Ahlussunah waljamaah
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kelompok-kelompok
islam yang termasuk dalam golongan Ahlu SunnahWaljamaah” dengan tepat
waktu.Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Ilmu Kalam.
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang manusia prasejarah
bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Nina selaku guru Mata Pelajaran Sejarah. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah
ini.Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Daftar isi
Bab 1
Pendahuluan
Latar belakang
Rumusan masalah
Bab 2
Pembahasan
Bab 3
Penutup
Kesimpulan
Bab 1
Pendahuluan
Latar belakang
Aqidah pada masa Nabi adalah aqidah paling bersih, yaitu aqidah islam
yang sebenaranya, karena belum tercampur oleh kepentingan apapun
selain hanya karena Allah SWT. Ini disebabkan karena Nabi adalah
sebagai penafsir al-Qur’an satu-satunya, sehingga setiap sahabat yang
membutuhkan penjelasan al-Qur’an yang berkaitan dengan keyakinan
maka Nabi langsung menjelaskan maksudnya. Selain itu umat terbimbing
langsung oleh Nabi, sehingga dalam memahami agama tidak terjadi
perbedaan.Kemudian, aqidah pada masa sahabat masih sama dengan
zaman Nabi, belum membentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri
apalagi membentuk sebuah nama tertentu, maupun aliran-aliran pemikiran
tertentu.Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara
tentang ilmu kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog
Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan
pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai “mutakallim”, yaitu ahli
debat yang pintar mengolah kata. Ilmu “kalam” juga diartikan sebagai
teologi Islam atau ushuluddin, yaitu ilmu yang membahas ajaran dasar dari
agama.Perbedaan yang muncul pertama kali dalam Islam bukanlah
masalah teologi, melainkan bidang politik. Kemudian, seiring dengan
perjalanan waktu, perselisihan politik ini meningkat menjadi persoalan
teologi. Bahkan ada dua teori yang membahas latar belakang timbulnya
persoalan teologi yakni perbedaan aliran ilmu kalam. Pertama, awal
tercampurnya masalah aqidah dengan hal yang lain adalah sejak mulai dari
khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan terbunuh karena beberapa sahabat
Nabi terlibat dalam urusan yang bersifat politis. Dan masalah ini kian
rumit ketika peristiwa tahkim terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib. Kedua, aliran ilmu kalam muncul karena hasil iterpretasi atau
penafsiran terhadap al-Qur’an maupun kajian terhadap hadits yang bersifat
teologis. Diantara sekian banyak ilmu kalam yang bermunculan ialah
Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadiriyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah yang
berakhir dengan peristiwa mihnah yang menjadi sebab awal terbentuknya
aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Ahlussunnah wal Jama’ah memang “satu
istilah” yang mempunyai “banyak makna” , sehingga banyak golongan
dan faksi dalam Islam yang mengklaim dirinya adalah “Ahlussunnah wal
Jama’ah”. ‘Ulama dan pemikir Islam mengatakan, bahwa Ahlussunnah
wal Jama’ah itu merupakan golongan mayoritas umat Islam di dunia
sampai sekarang, yang secara konsisten mengikuti ajaran dan amalan
(sunnah) nabi dan para sahabat-sahabatnya, serta memperjuangkan
berlakunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam.Meskipun pada
mulanya Ahlussunnah wal Jama’ah itu menjadi identitas kelompok atau
golongan dalam dimensi teologis atau aqidah Islam dengan fokus masalah
ushuluddin (fundamental agama), tetapi dalam perjalanan selanjutnya
tidak bisa lepas dari dimensi keislaman lainnya, seperti Syari’ah atau
Fiqhiyah, bahkan masalah budaya, politik, dan sosial. Melalui makalah ini
nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan Ahlussunnah
wal Jama’ah, baik tentang riwayat asal mula munculnya aliran ini,
perkembangannya, doktrin-doktrinnya dan yang terpenting adalah
kepercayaannya. Semoga makalah ini dapat memberikan gambaran dan
penjelasan yang baik terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah.
