Anda di halaman 1dari 29

Kelompok-kelompok Islam yang termasuk dalam

Ahlussunah waljamaah

NAMA: Kautsar Sabrian Mirbath


SEMESTER 1(A)
DOSEN PENGAJAR:
WAWAN KURNIAWAN,M.PD
Kata pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kelompok-kelompok
islam yang termasuk dalam golongan Ahlu SunnahWaljamaah” dengan tepat
waktu.Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Ilmu Kalam.
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang manusia prasejarah
bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Nina selaku guru Mata Pelajaran Sejarah. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah
ini.Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Daftar isi
Bab 1
Pendahuluan
Latar belakang
Rumusan masalah
Bab 2
Pembahasan
Bab 3
Penutup
Kesimpulan
Bab 1
Pendahuluan

 Latar belakang
Aqidah pada masa Nabi adalah aqidah paling bersih, yaitu aqidah islam
yang sebenaranya, karena belum tercampur oleh kepentingan apapun
selain hanya karena Allah SWT. Ini disebabkan karena Nabi adalah
sebagai penafsir al-Qur’an satu-satunya, sehingga setiap sahabat yang
membutuhkan penjelasan al-Qur’an yang berkaitan dengan keyakinan
maka Nabi langsung menjelaskan maksudnya. Selain itu umat terbimbing
langsung oleh Nabi, sehingga dalam memahami agama tidak terjadi
perbedaan.Kemudian, aqidah pada masa sahabat masih sama dengan
zaman Nabi, belum membentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri
apalagi membentuk sebuah nama tertentu, maupun aliran-aliran pemikiran
tertentu.Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara
tentang ilmu kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog
Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan
pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai “mutakallim”, yaitu ahli
debat yang pintar mengolah kata. Ilmu “kalam” juga diartikan sebagai
teologi Islam atau ushuluddin, yaitu ilmu yang membahas ajaran dasar dari
agama.Perbedaan yang muncul pertama kali dalam Islam bukanlah
masalah teologi, melainkan bidang politik. Kemudian, seiring dengan
perjalanan waktu, perselisihan politik ini meningkat menjadi persoalan
teologi. Bahkan ada dua teori yang membahas latar belakang timbulnya
persoalan teologi yakni perbedaan aliran ilmu kalam. Pertama, awal
tercampurnya masalah aqidah dengan hal yang lain adalah sejak mulai dari
khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan terbunuh karena beberapa sahabat
Nabi terlibat dalam urusan yang bersifat politis. Dan masalah ini kian
rumit ketika peristiwa tahkim terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib. Kedua, aliran ilmu kalam muncul karena hasil iterpretasi atau
penafsiran terhadap al-Qur’an maupun kajian terhadap hadits yang bersifat
teologis. Diantara sekian banyak ilmu kalam yang bermunculan ialah
Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadiriyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah yang
berakhir dengan peristiwa mihnah yang menjadi sebab awal terbentuknya
aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Ahlussunnah wal Jama’ah memang “satu
istilah” yang mempunyai “banyak makna” , sehingga banyak golongan
dan faksi dalam Islam yang mengklaim dirinya adalah “Ahlussunnah wal
Jama’ah”. ‘Ulama dan pemikir Islam mengatakan, bahwa Ahlussunnah
wal Jama’ah itu merupakan golongan mayoritas umat Islam di dunia
sampai sekarang, yang secara konsisten mengikuti ajaran dan amalan
(sunnah) nabi dan para sahabat-sahabatnya, serta memperjuangkan
berlakunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam.Meskipun pada
mulanya Ahlussunnah wal Jama’ah itu menjadi identitas kelompok atau
golongan dalam dimensi teologis atau aqidah Islam dengan fokus masalah
ushuluddin (fundamental agama), tetapi dalam perjalanan selanjutnya
tidak bisa lepas dari dimensi keislaman lainnya, seperti Syari’ah atau
Fiqhiyah, bahkan masalah budaya, politik, dan sosial. Melalui makalah ini
nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan Ahlussunnah
wal Jama’ah, baik tentang riwayat asal mula munculnya aliran ini,
perkembangannya, doktrin-doktrinnya dan yang terpenting adalah
kepercayaannya. Semoga makalah ini dapat memberikan gambaran dan
penjelasan yang baik terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah.
 Rumusan masalah

1. Apa itu pengertianAhlussunnah wal Jama’ah?


2. Kelompok-kelompok Ahlu Sunnahwaljamaah
3. Tokoh-tokoh Ahlu Sunnahwaljamaah?
4. Bagaimana Sejarahnya Ahlussunnah wal Jama’ah?
5. Apa saja aliran-aliran yang ada didalam Ahlulsunnah wal Jama’ah?
6. Apa saja doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah?
7. Bagaimanakah karakteristik Ahlulsunnah wal Jama’ah?

Bab 2
Pembahasan
A. Pengertian Ahlul Sunnah wal Jama’ah

1. Definisi Aswaja
Aswaja merupakan sebuah singkatan yang memiliki kepanjangan Ahlus_Sunnah
Wal Jamaah. Kepanjangan tersebut merupakan frase dari kata-kata bahasa Arab
yaitu Ahlu, Sunnah, Jamaah. Kata Ahlu diartikan sebagai keluarga, komunitas,
atau pengikut. Kata Al-Sunnah diartikan sebagai jalan atau karakter. Sedangkan
kata Al-Jamaah diartikan sebagai perkumpulan atau kelompok golongan.Arti
Sunnah secara istilah adalah segala sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW., baik
berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah bermakna
sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah
SAW. Dan pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas
orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan
jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal
lahiriyah, atau akhlak hati.
2. Definisi aswaja menurut pendapat ulama
a) Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang
berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat,
tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad
ibn Muhammad ibn Hanbal.
b) Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah
golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat dan mengikuti
warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang
berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i,
dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf
mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.
c) Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah
adalah para sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut
pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang
mengikutinya dari seluruh umat semuanya.
d) Pendapat Said Aqil Siradj, tentang Ahlus sunnah wal jama’ah adalah “Ahlu
minhajil fikri ad-dini al-musytamili ‘ala syu’uunil hayati wa muqtadhayatiha al-
qa’imi ‘ala asasit tawassuthu wat tawazzuni wat ta’adduli wat tasamuh”, atau
“orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua
aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga
keseimbangan dan toleransi”.
Definisi di atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang
dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada al-
Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan
pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang salih yang sesuai
dengan ajaran-ajaran Nabi.
B. Kelompok-Kelompok Ahlu Sunnahwaljamaah

