Anda di halaman 1dari 13

MUNCULNYA ALIRAN KALAM: DARI POLITIK KE TEOLOGI

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Studi Materi Akidah Akhlak di MTs-MA”

Dosen Pengampu :

Azmi Mustaqim, M.A

Disusun Oleh : Kelompok 7

Khotibul Umam Ubaidillah (201200101)


Mega Septiani (201200123)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Saw, yang syafa’atnya akan kita nantikan kelak.

Adapun penulisan makalah bertema “Munulnya Aliran Kalam: Dari Politik ke


Teologi” ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Materi Akidah Akhlak di MTs-
MA. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah mendukung serta membantu
dalam penyelesaian makalah. Harapan kami, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi pembaca.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik . Oleh karena itu, dengan rendah hati dan dengan
tangan terbuka menerima masukan, saran, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Ponorogo, 15 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................
A. Latar Belakang..................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................
C. Tujuan Pembahasan..........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................
A. Pengertian Ilmu Kalam.....................................................................................................
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Kalam..................................................................................
C. Munculnya Aliran Kalam Dari Politik Ke Teologi...........................................................
BAB II PENUTUP......................................................................................................................
A. Kesimpulan........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa Nabi Saw. umat Islam adalah umat yang satu, mereka satu akidah,
satu syariah dan satu akhlaqul karimah karena jika ada sedikit perbedaan langsung
ditanyakan kepada beliau dan bila terdapat perselisihan pendapat di antara mereka,
maka hal tersebut dapat diatasi dengan wahyu dan tidak ada perselisihan di antara
mereka. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin mulailah adanya perselisihan.
Awal mula adanya perselisihan dipicu oleh Abdullah bin Saba’ (seorang Yahudi)
pada pemerintahan khalifah Usman bin Affan dan berlanjut pada masa khalifah Ali
bin Abi Thalib. Dan awal adanya gejala timbulnya aliran-aliran adalah sejak
kekhalifahan Utsman bin Affan.
Pada masa khalifah Utsman bin Affan dengan latar belakang kepentingan
kelompok, yang mengarah pada terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya khalifah
Utsman bin Affan. Kemudian digantikan oleh Ali bin Abi Thalib, pada masa itu
perpecahan di tubuh umat Islam terus berlanjut. Umat Islam pada masa itu ada yang
pro terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang menamakan dirinya kelompok
syi’ah, dan yang kontra yang menamakan dirinya kelompok Khawarij. Akhirnya
perpecahan memuncak, kemudian terjadilah perang Jamal yaitu perang antara Ali
dengan Aisyah dan perang Siffin yaitu perang antara Khalifah Ali bin Abi Thalib
dengan Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Bermula dari itulah akhirnya timbul berbagai
aliran di kalangan umat Islam, masing-masing kelompok juga terpecah belah,
akhirnya jumlah aliran di kalangan umat Islam menjadi banyak, seperti aliran Syi’ah,
Khawarij, Murji’ah, Qadariyah dan Jabbariyah.1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ilmu kalam?
2. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu kalam?
3. Bagaimana munculnya aliran kalam dari politik ke teologi?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian ilmu kalam
2. Mengetahui sejarah perkembangan ilmu kalam
3. Mengetahui munculnya aliran kalam dari politik ke teologi

