Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqih atau hukum Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang
sangat dikenal oleh masyarakat dan melekat dalam kehidupan umat Islam. Hal ini
disebabkan karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Sejak
lahir hingga meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Fiqih
mengatur kehidupan manusia mulai dari urusan ibadah, muamalah, jinayah
(tindak pidana), hingga urusan pertahanan negara dan peperangan. Oleh karena
itu, fiqih sering pula disebut ilmu al-hal yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah
laku manusia dalam berbagai aspek kehidupan.
Adanya fiqih yang mengatur hampir seluruh aspek kehidupan manusia itu
menunjukkan bahwa fiqih memiliki keterlibatan dan kepedulian yang luar biasa
terhadap kehidupan manusia yaitu dengan cara memberikan status hukum pada
setiap aspek kehidupan manusia sehingga hukum suatu perbuatan menjadi jelas
dan adanya kepastian utnuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Keadaan fiqih yang demikian itu tampak inheren atau menyatu dengan
misi agama Islam yang kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia agar
tercapai ketertiban dan keteraturan. Kenyataan manusia sebagai makhluk sosial
juga mendorong dan menuntut adanya kaidah-kaidah untuk mengatur kehidupan
manusia sehingga tidak akan terjadi pertentangan karena pemenuhan hak-hak
tersebut.
Situasi dan kondisi masyarakat yang dinamis dan berbeda-beda antara satu
daerah dengan daerah lainnya telah menuntut para ahli fiqih untuk mampu
memberikan jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam.
Dengan demikian, fiqih menjadi sangat dinamis dan begitu juga halnya dengan
sumber-sumber yang digunakan untuk menetapkan hukum tersebut juga
mengalami perkembangan. Pada periode Nabi Muhammad SAW, sumber
hukumnya hanya Al-Qur’an dan hadist. Tetapi pada periode Khulafaur Rasyidin
(sahabat) sumber hukum yang digunakan adalah Al-Qur’an, hadist, dan ijtihad
para sahabat yang disebut ijma’ sahabat. Jadi, sumber hukum yang digunakan
untuk menetapkan suatu hukum terus mengalami perkembangan.
Dengan demikian, fiqih memiliki karakteristik sebagai berikut:

1
1. Fiqih merupakan respon atau jawaban atas berbagai masalah kehidupan
manusia dari segi legalitasnya.
2. Fiqih merupakan akibat dari pelaksanaan fungsi manusia sebagai makhluk
bermasyarakat agar kehidupan masyarakat dapat berjalan tertib, aman,
damai, dan harmonis.
3. Fiqih adalah hasil penalaran bebas terkendali, maksudnya bahwa bebas
dalam menentukan pemikiran yang akan dihasilkan namun harus
dikendalikan oleh berbagai aturan dan kaidah yang bersumber pada nash
Al-Qur’an dan hadist.
4. Fiqih adalah produk pikiran yang sangat dinamis.
5. Dalam perubahan dan dinamika tersebut, selain dipengaruhi oleh
kecenderungan, kecakapan intelektual, integritas, dan kepribadian fuqaha’,
fiqih juga dipengaruhi oleh tradisi, budaya, situasi sosial, ekonomi, politik,
dan paham keagamaan di tempat fiqih tersebut dikembangkan.1
Fiqih sebagai kumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali
(praktis) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci 2 bukanlah sesuatu yang
bersifat dogmatis melainkan sesuatu yang bersifat ijtihadiyah. Ketentuan hukum
dalam fiqih diproses melalui ijtihad. Menurut Imam Al-Amidi, ijtihad adalah
mencurahkan segala kemampuan yang ada untuk mencari hukum syara’ yang
sifatnya dhanni.
Fiqih ini merupakan hasil ijtihad yang telah memakan waktu yang cukup
panjang. Hal ini dapat ditelusuri dari sejarah perkembangan fiqih yang menurut
Harun Nasution, fiqih terbagi ke dalam empat periode yaitu periode Nabi
Muhammad SAW, sahabat, ijtihad serta kemajuan, dan taklid (kemunduran).
Adapun menurut Sobhi Mahmassani, fiqih dibagi ke dalam zaman Nabi SAW,
zaman Khulafaur Rasyidin, zaman dinasti Umayyah, zaman dinasti Abbasiyah,
zaman taklid, dan kebangkitan.3
Dalam sejarah perkembangan fiqih, telah melahirkan begitu banyak faqih
(ahli fiqih) dan mazhabnya. Menurut A. Djazuli, mazhab adalah aliran-aliran
dalam fiqih yang bermula dari perbedaan dalam menggunakan metode ijtihad
sehingga menimbulkan perbedaan pendapat.4

1Abuddin Nata,Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana,2011), h.239.


