Anda di halaman 1dari 8

Sejarah ushul Fiqih Pada abad awal( masa Nabi Muhammad saw serta para sahabat), belum terdapat

pembicaraan soal ushul fiqih dengan seluruh bentuk kaidah- kaidahnya. Dikala Nabi saw masih
hidup, acuan hukum Islam langsung diputuskan oleh Rasulullah saw bersumber pada wahyu ilahi
yang tercantum dalam Al- Qur’ an. Jadi, fatwa serta vonis hukum yang Nabi keluarkan tidak
memerlukan dasar( ushul) serta kaidah- kaidah yang diperlukan. Sudah dicukupkan dengan wahyu
yang Allah turunkan. Setelah itu, pada masa sahabat( sesudah Nabi saw wafat). Dalam berfatwa
serta membuat putusan hukum Islam, para sahabat langsung mengacu pada nash( Al- Qur’ an serta
hadits) yang mereka pahami dengan penjelasan bahasa Arab mereka yang masih orisinil. Makna
orisinil di sini ialah belum tercemari oleh faktor- faktor luar yang mempengaruhi keahlian
kebahasaan mereka dalam menguasai nash. Tidak hanya itu, dengan pernah hidup semasa
Rasulullah, serta menjadi nilai plus tertentu untuk para sahabat. Di samping keberkahan
suhbah( hidup semasa dengan Nabi saw), mereka juga mengenali langsung aspek historis turunnya
ayat Al- Qur’ an( asbabun nuzul) serta hadits( asbabul wurud) yang berkaitan dengan hukum
tertentu. Dengan begitu, para sahabat belum

memerlukan kaidah- kaidah sebagaimana yang ada dalam ushul fiqih. Pasca- generasi sahabat,
daerah kekuasaan Islam semakin luas. Sehingga penganut Islam semakin banyak dari bermacam
bangsa dengan tipikal sosial serta geografis yang plural( bermacam- macam), terjadilah asimilasi
bangsa Arab dengan bangsa- bangsa lain. Dampaknya, orisinilitas bahasa Arab mulai terancam.
Sehingga banyak kerancuan dalam menguasai nash. Perihal ini mendorong guna dibakukannya batas
serta kaidah bahasa demi melindungi orisinalitas yang sudah lenyap. Dengan demikian, penjelasan
atas nash tetap terkontrol sebagaimana saat dimengerti oleh penerima nash tempo dahulu.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/129675/sejarah-perkembangan-ilmu-ushul-fiqih07102021
14.07
Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

Bab 1
Pendahuluan
A.Latar Belakang Masalah

Masa perjalanan hukum Islam sendiri sebenarnya bisa diklasifikasikan jadi beberapa fase,
yakni masa Rasulullah, masa sahabat, masa tabi’ in serta imam madzab. Pada masa Rasulullah
permasalahan hukum yang dialami oleh umat Islam terbilang belum begitu kompleks. Tidak hanya
itu penetapan sesuatu hukum atas permasalahan yang berlangsung masih diserahkan penuh kepada
Rasulullah SAW.

Setelah itu pasca beliau meninggal, permasalahan yang dialami oleh umat Islam terus
menjadi komplek, dan terkadang suatu kasus yang dialami oleh umat Islam dikala itu belum
ditemukan pada masa Rasulullah. Atas dasar itu lahirlah sebuah ilmu ushul fiqh selaku jawaban atas
permasalahan yang dialami oleh umat Islam. Apabila dilihat lebih jauh lagi, sebenarnya periodesasi
ushul fiqh sudah terdapat semenjak Rasulullah masih hidup. Kemudian sesudah beliau wafat kajian
mengenai ushul fiqh semakin memperoleh atensi yang lumayan besar dari kalangan ahli hukum
Islam.

Terdapat sebagian komentar yang memaparkan mengenai asal dari ushul fiqh. Ilmu ushul
fiqh lebih dulu lahir dari ilmu fiqh, sebab ushul fiqh selaku alat guna melahirkan fiqh. Akan tetapi,
kebenaran sejarah menunjukkan, ushul fiqh bersamaan lahirnya fiqh. Sebaliknya dari segi
penyusunannya, ilmu fiqh lebih dulu lahir dari pada ilmu ushul fiqh.[1][1]

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana Periodisasi Ushul Fiqh pada Masa Nabi, Sahabat, Tabi’in dan Imam Madzab?

