Disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Sistem Evaluasi Dakwah
Oleh :
MD/ 5/ B
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dai merupakan sebuah figur yang harus mencerminkan sifat tauladan, karena dai adalah oran
g yang berilmu dan beradab. Oleh karena itu sifat, perilaku, dan ucapan dari seorang da'i haru
slah sejalan.
Keselarasan sifat perilaku seorang da'i akan menunjukan proses dan hasil yang tercermin dari
para mad'u, keselarasan tersebut akan memunculkan simpati dari para mad'u tersebut.
Oleh karena itu dalam penerapan sifat da'i diperlukan analasisi dengan pendekatan pendekata
n, dari pendekatan pendekatan tersebut akan terlihat berbagai macam hasil analisi, yang man
a akan dijelaskan didalam makalah ini
Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
1. Al-Haddu (Batasan/Hakikat)
Dari beberapa literatur para pakar telah mencoba merumuskan tentang definisi ilmu dakwa
h, antara lain Dr. Ahmad Ghalwasy dalam Ad-Dakwah Al-Islamiyyah, Ilmu dakwah adalah il
mu yang dipakai untuk megetahui berbagai seni menyampaikan kandungan ajaran Islam, baik
itu aqidah, syari'at maupun akhlaq. Hasil rumusan definisi Ilmu dakwah pada pertemuan para
sarjana Fakultas Dakwah se-Jawa Tahun 1978 memeberikan kesimpulan bahwa ilmu dakwah:
sebagai Ilmu yang mempelajari proses penyampaian ajaran agama Islam kepada umat; Ilmu
yang mempelajari hubungan antara unsur-unsur dakwah; dan Ilmu pengetahuan yang mempel
ajari gejala penyampaian agama dan proses keagamaan dalam segala segi.
Dakwah sebagai aktivitas merupakan sesuatu yang telah muncul sejak adanya kenabian ya
ng awalnya disampaikan oleh Rasulullah saw. Berbeda dengan ilmu dakwah, walaupun dakw
ah sudah inheren dengan gerak Islam sejak awalnya, namun tidak dengan ilmu dakwah. Ilmu
dakwah bisa dikatakan ilmu yang relatif baru. Ilmu dakwah lahir belakangan jika dibandingk
an dengan ilmu keislaman lainnya, seperti ulumul qur’an, ulumul hadits, dan lain sebagainya.
Ilmu dakwah sebenarnya lebih dekat ke arah ilmu komunikasi sosial. Oleh karenanya, ilm
u dakwah dengan sendirinya merupakan bagian ilmu-ilmu sosial, yang dirumuskan dan dike
mbangkan dengan mengikuti norma ilmiah dari ilmu-ilmu social. Pada sisi lain, sebagai sebu
ah disiplin keilmuan, ilmu dakwah terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu, tek
nologi dan masyarakat. Ilmu dakwah mempunyai banyak cabang, diantaranya adalah: filsafat
dakwah, sejarah dakwah, fiqhud dakwah, Rijalul dakwah, metodologi dakwah, manajemen da
kwah, psikologi dakwah, perbandingan dakwah, sosiologi dakwah, dan sebagainya. Cabang-c
abang atau struktur dari ilmu dakwah ini tidak akan pernah berhenti. Ilmu dakwah akan terus
berkembang seiring dengan perkembangan waktu, ilmu dan teknologi.
Dalam hal ini, kelayakan ilmu dakwah sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri kini sudah
menjadi suatu yang logis, dan tidak diragukan lagi sebagaimana sebelumnya sebab pada
dasarnya, pembidangan ilmu- ilmu ke-Islaman telah lama dilakukan yang merupakan sistem
keilmuan Islam. Secara umum, ilmu-ilmu yang berkembang dalam sejarah Islam meliputi
ilmu al-Qur’an, ilmu hadits, ilmu tafsir, bahasa Arab, ilmu kalam atau teologi, fiqih siyasah
atau hukum tata negara, peradilan, tasawuf, tarekat, akhlaq, sejarah politik, ilmu dakwah, sain
Islam, pendidikan Islam, peradaban Islam, perbandingan agama, kebudayaan Islam, studi
bahasa-bahasa dan sastra-sastra Islam, dan seterusnya. Ilmu-ilmu itu kemudian berlanjut ber
kembang dan memiliki cabang masing-masing. (Nasution, 1989: 351, lihat juga Abdullah, 20
02: 30-31).
