sejarah merupakan penafsiran terhadap peristiwa zaman


lampau yang dipelajari secara kronologis. Dengan kata lain, sejarah fiqh islam
adalah tarikh tasyri’ Islam yang pada hakikatnya tumbuh dan berkembang pada
masa Nabi sendiri, Karena Nabilah yang mempunyai wewenang untuk
mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan wafatnya Nabi.

Para Ulama yang memperhatikan sejarah perkembangan fiqh berbeda-beda


pendapat dalam membagikan dan menentukan periodisasi sejarah perkembangan
fiqh. Diantara para muarrikh fiqh islam yang menentukan periodisasi sejarah
perkembangan fiqh adalah Muhammad ‘Ali al-Sayyis, Muhammad Khudlari Bik,
‘Abdul Wahab al-Khallaf, Musthafa Sa’id al-Khinn, ‘Umar Sulaiman al-Asyqar
dan T.M. Hasbi al-Shiddiqi. Berikut ini adalah periodisasi perkembangan hukum
islam (fiqh) menurut para ahli sejarah fiqh islam yang penulis kutip dari buku
Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam yang ditulis oleh DR. Jaih Mubarak.

Muhammad ‘Ali al-Sayyis berpendapat bahwa periodisasi perkembangan hukum


islam adalah sebagai berikut:

a. Hukum Islam zaman Rasulullah.


b. Hukum Islam zaman Khulafa al-Rasyidin.
c. Hukum Islam zaman pasca Khulafa al-Rasyidin hingga awal abad II H.
d. Hukum Islam zaman awal abad II H, hingga pertengahan abad IV H.
e. Hukum Islam zaman pertengahan abad IV H hingga Bagdad hancur.
f. Hukum Islam sejak zaman kehancuran Bagdad hingga kini.

Menurut Khudlari Bik periodisasi sejarah hukum islam adalah sebagai berikut:

a. Hukum Islam zaman Rasullah SAW.


b. Hukum Islam zaman sahabat besar.
c. Hukum Islam zaman sahabat kecil.
d. Hukum Islam zaman fikih menjadi ilmu yang berdiri sendiri.
e. Hukum Islam zaman perdebatan untuk membela imam masing-masing.
f. Hukum Islam zaman taqlid.

Menurut Abdul Wahab Khallaf ada empat periode yaitu :

a. Hukum Islam zaman Rasulullah SAW.


b. Hukum Islam zaman sahabat.
c. Hukum Islam zaman imam pendiri mazhab.
d. Hukum Islam zaman stasis (jumud).

Menurut Sa’id al-Khinn berpendapat bahwa periodesasi hukum Islam adalah


sebagai berikut :

a. Hukum Islam zaman Rasul.


b. Hukum Islam zaman sahabat.
c. Hukum Islam zaman tabi’in.
d. Hukum Islam zaman taklid.
e. Hukum Islam zaman sekarang.

Menurut umar sualiman al-Asyqar sebagai berikut :

a. Hukum Islam zaman Rasul.


b. Hukum Islam zaman sahabat.
c. Hukum Islam zaman tabi’in.
d. Hukum Islam zaman pendiri mazhab.
e. Hukum Islam zaman statis.
f. Hukum Islam zaman sekarang.

Menurut T.M Hasbi al- Shiddiqi yaitu :

a. Hukum Islam zaman pertumbuhan.


b. Hukum Islam zaman sahabat dan tabi’in.
c. Hukum Islam zaman kesempurnaan.
d. Hukum Islam zaman kemunduran.
e. Hukum Islam zaman kebangkitan.

Menurut Subhi Mahmashshani, dosen sistem Hukum arab pada universitas


Amerika Beirut, menetapkan periodisasi hukum Islam sebagai berikut :

a. Hukum Islam zaman Nabi Muhammad SAW.


b. Hukum Islam zaman al-Khulafa al-Rasyidun dan Umawiyun.
c. Hukum Islam zaman kemunduran dan taklid.
d. Hukum Islam zaman kebangkitan.

Menurut Fathi Utsman adalah sebagai berikut :

a. Hukum Islam zaman Nabi SAW.


b. Hukum Islam zaman Khullafa Rasydin sampai penyusunan kitab-kitab
fiqh.
c. Hukum Islam zaman penyusunan kitab-kitab fiqh hingga sekarang.