2Abdul Wahab Afif, Pengantar Studi Perbandingan Madzhab,( Jakarta: Darul Ulum Press,1995), h.8.
3Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, h.244.
4Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Mazhab dalam Hukum Islam, Malang: UIN Malang Pers,2008, hlm.6.
2
Mazhab adalah aliran pemikiran atau perspektif di bidang fiqih. Mazhab
diibaratkan aliran sungai dari mata air yang sama. Di tengah perjalanan, bertemu
dengan aliran sungai lain yang juga bercabang dan beranting. Oleh karena itu,
dalam realitas masyarakat Islam terdapat berbagai mazhab diantaranya adalah
mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam makalah ini, penulis hanya
membatasi pembahasan pada empat mazhab tersebut karena keempat mazhab
tersebut masih berkembang hingga saat ini dan banyak dianut oleh mayoritas umat
Islam.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apa pengertian fiqih/ hukum islam?
2. Bagaimana sejarah pemikiran fiqih/hukum islam?
3. Siapa tokoh-tokoh fiqih/hukum islam dan bagaimana corok pemikirannya?
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan dan maksud yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian fiqih/ hukum islam!
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah pemikiran fiqih/hukum islam
4. Untuk mendeskripsikan tokoh-tokoh fiqih/hukum islam dan bagaimana
corok pemikirannya!

BAB II
PEMBAHASAN

3
A. Pengertian Fiqih
Fiqih berasal dari bahasa Arab faqiha, yafqahu, fiqhan, yang berarti
‘memahami, memikirkan, mempelajari’5
Adapun pengertian fiqih menurut istilah dapat dilihat dari beberapa
pendapat berikut. Abul Wahab Khalaf menyatakan pengertian fiqih sebagai
berikut:

‫الفقه هو جمموعة االحكام الشرعية العملية املكتسبة من ادلتها التفصلية‬


“Fiqih adalah kumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah
(praktis) yang digali dari dalil-dalilnya yang tafsili (terperinci)”.6
Kata amaliyah (praktis) dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqih
hanya menyangkut tindakan manusia yang bersifat amaliyah (praktis). Dengan
demikian, hal-hal yang bersifat nonamaliyah, seperti masalah keimanan atau
aqidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqih dalam pengertian ini. Penggunaan
kata ‘digali’ menunjukkan bahwa fiqih itu adalah hasil suatu proses penggalian,
penganalisaan, dan pengambilan ketetapan tentang hukum. Oleh karena itu,
apabila tidak dalam bentuk hasil suatu penggalian seperti mengetahui sesuatu
yang secara jelas diungkapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tidaklah disebut fiqih.
Fiqih merupakan hasil penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan
oleh nash. Adapun kata ‘tafsili’ dalam definisi tersebut menjelaskan tentang dalil-
dalil yang digunakan oleh faqih (ahli fiqh) atau mujtahid dalam usaha penggalian
hukum.
Al-Amidi mendefinisikan fiqih sebagai ilmu tentang seperangkat hukum-
hukum syara’ yang bersifat furu’iyah (cabang) yang berhasil diperoleh melalui
penalaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat dari fiqih adalah :
1. Fiqih adalah ilmu tentang hukum syara’.
2. Hal yang dibicarakan dalam fiqih adalah hal-hal yang bersifat ‘amaliyah
furu’iyah.
3. Pengetahuan tentang hukum syara’ itu didasarkan kepada dalil-dalil yang
tafsili (terperinci).
4. Fiqih digali dan ditemukan melalui penalaran.7
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya menjelaskan bahwa fiqih adalah
mengetahui hukum-hukum Allah Swt tentang perbuatan dan tindakan manusia
5Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, h. 240.
6Abdul Wahab Afif, Pengantar Studi Perbandingan Mazhab, h.8
7Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007, hlm.44-45.
4
mukallaf dan diambil dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul SAW serta dalil-dalil
yang diakui syara’.8
B. Sejarah Perkembangan pemikiran Fiqih/hukum islam
Ilmu fiqih dengan berbagai ruang lingkup kajiannya bukanlah sesuatu
yang bersifat dogmatis melainkan sesuatu yang bersifat ijtihadiyah. Ilmu fiqih ini
merupakan hasil ijtihad yang memakan waktu yang cukup panjang. Hal ini dapat
ditelusuri dari sejarah perkembangan fiqih. Sejarah perkembangan fiqih dapat
dibagi ke dalam lima periode yaitu periode Nabi Muhammad SAW, periode
Khulafaur Rasyidin (sahabat), periode Umayyah dan Abbasiyah, periode taqlid
(penutupan pintu ijtihad), dan periode kebangkitan.