Dengan kata lain, objek penelaahan ilmu dakwah adalah memiliki objek-objek material da
n objek formal. Objek material ilmu dakwah sebagaimana ilmu-ilmu sejenis lainnya adalah te
ntang tingkah laku manusia. Sedangkan objek formalnya adalah usaha manusia untuk menyer
u atau mengajak manusia lain dengan ajaran Islam agar menerima, meyakini, dan mengamalk
an ajaran Islam bahkan memperjuangkannya”. Dengan demikian, maka yang menjadi objek t
elaah ilmu dakwah adalah manusia dengan segala sikap tingkah lakunya yang berkaitan deng
an aktifitas dakwah (Amin, 2008: 29-30).
5. Al-Nisbat
Al-Nisbah adalah, Hubungan ilmu tersebut dengan ilmu-ilmu yang lain, secara umum ada
dua yang mempengaruhi arah perkembangan ilmu dakwah. Dua hal tersebut adalah :
1. Bila ilmu dakwah hanya diletakkan pada hal yang logis, maka ilmu dakwah ha
rus dikembangkan sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu tradisional Islam
(Paham-paham lama yang tidak bertentangan dengan agama). Karena ilmu dak
wah ditarik dari al-Qur’an, maka ilmu tafsir menjadi sangat erat kaitannya. Ka
rena ditarik dari hadits maka ilmu hadits menjadi sangat relevan. Dan karena s
esekali menyangkut hukum Islam, ilmu fiqh dan ushul fiqh menjadi penting.
2. Bila ilmu dakwah dikaji secara empiris, maka ilmu dakwah harus diletakkan d
alam kelompok ilmu-ilmu perilaku (behavior science) atau ilmu-ilmu sosial (s
ocial science). Walaupun begitu, ilmu dakwah erat kaitannya dengan ilmu ko
munikasi.
6. Al-Wadi’
Al-Wadhi’ adalah, peletak dasar. Pada awal abad ke-20 pemikiran dakwah mulai dirintis
menjadi ilmu pengetahuanya itu pada tahun 1912, dikairo tepatnya didirikanya sebuah lemba
ga yang bernama Dar al dakwah wa al-irsad untuk menghalang gerakan kristenisasi. Lembag
a ini kemudian ditutup karena terjadinya perang dunia ke-II. Sejarah pemikiran dakwah sebag
ai suatu disiplin keilmuan, dimulai pada tahun 1918 di fakultas ushuluddin universitas Al-Az
har dengan pencetus gagasannya ialah, Syaikh Ali Mahfudz dalam tulisannya mengenai “Al-
Wa’dhu Wa Al-Irsyad” dalam bukunya yang menjadi teks dakwah, Hidayat Al-Mursyidi Fi T
huruq Al-Wa’dhi Wa Al-Hidayah. Oleh karenanya, tahun 1918 diusulkan sebagai tahun lahirn
ya ilmu dakwah dan Hidayat Al-Mursyidin Fi Thuruq Al-Wa’dhi Wa Al-Hidayah dianggap se
bagai kitab pertama dibidang dakwah.
Sedangkan di Indonesia sendiri pertama kali dakwah hanya berkembang dipesantren-pesan
tren saja. Itupun bukan sebagai ilmu tapi melainkan menciptakan para da’i. Dengan banyakny
a para da’i maka akan semakin banyak orang masuk Islam. Setelah masa itu ilmu dakwah mu
lai menjadi bahan diskusi ilmiah. Ilmu dakwah mulai menjadi ilmu yang diakui yaitu, ketika
Perguruan Tinggi Agama Islam Negri (PTAIN) dibentuk pemerintah pada tanggal 26 septem
ber 1951, dimana dakwah menjadi salah satu jurusannya, selain jurusan tarbiyah dan jurusan
Qadla.