1
Ahmad Zaini, “MENGURAI SEJARAH TIMBULNYA PEMIKIRAN ILMU KALAM DALAM
ISLAM” 1, no. 1 (2015): 168–69.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Kalam
Istilah ilmu kalam terdiri dari dua kata ilmu dan kalam. Kata ilmu dalam
kamus Bahasa Indonesia, mengandung arti pengetahuan tentang suatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode tertentu.2
Adapun arti Kalam dari bahasa Arab yaitu “kata-kata”. Ilmu kalam secara
harfiah berarti ilmu tentang kata kata. Walaupun dikatakan ilmu tentang kata-kata,
tetapi ilmu ini tidak ada kaitanya dengan ilmu bahasa. Ilmu kalam menggunakan kata-
kata dalam menyusun argumen-argumen yang digunakannya. Oleh krena itu, kalam
sebagai kata, bisa mengandung perkataan manusia (kalam an-nas) atau perkataan
Allah (kalam Allah).
Apabila yang dimaksud kalam itu ialah kalam Allah maka soal kalam, sabda
Allah, atau Al-Qur’an pernah menjadi pembahasan yang amat serius dengan ilmu
kalam sehingga menimbulkan pertentangan pertentangan keras dialiran-aliran yang
ada. Persoalanya ialah apakah kalam Allah ini baru atau qadim atau dengan kata lain
apakah kalam Allah ini diciptakan atau tidak diciptakan.
Tetapi apabila yang dimaksud kalam itu adalah kata-kata manusia, maka ilmu
kalam menggunakan mantiq (logika) yang disampaikan dengan susunan kata yang
argumentasi rasional. Hal itu untuk memperkuat dalil-dalil naqli atau dalil yang
bersumber dari Al-Qur’an dan hadis Nabi.3
Ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah).
Sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak ada padanya, dan sifat-sifat
yang mungkin ada padanya dan membicarakan tentang Rasul-Rasul Tuhan. Untuk
menetapkan kerasulanya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat
yang mungkin ada padanya, sifat-sifat yang tidak ada padanya, dan sifat-sifat yang
mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya.
Ada yang mengatakan ilmu kalam merupakan ilmu yang membicarakan
bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (Agama Islam) dengan
bukti bukti yang yakin.4
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Kalam

2
Pusat Bahasa, kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 423
3
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Prenada media Grup, 2014), 2
4
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2010), 3.

5
Pasca wafatnya Rasulullah Saw. kaum muslimin berkumpul di Saqifah bani
Sa’adah untuk memilih khalifah pengganti Rasulullah Saw. Pertemuan tersebut
dihadiri oleh dua kelompok besar, yaitu Anshar dan Muhajirin. Di antara pendukung
kaum Anshar adalah Saad bin Ibadah, Qais bin Saad dan Habab bin Mundzir.
Delegasi Anshar menginginkan agar khalifah dipilih dari golongan mereka.
Menurutnya, golongan Anshar adalah orang- orang yang membantu perjuangan
Rasulullah Saw. dalam pengembangan dakwah Islam dari Madinah. Merekalah yang
memberikan tempat bagi Rasulullah Saw. dan kaum muhajirin setelah pindah dari
Makkah ke Madinah.
Sementara kaum Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar Ash Shidiq ra,
Umar bin Khattab ra dan Abu Ubaidah menginginkan agar khalifah dipilih dari partai
mereka. Bagi mereka, orang pertama yang membantu perjuangan Rasulullah Saw.,
disamping itu, mereka masih kerabat dekat dengan Rasulullah Saw. Abu Bakar Ash
Shidiq ra lebih memilih Abu Ubaidah atau Umar bin Khatab ra sebagai khalifah.
Namun Umar dan Abu Ubaidah justru lebih mengedepankan Abu Bakar Ash Shiddiq
ra dengan alasan karena beliau orang yang ditunjuk Rasulullah Saw. sebagai imam
shalat ketika Beliau sakit.
Basyir bin Saad yang berasal dari suku Khazraj melihat bahwa perselisihan
antara dua kubu tersebut jika dibiarkan dapat mengakibatkan perpecahan dikalangan
umat Islam. Untuk menghindari hal itu, ia angkat bicara dan menerangkan kepada
para peserta sidang bahwa semua yang dilakkan kaum muslimin, baik dari partai
Muhajirin ataupun Anshar hanyalah untuk mencari ridha Allah Swt.. Tidak layak jika
kedua partai mengungkit-ungkit kebaikan dan keutamaan masing-masing demi
kepentingan politik. Kemudian Basyir bin Saat membait Abu Bakar Ash Shidiq ra.
Sikap Basyir dikecam oleh Habban bin Mundzir dari kaum Anshar. Ia dianggap telah
menyalahi kesepakatan Anshar untuk memilih khalifah dari partainya. Namun Basyir
menjawab, Demi Allah tidak demikian. Saya membenci perselisihan dengan suku
yang memang memiliki hak untuk menjadi khalifah.
Mayoritas suku Aus dari partai Anshar mengedepankan Saad bin Ibadah
sebagai khalifah. Namun kemudian Asyad bin Khudair yang juga dari suku Aus
berdiri membaiat Abu Bakar Ash Shidiq ra. Ia menyeru pada para hadirin untuk
mengikuti jejaknya. Merekapun bangkit ikut membaiat dan memberikan dukungan
pada Abu Bakar Ash Shidiq ra kemudian terpilih sebagai Khalifah pertama umat
Islam.