1. Ilmu fiqih pada periode Nabi Muhammad SAW
Pada periode Nabi Muhammad SAW ini, sumber hukum Islam yang
utama yaitu Al-Qur’an masih dalam proses turun yang memakan waktu kurang
lebih 23 tahun (tepatnya 22 tahun, 2 bulan, 22 hari). Proses turunnya Al-qur’an ini
dilakukan dengan cara berangsur-angsur. Berdasarkan wahyu yang diturunkan
itulah, Nabi Muhammad SAW menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul
dalam masyarakat Islam pada waktu itu. Namun adakalanya timbul persoalan
hukum dalam masyarakat yang cara penyelesaiannya belum terdapat di dalam Al-
Qur’an. Dalam keadaan demikian, maka Nabi Muhammad SAW
menyelesaikannya dengan menggunakan ijtihad atau pendapat yang dihasilkan
dari pemikiran yang mendalam. Apabila hasil ijtihad Nabi Muhammad SAW itu
benar, maka tidak lagi mendapat tentangan dengan turunnya ayat Al-Qur’an untuk
memperbaikinya. Namun apabila hasil ijtihadnya tidak benar, maka akan turun
ayat untuk menjelaskan hukum yang sebenarnya. Oleh karena itu, ijtihad nabi
dipandang mendapat lindungan dari Allah dan tidak akan salah (al-ma’shum).
Ijtihad yang dibuat nabi diturunkan kepada generasi-generasi selanjutnya melalui
sunnah yang selanjutnya disebut pula hadits. Dengan demikian, sumber hukum
yang terdapat pada periode Nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur’an dan sunnah
Nabi.
2. Ilmu fiqih pada periode Khulafaur Rasyidin (sahabat)
Pada periode sahabat, persoalan hukum yang harus diselesaikan semakin
luas dan berkembang serta lebih sulit untuk diselesaikan. Hal ini disebabkan
karena pada periode ini daerah yang dikuasai Islam semakin bertambah luas dan
termasuk ke dalamnya daerah-daerah yang di luar Semenanjung Arabia yang telah

8Abdul Wahab Afif, Pengantar Studi Perbandingan Mazhab, h..13.


5
mempunyai kebudayaan yang tinggi dan susunan masyarakat yang tidak
sederhana dibandingkan dengan masyarakat Arab saat itu.
Dalam menyelesaikan persoalan hukum yang demikian berat, luas, dan
baru itu para sahabat menggunakan Al-Qur’an dan sunnah sebagai rujukan utama.
Namun demikian, penggunaan Al-Qur’an sebagai rujukan utama dalam
menyelesaikan persoalan fiqih tidak mengalami masalah yang berarti karena Al-
Qur’an telah dihafal oleh para sahabat dan telah dibukukan pada zaman Abu
Bakar ra. Akan tetapi berbeda halnya dengan masalah sunah. Penggunaan sunnah
sebagai rujukan utama dalam menyelesaikan masalah fiqih bukanlah suatu hal
yang mudah. Hal ini disebabkan karena sunnah tidak dihafal dan belum
dibukukan pada waktu itu. Sehingga timbullah hadist-hadist yang diragukan
berasal dari Nabi SAW yang selanjutnya dikenal sebagai hadist buatan.
Persoalan lainnya adalah bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan
dengan hukum hanya berjumlah 368 ayat. Oleh karena itu tidak semua persoalan
hukum dapat dikembalikan pada Al-Qur’an atau sunnah. Untuk menyelesaikan
persoalan yang tidak dijumpai dalam kedua sumber hukum ini, maka khalifah dan
para sahabat mengadakan ijtihad. Namun karena turunnya wahyu sudah berhenti
dan para sahabat tidak mengetahui apakah hasil ijtihadnya benar atau salah
sehingga untuk menguatkan hasil ijtihadnya itu maka dipakailah ijma’ atau
konsensus sahabat. Dalam hal ini, khalifah tidak memutuskan sendiri mengenai
ketentuan hukumnya tetapi terlebih dahulu bertanya kepada para sahabat.