7. Al-Ism (Nama)
Isim ( nama) Istilah-istilah yang berhubungan erat dengan Dakwah, antara lain:
1. Tabligh: Menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain Pelakunya disebut: “Muballig
h“
2. Khutbah: Berasal dari kata خطبyang artinya ; mengucapkan atau berpidato, pelakunya
disebut “ Khotib “. Menurut Abu Bakar Atceh Khutbah alah dakwah atau tabligh yang
diucapkan dengan lisan padaupacara – upacara agama sepreti khutbah jum'at, khutbah
hari raya, khutbah nikah dan lain – lain yang memiliki corak syarat dan rukun tertentu.
3. Nashihah: Menyampaikan perkataan yang baik kepada seseorang atau beberapa orang
untuk memperbaiki sikap dan tingkah lakunya, pelakunya disebut “ ”صح نا
4. Fatwa: Memberikan uraian atau keterangan agama mengenai suatu masalah, pelakunya
disebut “ Mufti “
5. Tabsyir/Targhib: Memberikan uraian keagamaan kepada orang lain yang isinya berupa
berita menggembirakan orang yang menerimanya, pelakunya disebut “Mubassyir“
6. Tandzir/Tarhib: Menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain yang isinya berupa
berita peringatan atau ancaman bagi yang melanggar syari’at, pelakunya disebut
“Mundzir“
8. Istimdad
Istimdad / Dasar ilmu. Sumber ilmu dakwah adalah Al-Quran, al-Sunnah, serta produk Ijti
had. Al-Quran diyakini sebagai sumber segala ilmu dakwah. Dengan kata lain, Al-Quran dap
at dikatakan sebagai kitab al-Da’wah, karena di Tata Sukayat: RevitalisasiIlmu Dakwah 202 I
lmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies Vol. 6 No. 2 Desember 2012 dalamny
a terdapat isyarat sekaligus syarat yang jelas mengenai apa, bagaimana, dan untuk apa keguna
an dakwah Islamiyah. Asal usul ilmu–ilmu dakwah–itu berasal dari Allah SWT., yang kemud
ian memberi kekuatan dan kemampuan kepada manusia untuk mengetahuinya melalui bebera
pa sumber atau saluran, yaitu melalui wahyu, rasio dan indera. Sumber pengetahuan ilmu dak
wah yang di dapat melalui wahyu, misalnya dapat diketahui dan ditemukan melalui ayat-ayat
al-Qur’an, seperti dalam surat An Nahl: 125, Ali Imra: 104, 110, dan sebagainya. Bahkan me
nurut Muhammad Fuad Abdul Baqi, dalam al-Qur’an kata-kata dakwah dan kata-kata yang te
rbentuk darinya disebutkan tidak kurang dari 213 kali (Baqi, t.t.: 120). Suatu sebutan yang tid
ak sedikit berkaitan dengan perintah ajakan kepada ajaran Islam, dan tentunya semua ini menj
adi sumber dari landasan pengembangan ilmu dakwah itu sendiri. Adapun sumber-sumber pe
ngetahuan dakwah yang ditemukan dalam hadits juga tidak sedikit, yang kesemuanya dapat d
ijadikan prinsip dan dapat dirumuskan menjadi dalil-dali aqli (rasio) lebih lanjut sebagai sum
ber yang kedua setelah wahyu (al-Qur’an dan hadits).. Sehubungan dengan penggunaan akal
(rasio) sebagai sumber kedua keilmuan dakwah, dalam perkembangan sekarang ini para ilmu
an Islam terkadang terhenti dan terjebak dalam suatu dilema ketika ingin membuktikan eksist
ensi sebuah ilmu, khususnya ilmu-ilmu ke-Islaman (tak terkecuali ilmu dakwah). Hal ini tida
k lain adalah karena mereka dipengaruhi dan terjebak oleh perkembangan epistemologi yang
berkembang di Barat yang sedikit banyak berbeda dengan epistemologi dalam pandangan Isla
m.