6
Setelah Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq ra wafat segera digantikan Umar bin
Khattab ra secara aklamasi dengan pemerintahan. Banyak kebijaksanaan Umar yang
sesungguhnya kontroversial akan tetapi dengan dukungan wibawanya yang tinggi,
orang mengikutinya dengan patuh. Ketika meninggal, Umar bin Khattab ra digantikan
oleh Utsman bin Affan ra, seorang yang saleh dan berilmu tinggi. Sebagai anggota
keluarga pedagang Mekah yang cukup terkemuka, Utsman bin Affan ra memiliki
kemampuan administratif yang baik, tetapi lemah dalam kepemimpinan.
Kelemahan Utsman bin Affan ra yang mencolok dan mengakibatkan
ketidaksenangan kepada beliau adalah ketidak-mampuan mencegah ambisi di
lingkungan keluarganya untuk menempati kedudukan-kedudukan penting di
lingkungan pemerintahan. Akibatnya banyak orang yang tidak senang. Lalu ada lagi
orang-orang yang menggunakan kesempatan untuk mengipas-ngipas guna
memperoleh keuntungan pribadi. Di Mesir, penggantian gubernur yang diangkat
Umar bin Khattab ra, yakni Amar bin Ash dengan Abdullah ibnu Sa'd, salah seorang
keluarga Utsman, mengakibatkan pemberontakan. Mereka mengerahkan pasukan
menyerbu Madinah dan Abdullah bin Saba’ berhasil membunuh Khalifah. Peristiwa
pembunuhan Khalifah ini dikenal sebagai al Fitnatul Kubro (prahara besar) yang
pertama.
Mayoritas sejarawan sependapat bahwa Abdullah bin Saba’ adalah pendeta
Yahudi yang masuk Islam dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Ia
membangun gerakan untuk menggulingkan kekhalifahan Usman dengan
memanfaatkan kekisruhan politik yang sedang terjadi. Untuk mewujudkan misinya itu
ia menggunakan figur Ali bin Abi Thalib ra sebagai alat untuk menebar fitnah di
kalangan umat muslim. Ia melacarkan propaganda dengan melebih-lebihkan dan
mengagung-agungkan Ali bin Abi Thalib ra. Ia juga merendahkan Khalifah terdahulu.
Usaha Abdulah bin Saba’ tersebut mendapatkan perhatian yang besar, terutama dari
kota-kota besar seperti Mekah, Madinah, Basrah.
Ketika Utsman bin Affan ra wafat, musyawarah para pemimpin kelompok dan
suku menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Tetapi kemudian beliau
ditentang oleh beberapa pihak, antara lain oleh Thalhah dan Zubeir, yang dibantu oleh
Aisyah isteri Rasulullah Saw. Penentangan timbul terutama karena Ali bin Abi Thalib
ra dianggap tidak tegas dalam mengadili pembunuh Utsman bin Affan ra.
Setelah terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ra perpecahan memuncak,
kemudian terjadilah perang Jamal yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib dengan