Keputusan yang diambil dengan suara bulat (konsensus) dipandang lebih kuat
daripada keputusan yang dibuat oleh satu atau beberapa orang saja. Pada zaman
Abu Bakar, konsensus masih dapat dilakukan karena tempat tinggal para sahabat
masih berdekatan. Akan tetapi penyelenggaraan konsensus pada zaman Umar
sudah sangat sulit untuk dilaksanakan karena para sahabat telah tersebar di
berbagai daerah yang berada di bawah kekuasaan Islam akibat adanya ekspansi
wilayah seperti Mesir, Suriah, Irak, dan Persia. Namun demikian, karena para
sahabat masih mempunyai wibawa yang besar sebagai akibat dari kedekatan para
sahabat dengan Nabi Muhammad SAW, maka ijtihad para sahabat dapat diterima
oleh umat. Dengan demikian, sumber hukum pada periode Khulafaur Rasyidin
(sahabat) menjadi tiga yaitu Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ sahabat.
Para ahli fiqih dari kalangan sahabat ini antara lain Umar bin Khattab, Ali
bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Umar di Madinah; Abdullah

6
bin Abbas di Mekah; Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Anas bin Malik di Bashrah,
Mu’az bin Jabal di Suriah, dan Abdullah bin ‘Amr al-Al-‘Aas di Mesir.
3. Ilmu Fiqih pada periode Umayyah dan Abbasiyah
Pada periode ini, yang juga disebut sebagai periode ijtihad, persoalan
hukum semakin bertambah kompleks dan luas. Hal ini terjadi karena wilayah
Islam semakin luas, hingga mencapai Afrika, Spanyol, dan Asia Tengah. Selain
itu, hal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu agama, ilmu umum,
kebudayaan, dan peradaban yang semakin berkembang pula. Pada masa ini
kegiatan pengumpulan, penyeleksian, pembuatan hadits palsu, dan pembukuan
hadits semakin berkembang. Demikian pula ilmu di bidang bahasa Arab, ilmu Al-
Qur’an, dan ilmu hadits dengan berbagai cabangnya yang juga semakin
berkembang. Demikian pula dengan berbagai adat istiadat, tradisi, dan sistem
kemasyarakatan yang terdapat di berbagai daerah tersebut makin beragam.
Keadaan ini memberikan pengaruh yang besar bagi perkembangan hukum Islam.
Problema hukum yang dihadapi umat makin beragam pula. Untuk mengatasi
keadaan ini, para ulama semakin meningkatkan ijtihadnya dengan berdasarkan
pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan ijma’ Sahabat. Pada periode inilah lahir para
ahli hukum (mujtahid) yang selanjutnya dikenal sebagai imam atau faqih dalam
Islam. Dan empat mazhab yang dikenal saat ini yaitu mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali juga lahir pada periode ijtihad ini.
4. Ilmu fiqih pada periode taqlid atau penutupan pintu ijtihad
Periode ini dapat pula disebut periode kemunduran dalam sejarah
kebudayaan Islam, yang dimulai sejak abad keempat hijriah (kesebelas masehi).
Pada masa ini, mazhab yang empat telah memiliki kedudukan yang stabil dalam
masyarakat dan perhatian bukan lagi ditujukan kepada Al-Qur’an, As-Sunah, dan
sumber-sumber hukum Islam tersebut, melainkan pada buku-buku fiqih yang
ditulis oleh para ulama fiqih. Ulama-ulama mempertahankan mazhab imamnya
masing-masing dan menganggap mazhab imamnyalah yang terbenar dan yang
lainnya kurang benar. Dengan demikian perhatian dipusatkan pada usaha
mempertahankan kebenaran mazhab masing-masing.
Dalam hubungan ini, Sobhi Mahmassani mengemukakan sebagai berikut:
Pada masa terakhir dari kekuasaan daulah Abbasiyah, perkembangan ilmu
fiqih mulai terhenti. Ulama-ulama pada waktu itu sudah merasa cukup dengan
pengumpulan karya-karya mazhab saja dan mereka membatasi diri dalam ijtihad
hanya pada soal-soal furu’ belaka. Setelah jatuhnya Baghdad pada pertengahan
7
abad ketujuh hijriah (13M), ulama-ulama fiqih sepakat untuk menutup pintu
ijtihad hanya karena rasa kekhawatiran dengan adanya perselisihan pendapat.
Kemudian peradaban bangsa Arab mulai menurun dan berangsur-angsur
menderita kemundurannya sehingga akhirnya mengalami kemunduran dalam
segala bidang. Disusul pula dengan meluasnya taqlid yang berakibat terhentinya
ijtihad dalam ilmu fiqih. Ulama-ulama fiqih sudah merasa cukup dengan ikhtisar
kitab-kitab syariat, dengan syarah-syarahnya, ataupun kitab fatwa saja. Pada masa
itu, ulama-ulama sekaliber Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam
Hanbali sudah tidak terdapat lagi. Ijtihad yang dijalankan oleh ulama-ulama yang
belum mencapai derajat mujtahid telah membawa kekacauan dalam bidang hukum
di masyarakat. Dalam suasana yang demikian, para ulama melihat perlunya
menutup pintu ijtihad.