2. Bagaimana Latar Belakang Terbentuk dan Tumbuh Berkembangnya Ushul Fiqh?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk Mengetahui Periodesasi Ushul Fiqh pada Masa Nabi, Sahabat, Tabi’in dan Imam Madzab

2. Untuk Mengetahui Latar Belakang Terbentuk dan Tumbuh Berkembangnya Ushul Fiqh
BAB 2

ISI

A. Periodesasi Ushul Fiqh pada Masa Nabi, Sahabat, Tabi’in dan Imam Madzab

a. Periode Nabi

Pertumbuhan ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam semenjak masa
Nabi SAW sampai pada masa tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke- 2
H. Pada masa Nabi SAW, sumber hukum Islam ada 2, ialah Alqur’ an dan sunnah. Apabila suatu
permasalahan terjadi, Nabi SAW menunggu wahyu yang menjelaskan permasalahan hukum
tersebut. Apabila wahyu tidak turun ,nabi menetapkan permasalahan tersebut lewat sabdanya, yang
setelah itu kita ketahui sebagai hadis dan sunah. Dalam menetapkan hukum dari berbagai
permasalahan yang ada di zamanya, ulama ushul fiqh menyimpulkan adanya isyarat jika Nabi
melaksanakannya lewat ijtihad. Hasil ijtihad Nabi ini secara otomatis jadi sunnah untuk ummat.

Dalam sebagian permasalahan, Nabi SAW juga mengaplikasikan qiyas pada saat
menanggapi persoalan para sahabat. Cara- cara beliau dalam menetapkan hukum inilah yang jadi
bibit munculnya ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu, para ushuliyyin memberitahukan bahwa ushul fiqh
itu sendiri bertepatan hadirnya dengan hukum fiqh, yaitu semenjak masa Nabi SAW. Bibit ini
semakin jelas di masa para sahabat ,sebab permasalahan yang mereka hadapi semakin tumbuh,
sementara itu Al- qur’ an serta sunnah sudah selesai turun bersamaan dengan wafatnya Nabi SAW.
[2][2]

b. Periode Sahabat

Pada masa ini kajian tentang fiqih mulai diformulasikan, yaitu sesudah wafatnya Rasulullah
SAW. Karena pada masa hidupnya Rasulullah SAW, seluruh perkara hukum yang muncul diserahkan
kepada Beliau. Meskipun satu ataupun dua permasalahan hukum yang muncul terkadang disiasati
para sahabat Beliau dengan ijtihad, namun hasil akhir dari ijtihad tersebut, dari segi tepat ataupun
tidaknya ijtihad mereka itu, dikembalikan kepada Rasulullah SAW. Hal ini karena Rasulullah SAW
merupakan salah satunya pemegang otoritas kebenaran Agama, lewat wahyu yang diturunkan
kepada Beliau.

Pada periode sahabat, dalam melaksanakan ijtihad guna melahirkan hukum, pada
hakikatnya para sahabat memakai ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh
yang mereka gunakan baru dalam wujudnya yang sangat awal, serta belum banyak terungkap dalam
rumusan- rumusan sebagaimana yang kita kenali saat ini. Contoh cikal bakal ilmu ushul fiqh yang ada
pada masa Rasulullah SAW serta masa sahabat, antara lain berkaitan dengan syarat urutan
pemakaian sumber serta dalil hukum, selaku bagian dari ushul fiqh.
Para sahabat Rasulullah SAW selain karena keakraban mereka kepada Beliau,mereka juga
menimba banyak pengalaman dari Beliau serta menguasai secara mendalam pembuatan hukum
Islam( tasyri’), juga karena mereka sendiri mempunyai pengetahuan bahasa arab yang sangat baik.
Dengan bekal pengalaman serta keahlian tersebut, maka ketika Rasulullah SAW wafat mereka sudah
bisa melaksanakan ijtihad sendiri untuk mengatasi permasalahan kekosongan hukum atas peristiwa-
peristiwa yang baru terjadi yang belum terdapat ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam
Alqur’an serta sunnah. Mereka pula tidak banyak mengalami kesulitan menguasai ayat- ayat Alqur’
an serta maksud sunnah untuk melaksanakan pengembangan hukum Islam, paling utama melalui
metode qiyas.

Langkah- langkah yang ditempuh para sahabat apabila mengalami permasalahan hukum
yakni menelusuri ayat- ayat Al qur’ an yang berbicara tentang permasalahan tersebut. Apabila tidak
ditemui hukumnya dalam Al qur’an maka mereka mencarinya di dalam sunnah. Apabila di dalam
sunnah juga tidak ditemui barulah mereka berijtihad.[3][3]

c. Periode Tabi’in

Sejalan dengan berlalunya masa sahabat, timbullah masa tabi’in. Pada masa ini, sejalan
dengan perluasan wilayah-wilayah Islam, dimana pemeluk Islam semakin banyak bukan saja dari segi
kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi juga dari segi bahasa, peradaban , ilmu pengetahuan,
teknologi dan perekonomian, banyak bermunculan kasus-kasus hukum baru, yang sebagiannya
belum dikenal sama sekali pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat. Untuk menjawab kasus-
kasus hukum ini, lahir tokoh-tokoh Islam yang bertindak sebagai pemberi fatwa hukum. Mereka ini
sebelumnya telah lebih dahulu menimba pengalaman dan pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum
dari para sahabat pendahulu mereka. Para ahli hukum generasi tabi’in ini, antara lain, Said bin al-
Musayyab (15-94H) sebagai mufti di Madinah. Sementara di Irak tampil pula Alqamah bin al-Qais (w.
62H) dan Ibrahim an-Nakha’i (w. 96H), di samping para ahli hukum lainnya.

Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in
juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan
tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan
hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan
mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.

Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan memilih metode yang
mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu, sebagian ulama tabi’in ada yang menggunakan
metode qiyas, dengan cara berusaha menemukan’illah hukum suatu nashsh dan kemudian
menerapkannya pada kasus-kasus hukum yang tidak ada nashsh-nya tetapi memiliki ‘illah yang
sama. Sementara sebagian ulama lainnya lebih cenderung memilih metode mashlahah, dengan cara
melihat dari segi kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan yang terdapat dalam prinsip-
prinsip syara’.

Perbedaan cara yang ditempuh oleh kedua kelompok tabi’in ini, terutama timbul karena
perbedaan pendapat: apakah fatwa ash-shahabi dapat menjadi dalil hukum (hujjah)? Dan apakah
ijma’ ahl al-Madinah merupakan ijma’ sehingga berkedudukan sebagai hujjah qath’iah (dalil hukum
yang bersifat pasti)?Adanya kedua kelompok ulama di atas merupakan cikal bakal lahirnya dua aliran
besar dalam ilmu ushul fiqh dan fiqh, yaitu aliran Mutakallimin atau asy-Syafi’iyyah, yang dianut
jumhur (mayoritas) ulama, dan aliran fuqaha’ atau hanafiyyah yang pada mulanya berkembang di
Irak.[4][4]

d. Imam Madzab
Pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah
wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh
orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan
kondisinya serta adat istiadatnya. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk
dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul.
Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang
tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.Karena banyaknya persoalan-
persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai
bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai
kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.

Pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama
mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut,
bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang
sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk
menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar
syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.

Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk
yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab
dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat
terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata
maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian
itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-
nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa),
agar dapat memahami nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu
turun atau datangnya nash-nash tersebut.

B. Latar Belakang Terbentuk dan Tumbuh Berkembangnya Ushul Fiqh

Ilmu Ushul Fiqh, lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah memang
tidak diperlukan karena keberadaan Rasulullah SAW. masih bisa mengeluarkan fatwa dan
memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran Alqur’an, Sunnah dan apa yang diwahyukan kepada
beliau. Disamping itu secara fithri, ijtihad Rasul tidak memerlukan Ushul atau kaidah-kaidah yang
dijadikan sebagai istinbat dan ijtihad. Begitu pula dengan para sahabat, mereka memberikan fatwa
hokum dan memutuskan suatu keputusan berdasarkan nash-nash yang dipahami lantaran
kemampuan potensial mereka dibidang bahasa arab yang benar, tanpa memerlukan kaidah-kaidah
bahasa yang dapat dijadikan sebagai dasar pemahaman nash. Para sahabat juga melakukan istinbat
terhadap hukum yang tidak ada nashnya berdasarkan kemampuan potensial mereka dalam
membina hokum syari’at Islam yang terpusat di dalam jiwa mereka yang disebabkan akrabnya
mereka dengan Rasulullah di dalam pergaulan. Selain itu, para sahabat juga ikut menyaksikan sebab-
sebab turunnya Al-Qur’an dan sebab-sebab dikeluarkannya hadits, serta memahami maksud dan
tujuan syari’ (pembuat hukum, yakni Allah) disamping prinsip-prinsip pembentukan hukum Islam.
Demikian setelah waktu lama dari awal pembentukan hukum Islam, banyak terjadi
perdebatan antara Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu. Banyak juga orang yang hanya berdasarkan
keberanian mengeluarkan suatu hujjah yang tidak pantas sebagai hujjah, bahkan menolak hujjah
yang sebenarnya. Kondisi ini mendorong peletakan batasan-batasan dan bahasa tentang dalil
syar’iyyah dan syarat-syarat atau cara menggunakan dalil-dalil. Seluruh pembahasan tentang
penggunaan dalil, batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa ini yang disebut sebagai ilmu ushul
fiqh.