 Al-Maturidiyah
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari
nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping
itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib
menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi,
kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.
Selain itu, definisi dari aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang
dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada
penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Sejalan dengan itu juga, aliran
Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu
Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah
yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan
aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa
berlebih-lebihan atau melampaui batas, maksudnya aliran Maturidiyah
berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak
bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan
syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur’an
yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam
penafsiran Al-Qur’an. Dalam menfsirkan Al-Qur’an al-Maturidi membawa ayat-
ayat yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang
dan jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan
pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak
mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah
adalah lebih selamat.
Jadi dalam pena’wilan Al-Qur’an, al-Maturudi sangat berhati-hati walaupun
beliau menjadikan akal suatu kewajiban dalam penafsiran suatu ayat. Penulis
setuju dengan sikap al-Maturudi dalam menafsirkan ayat yang mutasyabih,
yakni dengan mencari pentunjuk dari ayat yang muhkam dan dikombinasikan
dengan penalaran akal pikiran yang apabila seseorang tidak bisa mena’wilkan
ayat tersebut, maka orang itu dianjurkan untuk tidak mena’wilkannya.
Maka dari bererapa pengertian di atas, kami bisa memberikan simpulan
bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran yang namanya diambil dari nama
pendirinya yakni al-Maturudi. Aliran ini menggunakan akal dalam analogi
pemikiran atau penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal yang
mutlak karena apabila terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan
syara’, maka itu ditolak.
Doktrin-doktrin ajaran Al-Maturidiyah :

1. Mengenal Allah SWT dan Syariat Islam


Menurut aliran Maturidiyah, meski akal dapat mengetahui kebaikan dan
keburukan secara objektif, tetapi pemikiran manusia tidak dapat mencapai
pengetahuan agama (perintah Allah SWT) secara sempurna. Dengan demikian,
akal manusia tetap membutuhkan syariat Islam untuk mengetahui kewajiban yang
diperintahkan Allah SWT kepada hambanya. Doktrin utama Maturidiyah ini
berbeda dengan pemikiran dari aliran Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Allah
SWT menganugerahkan akal kepada manusia yang bisa digunakan secara penuh
buat mengetahui kebenaran perintah-perintahNYA. Menurut Maturidiyah, akal
adalah media untuk memahami perintah Allah. Sementara, kewajiban itu datang
langsung dari Tuhan. Artinya, manusia berkewajiban untuk mengenal Allah SWT
dan mempelajari syariat-syariatnya.

2. dan Keburukan Menurut Rasio


Maturidiyah membagi kemampuan akal dalam mengetahui kebaikan dan
keburukan dalam tiga hal. Adapun tiga doktrin aliran Maturidiyah tersebut adalah
sebagai berikut. Pertama, ada kebenaran objektif yang bisa diketahui akal.
Misalnya, mencuri adalah perbuatan yang salah, bahkan tanpa harus ada larangan
mencuri dari syariat Islam. Kedua, kebenaran dan keburukan yang tidak mungkin
diakses oleh akal dan hanya Allah SWT yang mengetahui hal tersebut. Ketiga,
kebenaran dan keburukan yang tidak sanggup diketahui oleh akal. Karena itu,
manusia harus mempelajari syariat Islam untuk mengetahui hal tersebut. Kendati
akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan yang objektif, tetapi perintah dan
larangan hanya dibebankan setelah adanya syariat Islam, demikian kesimpulan
dari doktrin Maturidiyah.

3.Perbuatan Manusia
Maturidiyah memandang bahwasanya perwujudan perbuatan itu terdiri dari dua
hal, yaitu perbuatan Allah SWT dan perbuatan manusia. Artinya, Allah
menciptakan perbuatan manusia sebagaimana firman-Nya dalam surah As-Shaffat
ayat 96: “Allah-lah yang menciptakan kamu apa yang kamu kerjakan” (Q.S. As-
Shaffat [37]: 96) Kendati demikian, manusia memiliki daya dan kehendak untuk
menentukan perbuatan tersebut. Manusia akan melakukan perbuatan yang sudah
diciptakan Tuhan. Aliran Maturidiyah menyangkal pendapat yang menyebut
bahwasanya manusia memiliki kehendak bebas (free will). Namun, Maturidiyah
juga tidak menyetujui fatalisme. Maturidiyah berada di posisi tengah-tengah:
bahwasanya perwujudan perbuatan adalah gabungan dari penciptaan Allah SWT
dan partisipasi manusia di dalamnya.

4. Janji dan Ancaman


Allah SWT memberikan ancaman neraka kepada pendosa dan menjanjikan surga
bagi orang-orang yang beramal baik. Kendati demikian, Allah SWT berkehendak
sesuai kebijakannya. Apabila Allah SWT ingin memberi ampun kepada pendosa
maka Sang Maha Kuasa akan memasukkan hambanya itu ke surga. Demikian juga
sebaliknya. Berbeda dengan aliran Khawarij, aliran Maturidiyah memandang
bahwa pelaku dosa besar masih dikategorikan mukmin (muslim) sepanjang masih
ada keimanan dalam hatinya. Pendosa besar tidak bisa dicap telah kafir, menurut
aliran Maturidiyah. Sementara jika pelaku dosa besar meninggal sebelum
bertaubat maka nasibnya diserahkan kepada kehendak Allah SWT.

 Asy’ariah

Pengertian Aliran Asy'ariyah. Aliran Asy'ariyah adalah paham akidah yang mana di
nisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy'ari. Nama lengkapnya adalah Abul Hasan Ali
Ismail Bin Abi Basyar Ishaq Bin Salim Bin Ismail Bin Abdillah Bin Musa Bin Bilal Bin
Abi Burdah Amir Bin Abi Musa Al-Asy'ari. Kelompok Asy'ariyah menisbahkan pada
namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy'ariyah. Asy'ariyah
mengambil dasar keyakinan dari kulla bilyah,yaitu pemikiran dari Abu Muhammad Bin
Kullah dalam meyakini sifat-sifat allah. Kemudian mengedepankan akal diatas tekstual
ayat dalam memahami Al-qur'an dan Hadits.Aliran Asy'ariyah disebut juga sebagai aliran
Ahli Sunnah yang dimana kemunculannya mengatasi berbagai faham yang berkembang
di kalangan umat islam dan menjadi penengah berbagai persoalan pemikiran umat.

Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariyah

Tokoh-tokoh besar yang mempunyai andil dalam menyebarluaskan dan


memperkuat madzhab ini adalah sebagai berikut:

Abu Hamid Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Ahmad Al-Ghazali,lahir di thus pada


tahun 450 H.Al-Ghazali adalah tokoh islam yang beraliran Ahli sunnah wal
jama’ah paham teologi yang dimajukan boleh dikatakan tidak berbeda dengan
paham-paham Asy’ari.Menurut Al-Ghazali Allah adalah satu-satunya sebab bagi
alam. Ia ciptakan dengan kehendak dan kekuasaannya,karena kehendak Allah
adalah sebab bagi segala yang ada.

Al-Qodhi Abu Bakar Al-Baqillani

Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Thayyib Bin Muhammad Bin Ja’far
Bin Al-Qasim,beliau ahli ushul fikih,lahir di bashrah dan menetap di bagdad.
Menurut Al-Baqillani Tuhan adalah gerak yang terdapat pada diri manusia,adapun
bentuk atau sifat dari gerak tersebut dihasilkan oleh manusia sendiri.

