Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH MUNCULNYA PEMIKIRAN KALAM / TEOLOGI

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata


Kuliah Geneologi Pemikiran Islam pada program
Pascasarjana Prodi Pendidikan Agama Islam Semester 1

Oleh:
KELOMPOK 1

HIZBULLAH SULFIANA
NIM: 861082023017 NIM:861082013024

RAHMAN VIRA SAFITRI


NIM: 861082023038 NIM: 861082023027

Dosen Pengajar:

Prof. Dr. RIDHWAN, S.Ag., M.Ag.

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


swt, karena atas berkah dan limpahan rahmat-Nya yang telah menentukan segala
sesuatu di tangan-Nya, sehingga tak sedikitpun yang lepas dari ketentuan dan
ketetapan- Nya. Serta tidak lupa shalawat dan salam kepada baginda Rasulullah
saw. yang telah menjadi suri tauladan bagi umat manusia.
Kami berterima kasih kepada bapak Prof. Dr. RIDHWAN, S.Ag., M.Ag.
selaku dosen mata kuliah Geneologi Pemikiran Islam dan kepada pihak lain yang
telah mendukung dan membantu selesainya makalah ini. Dengan selesainya
makalah yang kami buat diharapkan dapat memberikan manfaat dan menambah
pengetahuan pembaca.
Makalah ini berjudul “Sejarah Munculnya Pemikiran Kalam / Teologi”
kami susun dengan maksimal dan mendapakan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu,
kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasa serta tidak menutup kemungkinan informasi yang
ada di dalamnya. Oleh karena itu, kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini di masa mendatang, semoga makalah
ini bermanfaat untuk kita semua dan menambah wawasan kita.

Bone, 30 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Masalah 2
BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Aliran Teologi Islam (Aliran Kalam) 3

B. Pengetian Teologi Islam (Ilmu Kalam) 6

C. Faktor Penyebab Munculnya Pemikiran Kalam 9

BAB III PENUTUP

A. Simpulan 12

B. Saran 12

DAFTAR RUJUKAN 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu kalam membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang
yang ingin menyelami seluk beluk agamanya perlu mempelajari teologi yang
terdapat dalam agama yang di anutnya. Seseorang yang telah memahami teologi
dengan cara mempelajari secara mendalam tentunya diharapkan bisa mendapatkan
keyakinan dan pedoman yang kokoh dalam beragama. Orang yang demikian tidak
akan mudah diperdayakan oleh zaman yang selalu berubah. Setiap gerak langkah,
tindakan dan perbuatan selalu dilandaskan pada keyakinan yang dijadikan falsafah
dalam kehidupan.
Mengkaji ilmu teologi dalam Islam pada dasarnya merupakan upaya
memahami kerangka berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama
terhadap aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada
dasarnya, potensi yang dimiliki setiap manusia, baik berupa potensi biologis
maupun potensi psikologis yang secara natural adalah distingtif. Oleh sebab itu,
perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya dalam
mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula.
Dalam kaitan ini, para sahabat dan tabi’in biasa berbeda pendapat dalam
mengkaji suatu masalah tertentu. Beberapa indikasi yang menjadi pemicu
perbedaan pendapat diantara mereka adalah terdapat beberapa sahabat yang
mendengar ketentuan hukum yang diputuskan oleh Nabi saw, sementara yang
lainnya tidak. Sahabat yang tidak mendengar keputusan itu lalu mereka berijtihat.
Dari sini kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu
ketentuan hukum.
Secara teoritis, perbedaan demikian tampak melalui perbedaan aliran-
aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa

1
2

perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan
keesaan Allah, keimanan kepada rasul, para malaikat, hari akhirat dan berbagai
ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkan.
Sedangkan persoalan yang masih berpeluang untuk diperdebatkan misalnya
tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu, akal dan
keadilan Tuhan. Perbedaan itu, kemudian memunculkan berbagai macam aliran,
yaitu Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Jabariyah, Qadariyah serta aliran-aliran
lainnya.
Oleh karena demikian, penulis mencoba menjelaskan tentang sejarah dan
perkembangan teologi atau aliran kalam yang timbul dalam dunia Islam.
Pembahasan mengenai ini akan dimulai dari latar belakang, selanjutnya akan
dibahas mengenai pokok pembahasan tentang sejarah munculnya pemikiran
kalam yang mmeliputi pengertian kalam dan faktor penyebab munculnya
pemikiran kalam itu sendiri.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah munculnya pemikiran kalam?