Setelah kita melihat periodisasi yang dibuat oleh para muarrikh fiqh, kita bisa
menyederhanakan kepada beberapa periodisasi perkembangan fiqh sebagai
berikut :

a. Fiqh pada masa Rasulullah ( Periode Risalah ).


b. Fiqh pada masa Khulafa al-Rasyidin.
c. Fiqh pada masa Tabi’in hingga lahirnya Mazhab fiqh.
d. Fiqh pada masa jumud.
e. Fiqh setelah masa jumud hingga sekarang.

A. Fiqh pada Zaman Rasulullah SAW ( Dari Bi’tsah – 11 H / 610 – 632 H ).


Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai
wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan
hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu
adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik
dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya
terpulang kepada Rasulullah SAW.

Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode
Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada
masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya,
dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah
sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah
SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara
bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik
yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode
Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan
politik.

Fiqh pada masa Rasulullah SAW adalah fiqh waqi’ ‘amali, artinya: hukum
dibahas setelah terjadinya suatu kejadian ( mencari hukum setelah kejadian ).
Istilah fiqh dipakai untuk segala sesuatu yang dipahami dari nash-nash Al-Qur’an
dan As-Sunnah baik mengenai persoalan ‘aqidah, akhlak, ataupun hukum. Jadi,
Fiqh pada masa ini bersifat praktek dan bukan teori, dimana para sahabat meminta
fatwa ( ‫ ) يستفتونك‬dan bertanya ( ‫ ) يسألونك‬tentang hukum setelah terjadinya suatu
kejadian. Jadi metode pensyari'atan pada masa ini memakai 2 cara:

a. Adanya pensyariatan yang diwahyukan tanpa adanya pertanyaan dari


sahabat ( tanpa sebab ).
b. Pensyaria'atan yang didahului oleh pertanyaan para sahabat, karena
kebutuhan mereka terhadap hokum.
Metode kedua ini kita dapati dalam Al-Qur'an dengan adanya ayat-ayat yang
dimulai dengan kata Yasaluunaka dan Yastaftuunaka. Kata Yasaluunaka
disebutkan 15 kali, 8 diantaranya mengandung makna fiqh dalam pembahasan
yang bermacam-macam yang terdapat dalam: Al-Baqarah 215, 217, 219 diayat ini
ada 2 pertanyaan, 220, 222, Al-Maidah ayat 4, Al-Anfal ayat 1. Dan kata
Yastaftunaka disebutkan 2 kali dalam surat An-Nisa' ayat 127, 176.

Pada periode ini Rasuluulah adalah tokoh utama yang menjadi panutan hukum
para sahabat dalam memahami segala sesuatu, Rasulullah SAW menyampaikan
apa yang diterimanya dari Allah SWT dan menjelaskannya kepada mereka baik
aspek ibadah, politik, akhlak dan sosial. Pada masa awal islam ini istilah fiqh dan
‘ilm mempunyai arti yang sama. Para Fuqaha dan Ulama pada masa ini dikenal
dengan sebutan Qurra yaitu orang yang mampu membaca dan menghafal Al-
Qur’an dan juga mengamalkan hukum-hukumnya.

Ibnu Katsir dalam muqaddimahnya menyebutkan :

Ibnu Mas’ud r.a berkata: “ Kami jika menghafal dan mempelajari 10 ayat Al-
Qur’an tidak akan berpindah ke ayat yang lain sampai benar-benar mengetahui
maknanya dan mengamalkannya.

Istilah Qurra juga umum dikenal dikalangan kaum muslimin, karena membaca
adalah suatu hal yang tak umum di Arab pra Islam. Tujuh puluh orang yang diutus
Rasulullah SAW kepada orang-orang yang baru memeluk Islam untuk mengajari
pokok-pokok Islam dikenal sebagai Qurra.

a. Sumber Hukum Pada Masa Rasulullah SAW.