Al-Imam Al-Haramaen Al-Juwaini

Nama lengkapnya adalah Abu Al-Ma’ali Abd Al-Malik Bin Abu Muhammad
Abdullah Bin Yusuf Bin Abdullah Bin Yusuf Bin Muhammad Bin Hayyuyah Al-
juwaini.Menurut nya bahwa tangan Tuhan harus diartikan kekuasaan Tuhan. Mata
Tuhan diartikan penglihatan Tuhan. Dan wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan.
Dan duduk di atas tahta kerajaan diartikana Tuhan berkuasa dan maha tinggi.

As-Sanusi

Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad Bin Yusuf. Ajarannya yaitu
membahas sifat wajib,mustahil,dan jaiz Allah serta 4 sifat wajib dan muntasil
rasul.

Doktrin Ajaran Aliran Asy’ariyah

Tuhan dan sifat-sifatnya

Tuhan memiliki sifat sebagaimana disebut di dalam Al-Qur’an,yang


disebut sebagai sifat-sifat yang azali,qadim,dan berdiri di atas zat tuhan.

Keadilan

Allah itu adil,Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala
kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya,Allah tidak memiliki
keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak.

Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan
qadimnya Al-Qur’an. Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-qur’an di
ciptakan oleh makhluk sehingga tidak qadim,serta pandangan madzhab
hambali menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah.Zahiriyah
bahkan berpendapat bahwa semua huruf,kata,dan bunyi Al-Qur’an adalah
qadim, Sedangkan Asy’ari berpendapat bahwa walaupun Al-Qur’an
terdiri atas kata-kata,huruf dan bunyi,semua itu tidak melekat pada esensi
Allah dan karenanya tidak qadim.

Melihat Allah

Al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat,tetapi


tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala
Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilaman ia
menciptakan manusia untuk melihat-Nya.

Kedudukan orang yang berdosa

Al-Asy’ari berpendapat bahwa orang mukmin yang berbuat dosa besar


adalah orang mukmin yang fasik,seabab iman tidak mungkin menghilang
karena dosa selain kufr.

Kebebasan dalam berkehendak

Al-Asy’ari menyatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan


sesuatu,tetapi berkuasa untuk memperoleh sesuatu perbuatan.

Akal dan Wahyu dan kriteria baik dan buruk

Al-Asy’ari mengutamakan wahyu,sementara mu’tazilah mengutamakan


akal. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan
pada wahyu,sedangkan mu’tazilah mendasarkan pada akal. Pengaruh
Aliran Asy’ariyah Pengaruh ajaran Asy’ariyah tidak lepas dari Kepintaran
tokoh sentralnya yaitu imam Al-Asy’ari dan keahliannya dalam
perdebatan dengan basis keilmuan yang sangat dalam. Dan disamping
itu,ia adalah seorang yang saleh dan taqwa sehingga mampu menarik
simpati banyak orang.

 Al-Atsariyyah atau Ahlul Atsar

Ibnu Abi Hatim Ar-Razi berkata, “Madzhab kami adalah mengikuti


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam beserta para Shahabatnya
dan para Tabi’in, dan berpegang teguh dengan madzhabnya Ahlul Atsar
semisal Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal….” (Syarh Ushul I’tiqad
Ahlissunnah 1/179) Beliau juga menegaskan, “Ciri-ciri Ahlul Bid’ah
adalah suka mencela Ahlul Atsar…!” Al-Imam As-Safarayni
menerangkan makna Ahlul Atsar, “Bahwa mereka adalah orang-orang
yang mengambil aqidahnya dari sumber yang pasti yakni berita-berita dari
Allah dalam kitab-Nya atau dari Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa
alihi wasallam atau dari apa yang ditetapkan oleh Salafusshalih dari
kalangan Shahabat Nabi yang mulia, dan para Tabi’in…..” (Wasathiyyah
Ahlissunnah bainal Firaq hal.119) Atsar secara istilah sinonim dengan
hadits, maka Ahlul Atsar bermakna Ahlul Hadits.

 Al-Firqatun Najiyah

Al-Firqatun Najiyah pengertiannya adalah golongan yang selamat,


maksudnya selamat dari api neraka. Hal itu sebagaimana yang telah
diberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bahwa umatnya
akan berpecah menjadi tujuhpuluh tiga golongan, semuanya di neraka
hanya satu golongan yang selamat yakni Al-Jama’ah. Dalam riwayat lain
disebutkan mereka adalah orang yang beragama dengan cara beragamanya
Nabi dan para Shahabatnya.

Syaikh Hafidzh Hakami dalam Ma’arijul Qabul 1/19 menerangkan,


“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam telah
mengabarkan bahwa Al-Firqatun Najiyah adalah orang-orang yang
beragama dengan cara beragamanya Rasulullah dan para Shahabatnya.”

 At-Tha’ifah Al-Manshurah

At-Tha’ifah Al-Manshurah atau kelompok yang ditolong oleh Allah. Nama ini
diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam sebagaimana yang
telah diriwayatkan oleh Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu:

“Senantiasa akan muncul sekelompok dari umatku yang berjuang menyuarakan


Al-Haq, sampai datangnya hari kiamat.” Adalah kesalahan yang nyata orang yang
membedakan At-Tha’ifah Al-Manshurah dengan Al-Firqatun Najiyah padahal
keduanya adalah sama.
 Al-Ghuraba’

Diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu, “Islam mulanya didakwahkan dalam


keadaan asing di tengah manusia, dan Islam nantinya di belakang hari akan
kembali kepada keasingannya. Maka beruntunglah Al-Ghuraba yakni orang-orang
yang di anggap asing oleh lingkungannya (karena menjalankan ajaran Islam yang
sudah tidak dikenal lagi oleh keumuman orang). Para Shahabat bertanya,
Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-
orang yang mengupayakan gerakan ishlah (perbaikan) ketika terjadi kerusakan
perangai pada keumuman manusia.” (HR. Al-Imam Abu Bakar Al-Ajurri dalam
Al-Ghuraba minal Mu’minin hal. 23, dan At-Tirmidzi dalam Kitabul Iman bab 13
dan berkata Tirmidzi, “Hadits ini hasan shahih gharib”, dan Al-Baihaqi dalam Az-
Zuhdul Kabir no. 198 hal. 114, Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid 7/278)

 As-Salafiyyah atau As-Salafiyyun

Nama ini dinisbatkan kepada Salaf, yakni ringkasan dari kata Salafusshalih atau
para pendahulu yang shaalih. Maka Salafiyyun adalah orang-orang yang meniti
jejak para pendahulu yang shalih dari kalangan Shahabat Nabi, Tabi’in serta
Tabi’it Tabi’in.