2. Apa itu pemikiran kalam?

3. Faktor apa saja yang menyebabkan munculnya pemikiran kalam?

C. Tujuan penelitian

Untuk mengetahui aspek-aspek sejarah pemikiran kalam/teologi yang


mencakup tentang pemikiran kalam dan faktor penyebab munculnya pemikiran
kalam
BAB II
PEMBAHASA
N
A. Sejarah Munculnya Aliran Teologi Islam (Aliran Kalam)

Pada masa Nabi saw dan Khulafaurrasyidin, umat Islam bersatu, mereka
satu akidah, satu syariah dan satu akhlakul karimah. Kalau mereka ada
perselisihan pendapat dapat diatasi dengan wahyu dan tidak ada perselisihan
diantara mereka. Awal mula adanya perselisihan dipicu oleh Abdullah bin Saba’
(seorang Yahudi) pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan berlanjut pada
masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Awal mula timbulnya gejala timbulnya aliran-
aliran adalah sejah ke khalifahan Usman bin Affan (khalifah ke 3 setelah wafatnya
Rasulullah saw). Pada masa itu, dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan
kelompok yang mengarah terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya khalifah
Usman bin Affan. Kemudian digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu
perpecahan di tubuh umat Islam terus berlanjut.1
Sesuai dengan pendapat di atas, dalam sumber yang lain dijelaskan bahwa
pada zaman Rasulullah saw sampai masa pemerintahan Usman bin Affan (644-
656 M) problem teologis di kalangan umat Islam belum muncul. Problema itu
baru timbul di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661 M) dengan
munculnya kelompok Khawarij, pendukung Ali yang memisahkan diri karena
tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima tahkim (arbitrase) dalam
menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam
pada waktu perang Shiffin.2
Persoalan politik merupakan alasan pertama munculnya persoalan teologi
dalam Islam. Khawarij berpendapat, tahkim adalah penyelesaian masalah yang

1
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI-Press, 1986), h. 6.
2
Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalan (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 14.

3
4

tidak didasarkan kepada Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan
orang yang tidak memutuskan hukum dengan Al-Qur’an adalah kafir. Dengan
demikian orang yang melakukan tahkim dan menerimanya adalah kafir. Argumen
mereka sebenarnya sangat sederhana, Ali, Mu’awiyah dan pendukung-pendukung
mereka semuanya kafir karena mereka “murtakib al Kabirah” atau pendosa besar.
Dalam perkembangan selanjutnya Khawarij tidak hanya memandang
orang yang tidak menghukumkan sesuatu dengan Al-Qur’an sebagai kafir, tetapi
setiap muslim yang melakukan dosa besar bagi mereka adalah kafir. Pendapat ini
mendapat reaksi keras dari kaum muslimin lain sehingga muncul aliran baru yang
dikenal dengan nama Murji’ah. Menurut pendapat aliran ini, muslim yang berbuat
dosa besar tidak kafir, ia tetap mukmin. Masalah dosa besar yang dilakukannya
terserah Allah, diampuni atau tidak. Belakangan lahir aliran baru lagi, Mu’tazilah
yang berpendapat muslim yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir,
tapi menempati posisi di antara keduanya (al manzilah bain al manzilatain).
Masuknya filsafat Yunani dan pemikiran rasional ke dunia Islam pada abad kedua
Hijriah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran teologis di
kalangan umat Islam. Mu’tazilah mengembangkan pemikirannya secara rasional
dengan menempatkan akal di tempat yang tinggi sehingga banyak produk
pemikirannya tidak sejalan dengan pendapat kaum tradisional. Pertentangan
pendapat di antara dua kelompok inipun terjadi dan mencapai puncaknya ketika
Al-Makmun (813-833 M), khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah menjadikan
Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan memaksakan paham Mu’tazilah
kepada kaum muslimin. Sebagai penganut dan pendukung aliran Mu’tazilah
Khalifah Al-Makmun memandang perlu untuk memberikan pelajaran terhadap
kelompok Ahli Hadis karena keteguhan mereka untuk mempertahankan bahwa al-
Qur’an bukanlah “diciptakan” (makhluq) yang semakin merajalela, khususnya di
5