Jika di Barat ilmu beranjak dari suatu premis kesangsian, maka dalam level wahyu, ilmu-il
mu ke-Islaman (seperti juga ilmu dakwah) bersumber pada premis keyakinan. Jadi berbalikan.
Di sini pula pembicaraan secara akademik sering terhenti, lantaran sudah terkavling dengan
wahyu tadi. Ilmuan Muslim sering terjebak oleh jerat sendiri bahwa ilmu-ilmu ke-Islaman ide
ntik dengan wahyu. Fiqh identik wahyu, ilmu kalam identik wahyu, tasawuf identik wahyu, il
mu dakwah identik dengan wahyu, dan seterusnya, sehingga dianggap sedikit banyak menghi
langkan fungsi akal, akibatnya diskusi hanya berlari di tempat.
Dalam Islam, munculnya ilmu-ilmu ke-Islaman seperti adanya ilmu dakwah adalah dalam
rangka memahami wahyu untuk dipraktekkan. Wahyu yang di dalam wujudnya adalah al-Qu
r’an dan hadits yang shahih, yang dalam perspektif epistemologi Islam menjadi sumber utam
a ilmu-ilmu tersebut. Namun al-Qur’an atau katakanlah wahyu, sendiri adalah hudan, bukan p
roposisi, bukan buku undangundang (not a book of code), bukan teori, bukan hipotesa, bahka
n juga bukan asumsi dalam kadarnya yang “ilmiah”, yang berarti bisa diobrakabrik oleh man
usia dengan kedok “ilmiah” pula. Dengan cara berfikir demikian, ilmu-ilmu ke- Islaman terse
but maka dapat menjadi kajian ulang secara kritis.
Oleh karena asal usul segala ilmu dari Allah, maka manusia hanya menjadi perumus teorit
eori yang diangkat atau dirumuskan berdasarkan dinullah (wahyu Allah yang tertulis, yang te
rdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah) atau Sunnatullah (hukum Allah yang diberlakukan pa
da alam semesta). Ketika merumuskan teori-teori dakwah berdasarkan dinullah dan sunnatull
ah itulah mereka menggunakan akal (penalaran). Di sinilah akal berfungsi melakukan perenu
ngan, dan hasil yang dicapai tidak mutlak lagi, namun sudah merupakan hasil ijtihad sebagai
mana di jelaskan di atas. Selain dari akal (rasio) sebagai sumber dari eksistensi ilmu dakwah,
kekuatan indera (empiris) juga merupakan basis yang tak kalah pentingnya dalam merumuska
n teori-teori ilmu dakwah. Melalui pengalaman empiris dan persepsi, yaitu dengan mengguna
kan observasi, eksperimen, laporan sejarah, deskripsi pengalaman kehidupan dan semacamny
a. Pengetahuan yang dicapai melalui indera selalu di dasarkan pada pengamatan terhadap fakt
a-fakta dakwah secara empiris. Benar salahnya pengetahuan juga akan diukur dari pengamata
n terhadap fakta-fakta atau kenyataan yang ada. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa
eksistensi ilmu dakwah dalam Islam berdasarkan intelek, yang mengarahkan rasio untuk mem
bentuk ilmu yang bertumpang pada kesadaran dan keimanan terhadap kekuasaan Allah. Inila
h ilmu yang menjadi petunjuk (hidayah) dari kegelapan menuju terang (nur) (Saefuddin, 1991
35). Suatu ilmu yang mengemban misi kesejahteraan hidup manusia, dunia maupun akhirat.
Pendekatan dakwah dibagi menjadi 3 yaitu: pendekatan budaya, pendekatan pendidikan dan p
endekatan psikologis. Pendekatan dakwah dengan budaya harus memperhatikan kebiasaan da
n adat istiadat antarbudaya.