3. Tokoh-tokoh Ahlu Sunnahwaljamaah


A.    Angkatan Pertama

Angkatan yang semasa dengan al-Imâm Abu al-Hasan sendiri, yaitu


mereka yang belajar kepadanya dan mengambil pendapat-pendapatnya,
di antaranya: Abu al-Hasan al-Bahili, Abu Sahl ash-Shu’luki (w 369
H), Abu Ishaq al-Isfirayini (w 418 H), Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi
(w 365 H), Abu Zaid al-Marwazi (w 371 H), Abu Abdillah ibn Khafif
asy-Syirazi; seorang sufi terkemuka (w 371 H), Zahir ibn Ahmad as-
Sarakhsi (w 389 H), Abu Bakr al-Jurjani al-Isma’ili (w 371 H), Abu
Bakar al-Audani (w 385 H), Abu al-Hasan Abd al-Aziz ibn
Muhammad yang dikenal dengan sebutan ad-Dumal, Abu Ja’far as-
Sulami an-Naqqasy (w 379 H), Abu Abdillah al-Ashbahani (w 381 H),
Abu Muhammad al-Qurasyi az-Zuhri (w 382 H), Abu Manshur ibn
Hamsyad (w 388 H), Abu al-Husain ibn Sam’un salah seorang sufi
ternama (w 387 H), Abu Abd ar-Rahman asy-Syuruthi al-Jurjani (w
389 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad; Ibn Mujahid ath-Tha’i,
Bundar ibn al-Husain ibn Muhammad al-Muhallab yang lebih dikenal
Abu al-Husain ash-Shufi  (w 353 H), dan Abu al-Hasan Ali ibn Mahdi
ath-Thabari.
B.     Angkatan Ke Dua
Diantara angkatan ke dua pasca generasi al-Imâm Abu al-Hasan al-
Asy’ari adalah; Abu Sa’ad ibn Abi Bakr al-Isma’ili al-Jurjani (w
396 H), Abu Nashr ibn Abu Bakr Ahmad ibn Ibrahim al-Isma’ili
(w 405 H), Abu ath-Thayyib ibn Abi Sahl ash-Shu’luki, Abu al-
Hasan ibn Dawud al-Muqri ad-Darani, al-Qâdlî Abu Bakar
Muhammad al-Baqillani (w 403 H), Abu Bakar Ibn Furak (w 406
H), Abu Ali ad-Daqqaq; seorang sufi terkemuka (w 405 H), Abu
Abdillah al-Hakim an-Naisaburi; penulis kitab al-Mustadrak ‘Alâ
ash-Shahîhain, Abu Sa’ad al-Kharqusyi, Abu Umar al-Basthami,
Abu al-Qasim al-Bajali, Abu al-Hasan ibn Masyadzah, Abu Thalib
al-Muhtadi, Abu Ma’mar ibn Sa’ad al-Isma’ili, Abu Hazim al-
Abdawi al-A’raj, Abu Ali ibn Syadzan, al-Hâfizh Abu Nu’aim al-
Ashbahani penulis kitab Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-
Ashfiyâ’ (w 430 H), Abu Hamid ibn Dilluyah, Abu al-Hasan al-
Balyan al-Maliki, Abu al-Fadl al-Mumsi al-Maliki, Abu al-Qasim
Abdurrahman ibn Abd al-Mu’min al-Makki al-Maliki, Abu Bakar
al-Abhari, Abu Muhammad ibn Abi Yazid, Abu Muhammad ibn
at-Tabban, Abu Ishaq Ibrahim ibn Abdillah al-Qalanisi.

C.    Angkatan Ke Tiga
Diantaranya; Abu al-Hasan as-Sukari, Abu Manshur al-Ayyubi an-
Naisaburi, Abd al-Wahhab al-Maliki, Abu al-Hasan an-Nu’aimi, Abu
Thahir ibn Khurasyah, Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir al-
Baghadadi (w 429 H) penulis kitab al-Farq Bayn al-Firaq, Abu Dzarr al-
Harawi, Abu Bakar ibn al-Jarmi, Abu Muhammad Abdulah ibn Yusuf al-
Juwaini; ayah Imam al-Haramain (w 434 H), Abu al-Qasim ibn Abi
Utsman al-Hamadzani al-Baghdadi, Abu Ja’far as-Simnani al-Hanafi, Abu
Hatim al-Qazwini, Rasya’ ibn Nazhif al-Muqri, Abu Muhammad al-
Ashbahani yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Labban, Sulaim ar-Razi,
Abu Abdillah al-Khabbazi, Abu al-Fadl ibn Amrus al-Maliki, Abu al-
Qasim Abd al-Jabbar ibn Ali al-Isfirayini, al-Hâfizh Abu Bakr Ahmad ibn
al-Husain al-Bayhaqi; penulis Sunan al-Bayhaqi (w 458 H), dan Abu Iran
al-Fasi.
D Angkatan Ke Empat
Diantaranya; al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H), Abu al-Qasim
Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah al-
Qusyairiyyah (w 465 H), Abu Ali ibn Abi Huraisah al-Hamadzani, Abu al-
Muzhaffar al-Isfirayini penulis kitab at-Tabshîr Fî ad-Dîn Wa Tamyîz al-
Firqah an-Nâjiyah Min al-Firaq al-Hâlikîn (w 471 H), Abu Ishaq asy-
Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh Fî al-Fiqh asy-Syâfi’i (w 476 H), Abu al-
Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang lebih dikenal dengan
Imam al-Haramain (w 478 H), Abu Sa’id al-Mutawalli (w 478 H), Nashr
al-Maqdisi, Abu Abdillah ath-Thabari, Abu Ishaq at-Tunusi al-Maliki,
Abu al-Wafa’ Ali ibn Aqil al-Hanbali (w 513 H) pimpinan ulama madzhab
Hanbali di masanya, ad-Damighani al-Hanafi, dan Abu Bakar an-Nashih
al-Hanafi.

E. Angkatan kelima
Diantaranya; Abu al-Muzhaffar al-Khawwafi, Ilkiya, Abu Hamid
Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H), Abu al-Mu’ain
Maimun ibn Muhammad an-Nasafi (w 508 H), asy-Syasyi, Abd ar-Rahim
ibn Abd al-Karim yang dikenal dengan Abu Nashr al-Qusyairi (w 514 H),
Abu Sa’id al-Mihani, Abu Abdillah ad-Dibaji, Abu al-Abbas ibn ar-
Ruthabi, Abu Abdillah al-Furawi, Abu Sa’id ibn Abi Shalih al-Mu’adz-
dzin, Abu al-Hasan as-Sulami, Abu Manshur ibn Masyadzah al-
Ashbahani, Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w
538 H) penulis kitab al-‘Aqîdah an-Nasafiyyah, Abu al-Futuh al-Isfirayini,
Nashrullah al-Mishshishi, Abu al-Walid al-Baji, Abu Umar ibn Abd al-
Barr al-Hâfizh, Abu al-Hasan al-Qabisi, al-Hâfizh Abu al-Qasim ibn
Asakir (w 571 H), al-Hâfizh Abu al-Hasan al-Muradi, al-Hâfizh Abu
Sa’ad ibn as-Sam’ani, al-Hâfizh Abu Thahir as-Silafi, al-Qâdlî ‘Iyadl ibn
Muhammad al-Yahshubi (w 533 H), Abu al-Fath Muhammad ibn Abd al-
Karim asy-Syahrastani (w 548 H) penulis kitab al-Milal Wa an-Nihal, as-
Sayyid Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H) perintis tarekat ar-Rifa’iyyah, as-
Sulthân Shalahuddin al-Ayyubi (w 589 H) yang telah memerdekakan Bait
al-Maqdis dari bala tentara Salib, al-Hâfizh Abd ar-Rahman ibn Ali yang
lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Jawzi (w 597 H).