Sumber hukum pada masa Rasulullah adalah Wahyu Ilahi, baik yang
ditilawahkan (Al-Qur’an) atau pun yang tidak ditilawahkan ( As-Sunnah ).

b. Ijtihad Nabi Muhammad SAW.


Para Ulama berbeda pendapat tentang ijtihad Rasulullah pada permasalahan
yang tidak diwahyukan oleh Allah SWT atau pun sesuatu yang tidak ada nashnya.

1. Sebagian Asy-‘Ariyah dan sebahagian besar Mu’tazilah berpendapat


bahwasanya Rasulullah tidak boleh berijtihad terhadap sesuatu yang
tidak ada nashnya yang berhubungan dengan hukum-hukum amaliah
tentang halal dan haram.

2. Ulama Hadits dan Ulama Ushul sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu
Yusuf dari golongan Hanafiah dan juga Asy-Syafi’i membolehkan
ijtihad Nabi Muhammad pada sesuatu yang tidak ada nashnya.

Adapun pendapat yang rajih menyatakan bahwasanya Rasulullah SAW boleh


berijtihad dalam peperangan dan dalam menetapkan hukum syara’. Rasulullah
adalah seorang yang ma’sum dari kesalahan karena jika ada kesalahan dalam
ijtihadnya maka akan ada wahyu yang membantah dan membenarkannya.

Adapun contoh ijtihad Nabi Muhammad SAW adalah:

1. Tawanan Perang Badar.

Dalam masalah ini belum adanya nash tentang perlakuan terhadap


tawanan, dan keadaan menuntut untuk memutuskan permasalahan ini
dengan segera. Kemudian Rasulullah SAW bermusyawarah dengan
sahabatnya sebagaimana firman Allah

‫ و أمرهم شورى بينهم‬Kemudian Abu Bakar berpendapat:" menurut saya kita


mengambil fidyah ( tebusan ) dari mereka, semoga nantinya mereka
mendapatkan hidayah Allah untuk memeluk Islam". Kemudian Rasulullah
bertanya kepada Umar, dan Umar berkata:" Saya tidak sependapat dengan
apa yang disampaikan oleh Abu Bakar, menurut saya, semua tawanan ini
kita bunuh " Kemudian Rasulullah lebih cenderung memilih pendapat Abu
Bakar. Kemudian turunlah firman Allah ( Al-Anfal 67, 68, 69 ) yang
menyatakan tidaklah patut bagi seorang Rasul untuk tawanan sebelum ia
dapat melumpuhkan musuh-musuhnya.

2. Keizinan Bagi Sebagian Orang Munafik untuk tidak ikut Perang


Tabuk

Pada perang Tabuk sebahagian orang munafik tidak mau ikut serta dalam
perang tabuk, dan merekapun memberikan alasan-alasan yang palsu untuk
mendapatkan keizinan Rasul, lalu Rasulullah memberikan izin kepada
mereka untuk tidak ikut dalam perang tabuk. Allah menegur Rasulullah
atas keizinan yang diberikan kepada mereka sebagaimana Firman Allah
dalam surat At-Taubah ayat 46.

3. Kisah Mujadilah Khawalah binti Tsa'labah.

Ketika Khawalah bertanya kepada Nabi Muhammad tentang suaminya,


Aus bin Shamit yang telah menzhihar dirinya, Nabi Muhammad
menjawab: "Kamu haram bagi suamimu yang telah zhirar kepadamu."
Dengan demikian zhihar berarti sama dengan talak atau cerai. Kemudian
Allah berfirman surat Al-Mujadilah ayat 1-4. Yang menyatakan bahwa
zhihar tidak termasuk thalaq tetapi yang bersangkutan harus membayar
kifarat.

c. Ijtihad Sahabat Pada Masa Rasulullah SAW.

Diantara sahabat yang melakukan ijtihad pad zaman Rasulullah SAW adalah
mereka yang diutus menjadi qadhi diantaranya: 'Ali bin Abi Thalib yang diutus
Rasulullah untuk menjadi qadhi di Yaman, Mu'adz bin Jabal yang diutus
Rasulullah menjadi qadhi di Yaman, dan Khudzaifah al-Yamani yang diutus Nabi
untuk menyelesaikan sengketa dinding antara tetangga yang saling mengakui
dinding itu milik mereka, begitu juga dengan 'Amr bin Ash yang pada suatu hari
Rasulullah berkata kepadanya : Putuskanlah hukum untuk masalah ini, kemudian
dia berkata:"saya memutuskan hukum sedangkan engkau ada ya Rasulullah ?
Nabi menjawab: "Ya".