5. Ilmu fiqih pada periode kebangkitan
Pada masa itu, yakni abad keempat belas masehi, terdapat sejumlah ulama
yang tidak menerima taqlid. Mereka bangkit menyerukan kewajiban ijtihad
kepada dunia Islam dan menyerukan ajakannya untuk kembali kepada sumber-
sumber syariat yang asli, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ulama-
ulama ini kemudian terkenal dengan sebutan mazhab Salaf, sebagai para mujadid
yang mengadakan pembaruan dari alam taqlid dan penyelewengan ke alam ijtihad
dan keaslian. Mereka itu antara lain Taqiyuddin ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-
Jauziyah.
Selanjutnya pada abad ke-19 Hijriah,lahirlah Jamaluddin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh yang menyerukan kepada dunia Islam untuk meninggalkan
taqlid. Gerakan membuka kembali pintu ijtihad dengan merujuk langsung kepada
Al-Qur’an dan Sunnah ini dilakukan oleh dunia Islam yang bersentuhan dengan
peradaban modern seperti Turki, India, Mesir, dan Indonesia. Tokoh pembaharu
Islam dari Turki seperti Zia Gokalf dan Sultan Mahmud II. Di India terdapat nama
Ahmad Khan dan Sayyid Ameer Ali. Di Mesir terdapat Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha sedangkan di Indonesia terdapat KH.Ahmad Dahlan dan Ahmad
Syurkati.
C. Tokoh-tokoh Fiqih dan corak pemikirannya
Pada pembahasan sebelumnya penulis telah membahas periode-periode
dari perkembangan ilmu fiqih dan perkembangan yang paling pesat terjadi pada
periode Umayyah dan Abbasiyah. Pada masa ini tokoh-tokoh fiqih yang terkenal
hingga saat ini adalah Abu Hanifah (Mazhab Hanafi), Malik ibn Anas (Mazhab
8
Maliki), Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (Mazhab Syafi’i), dan Ahmad ibn
Hambal (Mazhab Hambali).
1. Abu Hanifah al-Nu’man
Abu Hanifah banyak memakai “pendapat” yang dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah al-ra’yu, qiyas, atau analogi serta istihsan yang juga merupakan
suatu bentuk analogi. Abu Hanifah dikenal sangat hati-hati dalam menggunakan
sunnah sebagai sumber hukum. Ia hanya memakai sunnah yang betul-betul
diyakininya orisinal dan bukan sunnah buatan. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai
penganut mazhab ahl al-ra’yi (aliran rasionalis). Selain itu, Abu Hanifah juga
berada di Kufah sehingga tidak banyak menjumpai hadist.
Sumber hukum yang digunakan Abu Hanifah yaitu Al-Qur’an, sunnah
(secara selektif), al-Ra’yu, qiyas, istihsan, dan syar’u man qablana (agama
sebelum kita). Qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa
yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu
kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash karena adanya persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa tersebut.
Sedangkan istihsan adalah menetapkan hukum terhadap suatu masalah yang
menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang
serupa karena ada alasan yang lebih kuat. Adapun syar’u man qablana merupakan
syariat hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku pada para nabi sebelum Nabi
Muhammad SAW seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Musa, dan Nabi
Isa.
Diantara murid Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ibrahim Al-
Anshari (113-182 H) dan Muhammad Ibn Hasan Al-Syaibani (102-189 H).
Mazhab Hanafi resmi dipakai oleh daulah Turki Ustmani, dan pada periode
Abbasiyah banyak dianut di Irak. Sekarang mazhab ini banyak terdapat di Turki,
Suriah, Afghanistan, Turkistan, Bangladesh, Israel, Jordania, Pakistan, Palestina,
dan India. Suriah, Lebanon, dan Mesir juga menggunakan mazhab ini secara
resmi.
2. Malik Ibn Anas al-Asbahi
Malik Ibn Anas al-Asbahi sebagai pendiri mazhab Hanafi lahir pada tahun
713 H dan berasal dari Yaman. Ia tidak pernah meninggalkan kota ini, kecuali
untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Ia meninggal dunia pada tahun
795M. Paman beliau termasuk dalam golongan perawi hadits, dengan demikian
tidak mengherankan kalau Malik ibn Anas menjadi perawi hadits pula dan dalam
9
pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi oleh sunah. Ia pernah belajar pada
sejumlah guru seperti Nafi’, Mawla Abdullah Ibn Umar, Ibnu Syihab Al-Zuhri,
dan Ibn Hurmuz.
