Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Tokoh, Latar belakang, dan Pemikiran Kalam Qadariyah

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Kalam

Dosen pengampu : Drs. H. Yaya, M.Ag

Disusun oleh :

Hilwatul Uyun 1184030054

K’ Dede Kosasih 1184030060

Muhammad Fatihul Kafi 1184030078

JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2018
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Kami mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 11 april 2019

Kelompok 9
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Aliran-aliran (Firqoh) muncul setelah Rasulullah SAW wafat, pada zaman


Nabi Muhammad SAW umat Islam dapat kompak dalam lapangan agama,
termasuk di bidang aqidah. Kalau ada hal-hal yang tidak jelas atau hal-hal yang
diperselisihkan di antara para sahabat, mereka mengembalikan persoalannya
kepada nabi. Maka penjelasan beliau itulah yang kemudian menjadi pegangan dan
ditaatinya. Namun setelah Rasulullah wafat mulailah bermunculah aliran-aliran
(firqoh) ilmu kalam, terutama pada masa pemerintahan Kholifah Usman bin affan.
Syi’ah merupakan firqoh pertama yang kemudian disusul oleh firqoh-firqoh
lainnya, salah satunya adalah firqoh Qadariyah.

Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran


Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini
dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di
Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang
cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-
Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada
masalah keimanan.

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang


Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam
berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya
sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah
kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang
membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi
seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya
perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam
bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan
politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka
dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian
tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai
persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih
sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para
rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi
ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan
kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu
kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah,
Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian Qadariah?


2. Bagaimana sejarah munculnya aliran Qadariah?
3. Siapakah tokoh-tokoh Qadariah?
4. Apa saja pokok-pokok pemikiran Qadariah?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qadariah

Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu


qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi
istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
terintervensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang
adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas
kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbutannya.
Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa
manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.

Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-


orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia
memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan
perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan,
yakni baik dan buruk.

B. Sejarah Munculnya Aliran Qadariah

Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan
masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetapi menurut Ahmad Amin, ada
sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali
dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70
H/689M.

Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh


Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang
pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke
agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu
Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang
menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis
untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M.

Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa Qadariyah mula-mula


ditimbulkan pertama kali sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh seorang
bernama Ma’bad al-Juhani dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan
Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad
al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi mengambil faham ini dari seorang
Kristen yang masuk Islam di Irak. Ma’ad al-Juhni adalah seorang tabi’in, pernah
belajar kepada Washil bin Atho’, pendiri Mu’tazilah. Dia dihukum mati oleh al-
Hajaj, Gubernur Basrah, karena ajaran-ajarannya. Dan menurut al-Zahabi, Ma’ad
adalah seorang tabi’in yang baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan
memihak Abd al-Rahman ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang
kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’ad mati
terbunuh dalam tahun 80 H.

Sedangkan Ghailan Al-Dimasyqi adalah penduduk kota Damaskus.


Ayahnya seorang yang pernah bekerja pada khalifah Utsman bin Affan. Ia datang
ke Damaskus pada masa pemerintahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik (105-
125 H). Ghailan juga dihukum mati karena faham-fahamnya. Ghailan sendiri
menyiarkan faham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari
khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas
perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan
baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang
melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya
sendiri. Dalam faham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya.

Di sini tak terdapat faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah
ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya
hanya bertindak menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak azal. Selain
penganjur faham Qadariyah, Ghailan juga merupakan pemuka Murji’ah dari
golongan al-Salihiah.

C. Tokoh – Tokoh Aliran Qadariah

Tokoh utama Qadariyah adalah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al-


Dimasyqi. Kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang Qadar.
Semasa hidupnya, Ma’bad Al-Juhani berguru dengan Hasan Al-Basri,
sebagaimana Washil bin Atha’, tokoh pendiri mu’tazilah. Jadi, Ma’bad termasuk
tabiin atau generasi kedua sesudah Nabi. Sedangkan Ghailan semula tinggal di
Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata
dan pendapatnya.

Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh. Ma’bad Al-Juhani terbunuh


dalam pertempuran melawan Al-Hajjaj pada tahun 80 H. Ia terlibat dalam dunia
politik dengan mendukung gubernur Sajistan, Abdurrahman Al-Asy’ats
menentang kekuasaan bani Umayyah. Sedangkan ghailan Al-Dimasyqi dihukum
bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/ 724-743
M), khalifah dinasti Ummayyah yang kesepuluh. Hukuman bunuh atas ghailan
dilakukan karena ia terus menyebarluaskan faham qadariyah yang dinilai
membahayakan pemerintah. Ghailan gigih menyiarkan faham qadariyah di
Damaskus sehingga mendapat tekanan dari khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-
720 M). Meskipun terus mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan aktivitasnya
hingga Umar wafat dan diganti oleh Yazid II (720-724 M). Baru pada masa
pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M) kegiatan ghailan berhenti
dengan eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya.

D. Pokok – Pokok Pemikiran Aliran Qadariah

Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah


bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang
melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia
sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas
kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia
hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala
perbuatannya.

Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas
kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia
berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak
pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan
di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa
dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya
sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat
akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.

Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang
umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan
bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya,
manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap
dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi
alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah
Alquran adalah sunnatullah.

Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat
diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali
mengikuti hukum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak
mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian
juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa
barang seratus kilogram.

Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan
kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat
Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu, antara lain:
1. (QS. Fush-Shilat : 40).

Artinya : “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa


yang kamu perbuat”.

2. (QS. Al-Kahfi : 29).  

Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman
maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”.

3. (QS.Ali Imran :165).

Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud),
Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-
musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya
(kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

4. (QS.Ar-R’d :11).

Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga


mereka merobah keadaan [Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama
mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri
mereka sendiri”.

Secara terperinci asas-asas ajaran Qadariyah adalah sebagai berikut :

1. Mengingkari takdir Allah Taala dengan maksud ilmuNya.


2. Melampau di dalam menetapkan kemampuan manusia dengan
menganggap mereka bebas berkehendak (iradah). Di dalam perbuatan
manusia, Allah tidak mempunyai pengetahuan (ilmu) mengenainya dan ia
terlepas dari takdir (qadar). Mereka menganggap bahawa Allah tidak
mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali selepas ia terjadi.
3. Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang
ada pada makhluknya. Kerana ini akan membawa kepada penyerupaan
(tasybih). Oleh itu mereka menafikan sifat-sifat Ma'ani dari Allah Taala.
4. Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk. Ini disebabkan
pengingkaran mereka terhadap sifat Allah.
5. Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah.
6. Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa
kepada penyerupaan (tasybih).
7. Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah
(fana'), selepas ahli syurga mengecap nikmat dan ali neraka menerima
azab siksa.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Paham Qadariyah adalah nama yang dipakai untuk salah satu aliran yang
memberikan penekanan terhadap kebebsan dan kekuatan manusia dalam
menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Tokoh pemikirnya adalah Ma'bad al-
Jauhani.

Dalam ajarannya, aliran Qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat
menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyi
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksankan
kehendaknya itu.

B. SARAN

Dari pembahasan yang telah kami sajikan diatas, kami berharap mudah mudahan
teman – teman dapat memahami pembahasan yang kami berikan. Mohon maaf
jika banyak kesalahan dalam makalah kami dan kami sangat megharapkan kritik
dan saran jika banyak kekurangan dari makalah kami. Karena ada pepatah yang
mengatakan “semakin ilmu itu di gali maka semakin banyak yang tidak kita
ketahui”.
DAFTAR PUSTAKA

Suntiah, Ratu dan Masalani. 2014. Ilmu kalam. Bandung: Interes Media
Foundation.

Anwar, Rosihan. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.

Hadariyansyah. 2008. Pemikiran-Pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran


Islam. Banjarmasin: Antasari Press.

Anda mungkin juga menyukai