7
Aisyah ra dan perang Siffin yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib dengan
Mu’awiyah bin Abu Sofyan. Tentara gabungan pimpinan Thalhah, Zubeir dan Aisyah
dikalahkan dengan telak. Tholhah dan Zubeir terbunuh, sedang Aisyah ra yang
tertangkap kemudian dikirimkan kembali ke Madinah.
Tantangan dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Damaskus yang masih
keluarga Utsman bin Affan ra. Dia menuntut Ali bin Abi Thalib ra agar segera
mengadili para pembunuh khalifah ketiga itu. Sementara Ali bin Abi Thalib melihat
bahwa situasi dan kondisi pada waktu itu tidak memungkinkan untuk menangkap dan
mengadili pelaku pembunuhan khalifah Ustman. Perselisihan antara kubu Ali bin Abi
Thalib dan Muawiyah akhirnya semakin meruncing. Muawiyah tetap bersikukuh pada
pendiriannya, demikian juga dengan Ali bin Abi Thalib ra. Akhirnya, Muawiyah bin
Abu Sufyan memutuskan untuk melawan Ali bin Abi Thalib ra dengan kekuatan
militer. Terjadilah pertempuran hebat antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan
Muawiyah bin Abu Sufyan. Hampir saja, pasukan Ali bin Abi Thalib ra dapat
memenangkan pertempuran. Namun kemudian Muawiyah menawarkan perdamaian.
Peristiwa itu disebut dengan altahkim (arbitrase) yakni mengangkat Kitab Al Qur’an
diatas tombak.
Kedua belah pihak sepakat untuk bersama-sama (Khalifah Ali Bin Abi Thalib
ra dan Muawiyyah bin Abu Sofyan) meletakkan jabatan masing-masing. Tahkim ini
dari pihak Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa, dan pihak Muawiyyah bin Abu
Sufyan diwakili oleh Amru bin Ash. Tahkim berujung dengan kericuhan, disebabkan
oleh Amru bin Ash. Pengunduran Ali bin Abi Thalib dari Khalifah disetujui dan
diterima oleh Amru bin Ash, dan ia menetapkan jabatan Khalifah pada Muawiyyah
bin Abu Sufyan.
Pendukung Ali bin Abi Thalib ra selanjutnya disebut dengan golongan Syiah.
Kenyataannya, tidak semua pengikut Ali bin Abi Thalib ra menyetujui tahkim.
Mereka menganggap bahwa tahkim hanyalah sekedar makar politik Muawiyah bin
Abu Sufyan. Kelompok itu kemudian memisahkan diri dan membentuk partai baru
yang disebut dengan golongan Khawarij. Golongan ini menganggap Ali bin Abi
Thalib ra, Musa Al Asy'ari, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan Amru bin Ash kafir dan
harus dituntut. Mereka itu mesti dibunuh.Konsep kafir yang dianut oleh Khawarij
berkembang menjadi faham bahwa orang yang berbuat dosa besar pun dianggap kafir.
Dari peristiwa perang Siffin tersebut timbul berbagai aliran di kalangan umat
Islam, masing-masing kelompok juga terpecah belah menjadi banyak diantaranya

8
yaitu tiga golongan yakni golongan Khawarij adalah suatu aliran pengikut Ali bin Abi
Thalib ra yang keluar meninggalkan barisan karena ketidak sepakatan terhadap
putusan Ali bin Abi Thalib ra yang menerima tahkim dalam perang Siffin pada tahun
37H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan
perihal persengketaan Khilafah.
Golongan Syi`ah yaitu orang-orang yang tetap mencintai Ali dan keluarganya.
Golongan Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr ibn al-Ash, Abu Musa
al-Asy`ari, yang menerima tahkim adalah kafir, sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam al-Qur`an. Sedangkan golongan Murji`ah adalah golongan ketidak setujuan
dengan pendapat kaum Khawarij, yang menghukumi kafir orang-orang yang
melakukan dan menyetujui tahkim.
Perpecahan dan bergolong-golong dalam Islam, sejak dahulu telah dinyatakan
oleh Nabi Muhammad Saw. sebagaimana dinyatakan dalam sabdanya, yang artinya
“Bahwasanya bani israil telah terpecah menjadi 72 millah (faham/aliran) dan akan
terpecah umatku menjadi 73 aliran, semuanya masuk neraka, kecuali satu. Para
sahabat bertanya :”Siapakah yang satu itu ya Rasulullah? Nabi menjawab : yang
satu itu ialah orang yang beri’tiqad sebagaimana i’tiqadku dan i’tiqad sahabat-
sahabatku.” (HR. Tirmizi)
Sejak awal, Rasulullah Saw. sudah menggambarkan akan terjadi perbedaan
ummat Islam dalam memahami maupun menjalankan ajaran Islam. Hal ini
sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits yang bertalian dengan akan adanya firqah-
firqah yang berselisih faham dalam lingkungan ummat Islam. Hadits tersebut artinya :
“Bahwasannya siapa yang hidup (lama) diantaramu niscaya akan melihat
perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu berpegang teguhlah kepada Sunnahku
dan Sunnah Khulafaur-Rasyidin yang diberi hidayat. Pegang teguh itu dan gigitlah
dengan gigi gerahammu”. (HR. Abu Dawud).
Masalah akidah menjadi perdebatan yang hangat di kalangan umat Islam.
Setelah peristiwa tahkim, dan masa pemerintahan dinasti Umaiyah dan dinasti
Abbasiyah tumbuh berbagai aliran teologi seperti murji’ah, qadariah, jabariah dan
Mu’tazilah. Kemudian, lahirlah imam Abu Mansur Al Maturidi yang berusaha
menolak golongan yang berakidah batil. Mereka membentuk aliran Maturidiah.
Kemudian muncul pula Abul Hasan Al Asy'ari yang telah keluar dari kelompok
Mu’tazilah dan menjelaskan asas-asas pegangan barunya yang bersesuaian dengan