Rumusan masalah
Bab 2
Pembahasan
A. Pengertian Ahlul Sunnah wal Jama’ah
1. Definisi Aswaja
Aswaja merupakan sebuah singkatan yang memiliki kepanjangan Ahlus_Sunnah
Wal Jamaah. Kepanjangan tersebut merupakan frase dari kata-kata bahasa Arab
yaitu Ahlu, Sunnah, Jamaah. Kata Ahlu diartikan sebagai keluarga, komunitas,
atau pengikut. Kata Al-Sunnah diartikan sebagai jalan atau karakter. Sedangkan
kata Al-Jamaah diartikan sebagai perkumpulan atau kelompok golongan.Arti
Sunnah secara istilah adalah segala sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW., baik
berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah bermakna
sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah
SAW. Dan pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas
orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan
jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal
lahiriyah, atau akhlak hati.
2. Definisi aswaja menurut pendapat ulama
a) Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang
berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat,
tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad
ibn Muhammad ibn Hanbal.
b) Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah
golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat dan mengikuti
warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang
berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i,
dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf
mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.
c) Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah
adalah para sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut
pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang
mengikutinya dari seluruh umat semuanya.
d) Pendapat Said Aqil Siradj, tentang Ahlus sunnah wal jama’ah adalah “Ahlu
minhajil fikri ad-dini al-musytamili ‘ala syu’uunil hayati wa muqtadhayatiha al-
qa’imi ‘ala asasit tawassuthu wat tawazzuni wat ta’adduli wat tasamuh”, atau
“orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua
aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga
keseimbangan dan toleransi”.
Definisi di atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang
dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada al-
Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan
pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang salih yang sesuai
dengan ajaran-ajaran Nabi.
B. Kelompok-Kelompok Ahlu Sunnahwaljamaah
Al-Maturidiyah
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari
nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping
itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib
menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi,
kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.
Selain itu, definisi dari aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang
dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada
penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Sejalan dengan itu juga, aliran
Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu
Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah
yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan
aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa
berlebih-lebihan atau melampaui batas, maksudnya aliran Maturidiyah
berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak
bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan
syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur’an
yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam
penafsiran Al-Qur’an. Dalam menfsirkan Al-Qur’an al-Maturidi membawa ayat-
ayat yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang
dan jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan
pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak
mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah
adalah lebih selamat.
Jadi dalam pena’wilan Al-Qur’an, al-Maturudi sangat berhati-hati walaupun
beliau menjadikan akal suatu kewajiban dalam penafsiran suatu ayat. Penulis
setuju dengan sikap al-Maturudi dalam menafsirkan ayat yang mutasyabih,
yakni dengan mencari pentunjuk dari ayat yang muhkam dan dikombinasikan
dengan penalaran akal pikiran yang apabila seseorang tidak bisa mena’wilkan
ayat tersebut, maka orang itu dianjurkan untuk tidak mena’wilkannya.
Maka dari bererapa pengertian di atas, kami bisa memberikan simpulan
bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran yang namanya diambil dari nama
pendirinya yakni al-Maturudi. Aliran ini menggunakan akal dalam analogi
pemikiran atau penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal yang
mutlak karena apabila terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan
syara’, maka itu ditolak.
Doktrin-doktrin ajaran Al-Maturidiyah :
3.Perbuatan Manusia
Maturidiyah memandang bahwasanya perwujudan perbuatan itu terdiri dari dua
hal, yaitu perbuatan Allah SWT dan perbuatan manusia. Artinya, Allah
menciptakan perbuatan manusia sebagaimana firman-Nya dalam surah As-Shaffat
ayat 96: “Allah-lah yang menciptakan kamu apa yang kamu kerjakan” (Q.S. As-
Shaffat [37]: 96) Kendati demikian, manusia memiliki daya dan kehendak untuk
menentukan perbuatan tersebut. Manusia akan melakukan perbuatan yang sudah
diciptakan Tuhan. Aliran Maturidiyah menyangkal pendapat yang menyebut
bahwasanya manusia memiliki kehendak bebas (free will). Namun, Maturidiyah
juga tidak menyetujui fatalisme. Maturidiyah berada di posisi tengah-tengah:
bahwasanya perwujudan perbuatan adalah gabungan dari penciptaan Allah SWT
dan partisipasi manusia di dalamnya.