Namun, ilmu tersebut tumbuh dalam kondisi yang sangat sederhana. Kemudian, secara
bertahap ilmu tersebut tumbuh semakin meningkat sehingga mencapai usia 200 tahun. Sejak itu,
mulailah ilmu itu berkembang dengan pesatnya, tersebar dan memencar bersama berkembangnya
hukum Fiqh, sebab setiap Imam mujtahid , baik Imam yang empat atau yang lainnya, selalu memberi
petunjuk dengan dalil hukum yang disertai dengan ilmu Ushul Fiqh dan arahan pengambilan dalil
dengan ilmu itu juga. Sedang para mujtahid yang tidak menggunakan cara tersebut, berarti telah
membuat hujjah dengan jalan yang menyimpang. Padahal, semua pengambilan dalil dan
penggunaan hujjah selalu mengandung kaidah-kaidah Ushul.[5][5]

Orang pertama yang menghimpun kaidah-kaidah yang berserakan itu, ialah Imam Abu Yusuf,
seorang pengikut setia Imam Abu Hanifah. Hal ini, dikatakan oleh Ibnu Nadim dalam kitabnya yang
bernama Al Fahrasat. Namun sangat disayangkan catatan-catatan tersebut tidak sampai ketangan
kita. Oleh ahli ushul fiqih dianggap yang pertama mengumpulkan dan menyusun ilmu ini adalah
Imam Syafi’i dalam kitabnya yang bernama Ar-Risalah. Dan setelah itu, muncullah para penulis lain
yang melengkapi dan menyempurnakannya seperti Imam Ghazali dalam kitabnya yang bernama Al-
Mustasyfa, Al-Amidi dalam kitabnya yang bernama Al-Minhaj yang disyaratkan oleh Asnawi.[6][6]

Dari kalangan madzhab Hanafi yang terkenal Abu Zaid Al Dabbas dalam kitabnya yang
bernama Ushul, Fadhul Islam Al Basdawi dalam kitabnya yang bernama Ushul dan Nasafi dalam
kitabnya yang bernama Al Manar. Disamping itu lahirlah pula kitab yang bernama Badi’un Nizam Al
Jami Baina Bazdawi wal’itisom oleh Muzafaruddin Al Baghdadi Al Hanafi, kitab tahrir oleh Kamal bin
Humam dan kitab Jam’ul Jawani oleh Ibnu Subki.

Di abad sekarang ini ada pula beberapa buah kitab yang ditulis oleh beberapa ulama’,
diantaranya kitab Irsyadul Fuhul oleh Syaukani, kitab Ushul Fiqh oleh Hudari Bek, kitab Tahsilul
Wushul oleh Muhammad Abdurrahman Mahlawi. Dan masih banyak kitab-kitab Ushul Fiqh yang
lainya.
PENUTUP

Kesimpulan

a. Periodisasi Ushul Fiqh pada masa Nabi, Sahabat, Tabi’in dan Imam Madzab

Para ushuliyyin menyatakan bahwa ushul fiqh itu sendiri bersamaan hadirnya dengan fiqh,
yakni sejak zaman Nabi SAW. Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat karena persoalan yang
mereka hadapi semakin berkembang, sedangkan Al-qur’an dan sunnah telah selesai turun seiring
dengan wafatnya Nabi SAW.Periode Sahabat, pada masa ini kajian tentang fiqih mulai dirumuskan,
yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk
melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk
berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan
belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal
sekarang.PeriodeTabi’in dan Imam Madzab, dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi
sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang
dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Alquran dan sunnah,
mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-
Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi
sahabat.

b. Latar Belakang Terbentuk dan Tumbuh Berkembangnya Ushul Fiqh

Ilmu Ushul Fiqh, lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah
memang tidak diperlukan karena keberadaan Rasulullah SAW. masih bisa mengeluarkan fatwa dan
memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran Alqur’an, Sunnah dan apa yang diwahyukan kepada
beliau. Namun ketika dunia Islam semakin berkembang luas dengan hasil kemenangan yang diraih,
dan bangsa Arab telah banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, sehingga timbul interaksi bahasa
lisan dan tulis-menulis, maka beberapa sinonim dan gaya bahasa Arab tercampur dengan bahasa
lain. Sebagai akibatnya, naluri bahasa mereka menjadi tidak murni lagi. Demikian setelah waktu lama
dari awal pembentukan hukum Islam, banyak terjadi perdebatan antara Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu.
Banyak juga orang yang hanya berdasarkan keberanian mengeluarkan suatu hujjah yang tidak pantas
sebagai hujjah, bahkan menolak hujjah yang sebenarnya. Kondisi ini mendorong peletakan batasan-
batasan dan bahasa tentang dalil syar’iyyah dan syarat-syarat atau cara menggunakan dalil-dalil.
Seluruh pembahasan tentang penggunaan dalil, batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa ini yang
disebut sebagai Ilmu Ushul Fiqh.
DAFTAR PUSTAKA

Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. 2011.

Dahlan , Abd. Rahman. Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. 2011.

Karim A, Syafi’I, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997.

Wahab, Abdul khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996. 07102021 14.25

http://arinkristiani.blogspot.com/2016/12/sejarah-perkembangan-ushul-fiqh.html

Anda mungkin juga menyukai