9
para ulama dari kalangan fuqaha dan ahli hadits. Dia dan pengikutnya dikenal sebagai
aliran Asy'ariyah dan kemudian dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (suni).5
C. Munculnya Aliran Kalam Dari Politik Ke Teologi
Ilmu Kalam lahir ketika terjadi perseteruan politik di masa Ali bin Abi Talib
dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sebenarnya, embrionya sudah tampak di masa
kekhalifahan Usman bin Affan. Di masa itu, orang-orang yang memiliki paham
seragam saling berdiskusi membincangkan pemikiran mereka. Lantas, ketika terjadi
peristiwa arbitrase, mereka muncul mengungkapkan pandangan mereka masing-
masing dan menentukan sikap terhadap Ali dan Muawiyah.
Peristiwa arbitrase itu terjadi pada perang Shifin pada 657 M, pertempuran
antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Perang ini merupakan
serangan Ali terhadap Muawiyah yang tidak mau tunduk kepada pemerintahan
Kekhalifahan Rasyidin. Karena kekuatan tempur dan strategi perang kedua belah
pihak yang nyaris setara, diajukanlah arbitrase untuk mengurangi jumlah korban yang
berjatuhan.
Arbitrase ini adalah upaya penyelesaian perseteruan politik antara Ali dan
Muawiyah dengan melibatkan pihak ketiga yang diharapkan dapat memberikan
keputusan netral. Pihak ketiga untuk merundingkan seteru politik itu adalah Amr bin
Ash dari kubu Muawiyah dan Abu Musa Al-Asyari dari kubu Ali bin Abi Thalib.
Setelah perundingan itu, Abu Musa Al-Asyari kemudian menyampaikan hasil
arbitrase sebagai berikut. “Setelah kami mengadakan pembahasan, kami tidak
menemukan jalan keluar yang lebih baik untuk mengatasi kemelut ini, selain
mengambil langkah demi kebaikan kita semua, yaitu kami sudah sama-sama sepakat
untuk memecat Ali dan Muawiyah dan selanjutnya kita kembalikan kepada Majelis
Syura di antara kaum muslimin sendiri," ucapan Abu Musa Al-Asyari.
Keputusan tahkim ini pun langsung diingkari oleh kubu Muawiyah, yang
diikuti dengan kubu Ali bin Abi Thalib. Jejak politik ini rupanya bergeser ke
penafsiran agama yang menjadi titik tolak lahirnya tiga aliran Ilmu Kalam dalam
Islam sebagai berikut, sebagaimana dikutip dari Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf
yang ditulis Ahmad Zaini.
1. Aliran Khawarij yang menolak tahkim atau arbitrase sepenuhnya, serta
menanggap bahwa orang-orang yang menyetujui tahkim telah melanggar hukum