Dakwah antar budaya adalah proses dakwah yang mempertimbangkan kebudayaan an
tar subjek dakwah dan objek dakwah dan keragaman penyebab terjadinya gangguaninteraksi
pada tingkat intra dan antarbudaya agar pesan dakwah dapat tersampaikan dengan tetap terpel
iharanya situasi damai. Dimana pendekatan dakwah ini di gunakan agar mencerdaskan dan ce
ncerahan masyarakat, membangun masyarakat, juga peningkatan sosial budaya masyarakat se
bagain pentransformasian dan pelembagaan masyarakat.
Dalam syarah imam Nawawi dijelaskan, bahwa yang disebut dengan kemungkaran ad
alah segala sesuatu yang dilarang oleh syari’at, ada juga yang mengatakan kemungkaran adal
ah segala sesuatu yang dipandang buruk menurut syara' dan akal. kemungkaran yang harus di
ubah adalah kemungkaran yang terlihat oleh mata. Jika tidak terlihat oleh mata namun diketa
hui, maka ini termasuk dalam pembahasan ini. Kalimat ‚hendaknya ia merubahnya‛ dipahami
sebagai perintah wajib bagi segenap kaum muslimin. Karena di dalam al-Qur’an dan as-Sunn
ah telah ditetapkan perintah wajib untuk amar ma’ruf nahi munkar.
Namun amar ma’ruf dan nahi munkar yang dibebankan kepada kaum muslim, jika ia telah m
elaksanakannya, tapi orang yang diberi peringatan tidak mau melaksanakannya, maka pember
i peringatan telah terlepas dari celaan. Allah berfirman: (QS. Al-Maidah 5:9) yang artinya ‘’A
llah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) un
tuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Menegakkan amar ma’ruf nahy munkar berdasarkan penjelasan hadis riwayat sahabat
Khudaifa, ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam berdakwah. ini sesuai dengan
kemampuan dan kedudukan orang yang memberi peringatan tersebut. Sebagaian ulama berpe
ndapat bahwa merubah dengan tangan adalah kewajiban para penguasa, megubah dengan lisa
n adalah bagi para Ulama, dan merubah dengan hati adalah untuk seluruh orang yang berima
n. Dari hadits ini, yang dimaksud dengan selemah-lemah iman adalah mereka yang hanya ma
mpu menggunakan hatinya (dengan berdoa) ketika mengetahui sebuah kemungkaran di depan
matanya.
Kita lihat bahwa yang dimaksud dengan ‚selemah-lemah iman‛ bukan hanya orang-or
ang yang hanya bisa berdoa ketika menjumpai kemungkaran, sebagaimana kita pahami selam
a ini. Tetapi, mereka yang sebenarnya bisa mengubah kemungkaran dengan (kekuasaan di dal
am genggaman) tangannya, tetapi tidak dia lakukan kecuali hanya (menasihati) dengan lisann
ya, maka dia termasuk selemah lemah iman.
Demikian juga jika ia sebenarnya mampu mengubahnya dengan lisannya, tetapi tidak dia lak
ukan kecuali hanya berdoa saja, maka dia termasuk selemah-lemah iman. Sebaliknya, jika se
orang yang tidak memiliki kekuasaan apapun dan tidak pula memiliki kemampuan berbicara
untuk mencegah kemungkaran itu (ekstremnya dia rakyat jelata yang cacat dan bisu misalny
a), tetapi hatinya masih mau menjerit dalam lantunan doa untuk melawan kemungkaran itu, d
ia ini justru tidak termasuk selemah-lemah iman.
Meski hanya dengan berdoa, tetapi doa itu adalah sebenar-benar kemampuan maksimal yang
memang mampu dia lakukan. Pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar, tidak harus telah menge
rjakan seluruh perintah agama, dan menjauhi seluruh laranganya. Ia tetap wajib melaksanaka
n amar ma’ruf nahi munkar walaupun perbuatannya sendiri menyalahi hal itu. Hal ini karena
seseorang harus melakukan dua perkara, yakni menjalankan amar ma’ruf nahi munkar kepada
diri sendiri, dan kepada orang lain.