Malik Ibn Anas menulis sebuah kitab terkenal “al-Muwatta’”, yang
merupakan kitab hadits dan fiqih. Dalam kitab ini, hadits diatur di dalamnya
sesuai dengan bidang-bidang yang terdapat dalam buku fiqih.
Dalam melahirkan produk hukum, Malik banyak berpegang pada sunnah
Nabi dan ijma’ Sahabat. Jika ia tidak mendapatkan dasar hukum dalam Al-Qur’an
dan sunnah, maka ia menggunakan qiyas dan masalih al-mursalah, yaitu maslahat
umum. Dengan demikian, sumber hukum yang digunakan oleh Imam Malik, yaitu
Al-Qur’an, sunnah, tradisi yang berlaku di kalangan sahabat (qaul al-shahabi),
qiyas, dan al-mashalih al-mursalah. Malik ibn Anas memiliki banyak murid,
diantaranya al-Syaibani, al-Syafi’i, Yahya al-Lais, al-Andalusi, Abd. Al-Rahman
Ibn al-Qasim di Mesir dan Asad Ibn al Furat al-Tunisi, Filsuf Ibn Rusyd dan
pengarang Bidayah al-Mujtahid termasuk pengikut Malik. Mazhab Maliki ini
banyak dianut di Hejaz, Maroko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain,
Aljazair, Gambia, Ghana, Libya, Nigeria, dan Kuwait.
3. Muhammad bin Idris al-Syafi’i
Imam Syafi’i memiliki nama lengkap Muhammad ibn Idris al-Syafi’i lahir
di Ghazza pada tahun 767 M dan berasal dari suku bangsa Quraisy. Ia pernah
belajar pada Sufyan Ibn Uyaynah dan Muslim Ibn Khalid di Mekkah, dan ketika
pindah ke Madinah, ia belajar pada Malik ibn Anas hingga Imam Maliki ini
meninggal dunia.
Dalam menetapkan produk hukum, al-Syafi’i berpegang pada lima sumber
yaitu Al-Qur’an, sunnah Nabi, ijma’ atau konsensus, pendapat sebagian sahabat
yang tidak mengandung perselisihan di dalamnya, serta qiyas.
Murid-murid Imam Syafi’i antara lain di Irak terdapat nama Ahmad Ibn
Hambal, Daud Al-Zahiri, dan Abu Ja’far Ibn Jarir al Tabari. di Mesir terdapat
Isma’il al-Muzani dan Abu Yusuf Ya’qub al-Buwaiti. Abu Hamid al-Ghazali,
Muhy al-Din al-Nawawi, Taqi al-Din Ali Al-Subki, Taj al-Din Abd. Al-Wahhab
Al-Subki dan Jalal al-Din al-Suyuti adalah termasuk ke dalam golongan pengikut-
pengikut besar dari al-Syafi’i. Mazhab Syafi’i banyak dianut di Indonesia,
Ethiopia, Kenya, Malaysia, Singapura, Somalia, Srilanka, Tanzania, dan Yaman.
Bahkan Brunei Darussalam menjadikan mazhab Syafi’i sebagai mazhab resmi
negara.
10
4. Ahmad bin Hanbal
Ahmad Ibn Hanbal lahir di Baghdad pada tahun 780 M dan berasal dari
keturunan Arab. Pada mulanya ia belajar hadits dan banyak mengadakan
perjalanan, tetapi kemudian dia belajar hukum juga. Diantara guru-gurunya
terdapat Abu Yusuf dan al-Syafi’i. Kemudian ia sendiri menjadi guru dan mulai
termasyhur namanya.
Dalam pemikiran hukumnya, Ahmad Ibn Hambal banyak menggunakan
lima sumber yaitu Al-Qur’an, sunnah, pendapat sahabat yang diketahui tidak
mendapat tentangan dari sahabat lain, pendapat seorang atau beberapa sahabat
dengan syarat sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah serta qiyas.
Diantara murid Ahmad Ibn Hambal yaitu Abu al Wafa’ Ibn Aqil, Abd. Al-
Qadir al-jili, Abu al Farraj Ibr, Aljawzi, Muwaffaq al-Din Ibn Qudama, Taqi al-
Din Ibn Taimia, Muhammad Ibn al-Qayyim dan Muhammad Abd. Al-Wahhab.
Penganut mazhab Ahmad Ibn Hambal ini terdapat di Irak, Mesir, Suriah,
Palestina, dan Arabia. Di Saudi Arabia dan Qatar, mazhab ini merupakan mazhab
resmi dari negara.