F. Angkatan Ke Enam
Diantaranya; Fakhruddin ar-Razi al-Mufassir (w 606 H), Saifuddin al-
Amidi (w 631 H), Izuddin ibn Abd as-Salam Sulthân al-‘Ulamâ’ (w 660
H), Amr ibn al-Hajib al-Maliki (w 646 H), Jamaluddin Mahmud ibn
Ahmad al-Hashiri (w 636 H) pempinan ulama madzhab Hanafi di
masanya, al-Khusrusyahi, Taqiyuddin ibn Daqiq al-Ied (w 702 H),
Ala’uddin al-Baji, al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w
756 H), Tajuddin Abu Nashr Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-
Subki (w 771 H), Shadruddin ibn al-Murahhil, Shadruddin Sulaiman ibn
Abd al-Hakam al-Maliki, Syamsuddin al-Hariri al-Khathib, Jamaluddin
az-Zamlakani, Badruddin Muhammad ibn Ibrahim yang dikenal dengan
sebutan Ibn Jama’ah (w 733 H), Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi
penulis kitab Tafsir al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau lebih dikenal
dengan at-Tafsîr al-Qurthubi (w 671 H), Syihabuddin Ahmad ibn Yahya
al-Kilabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H),
Syamsuddin as-Saruji al-Hanafi, Syamsuddin ibn al-Hariri al-Hanafi,
Adluddin al-Iji asy-Syiraji, al-Hâfizh Yahya ibn asy-Syaraf an-Nawawi;
penulis al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj (w 676 H), al-
Malik an-Nâshir Muhammad ibn Qalawun (w 741 H),al-Hâfizh Ahmad
ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan as-Samin al-Halabi (w 756 H), al-
HâfizhShalahuddin Abu Sa’id al-Ala-i (w 761 H), Abdullah ibn As’ad al-
Yafi’i seorang sufi terkemuka (w 768 H), Mas’ud ibn Umar at-Taftazani
(w 791 H).

G.    Angkatan Ke Tujuh
Diantaranya;  al-Hâfizh Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w
826 H), Taqiyyuddin Abu Bakr al-Hishni ibn Muhammad;
penulis Kifâyah al-Akhyâr (w 829 H), Amîr al-Mu’minîn Fî al-Hadîts al-
Hâfizh Ahmad ibn Hajar al-Asqalani; penulis kitab Fath al-Bâri
Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 852 H), Muhammad ibn Muhammad al-
Hanafi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Amir al-Hajj (w 879 H),
Badruddin Mahmud ibn Ahmad al-Aini; penulis ‘Umdah al-Qâri’ Bi
Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 855 H), Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad
al-Mahalli (w 864 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i; penulis
kitab tafsirNazhm ad-Durar (w 885 H), Abu Abdillah Muhammad ibn
Yusuf as-Sanusi; penulis al-‘Aqîdah as-Sanûsiyyah (w 895 H).

H.    Angkatan ke Delapan 
Al-Qâdlî Musthafa ibn Muhammad al-Kastulli al-Hanafi (w 901 H), al-
Hâfizh Muhammad ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (w 902 H), al-
Hâfizh Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi (w 911 H),
Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallani;
penulis Irsyâd as-Sâri Bi SyarhShahîh al-Bukhâri (w 923 H), Zakariyya
al-Anshari (w 926 H), al-Hâfizh Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal
dengan sebutan al-Hâfizh Ibn Thulun al-Hanafi (w 953 H).

I.       Angkatan Ke Sembilan Dan Seterusnya


Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H), Syihabuddin Ahmad ibn
Muhammad yang dikenal dengan sebutan Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H),
Mulla Ali al-Qari (w 1014 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Ibrahim ibn
Hasan al-Laqqani; penulis Nazham Jawharah at-Tauhîd (w 1041 H),
Ahmad ibn Muhammad al-Maqarri at-Tilimsani; penulis Nazham Idlâ’ah
ad-Dujunnah (w 1041 H), al-Muhaddits Muhammad ibn Ali yang lebih
dikenal dengan nama Ibn Allan ash-Shiddiqi (w 1057 H), Kamaluddin al-
Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H), Muhammad ibn Abd al-Baqi az-Zurqani
(w 1122 H), as-Sayyid Abdullah ibn Alawi al-Haddad al-Hadlrami al-
Husaini; penulis Râtib al-Haddâd (1132 H), Muhammad ibn Abd al-Hadi
as-Sindi; penulis kitab Syarh Sunan an-Nasâ-i (w 1138 H), Abd al-Ghani
an-Nabulsi (w 1143 H), Abu al-Barakat Ahmad ibn Muhammad ad-
Dardir; penulis al-Kharîdah al-Bahiyyah (w 1201 H), al-Hâfizh as-
Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H), ad-Dusuqi;
penulis Hâsyiyah Umm al-Barâhîn (w 1230 H), Muhammad Amin ibn
Umar yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abidin al-Hanafi (w 1252
H). 

Nama-nama ulama terkemuka ini hanya mereka yang hidup sampai


sekitar abad 12 hijriyyah, dan itupun hanya sebagiannya saja. Bila hendak
kita sebutkan satu persatu, termasuk yang berada di bawah tingkatan
mereka dalam keilmuannya, maka sangat banyak sekali, tidak terhitung
jumlahnya, siapa pula yang sanggup menghitung jumlah bintang di langit,
membilang butiran pasir di pantai? kita akan membutuhkan lembaran
kertas yang sangat panjang.

C.Sejarah munculnya Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah


Mengenai awal mula munculnya istilah ahlus sunnah waljama’ah, ada beberapa
pendapat para ahli. Beberapa pendapat tersebut ialah sebagai berikut:
1.Ada yang mengatakan bahwa istilah ahlus sunnah waljma’ah telah lahir sejak
zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan beliau sendiri yang melahirkan melalui
sejumlah hadits yang diucapkan, yakni hadits riwayat Abu Daud dan hadits
riwayat Turmudzi. Adapun mengenai keabsahan hadits tersebut telah pula kita
jelaskan, yaitu kendatipun pada dasarnya hadits itu dhaif (lemah), misalnya,
namun karena banyak riwayatnya, maka satu sama lainnya saling menguatkan.
Dengan demikian, status hadits-hadits tersebut berubah menjadi kuat.[1]
2. Sebagian orang berpendapat bahwa istilah ahlus sunnah waljam’ah lahir pada
akhir windu kelima tahun hijriah, yaitu tahun terjadinya kesatuan jama’ah dalam
Islam, atau yang lebih dikenal dalam sejarah Islam dengan naman ‘amul jama’ah
(tahun persatuan).Dalam sejarah diterangkan bahwa pada tahun tersebut Saidina
Hasan bin Ali ra. Meletakkan jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkan
kepada Saidina Muawiyah bin Abu Sufyan dengan masud hendak menciptakan
kesatuan dan persatuan jamaah islamiah, demi menghindari perang saudara
sesama Islam. Jadi, dari kata ‘amul jama’ah itulah lahirnya istilah waljama’ah
yang kemudian berkembang menjadi ahlus sunnah waljama’ah.