Diantara ijtihad sahabat pada masa Rasulullah SAW:

a. Pada hari Ahzab Rasulullah berkata kepada para sahabat:"Janganlah salah


seorang diantara kalian shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah." Sebelum
sampai ke Bani Quraizhah, waktu shalat ashar hampir habis. Sebagian
sahabat berijtihad dengan melakukan shalat diperjalanan. Mereka melihat
makna dari perkataan rasul yang menginginkan sahabat melakukan
perjalan cepat ke Bani Quraizhah sebelum waktu ashar habis. Sebagian
sahabat yang lain berpegang kepada lafadh hadits sehingga mereka shalat
ashar di Bani Quraizhah pada waktu malam.
b. Dua orang sahabat Rasulullah Saw tidak mendapatkan air dalam
perjalanan dan waktu shalat telah tiba, kemudian mereka bertayammum
dan shalat, kemudian mereka mendapatkan air dan waktu shalat masih ada,
seorang sahabat mengulangi kembali shalatnya dan yang seorang lagi tidak
mengulangi lagi shalatnya. Kemudian setelah berjumpa dengan Rasulullah
SAW mereka pun menceritakan kejadian ini dan Rasulullah membenarkan
kedua perbuatan mereka.

B. Fiqh Pada Masa Khulafah Al-Rasyidin ( 11 – 40 H / 632 – 661 M ).

Periode al-Khulafah Al-Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi


Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk
pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini,
disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, ijma' juga ditandai dengan
munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan
yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada
masa inilah timbulnya penafsiran nash-nash yang diterima dari Rasul dan
terbukalah pintu istinbath terhadap masalah-masalah yang tidak ada nashnya,
khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad
sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum
yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah
semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis
dengan budaya masing-masing.

Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya,
moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal
ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan
masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang
para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-
persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para
sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak
dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi
SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula
jawabannya, mereka melakukan ijtihad.

a. Kedudukan Fiqh Sahabat.

Fiqh shahabi memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam khazanah


pemikiran Islam. Hal ini disebabkan:

1. Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Rasulullah SAW dan


meninggal dunia sebagai orang Islam. Dan dari mereka juga kita mewarisi
ikhtilaf di kalangan kaum Muslim, dengan beragamnya periwayatan hadits
yang bersumber dari mereka.

2. Zaman sahabat adalah zaman berakhirnya masa tasyri'. Inilah dasar dari
ilmu fiqh yang pertama. Bila pada zaman tasyri' orang merujuk
pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan
merujuk pada Rasulullah, pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri
sendiri (ra'yu) jika tidak ada nash dengan tidak melewatkan Al-Qur'an dan
As-Sunnah. Sementara itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara
Islam dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah
baru. Dan para sahabat merespon situasi ini dengan mengembangkan fiqh
(pemahaman) mereka.

3. Ijtihad para sahabat menjadi rujukan yang harus diamalkan, perilaku mereka
menjadi sunnah yang diikuti.

Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan bila mazhab
sahabat menjadi rujukan penting bagi perkembangan fiqh Islam sepanjang sejarah.

b. Sebab-sebab Terjadinya Ikhtilaf Para Sahabat.