Baghdad. Berbagai kerusuhan sosial yang timbul di Baghdad antara kelompok


ahli hadis dan orang-orang Syi’ah tentu meresahkan keamanan di ibukota tersebut.
Sebagai seorang khalifah yang berupaya mendapatkan dukungan kaum Syi’ah
tidak mengherankan kalau ia menunjukkan sikap bermusuhan terhadap ahli hadis.
al-Qur’an sebagai topik kontroversial mungkin lebih merupakan alasan yang
diciptakan guna memberikan perlawanan terhadap tokoh-tokoh ahli hadis.
Sebaliknya kaum ahli hadis yang semula mendapatkan banyak kesulitan dengan
adanya mihnah kini mendapat angin, walaupun tidak berarti bahwa mereka
menggantikan posisi lawan mereka yang berpengaruh sebelumnya. Reaksi keras
kaum tradisional menentang Mu’tazilah, pada akhirnya berwujud dalam bentuk
sebuah aliran teologi yang dikenal dengan nama Ahlussunnah waljamaah, dengan
tokoh utamanya Abu al Hasan Ali al Asy’ari dan abu Mansur al Maaturidi.3
Terkecuali beberapa aliran teologi sebagaimana disebutkan di atas, ada
lagi beberapa aliran teologi dalam Islam seperti Syiah, Qadariyah dan Jabariyah.
Aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah adalah aliran yang berkembang pada
masa lampau. Sekarang yang dianut mayoritas umat Islam adalah aliran Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang dalam soal iman menganut paham moderat Murji’ah.
Tetapi, pemikiran rasional Eropa yang berasal dari Islam abad kedua belas itu
masuk kembali ke dunia Islam abad kesembilan belas dan kedua puluh, dan
menghidupkan kembali pemikiran rasional Mu’tazilah masa silam. Dalam pada
itu, kaum Syi’ah dari sejak semula tetap menganut aliran rasional dan filosofis
Mu’tazilah. Aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam islam ialah aliran
Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiah. Aliran-aliran
khawarij, Murjiah, dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam
sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran-aliran Asy’ariah dan

3
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Alhusna Baru, 2003), h. 1.
6

Maturidiah dan keduanya disebut Ahli Sunnah Wa al-jamaah. Dengan demikian


pemikiran para aliran-aliran tersebut berbeda meskipun memiliki satu tujuan
dalam pemikiran kalam/teologi islam.
B. Pengertian Ilmu Kalam

