Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

Mata Kuliah: Ilmu Fiqih


Dosen Pengampu: Anwar Supenawinata, Drs., M.Ag.

RESUME KULIAH

Oleh :
Anisa Zahra Nurokhmah (1226000025)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh

A.  Ilmu Fiqh

Secara etimologi, fiqh berasal dari kata faqqaha yufaqqhihu fiqhan yang berarti
pemahaman. Pemahaman sebagaimana dimaksud disini adalah pemahaman tentang
agama Islam. Dengan demikian, fiqh menunjuk pada arti memahami agama Islam secara
utuh dan komprehensif. Kata fiqh yang secara bahasa berarti pemahaman atau pengertian
ini diambil dari firman Allah Swt:

Artinya: Mereka berkata: "Hai Syu'aib, Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang
kamu katakan itu dan Sesungguhnya Kami benar-benar melihat kamu seorang yang
lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah Kami telah merajam
kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.". (QS. Hud: 91).

Secara istilah, fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum Syar’i yang bersifat amali yang
digali dari dalil-dalil yang terperinci. Fokus pada metode yang digunakan dalam fiqh
yaitu metode ijtihad. Hal itu bisa dipastikan bahwa hampir semua diktum fiqh adalah
produk ijtihad para ulama. Dengan kata lain, kita bisa mengatakan bahwa fiqh adalah
produk ijtihad ulama. Sumber-sumber ilmu fiqh terdiri atas Al-Qur’an, As-Sunnah
(hadits), ijma dan qiyas.

Pembagian hukum fiqh terdiri atas:

a) Hukum yang berkaitan dengan ibadah mahdlah (khusus), yaitu hukum yang
mengatur ibadah manusia dengan Allah SWT seperti sholat, puasa, zakat, dan haji.

b) Hukum yang berkaitan dengan masalah muamalah, yaitu tentang hubungan


sesama manusia. Contohnya yaitu transaksi jual beli dan perserikatan dagang.
c) Hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga (al ahwal asy syakhsiyah),
seperti nikah, talak, rujuk, iddah, dan lain-lain.

d) Hukum yang berkaitan dengan tindak pidana, seperti zina, pencurian,


perampokan, dan masih banyak lagi.

Menurut Abdul Wahab Khallaf (w. 1956 M), salah seorang ulama pakar ushul fiqh
dari Mesir, dalam sejarahnya, fiqih terbagi menjadi tiga periode:

1) Periode pertama adalah pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup. Pada
dasarnya, hukum atas suatu perbuatan sudah terbentuk sejak zaman Rasulullah, sejak
pertama kali Islam itu hadir; karena Islam sendiri sejak awal sudah bermuatan akidah,
akhlak, dan hukum atas perbuatan manusia. Pada periode ini, Rasulullah lah yang
menjadi satu-satunya rujukan fatwa umat Islam. Hukum-hukum fiqih saat itu terdiri
dari hukum Allah dan rasul-Nya dengan acuan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, tidak
mungkin terjadi selisih pendapat hukum saat itu. Karena memang hanya ada satu
pemegang otoritas hukum, yaitu Rasulullah saw.

2) Periode kedua adalah pada masa sahabat Nabi. Rasulullah sudah tidak ada.
Bagaimanapun, problematika sosial akan terus berkembang dan, tentu, hukum Islam
tidak bisa lepas dari hal ini. Pada periode ini banyak persoalan-persoalan agama
muncul yang tidak ditemui pada saat Nabi hidup hidup. Otomatis, para sahabat
melakukan ijtihad, memutuskan perkara, memberikan fatwa, menetapkan hukum
syari’at, dengan tetap mengacu pada hukum periode pertama. Sehingga produk
hukum pada saat itu terdiri dari hukum Allah dan Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan
keputusannya yang bersumber dari Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijtihad sahabat. Pada
periode ini ini juga belum ada kodifikasi fiqih secara khusus.