Asy’ariah
Pengertian Aliran Asy'ariyah. Aliran Asy'ariyah adalah paham akidah yang mana di
nisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy'ari. Nama lengkapnya adalah Abul Hasan Ali
Ismail Bin Abi Basyar Ishaq Bin Salim Bin Ismail Bin Abdillah Bin Musa Bin Bilal Bin
Abi Burdah Amir Bin Abi Musa Al-Asy'ari. Kelompok Asy'ariyah menisbahkan pada
namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy'ariyah. Asy'ariyah
mengambil dasar keyakinan dari kulla bilyah,yaitu pemikiran dari Abu Muhammad Bin
Kullah dalam meyakini sifat-sifat allah. Kemudian mengedepankan akal diatas tekstual
ayat dalam memahami Al-qur'an dan Hadits.Aliran Asy'ariyah disebut juga sebagai aliran
Ahli Sunnah yang dimana kemunculannya mengatasi berbagai faham yang berkembang
di kalangan umat islam dan menjadi penengah berbagai persoalan pemikiran umat.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Thayyib Bin Muhammad Bin Ja’far
Bin Al-Qasim,beliau ahli ushul fikih,lahir di bashrah dan menetap di bagdad.
Menurut Al-Baqillani Tuhan adalah gerak yang terdapat pada diri manusia,adapun
bentuk atau sifat dari gerak tersebut dihasilkan oleh manusia sendiri.
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Ma’ali Abd Al-Malik Bin Abu Muhammad
Abdullah Bin Yusuf Bin Abdullah Bin Yusuf Bin Muhammad Bin Hayyuyah Al-
juwaini.Menurut nya bahwa tangan Tuhan harus diartikan kekuasaan Tuhan. Mata
Tuhan diartikan penglihatan Tuhan. Dan wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan.
Dan duduk di atas tahta kerajaan diartikana Tuhan berkuasa dan maha tinggi.
As-Sanusi
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad Bin Yusuf. Ajarannya yaitu
membahas sifat wajib,mustahil,dan jaiz Allah serta 4 sifat wajib dan muntasil
rasul.
Keadilan
Allah itu adil,Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala
kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya,Allah tidak memiliki
keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak.
Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan
qadimnya Al-Qur’an. Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-qur’an di
ciptakan oleh makhluk sehingga tidak qadim,serta pandangan madzhab
hambali menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah.Zahiriyah
bahkan berpendapat bahwa semua huruf,kata,dan bunyi Al-Qur’an adalah
qadim, Sedangkan Asy’ari berpendapat bahwa walaupun Al-Qur’an
terdiri atas kata-kata,huruf dan bunyi,semua itu tidak melekat pada esensi
Allah dan karenanya tidak qadim.
Melihat Allah
Al-Firqatun Najiyah
At-Tha’ifah Al-Manshurah
At-Tha’ifah Al-Manshurah atau kelompok yang ditolong oleh Allah. Nama ini
diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam sebagaimana yang
telah diriwayatkan oleh Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu:
Nama ini dinisbatkan kepada Salaf, yakni ringkasan dari kata Salafusshalih atau
para pendahulu yang shaalih. Maka Salafiyyun adalah orang-orang yang meniti
jejak para pendahulu yang shalih dari kalangan Shahabat Nabi, Tabi’in serta
Tabi’it Tabi’in.
C. Angkatan Ke Tiga
Diantaranya; Abu al-Hasan as-Sukari, Abu Manshur al-Ayyubi an-
Naisaburi, Abd al-Wahhab al-Maliki, Abu al-Hasan an-Nu’aimi, Abu
Thahir ibn Khurasyah, Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir al-
Baghadadi (w 429 H) penulis kitab al-Farq Bayn al-Firaq, Abu Dzarr al-
Harawi, Abu Bakar ibn al-Jarmi, Abu Muhammad Abdulah ibn Yusuf al-
Juwaini; ayah Imam al-Haramain (w 434 H), Abu al-Qasim ibn Abi
Utsman al-Hamadzani al-Baghdadi, Abu Ja’far as-Simnani al-Hanafi, Abu
Hatim al-Qazwini, Rasya’ ibn Nazhif al-Muqri, Abu Muhammad al-
Ashbahani yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Labban, Sulaim ar-Razi,
Abu Abdillah al-Khabbazi, Abu al-Fadl ibn Amrus al-Maliki, Abu al-
Qasim Abd al-Jabbar ibn Ali al-Isfirayini, al-Hâfizh Abu Bakr Ahmad ibn
al-Husain al-Bayhaqi; penulis Sunan al-Bayhaqi (w 458 H), dan Abu Iran
al-Fasi.