1. Setelah Nabi wafat, timbul dua pandangan yang berbeda tentang otoritas
kepemimpinan umat Islam. Hal ini berhubungan langsung dengan otoritas
penetapan hukum. Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk
menetapkan hukum- hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur'an
setelah Rasulullah wafat dipegang ahl al-Bait. Hanya merekalah--menurut
nash dari Nabi Muhammad SAW--yang harus dirujuk untuk
menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah.
Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa berhentinya wahyu,
karena setelah Nabi Muhammad wafat masih terdapat para pewarisnya
yang terjaga dari kesalahan (ma'shum). Kelompok ini kelak dikenal
dengan kelompok Syi'ah. Kelompok kedua memandang tidak ada orang
tertentu yang ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah
Ilahi. Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarik hukum-
hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat.
Kelompok ini kelak disebut Ahl al-Sunnah.
2. Adanya perbedaan memahami nash. Kata quru dalam wal muthalaqatu
yatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru' diartikan berbeda-beda.
Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan "quru" itu haidh. Zaid ibn
Tsabit mengartikannya masa bersuci di antara haidh dengan haidh lagi.
Ibn Umar menafsirkan al-muhshanat dalam ayat wa al muhshanat min
alladzina utu al-kitab sebagai wanita Muslim, karena itu Ibn Umar
mengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki Muslim. Ibn 'Abbas
menganggap ayat itu sebagai pengecualian (takhshish) dari ayat wa la
tankihu al-musyrikat hatta yu'minna. Utsman tampaknya sependapat
dengan Ibn 'Abbas, karena ia menikah dengan Nailah, wanita Nashrani,
dan Thalhah menikahi wanita Yahudi dari Syam.

3. Adanya perbedaan pengetahuan yang mereka miliki. Sebagian sahabat,


misalnya, mengetahui nash tertentu, sebagian lain tidak mengetahuinya.
Umar pernah menegur orang yang dikiranya salah ketika membaca QS al-
Fath: 26. Ia memarahi orang itu. Tetapi Umar kemudian dikoreksi Ubay
bin Ka'ab. Kata Ubay : "Anda tahu saya berada di dalam beserta
Rasulullah saw. ketika ia membaca ayat itu. Engkau sendiri berada di
pintu. Demi Allah Ya Umar, sesungguhnya Anda tahu, ketika saya hadir
Anda tidak ada."
4. Adanya perbedaan dalam periwayatan hadits dari Nabi Muhammad SAW.
Ada sahabat yang mengetahui hadits tertentu dan ada yang tidak tau. Abu
Hurairah r.a berpendapat bahwa orang yang masih junub pada waktu
subuh, tidak dihitung berpuasa ramadhan. Kemudian pendapat ini didengar
oleh 'Aisyah yang berpendapat sebaliknya. 'Aisyah menjadikan peristiwa
dengan Nabi SAW sebagai alasan. Maka Abu Hurairah menarik kembali
pendapatnya.

C. Fiqh pada Masa Tabi'in hingga Lahirnya Mazhab Fiqh ( Bani Umayah, 661-750

M ).

Setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia, orang-orang Islam bertanya


pada sahabat dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab
pertanyaan mereka; dan mereka pun tidak bertanya pada semua sahabat. Sebagian
sahabat sedikit sekali memberi fatwa, mungkin karena ketidaktahuan, kehati-
hatian, atau pertimbangan politis. Sebagian lagi banyak sekali memberi fatwa,
mungkin karena pengetahuan mereka, atau karena posisinya memungkinkan untuk
itu.

Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah para khalifah
sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan al-hadits. Abu bakar
meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar 537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586
hadits. Jika semua hadits mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang
dari 27% hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah (Abu Huraiah meriwayatkan
5374 hadits). Karena itu, para tabi'in, yakni mereka yang berguru pada sahabat,
umumnya bukanlah murid al-Khulafa al-Rasyidin.

Pada masa Bani Umayah kekuasaan politik sangatlah berpengaruh besar dalam
perkembangan fiqh, terutama banyak sekali didapati manipulasi hadits yang
menguntungkan pihak penguasa. Perlu kita garis bawahi, bahwa pada masa inilah
munculnya berbagai aliran-aliran yang merupakan akibat dari ketidakpuasan
terhadap penguasa. Sehingga keadaan fiqh pun ikut terpengaruh oleh suasana
yang ada.

Mulai dari masa ini perkembangan fiqh sangat luar biasa dari pemahamannya
yang dipakai untuk segala urusan agama mulai mengarah kepada satu disiplin
ilmu yang berdiri sendiri. Adapun faktor-faktor berkembangnya fiqh pada masa
ini adalah:

1. Umat Islam mulai tahun jama'ah ini terpecah menjadi tiga partai besar:
Khawarij, Syi'ah, Ahlu As-Sunnah wal Jama'ah.

2. Meluasnya daerah kekuasaan Islam dan bercampurnya berbagai kebudayaan


sehingga terjadinya interaksi baru, mulai adanya perjanjian-perjanjian dan
hubungan dengan daerah kekuasaan lainnya, terbukanya wacana baru serta
permasalahan-permasalahan baru yang membutuhkan ketetapan hukum.