Setidaknya ada tiga istilah yang popular tentang Ilmu Kalam, yai- tu Ilmu
Kalam, Ilmu Tauhid, dan Teologi. Ketiga istilah ini disinyalir muncul karena
perbedaan perspektif dalam melihat persoalan Ilmu Kalam. Dari ketiga istilah ini
kemudian muncul beberapa definisi atau pengertian tentang Ilmu Kalam.
Pertama, Ilmu Kalam. Dalam bahasa Arab "Kalam" biasa diarti- kan
dengan "kata-kata", yakni sabda Tuhan atau kata-kata manusia. Di sini Ilmu
Kalam dimaknai dengan Ilmu Pembicaraan, karena de- ngan pembicaraanlah
pengetahuan ini dapat dijelaskan, dan dengan pembicaraan yang tepat
kepercayaan yang benar dapat ditanamkan. Disebut "Ilmu Kalam" karena yang
dibahas adalah Kalam Tuhan dan Kalam manusia. Jika yang dimaksud dengan
Kalam adalah "firman Tuhan", maka Kalam Tuhan (baca: Al-Qur'an) pernah
menimbulkan perdebatan sengit di kalangan umat Islam pada abad kedua dan ke-
tiga Hijriah. Salah satu perdebatan itu adalah tentang apakah Kalam Allah baru
atau qadim? Karena firman Tuhan pernah diperdebatkan, maka dinamakan Ilmu
Kalam. Jika yang dimaksud Kalam adalah kata- kata manusia, maka kaum teologi
dalam Islam selalu menggunakan dalil logika untuk mempertahankan pendapat
dan pendirian masing- masing. Kaum teologi dalam Islam memang dinamakan
Mutakalimin, karena mereka ahli debat yang pintar memainkan kata-kata.
Kedua, Ilmu Kalam adalah ilmu yang dikaitkan dengan Allah, perbuatan
dan sifat-sifat-Nya. Oleh sebab itu Ilmu Kalam biasa dise- but juga sebagai Ilmu
Ushuluddin atau Ilmu Tawhid, yakni ilmu yang membahas tentang penetapan
aqaid diniyah dengan dalil (petunjuk) yang konkret. Maka, Ilmu Kalam adalah
rangkaian argumentasi ra- sional yang disusun secara sistematik untuk
memperkukuh kebenaran akidah agama Islam.
Ilmu kalam disebut juga dengan ilmu tauhid karena membahas tentang
7
keesaan Allah Swt. Secara objektif, ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi
argumentasi ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika. Oleh
sebeb itu, teolog membedakan antara ilmu kalam dengan ilmu tauhid.
Ilmu kalam dinamakan ilmu kalam, diantara alasannya, karena:
1. Persoalan penting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad
permulaan Hijriah ialah Firman Tuhan (Kalam Allah) dan non azalinya Quran
(Khalq al-Qur’an).
2. Dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil ini
nampak jelas dalam pembicaraan para mutakalimin. Mereka jarang kembali
keparda dalil naqli (Quran dan Hadis), kecuali sesudah menetapkan benarnya
pokok persoalan lebih dahulu.
3. Karena cara pembuktian kepercayaan-kepercayan agama
menyerupai logika dalam filsafat, maka pembuktian dalam agama ini dinamakan
ilmu kalam untuk membedakannya dengan logika dalam filsafat.
Ketiga, Ada pula definisi Ilmu Kalam seperti yang diajukan oleh Al-Farabi
dan Ibn Khaldun. Al-Farabi, misalnya, menyebut Ilmu Ka- eksistensi semua yang
mungkin, mulai yang berkenaan dengan ma- lam sebagai disiplin ilmu yang
membahas Dzat dan sifat Allah beserta Islam. Sedangkan Ibnu Khaldun
mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai salah dunia sampai masalah sesudah mati
yang berlandaskan doktrin iman yang diperkuat dalil-dalil rasional. Dari kedua
pendapat di atas disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang
akidah dapat disimpulkan bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas
berbagai masalah ketuhanan dengan menggunakan argumen logis maupun
filosofis.
Keempat, Istilah Kalam juga digunakan untuk menunjukkan ke- ahlian
dalam menguasai cabang ilmu tertentu, sehingga orang yang menguasai ilmu itu
disebut Mutakallim, Ashhab al-Kalam al-Tabi' (ahli fisika), begitu juga ashhab al-
Kalam al-Ilahi atau al-Mutakallim- un fi al-Ilahi (teolog). Namun pada
perkembangan selanjutnya istilah "Kalam" dalam Islam lebih dititiktekankan pada
aliran teologi, seperti Mu'tazilah dan Asy'ariyah.
Kelima, Kalam juga diistilahkan oleh para pakar dengan beragam nama,
antara lain: Abu Hanifah (150H/767M) memberinya nama de- ngan istilah 'ilmu
8
Fiqih al-Akbar. Kemudian Imam Asy-Syafi'i (204 H/ 819 M), Imam Malik
(179H/795M), dan Imam Ja'far al-Sadiq (148H/ 765M) memberinya nama dengan
istilah 'Ilmu al-Kalam.
Keenam, Kalam sebagai teologi. Rumusan lain dikemukakan oleh Harry
Austryn Wolfson yang berpendapat bahwa istilah Ka- lam adalah terjemahan dari
karya-karya filosof Yunani, "Theos" (Tu- han) dan "logos" (kata atau argumen).
Sehingga teologi dapat diarti- kan dengan ilmu atau argumen tentang Tuhan.
Istilah belakangan ini sebenarnya merupakan transformasi dari pemikiran yang
disebut teologi atau (Ilmu al-Lahut) yang telah berkembang di dunia Barat pada
masa sebelumnya. Maka tidak heran jika kemudian muncul pa kar yang
mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai "Ilmu al-Lahut”, yakni discourse or reason
concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Bahkan dengan
mengutip istilah yang diberikan oleh William Ockham," L Reese menyatakan
bahwa Theology to be a discipline rest- ing on revealed truth and independent of
both philosophy and science (Teologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang
meletakkan kebenar- an wahyu, lewat argumen filsafat dan ilmu pengetahuan
yang inde- penden). Rumusan William Ockham tentang teologi tampaknya ada
kemiripan dengan pendapat Ibn Khaldun, seperti dikutip oleh Mush- thafa Abdul
Raziq, yang mendefinisikan 'Ilmu Kalam sebagai 'Ilmu al-Kalam huwa Ilmun
yatadlammanu al-hujjaja 'an 'aqaidi al-Imani- yyah bi al-adillah al-'aqliyyah (Ilmu
Kalam yaitu sebuah disiplin ilmu berkaitan dengan keimanan yang diperkuat
dengan menggunakan ar- gumentasi rasional).1
Beberapa istilah di atas memberikan pemahaman bahwa Ilmu Ka- lam
merupakan disiplin keilmuan dalam agama Islam terkait berbagai argumentasi
tentang akidah iman yang diperkuat dalil-dalil rasional. Istilah tersebut juga
memberi ruang bagi perkembangan konten Ilmu Kalam ke arah yang lebih
dinamis.