3. ketiga mengatakan bahwa istilah ahlus sunnah waljama’ah lahir pada abad II
hijriah, yaitu di masa puncak perkembangan ilmu kalam (teologi Islam) yang
ditandai dengan berkembangnya alian modern dalam teologi Islam yang
dipelopori oleh kaum muktazilah (rasionalismea). Dalam rangka mengimbangi
itulah, maka tampilnya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari membela akidah islamiah
dan mengembalikannya kepada kemurnian yang asli. Pergerakan beliau kemudian
disebut oleh para pengikutnya “ahlus sunnah waljama’ah”. Akan tetapi, oleh
sebagian kalangan yang tidak menyenangi teologi Imam Asy’ari, mereka
menyebutnya aliran ini “Madzhab Asya’irah” atau “Asya’irah”.[2] Aliran ini
dipelopori dan dikembangkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari pada tahun 330 H.

D.Aliran dalam Ahlus Sunnah Waljama’ah


1. Aliran Salafiah (tradisional)
Aliran salafiah (tradisional) adalah bagian dari ahlus sunnah yang mana lebih
menonjol keahlussunnahannya daripada khalaf-moderat (Asya’irah). Aliran
salafiah sesuai dengan maknanya “tradisonal” senantiasa mempertahankan
konsepsi akidah Islamiah yang orisinal-tradisional dengan penuh konsekuen
sesuai dengan doktrin akidah pada masa Nabi dan masa sahabat serta tabiin.[3]
Akidah Islamiah pada masa-masa tersebut sangat sederhana. Mereka menerima
berdasarkan iman, ikhlas dan yakin, tanpa memerlukan argumentasi logika dan
filosofis. Karena pada masa itu memang belum dikenal ilmu logika.[4] Akidah
salafiah sangat bertentangan dengan konsepsi akidah ahli kalam (mutakallimin),
karena pemahaman akidahnya semata-mata berdasarkan pada tekstual (harfiah)
dan sama sekali tidak mau menerima segala sesuatu yang kontekstual. Hal itu
menimbulkan kesan bahwa seakan-akan kaum salafiah kaku dan picik dalam
memahami konsepsi Islam, terutama dalam konteks akidahnya. Mereka kurang
memberikan kontribusi kepada akal (rasio).[5] Oleh karena itu mereka tidak
membuang-buang waktu untuk mengkaji ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat,
yakni yang tidak jelas maksudnya. Sebagai contoh:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa dia
akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi
itu bergoncang?” (QS. Al-Mulk: 16)
Jadi ayat tersebut mengatakan “Allah di langit”. Kata langit disini tidak boleh
ditakwilkan (dimaknai) kepada arti lain, misalnya tempat yang tinggi.

2. Aliran Khalaf (Konvensional)


Telah dijelaskan pada bagian yang lalu bahwa aliran khalaf(konvensional) ada dua
macam.Pertama, aliran yang amat berlebihan dalam mengkultuskan akal. Menurut
pengikut aliran itu, tanpa wahyu pun manusia mampu mengenal Al-Khaliq dan
mampu pula membuat syariat dengan bantuan akal sendiri. Aliran ini dikenal
dengan Muktazillah (supperrasionalisme) sebagaimana yang diterangkan di
depan. Kedua, aliran yang menempatkan akal sebagai mitra wahyu. Akal dan
wahyu saling mendukung kecuali dalam beberapa kasus tertentu. Dalam hal
tertentu akal tidak cukup mampu memahami wahyu karena keterbatasannya.
Aliran itu lebih dikenal dengan Asya’riyah (skolastisme) atau juga disebut
rasionalisme moderat.[6] Dalam ilmu ketauhidan, kaum Asya’riyah dianggap
sebagai golongan moderat antara salafiah dan muktazilah. Oleh karena
moderatnya, maka mazhab itu banyak pengikutnya. Ada faktor-faktor penyebab
mayoritas umat islam menganut mazhab Asya’riyah. Faktornya adalah sebagai
berikut:
a. Mazhab Asya’riyah cukup ampuh untuk menjawab argumentasi kaum
Muktazilah dan kaum Falasifah yang senantiasa menggunakan dalil-dalil
logika(mantik).
b. Tidak terlepas adanya dukungan dari sejumlah Ulama besar dari
berbagai disiplin ilmu, terutama dari kalangan Mazhab Syafi’i.
[7]Meskipun golongan Asyari’yah diakui oleh jumhur umat Islam sebagai
golongan najiah (Ahlulsunnah), namun sebagian kaum Salafiyah keberatan
menerima kaum Asya’riyah sebagai golongan ahlul sunnah murni.
Asya’riyah menurut mereka tidak lain dari muktazilah gaya baru yang
berjubahkan sunni.Sebenarnya mengenai aliran Ahlulsunnah wal Jama’ah
versi Salaf dan Khalaf. Asya’riyah dan Maturidiah termasuk ke dalam
versi kedua, yakni khalaf moderat, namun aliran salafiah pun ada beberapa
macam sama halnya dengan aliran khalaf. Hanya saja aliran khalaf lebih
banyak macamnya, ada yang ekstrem, seperti muktazillah, khawarij, syi’ah
dan lain-lain yang mencapai jumlahnya 72 aliran. Semuanya itu termasuk
golongan mubtadi’ah yang sesat dan menyesatkan. Ada pula yang
moderat, yakni aliran Asya’riyah dan Maturidiah, yang kedua-keduanya
termasuk golongan Ahlulsunnah wal Jama’ah.