3. Tersebarnya para fuqaha ke berbagai daerah kekuasaan islam.


4. Munculnya perdebatan-perdebatan antara para fuqaha.

5. Adanya pengaruh politik penguasa dalam fiqh.

6. Banyaknya Mawali (non Arab) yang mempelajari Islam dan terjadinya


percampuran dengan penduduk asli sehingga masuklah unsur-unsur Parsi
dan Romawi, dan Mawali juga sangat pandai dalam menggunakan akal dan
falsafah.

7. Perbedaan penggunaan Ra'yu, sehingga muncullah dua madrasah besar yaitu:


madrasatul hadits dan madrasatul ra'yi. Dan inilah sebenarnya awal
pembentukan mazhab.

Pada masa tabi'in terdapat tiga pembagian geografis yang besar dalam dunia
Islam yaitu: Iraq, Hijaz dan Syiria.Iraq sendiri memiliki dua mazhab Bashrah dan
Kufah. Begitu pula Hijaz juga memiliki dua pusat kegiatan hukum yaitu Mekkah
dan Madinah. Mazhab Syiria kurang tercatat dalam buku-buku teks awal,
meskipun demikian hukum dari mazhab ini dapat kita ketahui melalui tulisan Abu
Yusuf.

Setiap kota yang penting memiliki pemimpinnya sendiri yang menjadi


panutan pendapat yang memberikan sumbangan pada perkembangan pemikiran
hukum dipropinsi yang bersangkutan. Berikut ini nama-nama yang tercatat dari
para ahli hukum di berbagai tempat:

Mekkah: 'Atha bin Abi Rabah (w. 114 H ), 'Amr bin Dinar ( w. 126 H )

Madinah: Sa'id bin al-Musayyib ( w. 94 H ), 'Urwah bin al-Zubayr, Abu Bakar bin
'Abdul Rahman, 'Ubaydillah bin 'Abdullah, Kharijah bin Zayd, Sulayman bin
Yasar, Al-Qasim bin Muhammad. Mereka ini umumnya dikenal sebagai tujuh ahli
hukum dari Madinah.

Bashrah: Muslim bin Yasar, Al-Hasan bin Yasar, Muhammad bin Sirin.
Kufah: 'Alqamah bin Qays, Masruq bin al-Ajda, Al-Aswad bin Yazid, Syurayh
bin al-Harits. Mereka ini adalah para sahabat yang terkenal dari 'Abdullah bin
Mas'ud.

Syiria: Qabisah bin Dzuwayb, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, Makhul, Al-Awza'i.

Az-Zarqa menyebutkan periode ini dengan periode keemasan: Periode ini


dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode
sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam
Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada
periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga
berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan
pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-
bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.

Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke


panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi
keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap
berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat
mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna
menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa
Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid
(memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-
Amin dan al-Ma'mun.

Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu
Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan,
ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah
ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur
(memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk
menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan
lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang
berjudul al-Muwaththa' (Yang Disepakati).

Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan


ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-
masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga
mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi'i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis
masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi
yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).

Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok


ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra'yu
yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini,
maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu yang dimaksudkan
ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-
kan hukum.

Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga


dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-
Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk
mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits.
Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak.
Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat
mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua
aliran yang didasarkan atas hadits dan ra'yu.

Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh
dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini
adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan
Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh
pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i.
Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias,
istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.

D. Masa Taqlid dan Jumud ( mulai tahun 310 H )

Periode ini adalah periode pergeseran orientasi. Kalau sebelumnya merujuk


langsung kepad Al-Qur'an dan Sunnah, maka pada fase iniyang dirujuk adalah
kitab-kitab fiqh yang disusun oleh imam yang dipandang lebih berkompeten.
Untuk menjaga kesucian kitab-kitab fiqh disamping Al-Qur'an dan Sunnah ulama
melakukan kegiatan yang bersifat internal, yakni membangun mazhab yang
dianutnya sehingga dapat berkembang. Terdapat dua cirri yang cukup dominan
yang menjadi tanda kemundura fiqh islam, yaitu taklid dan tertutupnya ijtihad.

