Tajuk 1
1.0
SINOPSIS
Dalam unit ini, beberapa aspek penting yang hendak disentuh untuk
perbincangan, khususnya mengenai konsep dan definisi, Sejarah
pertumbuhan,Kaedah penulisan,Sumber ilmu usul Fiqh dan faedah
mempelajarinya.
1.0.1
HASIL PEMBELAJARAN
1 Dapat menghuraikan konsep ilmu Usul Fiqh,sejarah pertumbuhannya.
2 Supaya mengetahui sejarah perkembangan ilmu Fiqh dan usul Fiqh secara
mendalam.
3 Mengetahui faedah mempelajari ilmu Usul Fiqh dan mengamalkannya.
1.0.2
KERANGKA TAJUK
Definisi
Cara
Penulisan
Sejarah
perkembangan
Fiqh
Faedah mempelajari
Ilmu Usul Fiqh
Sumber
Ilmu Fiqh
yang
demikian
itu
tidak
dinamakan
fiqh
secara
istilah.
1.0.4
kalangan para Sahabat seperti Saidina Abu Bakar as-Siddiq, Saidina Umar bin
al-Khattab, Saidina Uthman bin Affan dan Saidina Ali bin Abu Talib. Sekiranya
mereka mencapai kata sepakat dalam sesuatu hukum maka berlakulah ijma.
Pada zaman ini, cara ulama mengambil hukum tidak jauh berbeza
dengan zaman Sahabat kerana jarak masa mereka dengan kewafatan
Rasulullah S.A.W. tidak terlalu jauh. Yang membezakannya ialah sekiranya
sesuatu hukum tidak terdapat dalam al-Quran, as-Sunnah dan al-Ijma, mereka
akan merujuk kepada pandangan para Sahabat sebelum berijtihad. Oleh sebab
itu, idea untuk menyusun ilmu Usul al-Fiqh belum lagi muncul ketika itu. Inilah
cara yang digunakan oleh para mujtahid dalam kalangan tabiin seperti Said bin
al-Musayyib, Urwah bin az-Zubair, Al-Qadi Syarih dan Ibrahim an-Nakhai.
Pada akhir Kurun Kedua Hijrah, keadaan umat Islam semakin berubah.
Bilangan umat Islam bertambah ramai sehingga menyebabkan berlakunya
percampuran antara orang Arab dan bukan Arab. Kesannya, penguasaan
bahasa Arab dalam kalangan orang-orang Arab sendiri menjadi lemah. Ketika itu
timbul banyak masalah baru yang tiada ketentuan hukumnya dalam al-Quran
dan as-Sunnah secara jelas. Hal ini menyebabkan para ulama mulai menyusun
kaedah-kaedah tertentu yang dinamakan ilmu Usul al-Fiqh untuk dijadikan
landasan kepada ijtihad mereka.
Ilmu Usul al-Fiqh disusun sebagai satu ilmu yang tersendiri di dalam
sebuah kitab berjudul ar-Risalah karangan al-Imam Muhammad bin Idris asSyafie. Kitab ini membincangkan tentang al-Quran dan as-Sunnah dari segi
kehujahan serta kedudukan kedua-duanya sebagai sumber penentuan hukum.
Sejarah Perkembangan Fiqh
Terdapat perbezaaan zaman fiqh di kalangan ulama fiqh. Muhammad
Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam
periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan
Muhammad Khudari Bek tersebut sebenarya bisa dibagi dalam dua periode,
5
karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi menurut azZarqa adalah sebagai berikut:
Zaman risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya
Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum
sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah
Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan
syarat, kerana penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang
kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibahagi menjadi periode Makkah dan periode
Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada
masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak
jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah
untuk
mengubah
sistem
kepercayaan
masyarakat
jahiliyah
menuju
Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin
banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnik dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya,
moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal
ini terjadi kerana daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan
masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menentang
para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalanpersoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu,
para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak
dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi
SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula
jawabannya, mereka melakukan ijtihad..
Zaman awal pertumbuahn fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H.
Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu
disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai
daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidin (terutama sejak Usman bin Affan
menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan
ijtihad hukum yang berbeza antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
Di Irak, Ibnu Mas'ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan
hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak
jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah).
Saat itu, di Irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia,
sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi
berbagai masalah hukum, Ibnu Mas'ud mengikuti pola yang telah di tempuh
Umar bin al-Khattab, iaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan
umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil
7
Umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas'ud karena situasi dan kondisi masyarakat
ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini,
penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. dari perkembangan
ini muncul madrasah atau aliran ra'yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra'yi).
Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit
(11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar)
bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu.
Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum
adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam
menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, iaitu
berpegang kuat pada Al-Qur'an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan
kerana di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan,
sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh
kerananya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai
persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak.
Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cekal
bakal bagi munculnya aliran ahlulhadits. Ibnu Mas'ud mempunyai murid-murid di
Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang
dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin
Qais an-Nakha'i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; alHasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin
Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah
bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id bin
Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya
Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126
H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di
Yaman. Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi
thabi'in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum
di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh
mengikuti nama para thabi'in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh an-Nakha'i,
fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri.
8
Zaman keemasan
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad
ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam
periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri
khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi di
kalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan
berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama,
tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung
pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang
kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang
ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong
fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi
persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah
terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah
786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan alMa'mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam
Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi,
keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi
permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika
Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775) menjadi khalifah, ia juga meminta
Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi
pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun
bukunya yang berjudul al-Muwaththa' (Yang disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan
ahlur ra'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi
masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode
ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, iaitu Mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi'i, dan Hambali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis
9
masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi
yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok
ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaedah ra'yu
yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini,
maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu yang dimaksudkan
ahlurra'yi,
sekaligus
menerima
ra'yu
sebagai
salah
satu
cara
dalam
mengistinbatkan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga
dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asySyaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hijaz untuk
mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits.
Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Di
samping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat
mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua
aliran yang didasarkan atas hadits dan ra'yu. Periode keemasan ini juga ditandai
dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang
paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, alUmm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam
asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah arRisalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun
bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
Zaman tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad
ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang
dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam kritikan, memperjelas dan
mengulas
pendapat
para
imam
mereka.
Periode
ini
ditandai
dengan
melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak
10
berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka
masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi.
Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari
prinsip mazhab yang mereka anuti. Ertinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus
sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan
prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang
berani melakukan ijtihad secara sendirian, muncullah sikap at-ta'assub almazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama
berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk
pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya,
paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan
perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang
disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan
(kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di
kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang
memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku
itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktiviti ijtihad terhenti.
Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan
oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai
persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul
sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih
jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antara pengikut mazhab semakin tajam, sehingga persoalan
mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu
11
persoalan. Sikap ini amat jauh berbeza dengan sikap yang ditunjukkan oleh
masing-masing imam mazhab, kerana sebagaimana yang tercatat dalam sejarah
para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka.
Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih banyak
berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab masingmasing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang
bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis
sebelumnya dalam masing-masing mazhab.
Zaman kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya
Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26
Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari
perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode
ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara
membabi buta.Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan
terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masingmasing. Penjelasan yang dibuat boleh berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari
buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir
(memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab),
tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam
mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativiti ilmiah
secara sendiri untuk kesesuaian perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan
satu-satunya yang boeh dikesan dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk
mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitabkitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahawa ada tiga ciri
perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
12
seperti
diberlakukannya
istilah
at-Taqaddum
(kedaluwarsa)
di
pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum
(fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya
maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini
lemah, namun kerana sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul
ketentuan dikalangan ulama fiqh bahawa ketetapan pihak penguasa dalam
masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa
melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk
transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan
tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan
transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya,
seseorang yang berhutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang
berjumlah sama dengan hutangnya tersebut, kerana hal itu merupakan indikator
atas sikapnya yang tidak mahu melunaskan hutang tersebut. Fatwa ini
dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan
Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya
menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
o Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai
mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah
Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi
hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh
Mazhab Hanafi
13
1.0.6
al-Fiqh. Cara penulisan ini terbahagi kepada tiga, iaitu Tariqah al-Mutakallimin (
) , Tariqah al-Ahnaf () , dan Tariqah al-Muta'akhirin (
).
Tariqah al-Mutakallimin
Cara penulisan Tariqah al-Mutakallimin juga dikenali sebagai Tariqah
Syafi'iyyah ( ) kerana cara ini dipelopori oleh ulama' Mazhab Syafi'e. Di
dalam
cara
ini,
mereka
membuat
kaedah-kaedah
Usul
al-Fiqh
dan
14
Disebabkan itu, didapati banyak masalah fiqh yang dimasukkan dalam kitabkitab yang ditulis mengikut cara ini.