1
Ahmad Burhanuddin, Ilmu Kalam, dari Tauhid Menuju Keadilan ( Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), h. 11
9

C. Faktor Penyebab Munculnya Pemikiran Kalam

Pada masa Nabi Muhammad saw, keberadaan Ilmu Kalam ini memang
sudah ada tetapi belum dikenal dengan istilah demikian. Baru dikenal pada masa
berikutnya, tepatnya setelah ilmu-ilmu ke Islaman lainnya muncul satu persatu.
Terutama ketika orang-orang telah banyak membicarakan mengenai kepercayaan
alam gaib (metafisika). Dari adanya peristiwa-peristiwa politis dan historis yang
terjadi di masa lalu itulah, menumbuhkan faktor penyebab munculnya Ilmu
Kalam, yakni:
1. Faktor Internal

a. Keberadaan al-Quran selain mengajak kaum-Nya untuk mempercayai kenabian

dan hal-hal yang berhubungan dengan hal tersebut, menyinggung pula adanya
golongan-golongan dan agama-agama yang ada di masa Nabi Muhammad saw. al-
Quran tidak membenarkan kepercayaan mereka dan membantahnya dengan
alasan-alasan sebagai berikut:

1) Golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan dan mereka

mengatakan bahwa yang menyebabkan kebinasaan dan kerusakan hanyalah


waktu (al- Jasiyah: 24).

2) Golongan-golongan syirik, yang menyembah bintang, bulan, matahari (a1-

An’am: 76-78) yang mempertuhankan Nabi Isa dan Ibunya (bacalah al-
Maidah: 116), yang menyembah berhala-berhala (al- An’am: 74 dan al-Su’ara:
9).

3) Golongan-golongan yang tidak percaya keutusan Nabi-nabi (bacalah al-Isra:

94), dan tidak mempercayai kehidupan kembali di akhirat nanti (bacalah al-
Anbiya: 104).

4) Golongan yang mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia adalah


perbuatan Tuhan semuanya dengan tidak ada campur tangan manusia (yaitu
orang-orang munafiq) (Ali lmran: 154).2

2
Ahmad Hanafi, Teologi Islam ( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001), h. 35
10

Tuhan membantah alasan-alasan dan perkataan- perkataan mereka dan


juga memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk tetap menjalankan
dakwahnya sambil menghadapi alasan-alasan mereka yang tidak percaya
dengan cara halus. Firman Tuhan: Ajak1ah mereka kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan nasehat-nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan
jalan yang lebih baik”. (al-NahI: 125).

Adanya golongan tersebut di samping adanya perintah Tuhan dalam


ayat ini, tentu membuka jalan bagi kaum muslimin untuk mengemukakan
alasan-alasan kebenaran agamanya di samping menunjukkan kesalahan-
kesalahan golongan-golongan yang menentang kepercayaan- kepercayaan itu,
dan dan kumpulan-kumpulan alasan- alasan itulah lahirnya ilmu kalam.