3) Periode ketiga yaitu periode tabi’in, tabi’ tabi’in, dan para imam mujtahid (abad
kedua dan ketiga Hijriyah). Pada periode ini bukan hanya periodisasi yang menjadi
faktor perkembangan hukum fiqih semakin kompleks, tetapi juga karena semakin
luasnya kekuasaan Islam dan banyaknya pemeluk Islam dari penjuru dunia dengan
pluralitas sosio kultur dan geografis. Tentu, masalah yang dihadapi umat Muslim,
terutama para imam mujtahid, lebih serius. Pada akhirnya, semua itu mendorong para
imam mujtahid untuk memperluas medan ijtihad dan menetapkan hukum syara’ atas
semua peristiwa yurisprudensi Islam serta membuka bahasan dan pandangan baru
bagi mereka. Ketetapan hukum pada periode sebelumnya tetap menjadi acuan periode
ini. Pada periode ketiga ini, hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum Allah dan rasul-
Nya, fatwa dan putusan para sahabat, fatwa imam mujtahid dan hasil ijtihad mereka,
yang bersumber dari al-Qur’an, hadits, ijtihad para sahabat, dan ijtihad para imam
mujtahid.

B. Ushul Fiqh

Ushul fiqih ialah ilmu yang mengkaji tentang dalil fiqih berupa kaidah untuk
mengetahui cara pengguaannya, mengetahui keadaan orang yang menggunakannya
(muttahid) dengan tujuan mengeluarkan hukum amali (perbuatan) dari dalil-dalil secara
terperinci dan jelas.

Objek pembahasannya mengkaji dalil yang masih bersifat umum dilihat dari
ketetapan hukum yang umum pula puncak tujuan mempelajarinya adalah untuk
memelihara agama Islam dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil-dalil syara’,
hingga terhindar dari kecerobohan yang menyesatkan.

Sejarah perkembangan ilmu ushul fiqih terbagi kepada dua periode:

1) Periode ushul fiqih sebelum dibukukan meliputi masa sahabat, masa tabi’in, dan
mujtahid sebelum imam Syafi’i. Sumber hukum pada masa sahabat meliputi al-
Qur’an dan Hadits tetapi ditambah dengan ijtihad sahabat. Kemudian masa tabi’in,
tabi’ al-tabi’in serta imam-imam mujtahid (abad ke-2 dan ke-3 H). Pada masa ini,
istinbat sudah mengalami perluasan dikarenakan banyaknya kejadian yang muncul
akibat bertambah meluasnya wilayah kekuasaan Islam. Sumber hukum yang
digunakan meliputi al-Qur’an, sunah Rasulullah, fatwa sahabat, ijma’, qiyas, dan
maslahah mursalah. Masa sebelum imam Syafi’i dikenal dua tokoh utama: pertama,
Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H), dasar istinbatnya secara berurutan
menggunakan al-Qur’an sunah, fatwa sahabat dan pendapat yang disepakati oleh para
sahabat. Kedua, Imam-Imam Malik bin Anas, selain Al-Qur’an dan Hadits ia
menggunakan praktik ahli Madinah. Imam Malik seperti halnya Imam Abu Hanifah
tidak meninggalkan karyanya dalam bidang ushul fiqih.

2) Periode pembukuan ushul fiqih. Ilmu ushul fiqih tumbuh pada abad kedua hijriah


yang dilatarbelakangi oleh perdebatan sengit antara ahlul hadis dan ahlu al-ra’yi.
Penghujung abad kedua dan awal abad ketiga hijrah muncul Muhammad bin Idris al-
Syafi’I (150 H – 204 H), yang membukukan ilmu ushul fiqih dengan karyanya yang
bernama al-Risalah. Masa pembukuan ini berbarengan dengan masa keemasan Islam
yang dimulai dari masa Harun al-Rasyid(145 H–193 H ). Menurut Abdul Wahab
Khallaf, beliau menyimpulkan bahwa ilmu ushul fiqih berkembang menjadi besar
setelah mencapai perjalanan 200 tahun.

Tiga aliran ilmu ushul fiqh:

a) Aliran Syafi’iyah (Aliran Mutakallimin)

Aliran Syafi’iyah atau sering dikenal dengan Aliran Mutakallimin (Ahli Kalam).
Aliran ini disebut syafi’iyah karena Imam Syafi’i adalah tokoh pertama yang menyusun
ushul fiqih dengan menggunakan sistem ini. Aliran ini disebut aliran mutakallimin karena
dalam metode pembahasannya didasarkan pada nazari, falsafah dan mantiq serta tidak
terikat pada mazhab tertentu dan mereka yang banyak memakai metode ini berasal dari
ulama’ mutakallimin (Ahli Kalam).