Para fuqaha masa taqlid itu sepakat meninggalkan ijtihad, dapat disebabkan
adanya aneka ragam fatwa yang bersimpang siur tak terkendali lagi, yang
menyebabkan para fuqaha menjauhkan diri dari ijtihad, dan adakalanya sudah
malas berijtihad dan memang fahamnya sudah terpaku pada pendapat bahwa pintu
ijtihad sudah tertutup.

a. Sebab-sebab Taklid dan Jumudnya Para Ulama.

1. Adanya pemaksaan penggunaan aliran atau mazhab tertentu oleh


penguasa, seperti Khalifah al-Makmum, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq
mamaksakan Mu’tazilah kepada para ulama.
2. Timbulnya pendapat para ulama yang memandang bahwa pendapat para
imam mazhab sepadan dengan nash Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak
dapat diubah, digugat, atu diganti. Umpamanya, ‘Ubaid Al-lah al-Kharkhi,
salah seorang ulama mazhab Hanafi pernah berkata:”Setiap ayat Al-
Qur’an dan hadits yang bertentangan dengan mazhab hanafi dapat
ditakwilkan atau di nasakh kan.” Imam Iyadh juga pernah berkata:”Bagi
yang taklid, kedudukan pendapat imam mazhabnya dinilai sejajar dengan
Al-Qur’an dan Sunnah.”
3. Adanya penghargaan yang berlebihan terhadap guru, hal ini tercermin
dalam anggapan bahwa, pertama, setiap orang dewasa diwajibkan
bermazhab dan diharamkan keluar dari mazhab yang dianutnya. Kedua,
mengambil pendapat selain pendapat imam yang dianutnya adalah haram.
Dan ketiga, guru yang terdahulu lebih mengetahui makna nash daripada
kita.
4. Berkembangnya sikap berlebihan dalam memperlakukan kitab-kitab fiqh
serta banyaknya kitab-kitab fiqh, dan tidak adanya kesesuaian antara
perkembangan akal dan perkembangan pemahaman (fiqh).

b. Tertutupnya Pintu Ijtihad

Anggapan yang menyatakan ijtihad tertutup muncul pada abad IV H.


Didasarkan pada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa Ibnu Jarir al-Thabari
merupakan ulama mujtahid terakhir. Setelahnya, ulama mengikatkan dirinya pada
aliran fiqh tertentu.

Adapun diantara tertutupnya pintu ijtihad adalah:

1. Munculnya hubud dunya dikalangan para ulama.


2. Adanya perpecahan politik.
3. Adanya perpecahan aliran fiqh.

Diantara ulama-ulama yang hidup pada masa ini adalah: Ibnu Hazm al-Zahiri,
Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Taimiah.

E. Periode Membangun Kembali Fiqh Islam ( Ba’da Jumud ).

Di pertengahan abad ke 18 M, timbullah reformasi dan melepaskan diri dari


taqlid dalam tubuh umat Islam. Usaha ini tidaklah terjadi sekaligus, melainkan
secara bertahap. Usaha ini timbul, setelah adanya kesadaran nasional. Kaum
muslimin mengetahui dan merasakan adanya kemunduran yang kemudian
menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan di berbagai negeri-negeri Islam.
Adapun gerakan-gerakan pembaruan dalam Islam :

1. Di Hijaz dalam abad ke 13 H / 18 M, timbul gerakan Wahabi yang


dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab.

2. Di Libya, Muhammad bin Sanusi, yang juga pernah melawat ke Afrika


dalam usahanya menyeru masyarakat untuk membersihkan agama dari
usaha-usaha musuh Islam yang menyisipkan ajaran-ajaran yang
menyesatkan dan mengajak untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

3. Di Syria timbul usaha perbaikan yang bersendi agama yang dibangunkan


oleh Al-Mahdi dan mengajak kembali kepada hukum Tuhan dan Rasul.