Antara kitab yang ditulis menurut cara ini ialah:
1. Al-Usul ( )oleh Abu Bakr Ahmad bin 'Ali atau dikenali sebagai alJassas.
2. Al-Usul ( )oleh Abu Zaid 'Abdullah bin 'Umar ad-Dabusi.
3. Al-Usul ( )oleh Fakhr al-Islam 'Ali bin Muhammad al-Bazdawi.
4. Kasyf al-Asrar ( ) oleh 'Abd al-'Aziz bin Ahmad al-Bukhari.
Tariqah al-Muta'akhirin
Cara penulisan Tariqah al-Muta'akhirin menggabungkan cara penulisan Tariqah
al-Mutakallimin dan Tariqah al-Ahnaf. Cara ini kemudiannya diikuti oleh ulama'
dari berbagai-bagai mazhab seperti Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'e dan Mazhab
Hanbali.
Antara kitab yang ditulis mengikut cara ini ialah:
1. Badi' an-Nazam ( ) oleh Muzaffar ad-Din Ahmad bin 'Ali as-Sa'ati
al-Hanafi.
2. At-Tanqih ( )dan syarhnya at-Taudih ( )oleh Sadr as-Syari'ah
'Abdullah bin Mas'ud al-Mahbubi al-Hanafi.
3. Jam' al-Jawami' ( ) oleh al-Imam Taj ad-Din 'Abd al-Wahhab bin
'Ali as-Subki as-Syafi'e.
1.0.6 Sumber Ilmu Fiqh
Sumber sumber fiqh ada yang disepakati dan ada yang diikhtilafi (berbeza
pendapat). Sesuai dengan definisinya dapat diketahui sumber pokok dari fiqh
ada dua, iaitu: kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dan ada sumber yang
dipautkan kepada sumber sumber pokok yang disepakati oleh jumhur fuqaha,
15
yakni: ijma dan qiyas. Sedangkan yang sumber sumber fiqh diikhtilafi yaitu
istihsan ,uruf, mashlahah mursalah dan lain sebagainya.
1.0.7
Mempelajari dan meneliti ilmu Usul Fiqh dapat memberi faedah yang besar, antaranya
ialah:
1.
Untuk mengetahui cara dan bagaimana ulama dan mujtahid mengeluarkan hukum
dan menggunakan ilmu Usul Fiqh dalam menetapkan hukum bagi sesuatu masalah.
2.
Dapat mengetahui bagaimana cara ulama menetapkan sesuatu hukum dan
menetapkan sesuatu hukum dengan berdasarkan dalil-dalil syarak.
3.
Mengeluarkan hukum baru yang sentiasa berubah-ubah mengikut perkembangan
zaman dan keperluan masyarakat.
4. Untuk mengetahui asas-asas bagi hukum syarak dan hikmat-hikmatnya.
5.
Dapat mengetahui cara mengeluarkan hukum daripada dalil sehingga dapat
menentukan hukum terhadap perbuatan mukallaf.
6. Melalui ilmu Usul Fiqh juga boleh mengetahui hukum syarak yang telah dikeluarkan
oleh para mujtahid melalui kaedah usul dan dipadukan dengan pendapat ulamak yang
berselisih di antara mereka untuk mencari yang kukuh dan pendapat yang berpegang
dengan dalil yang paling kuat untuk beramal dengan hukumnya.
7.
Melalui ilmu Usul Fiqh, ulamak yang bertugas mengeluarkan hukum atau fatwa
menjadi mudah bagi mereka untuk mengeluarkan hukum kerana ada landasan dan
panduan. (Abdul Latif Muda dan Rosmawati Ali 2009:10)
1.0.8 Rumusan
16
ISU SEMASA
Gugur Kandungan
Anak yang dikandung yang berkemungkinan cacat HARUS digugurkan
atas nasihat doktor pakar. Sekiranya sudah bernyawa, hukumnya HARAM
digugurkan.
17
Merawat Benih
Benih yang dikenal pasti oleh doktor pakar sebagai cacat/down syndrome
HARUS dirawat oleh doktor supaya bila lahir menjadi anak yang normal.
18
TUGASAN
Soalan latihan.
1. Berikan pengertian Fiqh dan Usul Fiqh pada bahasa dan istilah Syarak.
2. Nyatakan kepentingan umat Islam yang mempelajari ilmu Fiqh dan Usul Fiqh.
Tajuk 2
KAEDAH FIQH
Pengenalan Ilmu Usul Fiqh
2.1
SINOPSIS
Qawaid ialah bahasa Arab dari Qaidah yang memberI erti asas rumah.