Dalam menyusun ushul fiqih, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan didukung
oleh alasan yang kuat, baik berasal dari dari dalil naqli (Al-qur’an dan sunnah) maupun
dalil akli (akal pikiran). Penyusunan kaidah-kaidah ini tidak terikat kepada penyesuaian
dengan furu’. Adakalanya kaidah-kaidah yang disusun dalam ushul fiqih mereka
menguatkan furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka dan adakalanya melemahkan furu’
mazhab mereka.

Aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh
masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini
menggunakan alasan yang kuat, baik dalil aqli maupun naqli. Sebagai akibat dari
perhatian yang terlalu difokuskan pada masalah teoritis, aliran ini sering tidak bisa
menyentuh permasalahan praktis. Aspek bahasa dalam aliran ini sangat dominan, seperti
penentuan tentang tahsin (menganggap sesuatu itu baik dan dapat dicapai akal atau tidak)
dan taqbih (menganggap sesuatu itu buruk dan dapat dicapai akal atau tidak).
Permasalahan tersebut biasanya berkaitan dengan pembahasan tentang hakim (pembuat
hukum syara’) yang berkaitan pula dengan masalah aqidah. Selain itu, aliran ini seringkali
terjebak terhadap masalah yang tidak mungkin terjadi dan terhadap kema’shuman
Rasulullah SAW.

b) Aliran Hanafiyah (Fuqaha)

Aliran ini banyak dianut oleh ulama’ mazhab hanafi. Dalam menyusun ushul fiqih,
aliran ini banyak mempertimbangkan masalah-masalah furu’ yang terdapat dalam
mazhab mereka. Tegasnya, mereka menyusun ushul fiqih sengaja untuk memperkuat
mazhab yang mereka anut. Oleh sebab itu, sebelum menyusun setiap teori dalam ushul
fiqih, mereka terlebih dahulu melakukan analisis mendalam terhadap hukum furu’  yang
ada dalam mazhab mereka. Sistem yang digunakan aliran ini dapat dipahami karena ushul
fiqih baru dirumuskan oleh pengikut mazhab hanafi, setelah Abu Hanifah pendiri mazhab
ini meninggal.

Diantara ciri khas aliran hanafiyyah, bahwa kaidah yang disusun dalam ushul fiqih
mereka semuanya dapat diterapkan. Ini logis karena penyusunan ushul fiqih mereka telah
terlebih dahulu disesuaikan dengan hukum furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka. Ini
tentu berbeda dengan aliran syafi’iyah atau mutakallimin yang tidak berpedoman kepada
hukum furu’ dalam menyusun ushul fiqih mereka. Konsekuensinya, tidak jarang terjadi
pertentangan antara kaidah ushul fiqih Syafi’iyah dengan hukum furu’ dan kadang kala
kaidah yang disusun aliran ini sulit diterapkan.

c) Aliran Muta’akhirin

Aliran yang menggabungkan kedua sistem yng dipakai dalam menyusun ushul fiqih
oleh aliran Syafi’iyah dan aliran Hanafiyah. Ulama-ulama muta’akhirin
melakukan tahqiq terahadap kaidah-kaidah ushuliyah yang dirumuskan kedua aliran
tersebut. Lalu mereka meletakkan dalil-dalil dan argumentasi untuk pendukungnya serta
menerapkan pada furu’ fiqhiyyah.

Para ulama yang menggunakan aliran muta’akhirin ini berasal dari kalangan
Syafi’iyah dan Hanafiyah. Aliran ini muncul setelah aliran Syafi’iyah dan Hanafiyah
sehingga disebut sebagai aliran muta’akhirin. Dalam perkembangan terakhir penyesuaian
kitab ushul fiqih, tampak lebih banyak mengikuti cara yang ditempuh aliran muta’akhirin.

Sumber

https://core.ac.uk/download/pdf/323044877.pdf

https://kumparan.com/berita-hari-ini/ilmu-fiqih-sumber-dan-pembagian-hukumnya-
1v1081tvcGd

https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-perkembangan-ilmu-fiqih-imQ0s

https://elearning.uinsu.ac.id/course/info.php?id=1599&lang=en

https://makalah-jadi.blogspot.com/2015/12/aliran-aliran-dalam-ushul-
fiqih.html#:~:text=Aliran%20Syafi'iyah%20(Aliran%20Mutakallimin),-Aliran
%20Syafi'iyah&text=Dalam%20menyusun%20ushul%20fiqih%2C%20aliran,terikat
%20kepada%20penyesuaian%20dengan%20furu'.

Anda mungkin juga menyukai