Dalam makalah ini, penulis hanya menjelaskan contoh-contoh kasus
yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat para imam mazhab dalam
menetapkan hukumnya. Contoh kasus ini banyak terdapat di Indonesia dan sering
menjadi pertentangan di kalangan umat Muslim di Indonesia.
1. Persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan asing (bukan
mahram)
Salah satu masalah yang terdapat perbedaan pendapat di dalamnya adalah
masalah persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan asing yang bukan
mahramnya. Bahkan para imam empat mazhab pun juga berbeda pendapat dalam
menyikapinya. Hal ini didasarkan pada perbedaan dalil yang digunakan dan
perbedaan penafsiran dalam menafsirkan kata /aw lāmastum al-nisāa/ dalam
QS.An-Nisa ayat 43.
Imam Syafi’i menghukumi persentuhan kulit antara laki-laki dan
perempuan asing (bukan mahram) tanpa adanya penghalang sebagai salah satu hal
yang membatalkan wudhu’. Imam Syafi’i berpendapat bahwa menyentuh lain
jenis yang bukan mahram itu dapat membatalkan wudhu’ baik yang menyentuh
maupun yang disentuh. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT yang
artinya: ‘Hai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu mendekati shalat ketika
kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan.
11
Dan janganlah pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub
kecuali sekadar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun
jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air maka
bertayammumlah kamu dengan debu yang baik (suci), usaplah wajahmu dan
tanganmu dengan debu itu. Sungguh Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.’
(QS.An-Nisa’: 43)
Dalam ayat tersebut terdapat dua ketentuan syar’i sebelum mendirikan
shalat. Pertama, kewajiban mandi junub bagi yang berhadas besar dan kedua
tayammum sebagai pengganti wudhu’ bagi orang yang berhadas kecil seperti
setelah buang hajat dan persentuhan kulit lelaki dengan perempuan yang bukan
mahram. Dengan memahami dua hal ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang
dimaksud ‘mulamasah’ (persentuhan) disini bukan persentuhan dalam arti
persetubuhan karena masalah hadas yang disebabkan oleh janabat telah dijelaskan
pada penjelasan sebelumnya yakni harus dengan mandi sedangkan persentuhan
kulit (bukan bersetubuh) cukup disucikan dengan wudhu’ atau tayamum.
Mazhab Maliki juga berpendapat bahwa persentuhan kulit antara laki-laki
dan perempuan yang bukan mahram termasuk salah satu hal yang membatalkan
wudhu’. Hal ini dijelaskan dalam kitab Al-Muwatha’nya Imam Malik. Sebuah
hadist yang artinya: “Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Kecupan seorang laki-
laki atas istrinya dan menyentuh dia dengan tangannya adalah termasuk
‘mulamasah’ (persentuhan). Maka barangsiapa yang mengecup istrinya dan
menyentuhnya dengan tangan maka ia wajib berwudhu’ (jika akan shalat).” Imam
Malik juga mensyaratkan hal lain di antaranya yang menyentuh dan yang disentuh
harus baligh dan ada maksud untuk mencari nikmat atau bersyahwat. Sedangkan
mazhab Syafi’i tidak mensyaratkan banyak hal. Dalam mazhab Syafi’i,
persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram baik
disengaja atau tidak dan bersyahwat atau tidak maka wudhu’nya tetap batal.
Mazhab Hanbali juga menyatakan bahwa persentuhan kulit laki-laki
dengan perempuan dapat membatalkan wudhu’ walaupun dengan mahram
sekalipun. Sedangkan mazhab Hanafi menginterpretasikan ‘mulamasah’
(persentuhan) disini sebagai persetubuhan. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa
salah satu hal yang membatalkan wudhu’ adalah bersetubuh dan bukan hanya
persentuhan kulit saja seperti yang dipahami oleh tiga imam yang lainnya.
2. Membaca basmalah dalam surat Al-Fatihah
12
Dalam masalah ini, para mujtahid terpecah menjadi tiga pendapat. Imam
Malik melarang (tidak menganjurkan) membaca basmalah dalam Fatihah secara
mutlak baik dengan jahr (keras) maupun sirr (pelan) tetapi memperbolehkannya
dalam shalat sunnah. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal
(Imam Hanbali) berpendapat harus membaca basmalah tetapi dengan sirr (pelan)
baik dalam shalat yang jahr (keras) maupun yang sirr (pelan). Adapun Imam
Syafi’i berpendapat wajib membaca basmalah dalam surat Al-Fatihah. Apabila
shalatnya jahr (keras) seperti shalat subuh, magrib, dan isya maka basmalahnya
pun harus jahr (keras). Dan apabila shalatnya sirr (pelan) maka bacaan
basmalahnya pun mengikuti bacaan dalam shalat yang dilakukan secara sirr
(pelan). Perbedaan ini didasarkan pada perbedaan beristinbath dari sunnah-sunnah
Rasulullah SAW dan adanya perbedaan pemahaman yaitu apakah basmalah itu
termasuk ayat dari Al-Fatihah atau bukan.