E. Doktrin-Doktrin Ahlulsunnah wal Jama’ah

Dalam sejarah perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah selalu dinamis


dalam menjawab perkembangan zaman tetapi tetap memegang prinsip
dalam mengamalkan ajarannya. Diantara prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah
di dalam sejarah perkembangannya di berbagai aspek kehidupan meliputi
Aqidah, pengambilan hukum (Syariah), tasawuf/akhlak dan bidang sosial-
politik dengan penjabaran sebagai berikut:
1.Bidang akidah
Ahlulsunnah wal Jama’ah sendiri lebih menekankan bahwa pilar utama
ke-Imanan manusia adalah Tauhid, sebuah keyakinan yang teguh dan
murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang
Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia
Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu[8].Pilar yang kedua adalah
Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu
kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang
dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam
menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta
jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat
manusia harus meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW
adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat
manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap
manusia.[9]Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa
nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan
setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya
(yaumul jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh amal
perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal
baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan
masuk neraka.[10]
2.      Bidang Istinbath al_hukm (pengambilan dasar hukum syariah)
a.       Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath
al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh.Sebagai sumber
hukum naqli posisinya tidak diragukan.Al-Qur’an merupakan sumber
hukum tertinggi dalam Islam. Secara etimologi, al-Qur‟an merupakan
bentuk masdhar Dari kata qara’a; timbangan kata (wazan)-nya adalah
Fu’lan, yang artinya adalah bacaan. Lebih lanjut, Pengertian al-Qur‟an
secara bahasa adalah yang dibaca, Dilihat, dan ditelaah.Adapun dalam
pengertian Terminologi, menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni
alQur‟an adalah “Firman Allah yang merupakan mukjizat, Yang
iturunkan kepada “Penutup para Nabi dan Rasul”; (Muhammad
Saw)melalui malaikat Jibril, yang termasuk Di dalam mushaf, yang
diriwayatkan kepada kita secara Mutawatir, membacanya merupakan
ibadah, dimulai dari Surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah
anNas.20Selanjutnya mengenai kehujjahan al-Qur‟an, Semua umat
sependapat bahwa al-Qur‟an merupakan Hujjah bagi setiap muslim,
karena ia adalah wahyu dan Kitab Allah yang sifat periwayatannya
muta>watir. Periwayatan al-Qur‟an sendiri, selain dilakukan oleh
Orang banyak dari satu generasi ke generasi yang lain, Sejak generasi
shahabat Nabi Saw, juga dilakukan dalam Bentuk lisan dan tulisan,
dimana tidak seorangpun Berbeda pendapat dalam periwayatannya,
padahal para Perawi al-Qur‟an pun berbeda-beda suku, bangsa, dan
Wilayah tempat tinggalnya. Berdasarkan kenyataan Tersebut,
keberadaan keseluruhan ayat-ayat al-Qur‟an Bersifat pasti (qath’iats-
tsubu>t) sebagai wahyu Allah.
b.      As-Sunnah
As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul
SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in.
Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan
dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari
apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an. Ditinjau dari segi
etimologi, makna kata sunnah adalah Perbuatan yang semula belum
pernah dilakukan Kemudian diikuti oleh orang lain, baik perbuatan itu
terpuji Ataupun tercela. Sedangkan pengertian sunnah secara
Terminologi, terkhusus menurut para ahli hadits, ialah Sunnah sama
dengan hadits, yaitu sesuatu yang Dinisbatkan kepada Rasulullah Saw,
baik perkataan, Perbuatan, maupun sikap beliau dalam suatu
Peristiwa.Selebihnya seperti yang dijelaskan pada babbab
sebelumnya.21Selanjutnya, mengenai kedudukan Sunnah sebagai
sumber hukum Islam yakni dapat dilihat Dari dua sisi. Dari segi
kewajiban umat Islam mematuhi Dan meneladani Rasulullah Saw, dan
dari segi fungsi Sunnah terhadap al-Qur‟an. Dari segi yang pertama,
Sudah menjadi sangat jelas bahwa kepatuhan kepada Allah Swt tidak
bisa dipisahkan dari kepatuhan kepada Rasulullah Saw. Dalam pada
itu, tentu saja mematuhi dan Meneladani Rasulullah Saw berarti pula
mengikuti aturanaturan hukum yang ditetapkan beliau. Karena
mengingat Bahwa sampainya al-Qur‟an kepada seseorang melalui
Lisan beliau, setelah sebelumnya diturunkan Allah melalui Malaikat
Jibril kepada beliau.selanjutnya, kedudukan Sunnah sebagai sumber
dan dalil ditinjau dari segi fungsi Sunnah, yakni menjelaskan maksud
ayat-ayat hukum alQur‟an.men-takhsish ayat-ayat al-Qur‟an yang
bersifat Umum, mengukuhkan dan mempertegas kembali Ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam al-Qur‟an, Serta menetapkan hukum
baru yang menurut zharinya Tidak terdapat di dalam al-Qur‟an.22
Maka, dengan Adanya hal tersebut, menunjukkan bahwa al-Sunnah
Merupakan sumber dan dalil hukum kedua setelah Al Qur’an.
Sementara itu, di dalam as-Sunnah yang Merupakan sumber hukum
kedua setelah al-Qur’an Sendiri tidak hanya mencakup sunnah Nabi
saja, tetapi Termasuk juga di dalamnya sunnah shahabat Nabi.
Mengapa demikian, hal ini karena sering kita jumpai Sebuah fatwa
atau penjelasan ataupun ketentuan yang Berkenaang dengan peristiwa
syara‟ yang berasal dari Shahabat menjadi sebuah sumber hukum atau
menjadi Pedoman dalam suatu ritual keagamaan. Sholat tarawih
Secara berjamaah misalnya, merupakan salah satu potrer Dari ritual
keagamaan yang ada, yang jika kita telusuri Baik nama sholat tarawih
maupun dalam berjama‟ah, Tidak pernah terjadi pada zaman Nabi
Saw.Pada masa itu, Shalat malam Ramadhan dilakukan di penghujung
malam Dan munfarid. Keadaan seperti itu berlangsung sampai
zamanAbu Bakr dan permulaan zaman „Umar. „Umar kemudian
mengatur shalat tarawih dan menetapkan untuk pertama kalinya shalat
tarawih dan selanjutnya ketetapan tersebut tetap terlaksana dan
menjadi pedoman hukum hingga saat ini. Inilah salah satu fakta yang
membuat sunnah shahabat ikut menempati posisisunnah sebagai
sumber hukum Islam, selain dari sunnah Nabi sendiri. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pada hierarki inilah sunnah shahabat menempati
posisinya sebagai salah satu sumber hukum Islam, yang jika kita
telusuri merupakan cabangan dari sumber hukum yang kedua, yakni
sunnah (karena sunnah terbagi menjadi dua, yakni sunnah nabi dan
sunnah shahabat itu sendiri).