b. Ketika kaum muslim membuka negeri-negeri baru untuk masuk Islam, mereka

mulai tenteram dan tenang, di samping melimpah ruahnya rizki. Disinilah mulai
mengemukakan persoalan agama dan berusaha mempertemukan nas-nas agama
yang kelihatannya saling bertentangan. Keadaan ini adalah gejala umum bagi tiap-
tiap agama bahkan pada tiap tiap masyarakat. Pada mulanya agama itu hanyalah
kepercayaan-kepercayaan yang kuat dan sederhana, tidak perlu diperselisihkan
dan tidak memerlukan penyelidikan. Penganut-penganutnya menerima saja apa
yang diajarkan agama, kemudian dianutnya dengan sepenuh hatinya tanpa
memerlukan penyelidikan. Sesudah itu, datanglah fase penyelidikan dan
pemikiran dan membicarakan soal-soal agama secara filosofis. Disinilah kaum
muslimin mulai memakai filsafat untuk memperkuat alasan-alasannya. Keadaan
yang sama juga dialami agama-agama lainnya, seperti Yahudi dan Nasrani.
Sebagai contoh, orang-orang muslim dahulu beriman kepada qadar baik dan buruk
dan beriman sepenuhnya bahwa manusia ini ditugaskan menjalani perintah Tuhan,
tanpa menanyakan lebih lanjut. Datanglah kemudian orang-orang yang
mengumpulkan ayat-ayat berkisar soal tersebut dan menfilsafatkannya. Di satu
pihak adanya ayat-ayat yang menunjukkan adanya jabr (paksaan) dan pemberian
tugas di luar kesanggupan seseorang (al-Baqarah: 6, al-Mudatsir: 17, al-Taubat:
4). Di pihak lain Alquran penuh dengan ayat- ayat yang menunjukkan bahwa
11
manusia bisa melakukan perbuatannya dan bertanggung jawab terhadapnya (al-
Isra’: 94, al-Nisa’: 168, al-Kahfi: 29, al-Insan: 3). Kemudian muncul
mempertemukan ayat-ayat tersebut.

c. Sebab yang ketiga ialah persoalan politik. Contoh yang tepat untuk ini ialah soal
khilafah (pimpinan pemerintahan Negara). Ketika Rasulullah wafat, beliau tidak
mengangkat seorang penggantinya, tidak pula menentukan cara pemilihan
penggantinya, masing- masing menghendaki supaya pengganti Rasulullah adalah
pihaknya. Dalam kesibukan itu, Umar r.a membai’at Abu Bakar menjadi khalifah
yang kemudian diikuti oleh sahabat-sahabat lain. Abu Bakar kemudian mengambil
cara lain, karena ia menyerahkan khalifah kepada Umar dan Umar pun mengambil
cara lain lagi, yaitu menyerahkan khalifah kepada panitia, dan pilihan panitia itu
jatuh kepada Usman. Sebenamya soal khilafah itu adalah soal politik, agama tidak
mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk khilafat tertentu, tetapi hanya
memberikan dasar yang umum, yaitu kepentingan umum. Peraturan-peraturan
pemilihan orang yang mampu memajukan kepentingan umum. Kalau terjadi
perselisihan dalam soal ini, maka perselisihan itu adalah soal politik semata-mata.
Akan tetapi tidak demikian halnya pada masa itu, ditambah lagi dengan kematian
Usman dalam keadaan gelap. Sejak itu kaum muslimin terpecah-pecah menjadi
beberapa partai, yang masing- masing merasa pihaknya yang benar dan hanya
calon mereka yang berhak menduduki pimpinan negara. Kemudian partai-partai
itu menjadi partai agama dan mengemukakan dalil-dalil agama untuk membela
pendirinya, dan selanjutnya perselisihan di antara mereka menjadi perselisihan
agama yang berkisar tentang persoalan iman dan kafir.

2. Faktor Eksternal

a. Banyak di antara pemeluk Islam yang mula-mula beragama Yahudi,


Masehi, dan lain-lain, bahkan di antara mereka yang ada sudah pernah menjadi
ulamanya. Setelah pikiran mereka tenang dan sudah memegang teguh agama yang
baru, yaitu Islam, mereka mulai mengingat-ingat kembali ajaran agamanya, dan
dimasukkannya di dalam ajaran-ajaran Islam. Karena itu, dalam buku-buku aliran
dan golongan Islam sering kita dapati pendapat-pendapat yang jauh dari ajaran
Islam yang sebenarnya.
12
b. Golongan Islam yang dulu, terutama golongan Muktazilah, memusatkan
perhatiannya untuk penyiaran Islam dan membantah alasan-alasan orang yang
memusuhi Islam. Mereka tidak bisa menghadapi lawan-lawannya kecuali dengan
menyelami pendapat-pendapat tersebut, dan akhimya negeri Islam menjadi arena
perdebatan bermacam-macam pendapat dan agama, hal ini mempengaruhi masing-
masing pihak yang bersangkutan dan salah satu ialah penggunaan filsafat sebagai
senjata kaum muslimin. Sesungguhnya tidak mengherankan kalau kaum muslimin
bersenjatakan filsafat dalam menghadapi Iawan-lawannya. Philon (25 seb. M 50),
seorang Yahudi, memfilsafatkan ajaran-ajaran Yahudi dan mempertemukannya
dengan filsafat Yunani. Di kalangan orang-orang Masehi ada Cimens von
Alexandiran (lahir150 M) dan Origen (185 — 154) mempertemukan ajaran agama
Masehi dengan Platonisme. Keadaan ini menyebabkan golongan Muktazilah dan
golongan- golongan Islam lainnya mengambil senjata yang dipakai lawannya,
yaltu filsafat. Dengan masuknya filsafat, semakin banyak pula pembicaraan ilmu
kalam.