3. Membaca qunut dalam shalat subuh


Menurut Imam Syafi’i, hukum membaca qunut pada saat shalat subuh
adalah sunat mu’akkad. Artinya apabila qunut pada saat shalat subuh ditinggalkan
maka hal tersebut tidaklah membatalkan shalat namun disunnatkan untuk
melakukan sujud sahwi. Demikian pula mazhab Maliki mensunatkan melakukan
qunut pada saat shalat subuh sedangkan mazhab Hanbali mensunatkan qunut
subuh khusus kepada para imam atau pemimpin bukan kepada rakyat biasa.
Adapun mazhab Hanafi tidak memperkenankan qunut pada saat shalat subuh.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan urain dan analisis yang telah disampaikan pad bab-bab
terdahulu, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Fiqih adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah (praktis) dan furu’iyah (cabang) yang digali dan
ditemukan dari dalil-dalil yang terperinci dan melalui proses ijtihad.
13
2. Sejarah perkembangan fiqih dapat dibagi menjadi lima periode yaitu
periode Nabi Muhammad SAW, periode Khulafaur Rasyidin (sahabat),
periode dinasti Umayyah dan Abbasiyah, periode taqlid atau penutupan
pintu ijtihad, dan periode kebangkitan.
3. Tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam ilmu fiqih sebagai berikut: Abu
Hanifah al-Nu’man (Imam Hanafi), Malik bin Anas al-Asbahi (Imam
Malik), Muhammad bin Idris al-Syafi’i (Imam Syafi’i), Ahmad bin Hanbal
(Imam Hanbali).
B. Saran
Perbedaan merupakan suatu kondisi alami (fitrah) dan rahmat. Begitu juga
halnya dengan perbedaan mazhab dalam Islam. Setiap kelompok diharapkan dapat
menyikapi perbedaan pendapat dan perbedaan mazhab secara bijak dengan tetap
mengutamakan ukhuwah Islamiyah dan tetap dalam koridor etika Islam. Setiap
muslim juga hendaknya terus meningkatkan pemahaman terhadap agama Islam
sehingga seorang muslim tidak hanya mengetahui adanya perbedaan mazhab
dalam Islam tetapi juga mengetahui penyebab terjadinya perbedaan mazhab
tersebut. Seorang muslim juga dituntut untuk memiliki sifat toleransi bermazhab
karena perbedaan pendapat dalam fiqih adalah perbedaan pendapat dalam masalah
cabang agama (furu’) sehingga hal ini hendaknya tidak menyebabkan umat Islam
terpecah. Seorang muslim juga hendaknya meneladani sikap para sahabat yang
tetap bersaudara, saling menghormati, tanpa saling menghujat atau menjatuhkan
walaupun dalam keadaan berbeda pendapat. Setiap muslim juga dapat meneladani
para ulama Islam yang mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan
objektivitas yang tinggi. Para ulama tersebut tetap mendudukkan pendapat mereka
di bawah Al-Qur’an dan hadist, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap
menerima kebenaran dari siapa pun juga. Dapat dikatakan bahwa para ulama ini
telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia sebab kebenaran mutlak
hanyalah milik Allah. Para ulama ini tidak pernah memposisikan pendapatnya
sebagai yang paling benar sehingga wajib untuk diikuti. ‘Pendapatku benar tetapi
memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah tetapi
memiliki kemungkinan untuk benar’. Demikian ungkapan yang sangat popular
dari Imam Syafi’i. Dalam kerangka yang sama, Imam Syafi’i rela berbulan-bulan
tidak membaca qunut dalam shalat subuh ketika menjadi imam di masjid Kuffah,
Irak hanya karena menjaga perasaan dan persatuan makmum masjid Kuffah yang
mayoritas bermazhab Hanafi dan tidak mensunnahkan bacaan qunut dalam shalat
14
subuh. Ungkapan yang cukup indah dari Muhammad Rasyid Ridha dalam
menyikapi perbedaan mazhab ini, ‘Marilah kita tolong menolong pada perkara
yang kita sepakati dan saling menghargai pada perkara yang kita perselisihkan’.

15

Anda mungkin juga menyukai