D Angkatan Ke Empat
Diantaranya; al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H), Abu al-Qasim
Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah al-
Qusyairiyyah (w 465 H), Abu Ali ibn Abi Huraisah al-Hamadzani, Abu al-
Muzhaffar al-Isfirayini penulis kitab at-Tabshîr Fî ad-Dîn Wa Tamyîz al-
Firqah an-Nâjiyah Min al-Firaq al-Hâlikîn (w 471 H), Abu Ishaq asy-
Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh Fî al-Fiqh asy-Syâfi’i (w 476 H), Abu al-
Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang lebih dikenal dengan
Imam al-Haramain (w 478 H), Abu Sa’id al-Mutawalli (w 478 H), Nashr
al-Maqdisi, Abu Abdillah ath-Thabari, Abu Ishaq at-Tunusi al-Maliki,
Abu al-Wafa’ Ali ibn Aqil al-Hanbali (w 513 H) pimpinan ulama madzhab
Hanbali di masanya, ad-Damighani al-Hanafi, dan Abu Bakar an-Nashih
al-Hanafi.
E. Angkatan kelima
Diantaranya; Abu al-Muzhaffar al-Khawwafi, Ilkiya, Abu Hamid
Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H), Abu al-Mu’ain
Maimun ibn Muhammad an-Nasafi (w 508 H), asy-Syasyi, Abd ar-Rahim
ibn Abd al-Karim yang dikenal dengan Abu Nashr al-Qusyairi (w 514 H),
Abu Sa’id al-Mihani, Abu Abdillah ad-Dibaji, Abu al-Abbas ibn ar-
Ruthabi, Abu Abdillah al-Furawi, Abu Sa’id ibn Abi Shalih al-Mu’adz-
dzin, Abu al-Hasan as-Sulami, Abu Manshur ibn Masyadzah al-
Ashbahani, Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w
538 H) penulis kitab al-‘Aqîdah an-Nasafiyyah, Abu al-Futuh al-Isfirayini,
Nashrullah al-Mishshishi, Abu al-Walid al-Baji, Abu Umar ibn Abd al-
Barr al-Hâfizh, Abu al-Hasan al-Qabisi, al-Hâfizh Abu al-Qasim ibn
Asakir (w 571 H), al-Hâfizh Abu al-Hasan al-Muradi, al-Hâfizh Abu
Sa’ad ibn as-Sam’ani, al-Hâfizh Abu Thahir as-Silafi, al-Qâdlî ‘Iyadl ibn
Muhammad al-Yahshubi (w 533 H), Abu al-Fath Muhammad ibn Abd al-
Karim asy-Syahrastani (w 548 H) penulis kitab al-Milal Wa an-Nihal, as-
Sayyid Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H) perintis tarekat ar-Rifa’iyyah, as-
Sulthân Shalahuddin al-Ayyubi (w 589 H) yang telah memerdekakan Bait
al-Maqdis dari bala tentara Salib, al-Hâfizh Abd ar-Rahman ibn Ali yang
lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Jawzi (w 597 H).
F. Angkatan Ke Enam
Diantaranya; Fakhruddin ar-Razi al-Mufassir (w 606 H), Saifuddin al-
Amidi (w 631 H), Izuddin ibn Abd as-Salam Sulthân al-‘Ulamâ’ (w 660
H), Amr ibn al-Hajib al-Maliki (w 646 H), Jamaluddin Mahmud ibn
Ahmad al-Hashiri (w 636 H) pempinan ulama madzhab Hanafi di
masanya, al-Khusrusyahi, Taqiyuddin ibn Daqiq al-Ied (w 702 H),
Ala’uddin al-Baji, al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w
756 H), Tajuddin Abu Nashr Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-
Subki (w 771 H), Shadruddin ibn al-Murahhil, Shadruddin Sulaiman ibn
Abd al-Hakam al-Maliki, Syamsuddin al-Hariri al-Khathib, Jamaluddin
az-Zamlakani, Badruddin Muhammad ibn Ibrahim yang dikenal dengan
sebutan Ibn Jama’ah (w 733 H), Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi
penulis kitab Tafsir al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau lebih dikenal
dengan at-Tafsîr al-Qurthubi (w 671 H), Syihabuddin Ahmad ibn Yahya
al-Kilabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H),
Syamsuddin as-Saruji al-Hanafi, Syamsuddin ibn al-Hariri al-Hanafi,
Adluddin al-Iji asy-Syiraji, al-Hâfizh Yahya ibn asy-Syaraf an-Nawawi;
penulis al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj (w 676 H), al-
Malik an-Nâshir Muhammad ibn Qalawun (w 741 H),al-Hâfizh Ahmad
ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan as-Samin al-Halabi (w 756 H), al-
HâfizhShalahuddin Abu Sa’id al-Ala-i (w 761 H), Abdullah ibn As’ad al-
Yafi’i seorang sufi terkemuka (w 768 H), Mas’ud ibn Umar at-Taftazani
(w 791 H).