c. Sebagai kelanjutan dari sebab tersebut, para mutakallimin hendak


mengimbangi lawan-lawannya yang menggunakan filsafat, sehingga mereka
terpaksa mempelajari logika dan filsafat, terutama dari segi ketuhanan, karena itu
al-Nazzam (tokoh Muktazilah) membaca buku-buku Aristoteles dan membantah
beberapa pendapatnya. Demikian pula Abu Huzail al- ‘Allaf (juga tokoh
Muktazilah).

Inilah faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya ilmu kalam, faktor-faktor itu


dari dalam Islam dan kaum muslimin sendiri maupun dari luar. Siapa yang
mengatakan bahwa ilmu Kalam itu ilmu Islam murni tidak terpengaruh oleh
filsafat dan agama-agama lain, tidaklah benar, karena ayat-ayat Alquran banyak
dijadikan dalil di samping filsafat Yunani. Sebenamya ilmu kalam itu campuran
dari ilmu keislaman dan filsafat Yunani, tetapi kepribadian kaum muslimin di
dalam ilmu ini lebih kuat. (Lain halnya dengan filsafat Islam, di mana
kepribadiannya yang lebih besar).

13
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 36
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Teologi dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu “theologia”
yang terdiri dari kata “theos” yang berarti tuhan atau dewa, dan “logos” yang
artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan. Teologi merupakan
disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat
dan ilmu pengetahuan.
Faktor penyebab munculnya Ilmu Kalam, yakni:

1. Faktor Internal. Keberadaan al-Quran selain mengajak kaum-Nya


untuk mempercayai kenabian dan hal-hal yang berhubungan dengan
hal tersebut, menyinggung pula adanya golongan-golongan dan agama-
agama yang ada di masa Nabi Muhammad saw.
2. Faktor Eksternal. Banyak di antara pemeluk-pemeluk agama Islam,
yang dulunya beragama Yahudi, Masehi, dan lainnya. Setelah mereka
“tenang” dari tekanan, mulailah mereka mengkaji kembali akidah-
akidah agama mereka dan mengembangannya ke dalam Islam.
B. Saran

Pada saat pembuatan makalah Penulis menyadari bahwa banyak sekali


kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Dengan sebuah pedoman yang bisa
dipertanggungjawabkan dari banyaknya sumber, Penulis akan memperbaiki
makalah tersebut. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik serta sarannya
mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas. Agar kedepannya kami
sebagai Penulis dapat memperbaiki pembuatan makalah kedepannya.

12
DAFTAR RUJUKAN

A. Hanafi. Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna Baru, 2003)


Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid, (Terj), Firdaus A.N, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979)
Afrizal M, Pemikiran Kalam Imam Al-Syafi’i (Pekanbaru: Suara Umat, 2013)
Agama Kementerian RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (tc; Tangerang Selatan:
Famy Bisyuqin, 2020)
Hanafi,Ahmad, Teologi Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001)
Murthahhari, Murthadha. Mengenal Ilmu Kalam: Cara Menembus Kebuntutan
Berfikir, (Jakarta: Zahra-IKAPI, 2002)
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1986)
Razak, Abdur dan Rosihan Anwar. Ilmu Kalan (Bandung: Pustaka Setia, 2006)

Burhanuddin, Ahmad. Ilmu Kalam, dari Tauhid Menuju Keadilan ( Jakarta:


Prenadamedia Group, 2016)

13

Anda mungkin juga menyukai