Anda di halaman 1dari 5

Ujian Tengah Semester Genap T.A.

2020-2021

Ushul Fiqh

Nama : Naufal Izzul Haq

Program Studi : PAI-II-A

Dosen Pengampu: Dr. Mulyono Najmuddin, M.Pd.I

1. Ushul fikih (bahasa Arab: ‫ه‬--‫ول الفق‬--‫ )أص‬adalah ilmu hukum dalam Islam yang
mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terperinci dalam
rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut.
Perbedaannya yaitu jika ilmu fiqh lebih membahas tentang hadist" yang berkaitan
dengan nabi saw dan sahabatnya, sedangkan ushul fiqh adalah lebih membahas
kepada dalil-dalilnya.
Manfaat mempelajari ushul fiqh:
a. Dengan mempelajari ushul fiqh, akan memungkinkan untuk mengetahui dasar-
dasar para mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat fikihnya. Dengan
demikian, akan dimengerti betul secara mendalam sehingga dengan itu bisa
diketahui sejauh mana kebenaran pendapat-pendapat fikih yang berkembang di
dunia Islam. Pengetahuan seperti ini akan mengantarkan kepada ketenangan
mengamalkan pendapat-pendapat mereka.
b. Dengan studi ushul fiqh, seseorang akan memperoleh kemampuan untuk
memahami ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dan Hadis-hadis hukum dalam
Sunnah Rasulullah, dan mengistinbatkan hukum dari dua sumber tersebut.
Dalam ushul fiqh, seseorang akan memperoleh pengetahuan bagaimana
seharusnya memahami sebuah ayat atau Hadis, dan bagaimana cara
mengembangkannya. Oleh sebab itu, para ulama mujtahid terdahulu, lebih
mengutamakan studi ushul fiqh dari studi fikih itu sendiri. Sebab dengan
mempelajari ushul fiqh seseorang bukan saja mampu memakai melainkan
berarti mampu memproduk fikih.
c. Dengan mendalami ushul fiqh, seseorang akan mampu secara benar dan lebih
baik melakukan muqaranat almazahib alFiqhiyah, studi komparatif
antarpendapat ulama fikih dari berbagai mazhab, sebab ushul fiqh merupakan
alat untuk melakukan perbandingan mazhab fikih.
2. Ruang lingkup pembahasan ushul fiqih terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Hukum syar’i dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dengan rincian sebagai
berikut:
(a) Pembahasan tentang al-Hakim
(b) Khithab at-Taklif
(c) Khithab al-Wadh’i
(d) Qa’idah Kulliyyah
2. Dalil dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dengan rincian sebagai berikut:
(a) Dalil-dalil syar’i
(b) Sesuatu yang diduga sebagai dalil, padahal bukan dalil
(c) Pembahasan tentang bahasa Arab
(d) Pembahasan tentang al-Qur’an dan as-Sunnah
3. Ijtihad dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dengan rincian sebagai berikut:
(a) Pembahasan tentang ijtihad
(b) Pembahasan tentang taqlid
(c) Pembahasan tentang tarjih
3. Perkembangan Ushul Fiqh
1. Masa Nabi Muhammad SAW
Sejak masa Rasulullah bibit-bibit ilmu ushul fiqh sudah terbentuk dan
tumbuh. Pada saat itu, segala perkara ilmu fiqh dikembalikan kepada Rasul.
Pembentukan dan pertumbuhan ilmu Ushul Fiqh berakar kepada Al-Qur’an dan
Sunnah. Perlu di perhatikan bahwa ijtihad Nabi tidak dapat disamakan dengan
ijtihad sahabat dan lainnya, karena ijtihad Nabi sangat terjamin kebenarannya.
2. Masa Sahabat
Paska wafatnya Rasulullah, para Sahabat Nabi berperan besar dalam
pertumbuhan dan pembentukan hukum Islam.
3. Masa Tabi’in
Saat masa Tabi’in daerah Islam semakin meluas dan menimbulkan
permasalahan baru yang membuat metode istinbath semakin meluas dan jelas.
Dikarenakan adanya perbedaan dalam menetapkan hukum, yaitu dari sebuah
maslahat atau melalu Qiyas maka timbullah tiga kelompok utama, yakni
Madrasah Al-Irak, Madrasah Al-Kaufah atau biasa disebut Madrasah Al-Ra’yu
dan Madrasah Al-Madinah atau disebut juga Madrasah Al-Hadits. Pada masa
Tabi’in Uahul Fiqh belum dibukukan.
4. Masa Imam-imam Mujtahid sebelum Imam Syafi’i
Pada masa ini, banyak tambahan metode pengalihan hukum dan tentu saja
diikuti dengan bertambahnya kaidah-kaidah istinbath hukum serta teknis
penerapannya.
5. Pembukuan Ushul Fiqh
Pada saat akhir abad kedua dan juga awal abad ketiga, pendiri mazhab
Syafi’I, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204H) meramu dan
mensistemasi serta membukukan Ushul Fiqh. Kitab berjudul Al-Risalah
(sepucuk surat) adalah bukti jika beliau telah membukukan ilmu Ushul Fiqh.
6. Ushul Fiqh Pasca Syafi’i
Pada abad ketiga banyak karya ilmiah dalam bidang Ushul Fiqh, karena
kitab Al-Risalah menjadi bahan bahasan oleh para ulama Ushul Fiqh. Hal ini
dibahas dengan tanpa mengurangi atau mengubah apa yang dkemukakan oleh
Imam Syafi’i dan ada pula yang menganalis pendapat Imam Syaf’I ini. Contoh
karya ilmiah yang dimaksud adalah buku Al-Nasikh wa Al-Mansukh yang
diciptakan oleh Ahmad bin Hanbal(164-241H), yaitu pendiri mazhab Hanbali.
Ulama ilmu Ushul Fiqh mengungkapkan bahwa Ushul Fiqh telah mendapatkan
bentuknya yang sempurna. Hal ini menyebabkan generasi-generasi setelahnya
cenderung akan menggunakan metode yang dapat sesuai dengan masalah yang
ada pada zaman masing-masing.