G. Angkatan Ke Tujuh
Diantaranya; al-Hâfizh Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w
826 H), Taqiyyuddin Abu Bakr al-Hishni ibn Muhammad;
penulis Kifâyah al-Akhyâr (w 829 H), Amîr al-Mu’minîn Fî al-Hadîts al-
Hâfizh Ahmad ibn Hajar al-Asqalani; penulis kitab Fath al-Bâri
Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 852 H), Muhammad ibn Muhammad al-
Hanafi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Amir al-Hajj (w 879 H),
Badruddin Mahmud ibn Ahmad al-Aini; penulis ‘Umdah al-Qâri’ Bi
Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 855 H), Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad
al-Mahalli (w 864 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i; penulis
kitab tafsirNazhm ad-Durar (w 885 H), Abu Abdillah Muhammad ibn
Yusuf as-Sanusi; penulis al-‘Aqîdah as-Sanûsiyyah (w 895 H).
H. Angkatan ke Delapan
Al-Qâdlî Musthafa ibn Muhammad al-Kastulli al-Hanafi (w 901 H), al-
Hâfizh Muhammad ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (w 902 H), al-
Hâfizh Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi (w 911 H),
Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallani;
penulis Irsyâd as-Sâri Bi SyarhShahîh al-Bukhâri (w 923 H), Zakariyya
al-Anshari (w 926 H), al-Hâfizh Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal
dengan sebutan al-Hâfizh Ibn Thulun al-Hanafi (w 953 H).
3. ketiga mengatakan bahwa istilah ahlus sunnah waljama’ah lahir pada abad II
hijriah, yaitu di masa puncak perkembangan ilmu kalam (teologi Islam) yang
ditandai dengan berkembangnya alian modern dalam teologi Islam yang
dipelopori oleh kaum muktazilah (rasionalismea). Dalam rangka mengimbangi
itulah, maka tampilnya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari membela akidah islamiah
dan mengembalikannya kepada kemurnian yang asli. Pergerakan beliau kemudian
disebut oleh para pengikutnya “ahlus sunnah waljama’ah”. Akan tetapi, oleh
sebagian kalangan yang tidak menyenangi teologi Imam Asy’ari, mereka
menyebutnya aliran ini “Madzhab Asya’irah” atau “Asya’irah”.[2] Aliran ini
dipelopori dan dikembangkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari pada tahun 330 H.
c. Ijma’
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-
Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa
al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu
hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari
ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu
kasus. Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4:
Dan QS Al-Baqarah, 2: 143. Dari segi kebahasaan, kata ijma’
mengandung dua arti. Pertama, bermakna “ketetapan hati terhadap
sesuatu”, dan yang kedua bermakna, “kesepakatan terhadap Sesuatu”.
Sedangkan, pengertian ijma’ secara Terminologi, ialah kesepakatan
semua ulama mujtahid Muslim dalam satu masa tertentu setelah
wafatnya Rasulullah Saw yang berkaitan dengan hukum syara‟.Dari
Definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ijma’ Mengandung beberapa
unsur yakni adanya kesepakatan Seluruh mujtahid dari kalangan umat
Islam (ulama), suatu Kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan
secara Jelas, yang melakukan kesepakatan tersebut adalah Mujtahid,
kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasulullah Saw(karena
pada masa hidupnya Rasul Saw, Pemegang otoritas keagamaaSaadalah
beliau sendiri, Sehingga tidak diperlukan adanya ijma‟),
selanjutnyayang Disepakati itu adalah berkenaan dengan hukum
Syara‟mengenai suatu masalah atau peristiwa hukum Tertentu.24Pada
posisi ini pulalah istilah yang sering kita Kenal dengan madzhab
shaha>bi/ qaul shaha>bi/ sunnah Shaha>bat menempati dan
menjadisalah satu bagian dari Dalil hukum atau penunjuk untuk
menemukan hukum Islam yang terdapat di dalam al-Qur‟an maupun
asSunnah melalui upaya ijtihad,seperti yang telah dijelaskan Dimuka.