4. Di Mesir pada permualaan abad ke 20 M, akhir abad ke 19 M, bangunlah


tokoh Jamaluddin al-Afghani. Ulama-ulama Mesir yang ingin
memerdekakan diri dari para penjajahan mengadakan hubungan rapat
dengan beliau itu. Diantar yang sangat rapat hubungan dengan beliau
adalah Muhammad ‘Abduh yang mengadakan da’wah mengajak
masyarakat kembali kepada mazhab Salaf dan kepada sumber-sumber
yang asli. Beliau juga mengumumkan perang terhadap taqlid, menyatukan
mazhab dan menjauhkan bid’ah dan kurafat. Al-Urwatul Wutsqa dan
majalah al-Manar merupakan terompetnya yang mengumandangkan
suaranya ke seluruh dunia Islam, sehingga lahirlah ulama-ulama merdeka
disetiap negeri Islam yang harus dapat memenuhi kebutuhan masa dan
sesuai dengan tabi’atnya yang elastis.

Bangkitnya kembali fiqh Islam pada periode ini dapat kita lihat dengan fakta
yang ada diantaranya:

1. Sudah adanya pendidikan karang mengarang.


2. Usaha menyusun hukum-hukum fiqh secara system undang-undang tanpa
membatasi diri dengan sesuatu mazhab tertentu.
3. Fiqh sudah dipelajari secara ilmiyah dilembaga-lembaga pendidikan resmi.
4. Adanya fiqh muqaran antar mazhab

Beginilah keadaan fiqh setelah masa jumud sampai sekarang yang kita
rasakan. Namun, saat ini pun kita merasakan bahwa fiqh seakan ilmu yang statis
yang perkembangannya sangat lamban, dan untuk saat ini profil-profil para
pembaru fiqh pendobrak taqlid sangatlah patut untuk ditiru guna bisa
menghasilkan manuver-manuver baru bagi perkembangan fiqh yang sesuai antara
akal dan pemahaman fiqh itu sendiri.

III. PENUTUP.

Dengan melihat periodisasi perkembangan fiqh dari masa Rasulullah sampai


selanjutnya, kita melihat bahwasanya pelaksanaan hukum pada masa awal Islam
tidaklah kaku sebagaimana kita lihat pada masa selanjutnya. Rasulullah dimasa
hidupnya pun memberikan kesempatan kepada para sahabat untuk berijtihad dan
ini merupakan satu contoh yang Rasulullah berikan kepada umatNYA
bahwasanya berijtihad itu bukanlah hal yang terlarang.

Mengutip apa yang disampaikan oleh pembimbing mata kuliah Ushul fiqh
DR. Ali Yasa Abu Bakar, bahwasanya perbuatan yang dilakukan jika keluar dari
pendapat mazhab tertentu, namun belum tentu keluar dari perbuatan sahabat.
Imam syafi’i pernah berwasiat bahwasanya “jika nanti kalian mendapatkan dalil
yang shahih yang bertentangan dengan mazhabku, maka ambillah ia karena itulah
mazhabku.” Kemudian beliau juga mencela orang yang berta’assub kepada
seorang pribadi ahli hukum, karena kebenaran yang mutlak itu sebenarnya hanya
milik ALLAH dan RasulNYA.

* Pegiat pada Center for Islamic Law and Political Studies

Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, PT.Remaja


Rosda Karya, Bandung 2000, cet II hal 12.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Pustaka Rizki
Putra, Semarang 1997, cet I, hal 31.

Muhammad Salam Madkur, Al-Madkhal Li Al-fiqh Al-Islami, Dar An-


Nahdhah Al-Arabiyah, Cairo 1960, cet I, hal 70.

Jad Al-Haq Ali Jad Al-Haq, Al-Fiqh Al-Islami, Ma’had Ad-Dirasah Al-
Islamiyah, Cairo 1986, cet I, hal 25.

Jad Al-Haq Ali Jad Al-Haq, Al-Fiqh Al-Islami.. hal 24.

Diposkan oleh CILAPS di 23:26


Label: Periodisasi Fiqh

0 komentar:

Anda mungkin juga menyukai