Dalam sejarah perkembangan ushul fiqih dikenal tiga aliran yang berbeda.
Masing-masing aliran memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyusun dan
membangun teori yang terdapat dalam ushul fiqih. Ketiga aliran itu ialah Aliran
Syafi’iyah (Aliran Mutakallimin) dan Aliran Hanafiyah dan Aliran Muta’akhirin.
4. a. Secara etimologi kata hukum (alhukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”.
Menurut terminologi ushul iqh, hukum (alhukm) berarti:
‫خطاب اه امتعلق بأفعال امكلفن با ل قتضاء أو التخير أوالوضع‬
“Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa
iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk
meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara
melakukan dan tidak melakukan), atau wadl’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu
sebagai sebab, syarat, atau mani’ [penghalang]).”
b. Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum.” Dalam
istilah ikih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskkan hukum di
pengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul iqh, kata
hakim di sini berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
Ulama ushul iqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari
hukum syariat adalah Allah. Hal itu ditunjukan oleh Al-Qur’an dalam surah al-
An’aam (6) ayat 57 yang artinya: Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.
Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling
baik.
c. Mahkum fih berarti “perbuatan orang mukalaf sebagai tempat menghubungkan
hukum syara’”. Misalnya, dalam surat alMaaidah (5) ayat 1 Allah berfirman
yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.
(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukumhukum menurut
yang dikehendaki-Nya.
d. Mahkum ‘alaih berarti “orang mukalaf (orang yang layak dibebani hukum
taklifi).”
5. A. Dharuriyyat adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan
kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam
keselamatan umat manusia. Contoh: kalau pembunuhan dibiarkan terjadi dan dan
tidak ada perlindungan terhadap nyawa manusia, maka kehidupan manusia
dipermukaan bumi akan terancam, karena tidak bisa hidup tentram, bahkan bisa
membawa kepada kepunahan, karena bisa jadi akan saling membunuh dengan
alasan yang sepele atau hanya dengan alasan untuk memuakan dendam.
B. Al-hajiyyat Keperluan dan kebutuhan ini ada untuk hidup tidak terlalu susah,
dan kalaupun tidak ada maka sebagian manusia akan berada dalam kesulitan tapi
tidak sampai kepada tingkat menyebabkan kepunahan atau sama sekali tidak
berdaya. Contoh: keperluan rumah yang bersifat al-dharuriyyat karena manusia
memerlukan untuk berlindung dari cuaca, atau dari serangan binatang buas dan
lain-lain, tempat yang masuk dalam kategori al-dhaririyyat untuk memenuhi
kebutuhan dasariah diatas tidak musti rumah yang dibuat dari kayu, atau batu yang
kokoh, gua atau cabang-cabang kayu, kemah atau pondok yang seadanya pun dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasariah, karena manusai dapat berlindung
didalamnya walaupun tentunya dengan cara yang sederhana dan boleh jadi sama
sekali tidak memberikan kemudahan dan kenyamanan. Jadi keperluan rumah yang
dibuat secara khusus dengan dinding dan atap yang kuat serta lantai
yang hangat yang dibagi kepada kamar-kamar dengan fungsin dan kegunaan yang
berbeda masuk kedalam kategori al-hajiyyat.
c. Al-tahsiniyyat Adalah (tersier) yaitu semua keperluan dan perlindungan yang
diperlukan agar kehidupan menjadi nyaman dan lebih nyaman lagi, mudah dan
lebih mudah lagi, lapang dan lebih lapang lagi, begitu seterusnya. Dengan istilah
lain adalah keperluan yang dibutuhkan manusia agar kehidupan mereka berada
dalam kemudahan, kenyamanan, kelapangan. Contoh: tidur diatas kasur, memasak
makanan, menyediakan berbagai berbagai jenis bumbu, menciptakan dan
menggunakan berbagai alat untuk transportasi.

Anda mungkin juga menyukai