Jika yang satu dikerjakan, bukan berarti yang lain tidak. Ini selalu terjadi di masyarak
at, contoh: ketika seorang pemabuk melihat orang-orang yang sedang mabuk, dia tidak mau
menasehatinya, karena dia berfikir ‚Masa aku harus melarang mereka mabuk, sedang aku sen
diri seorang pemabuk.‛. kalau semua masyarakat berfikir seperti ini, maka akan sulit untuk m
elaksanakan amar ma’ruf an nahi munkar.
Jika seseorang masih merasa dirinya belum baik, maka bukan berarti ia harus membiarkan su
atu kemunkaran yang ada dihadapannya. Jadikanlah nasihatnya itu sebagai cambuk untuknya,
agar ia pun merasa malu, dan akhirnya mau melaksanakan apa yang ia perintahkan kepada or
ang lain. Walaupun idealnya, orang yang memberikan nasihat itu adalah orang yang baik, yan
g mau menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Menurut al-Faqih, syarat yang
melakukan amar ma’ruf nahi munkar ada 5 yaitu:
a. Mempunyai ilmu,
b. Ikhlas karena Allah,
c. Ramah dan penuh kasih sayang
d. Sabar
e. Ia berusaha untuk melakukan apa yang ia suruh kepada orang lain.
f. Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban semua orang yang mengaku beriman kepada A
llah dan rasul-Nya. Dunia ini akan terus tegak berdiri, semasih kita mau melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar. Dan kita harus berusaha memenuhi syarat-syarat di atas, agar apa-apa ya
ng kita usahakan itu diterima dan diridhoi Allah Swt.
Contohnya adalah Suatu hari kita akan berdakwah di suatu tempat yang memiliki budaya yan
g sangat berbeda dengan kita, mereka cenderung acuh tak acuh dengan adanya pencerahan isl
am,sehingga tidak banyak yang datang ketempat berdakwah dan kalaupun ada yang mengikut
i itu mungkin sedikit ada rasa terpaksa. Sebagai pendakwah kita harus mengetahui tentang hal
ini dan kemudian kita menetapkan strategi untuk berdakwah. Contoh lainnya adalah jika kita
seumpama berdakwah di daerah pedalaman dan orang yang bertempat tinggal disana juga ma
sih awam terhadap agama Islam. Lalu pertanyaannya, bagaimana cara kita berdakwah? Maka
dalam hal ini, hadist tersebut juga masih berlaku dalam keadaan yang seperti itu. Kami perna
h mengetahui bahwa di suatu desa terdapat beberapa orang yang memakan anjing, kadal dan
binatang lain yang haram. Dulu kebiasaan seperti itu sudah tidak ada lagi karena terdapat sese
puh yang masih kental dengan agama islam sehingga dilarang dengan keras untuk memelihar
a apalagi memakan barang haram. Namun, semenjak sesepuh dalam desa itu sudah meningga
l, mereka kembali dengan kebiasaan seperti dulu.
Nah, untuk hal ini yang dapat dilakukan oleh pendakwah yang pertama kali adalah dengan be
rteman dengan orang-orang tersebut. Kita sebagai pendakwah harus bisa dekat dengan salah s
eorang diantara mereka dengan alasan yang masuk akal sehingga dapat diterima di desa terse
but. Setelah itu, kita katakan dengan cara yang baik dan dengan kalimat yang mendukung aga
r tidak terjadi kesalahan bahwa ada makanan lain yang dapat dimakan selain itu. Karena oran
g yang seperti itu tidak dapat dipaksa dan sulit untuk menerima kehadiran orang asing yang ti
ba-tiba datang lalu melarangnya melakukan sesuatu yang dianggap telah menjadi kebiasaan
mereka. Untuk itulah diperlukannya strategi yang pasti untuk dapat masuk dalam kehidupan
mereka dan mengajarkan agama islam dengan pelan-pelan tapi pasti. Sehingga mereka dapat
mengerti maksud dari makanan haram dan akibat yang ditimbulkan karena telah memakanny
a. Inilah kenapa begitu penting pendekatan, metode, dan taktik dakwah sebelum melakukan d
akwah, apalagi terhadap orang yang awam sepeti yang dikatakan diatas.
BAB III
PENUTUP
C. Kesimpulan