5
Abu Bakar, ILMU KALAM KELAS XI PERMINATAN KEAGAMAAN, Cetakan ke-1, Tahun
2020, 18-22

10
Islam. Orang yang melanggar hukum Islam telah berdosa besar. Selanjutnya,
orang-orang yang melakukan dosa besar tergolong sudah murtad dan keluar dari
Islam, serta darahnya halal ditumpahkan. Karena itulah, mereka berencana
membunuh empat pentolan pelaku tahkim, yaitu Ali, Muawiyah, Amr bin Ash,
dan Abu Musa Al-Asyari. Namun, yang berhasil dibunuh hanya Ali bin Abi
Thalib.
2. Aliran Murjiah yang menyatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap
mukmin dan tidak kafir. Perkara dosa diserahkan kepada Allah SWT, terserah Dia
mengampuni atau memasukkan pelakunya ke dalam neraka.
3. Aliran Mu'tazilah yang menolak dua pendapat di atas. Bagi aliran Mu'tazilah,
orang berdosa besar tidak bisa dianggap kafir, tidak juga orang mukmin. Pendosa
besar berada di posisi antara Islam dan kafir. Penegasan posisi inilah yang menjadi
penamaan Mu'tazilah, yang dalam bahasa Arab kesohor dengan sebutan al-
manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Setelah ketiga aliran di atas, muncul lagi aliran Ilmu Kalam yang terkenal,
yaitu Qadariyah dan Jabariah, kemudian Asyariah, Maturidiyah, dan lain
sebagainya. Menurut aliran Qadariyah, manusia memiliki kehendak bebas (free
will) dan kebebasan menentukan perbuatannya. Sebaliknya, Jabariah menganggap
bahwa manusia ibarat hanya wayang yang digerakkan oleh dalang; tidak memiliki
kehendak bebas (fatalisme) dan tidak memiliki kebebasan menentukan
perbuatannya. Dalam perkembangannya, aliran Ilmu Kalam mengadopsi prinsip-
prinsip filsafat Yunani untuk memahami akidah Islam. Namun, ahli Ilmu Kalam
(Mutakallim) tidak pernah keluar dari koridor Islam dan tetap memposisikan
wahyu, yaitu Al-Quran dan hadis sebagai sumber primernya.6

6
Abdul Hadi, Sejarah Ilmu Kalam: Perkembangan Teologi Islam, Berawal dari Tahkim,
https://tirto.id/ghgr https://tirto.id/sejarah-ilmu-kalam-perkembangan-teologi-islam-berawal-dari-tahkim-ghgr,
Diakses; 13 Oktober 2022

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah). Sifat-sifat
yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak ada padanya, dan sifat-sifat yang mungkin
ada padanya dan membicarakan tentang rasul-rasul Tuhan. Untuk menetapkan
kerasulanya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang mungkin
ada padanya, sifat-sifat yang tidak ada padanya, dan sifat-sifat yang mungkin ada padanya
dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya.
Masalah akidah menjadi perdebatan yang hangat di kalangan umat Islam. Setelah
peristiwa tahkim, dan masa pemerintahan dinasti Umaiyah dan dinasti Abbasiyah tumbuh
berbagai aliran teologi seperti murji’ah, qadariah, jabariah dan Mu’tazilah. Kemudian,
lahirlah imam Abu Mansur Al Maturidi yang berusaha menolak golongan yang berakidah
batil. Mereka membentuk aliran Maturidiah. Kemudian muncul pula Abul Hasan Al
Asy'ari yang telah keluar dari kelompok Mu’tazilah dan menjelaskan asas-asas pegangan
barunya yang bersesuaian dengan para ulama dari kalangan fuqaha dan ahli hadits. Dia
dan pengikutnya dikenal sebagai aliran Asy'ariyah dan kemudian dikenal dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah (suni).
Ilmu Kalam lahir ketika terjadi perseteruan politik di masa Ali bin Abi Talib dan
Muawiyah bin Abu Sufyan. Sebenarnya, embrionya sudah tampak di masa kekhalifahan
Usman bin Affan. Di masa itu, orang-orang yang memiliki paham seragam saling
berdiskusi membincangkan pemikiran mereka. Lantas, ketika terjadi peristiwa arbitrase,
mereka muncul mengungkapkan pandangan mereka masing-masing dan menentukan
sikap terhadap Ali dan Muawiyah.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abu, Bakar. ILMU KALAM KELAS XI PERMINATAN KEAGAMAAN, Cetakan ke-1, Tahun
2020.

Hadi, Abdul. Sejarah Ilmu Kalam: Perkembangan Teologi Islam, Berawal dari Tahkim,
https://tirto.id/ghgr https://tirto.id/sejarah-ilmu-kalam-perkembangan-teologi-islam-berawal-
dari-tahkim-ghgr, Diakses: 13 Oktober 2022

Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2010).

Pusat Bahasa, kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002).

Yusuf, Yunan. Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Prenada media Grup, 2014).

Zaini, Ahmad. “MENGURAI SEJARAH TIMBULNYA PEMIKIRAN ILMU KALAM DALAM


ISLAM” 1, no. 1 (2015).

13

Anda mungkin juga menyukai