Hal ini dikarenakan, sunnah shahabat juga Merupakan suatu
kesepakatan atau ijma‟ yang dilakukan setelahRasulullah Saw wafat
yang dilakukan oleh para generasi sebaik-sebaiknya umat Rasul Saw,
yakni para Shahabat r.a.Selanjutnya, mengenai kedudukan ijma’
Sebagai sumber dan dalil hukum ialah jumhur ulama Berpendapat
bahwa ijma’ merupakan dasar penetapan Hukum yang bersifat
mengikat dan wajib dipatuhi dan Diamalkan. Itulah sebabnya, jumhur
ulama menetapkan ijma’ sebagai sumber dan dalil hukum yang ketiga
setelah al-Qur‟an dan as-Sunnah.25
d. Qiyas
Kata qiyas secara etimologi berarti qadr (ukuran, bandingan). Adapun
ecara terminologi, menurut Ibnu AsSubki, qiyas adalah menyamakan
hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya
kesamaan ‘illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan
hukumnya.Adapun unsur-unsur qiyas yakni al-Ashl (sesuatu yang
telah ditetapkan ketentuan hukumnya berdasarkan nash, baik berupal-
Qur‟anmaupun as-Sunnah). Al-Far’u ialah masalah yang hendak di
qiyaskan, yang tidak ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya.
Hukum Ashl,ialah hukum yang terdapat dalam masalah yang
ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nash tertentu, baik dari al-
Qur‟an maupun as-Sunnah. Dan yang terkhir, ‘Illah, ialah suatu sifat
yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi, dan sejalan
dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa
hukum.26Selanjutnya, terkait kedudukan qiyas sebagai sumber hukum,
yakni salah satunya berdasarkan pertimbangan logika. Pertama,
ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan Allah Swt. selalu rasional,
dapat dipahami tujuannya, dan didasarkan pada ‘illah untuk mencapai
kemaslahatan, baik kemaslahatan di dunia maupun di akhirat. Kedua,
Imam asy-Syafi‟i, sebagai orang pertama yang secara sistematis
menguraikan kedudukan qiyas sebagai dalil hukum, menegaskan
bahwa di dalam Islam, semua peristiwa ada hukumnya. Sebab syari‟at
Islam bersifat umum, mencakup dan mengatur
3. Bidang Tasawuf
Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah
menyucikan hati dari apa saja selain Allah. kaum sufi adalah para pencari
di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan
mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola
hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka
dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat
mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.” kata
Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu
membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
4. Bidang Sosial Politik
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan
mewajibkan berdirinya negara (imamah), Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda
dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri
tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Ahlussunnah
wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai
kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara
merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan
menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).Ahlussunnah wal-
Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh
berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi,
asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah
negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas
(wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah :
a. Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala
keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu
ayat yang menegaskan musyawarah adalah (QS Al-Syura, 42: 36-39)
b. Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan
dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah
pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu.salah satu ayat dalam
Al-Qur an terdapat pada QS An-Nisa, 4: 58
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam sejarah agama Islam , telah tercatat adanya firqah-firqah (golongan)
di lingkungan umat Islam, yang antara satu sama lain bertentangan
pahamnya dan sampai saat ini perbedaan tersebut masih tumbuh dengan
suburnya. Kenyataan ini sudah dijelaskan oleh
Rosulullah SAW dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik
“Yahudi telah berpecah menjadi 71 golongan, satu golongan di surga dan
70 golongan di neraka. Dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72
golongan, 71 golongan di neraka dan satu di surga. Dan demi Allah yang
jiwa Muhammad ada dalam tangan-Nya umatku ini pasti akan berpecah
belah menjadi 73 golongan, satu golongan di surga dan 72 golongan di
neraka.” Lalu beliau ditanya: “Wahai Rasulullah siapakah mereka ?”
Beliau menjawab: “Al Jamaah.” (HR. Sunan Ibnu Majah).
Islam sebagai agama islam yang diturunkan untuk manusia, yang
didalamnya terdapat pedoman serta aturan yang menuntun manusia
membawa kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Serta dalam agama islam
terdapat tiga sendi utama dalam agama islam dilihat dari tataran sisi
keilmuan, yaitu iman, islam dan ihsan.
“Ahlu Sunnah Wal Jamaah” adalah golongan yang senantiasa mengikuti
jejak hidup Rasulallah Saw. Dan jalan hidup para sahabatnya. Atau,
golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para
sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-
Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin „Affan, dan Ali bin Abi Thalib.