c.       Ijma’
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-
Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa
al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu
hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari
ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu
kasus. Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4:
Dan QS Al-Baqarah, 2:  143. Dari segi kebahasaan, kata ijma’
mengandung dua arti. Pertama, bermakna “ketetapan hati terhadap
sesuatu”, dan yang kedua bermakna, “kesepakatan terhadap Sesuatu”.
Sedangkan, pengertian ijma’ secara Terminologi, ialah kesepakatan
semua ulama mujtahid Muslim dalam satu masa tertentu setelah
wafatnya Rasulullah Saw yang berkaitan dengan hukum syara‟.Dari
Definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ijma’ Mengandung beberapa
unsur yakni adanya kesepakatan Seluruh mujtahid dari kalangan umat
Islam (ulama), suatu Kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan
secara Jelas, yang melakukan kesepakatan tersebut adalah Mujtahid,
kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasulullah Saw(karena
pada masa hidupnya Rasul Saw, Pemegang otoritas keagamaaSaadalah
beliau sendiri, Sehingga tidak diperlukan adanya ijma‟),
selanjutnyayang Disepakati itu adalah berkenaan dengan hukum
Syara‟mengenai suatu masalah atau peristiwa hukum Tertentu.24Pada
posisi ini pulalah istilah yang sering kita Kenal dengan madzhab
shaha>bi/ qaul shaha>bi/ sunnah Shaha>bat menempati dan
menjadisalah satu bagian dari Dalil hukum atau penunjuk untuk
menemukan hukum Islam yang terdapat di dalam al-Qur‟an maupun
asSunnah melalui upaya ijtihad,seperti yang telah dijelaskan Dimuka.
Hal ini dikarenakan, sunnah shahabat juga Merupakan suatu
kesepakatan atau ijma‟ yang dilakukan setelahRasulullah Saw wafat
yang dilakukan oleh para generasi sebaik-sebaiknya umat Rasul Saw,
yakni para Shahabat r.a.Selanjutnya, mengenai kedudukan ijma’
Sebagai sumber dan dalil hukum ialah jumhur ulama Berpendapat
bahwa ijma’ merupakan dasar penetapan Hukum yang bersifat
mengikat dan wajib dipatuhi dan Diamalkan. Itulah sebabnya, jumhur
ulama menetapkan ijma’ sebagai sumber dan dalil hukum yang ketiga
setelah al-Qur‟an dan as-Sunnah.25
d. Qiyas
Kata qiyas secara etimologi berarti qadr (ukuran, bandingan). Adapun
ecara terminologi, menurut Ibnu AsSubki, qiyas adalah menyamakan
hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya
kesamaan ‘illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan
hukumnya.Adapun unsur-unsur qiyas yakni al-Ashl (sesuatu yang
telah ditetapkan ketentuan hukumnya berdasarkan nash, baik berupal-
Qur‟anmaupun as-Sunnah). Al-Far’u ialah masalah yang hendak di
qiyaskan, yang tidak ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya.
Hukum Ashl,ialah hukum yang terdapat dalam masalah yang
ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nash tertentu, baik dari al-
Qur‟an maupun as-Sunnah. Dan yang terkhir, ‘Illah, ialah suatu sifat
yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi, dan sejalan
dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa
hukum.26Selanjutnya, terkait kedudukan qiyas sebagai sumber hukum,
yakni salah satunya berdasarkan pertimbangan logika. Pertama,
ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan Allah Swt. selalu rasional,
dapat dipahami tujuannya, dan didasarkan pada ‘illah untuk mencapai
kemaslahatan, baik kemaslahatan di dunia maupun di akhirat. Kedua,
Imam asy-Syafi‟i, sebagai orang pertama yang secara sistematis
menguraikan kedudukan qiyas sebagai dalil hukum, menegaskan
bahwa di dalam Islam, semua peristiwa ada hukumnya. Sebab syari‟at
Islam bersifat umum, mencakup dan mengatur

3.      Bidang Tasawuf
Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah
menyucikan hati dari apa saja selain Allah. kaum sufi adalah para pencari
di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan
mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola
hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka
dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat
mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.” kata
Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu
membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
4.      Bidang Sosial Politik
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan
mewajibkan berdirinya negara (imamah), Pandangan Syi’ah  tersebut juga berbeda
dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri
tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Ahlussunnah
wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai
kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara
merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan
menjaga kemashlahatan bersama  (mashlahah musytarakah).Ahlussunnah wal-
Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh
berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi,
asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah
negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas
(wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah :
a.       Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala
keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu
ayat yang menegaskan musyawarah adalah (QS Al-Syura, 42: 36-39)
b.      Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan
dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah
pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu.salah satu ayat dalam
Al-Qur an terdapat pada QS An-Nisa, 4: 58

c.       Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)


Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya.
Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi
setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal
dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima) yang identik dengan
konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern
bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok
atau prinsip ini menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah
kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang
menjadi pemimpin di kelak kemudian hari. Lima pokok atau prinsip
tersebut yaitu:
a)      Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan
(negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga
negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
b)      Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan
untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan
Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang
sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
c)      Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh
warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan
menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
d)      Hifzhual-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-
usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga
kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan
sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan
sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
e)      Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan
ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan
warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus
menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga
negara.

d.      Prinsip Al-Musawah (KesetaraanDerajat)


Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu
manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada
pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari
yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal
antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia
dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Hai ini
termaktub dalan QS. Al-Hujuraat, 49: 13 Perbedaan bukanlah semata-
mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan
proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang
Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-
Ma’idah; 5: 48 Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah
sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki
kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan
semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin
kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan)
khususnya di mata hukum.Negara justru harus mampu mewujudkan
kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya
terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan
politik.Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara
Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah
bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati
perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan
salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin
agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus
mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.[12]

F.Karakteristik Ahlulsunnah wal Jama’ah


Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits dalam
menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai landasan
dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu Khaira
Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan
karakteristik anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan nilai-nilai
mulia dari konsep keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara lain:
i. At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua
kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran
serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan
ii. Al I’tidal
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke
kiri.I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang
benar dan yang harus dibela.
iii. At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan
menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa
mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik
dalam masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan,
dan kebudayaan.
iv. At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan
sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain.
v. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik
yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta
mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak,
merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan
kemanusiaan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam sejarah agama Islam , telah tercatat adanya firqah-firqah (golongan)
di lingkungan umat Islam, yang antara satu sama lain bertentangan
pahamnya dan sampai saat ini perbedaan tersebut masih tumbuh dengan
suburnya. Kenyataan ini sudah dijelaskan oleh
Rosulullah SAW dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik
“Yahudi telah berpecah menjadi 71 golongan, satu golongan di surga dan
70 golongan di neraka. Dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72
golongan, 71 golongan di neraka dan satu di surga. Dan demi Allah yang
jiwa Muhammad ada dalam tangan-Nya umatku ini pasti akan berpecah
belah menjadi 73 golongan, satu golongan di surga dan 72 golongan di
neraka.” Lalu beliau ditanya: “Wahai Rasulullah siapakah mereka ?”
Beliau menjawab: “Al Jamaah.” (HR. Sunan Ibnu Majah).
Islam sebagai agama islam yang diturunkan untuk manusia, yang
didalamnya terdapat pedoman serta aturan yang menuntun manusia
membawa kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Serta dalam agama islam
terdapat tiga sendi utama dalam agama islam dilihat dari tataran sisi
keilmuan, yaitu iman, islam dan ihsan.
“Ahlu Sunnah Wal Jamaah” adalah golongan yang senantiasa mengikuti
jejak hidup Rasulallah Saw. Dan jalan hidup para sahabatnya. Atau,
golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para
sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-
Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin „Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Anda mungkin juga menyukai