19
Qawaid adalah amat penting dalam pengajian ilmu fiqh dan kefaqihan
seseorang itu boleh diukur melalui sejauhmana penguasaannya ke atas Qawaid
fiqh ini.Qawaid fiqh ini mula berkembang sekitar kurun ketiga dan keempat
Hijrah oleh tokoh-tokoh ulama dari beberapa mazhab. Para fuqaha yang
menggubal qaidah fiqh ini kadangkala mengambil teks hadis sendiri untuk
dijadikan qaidah fiqh seperti contoh qaidah dan ada juga yang
dipetik dari kalam atau ungkapan sebahagian Imam mazhab seperti Abu Yusuf
sahabat Abu Hanifah dalam kitabnya al-Kharaj yang ditulis untuk Khalifah Harun
al-Rasyid.
2.2 HASIL PEMBELAJARAN
2.2.1 Pelajar dapat menjelaskan konsep fiqh dan usul fiqh.
2.2.2 Pelajar dapat menerangkan Qawaid Fiqhiyyah yang asas dengan betul.
2.2.3 Pelajar dapat menganalisis isu semasa dalam menentukan pemilihan
Qawaid Fiqhiyyah yang yang betul.
Setiap Perkara
Bergantung Niatnya
Kaedah Fiqh
Kesukaran
Mengandungi
Kemudahan
Kemudharatan
Harus
Dihilangkan
Adat itu boleh dijadikan
hukum
Banyaknya definisi sama ada kerana keluasan ilmu yang mereka miliki
atau kerana luasnya perbincangan ilmu qawaid fiqhiyyah atau berbezanya
pemahaman mereka terhadap ilmu ini. Apabila dibuat penelitian secara
mendalam tentang definisi yang dikemukakan, ada di kalangan ulama yang
memberi definisi kaedah secara umum yang meliputi semua jenis kaedah, sama
ada kaedah usul, kaedah fiqh dan kaedah bahasa.
Ada pula yang memberikan definisi khusus untuk kaedah fiqh sahaja. Di
samping itu ada juga di kalangan ulama yang mengatakan bahawa kaedah fiqah
bukan bersifat kulli dan ada pula yang berpendapat sebaliknya.
2.4.2 Kepentingan Kaedah Fiqh
Memang tidak dinafikan kaedah fiqh mempunyai kepentingan yang amat
besar kepada umat Islam lebih-lebih lagi kepada para ulama yang berkecimpung
dalam bidang yang berkaitan dengan pengeluaran hukum hakam dan fatwa,
seperti para mufti dan hakim. Kepentingan dan faedah mempelajari ilmu ini, telah
banyak diperkatakan oleh ulama-ulama silam dalam karangan mereka dan juga
oleh penulis-penulis semasa. Bagi meringkaskan apa yang telah diperkatakan
oleh mereka, rasanya lebih baik kita perhatikan apa yang pernah disebutkan oleh
ulama silam tentang ilmu ini:
Imam al-Sayuti pernah menyebut dalam kitabnya al-Ashbah wa al-Nazair:
.
Maksudnya: Sesungguhnya Ilmu al-Ashbah Wa al-Nazair suatu ilmu yang
agung, dengannya dapat diketahui hakikat fiqah, tempat pengambilan dan
rahsia-rahsianya mahir dalam memahami fiqh dan menghadirkan masalah,
mampu untuk menyamakan dan mengeluarkan hukum, dapat mengetahui
21
. .
Maksudnya: Sesiapa yang mengawal fiqh dengan kaedahkaedah fiqh maka dia
tidak perlu untuk menghafal banyak cabang kerana cabang tersebut telah
terangkum dalam kuliyyat. . . . . .
Manakala ulama dari mazhab Maliki pula menyebut dalam al-Furuq:
Maksudnya:
Kaedah
ini
penting
bagi
fiqh,
besar
manfaatnyadengan
Islam ialah agama yang mudah dan tidak membebankan umatnya dengan
perkara-perkara yang sukar. Dengan adanya kaedah fiqh, maka ia dapat menarik
umat Islam untuk mendalami ilmu fiqh dengan lebih mudah dalam bentuk baru.
2. Mengeluarkan Hukum Isu-Isu Semasa
a)
b)
Orang yang mengusai kaedah fiqh lebih mudah untuk mencari jawapan
Untuk melahirkan seorang ahli fiqh yang hebat bukannya suatu yang
mudah, tetapi dengan mempelajari kaedah fiqh dan dawabit fiqhiyyah, jalan ke
arahnya lebih terbuka.
b)
2.5
Kaedah ini merupakan salah satu kaedah yang terpenting dari kaedah
fiqh.Maksud kaedah ini ialah setiap amalan dan tindakan seseorang itu samada
23