Anda di halaman 1dari 20

FILSAFAT UMUM

Hermeneutika

Dosen Pengampu: Anang Wahid C, Lc., M. H. I

Disusun oleh Kelompok 14 :

1. Imam M. (126402203189 )
2. Inge Amanda Putri ( 126402203190 )
3. Adetya Saputra ( 126402203191 )

Program Studi Ekonomi Islam

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam

Institut Agama Islam Negeri Tulungagung

Desember 2020

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunianya kepada kami penyusun, karena dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat. Sholawat dan salam selalu tercurahkan bagi kekasih kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kehidupan dari zaman antah berantah ke
zaman kerlap kerlip lampu dan rumah mewah. Makalah ini kami susun untuk
untuk memenuhi tugas saya sebagai mahasiswa untuk mata kuliah Filsafat Umum.
Makalah ini disusun berdasarkan data-data yang kami kumpulkan dengan
berbagai metode untuk memastikan kevalitan informasi yang telah ada. Saya
ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang langsung terlibat maupun tidak
langsung dalam pembuatan makalah ini, khususnya untuk bapak Anang Wahid C,
Lc., M. H. I sebagai dosen pengampu.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini masih ada


kesalahan. Untuk itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah sederhana ini dapat
dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Demikian saya sampaikan, sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat
berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya
memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Waalaikumsalam Wr.Wb.

Tulungagung, 23 Desember 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

SAMPUL ................................................................................................................1

KATA PENGANTAR ...........................................................................................2

DAFTAR ISI ..........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUHAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah .............................................................................. 5
C. Tujuan…………...................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Hermeneutika ..............................................................................6

B. Sejarah Hermeneutika ..............................................................................7

C. Fungsi Hermeneutika .............................................................................11

D. Ruang Lingkup Hermeneutika ..............................................................12

E. Madzab-Madzab Hermeneutika .............................................................15

F. Analisis Bahasa/Teori Filsafat Bahasa sebagai Basis Hermeneutika..17

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................... 19
B. Kritik dan Saran .............................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 20

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hermeneutika bukan merupakan sebuah kajian keilmuan yang baru. Dalam


sejarah perkembangannya hermeneutika tidak lagi hanya sebatas kajian
pemahaman atas teks. Pada abad ke-17 dan 18 hermeneutika telah mampu
memunculkan pemikiran-pemikiran tentang wacana kebahasaan, filsafat dan
keilmuan lainnya yang kemudian menghantarkan hermeneutika menjadi sebuah
kajian keilmuan yang mapan pada abad ke-20 (Grondin, 2017: 18).Berdasarkan
konteks pemikiran masa kini, hermeneutika terasa begitu penting karena topik
bahasannya memiliki relevansi pada seluruh ruang lingkup yang tidak hanya pada
tataran empiris atau sekadar bersifat empirik-analiktik, hermeneutika juga
memberikan penawaran terhadap pandangan baru yang holistik tentang kenyataan,
dan oleh karenanya banyak pemikir modern yang mulai sadar akan hakikat
kontekstualitas kebenaran (Poespoprodjo, 2015: 12). Berhubungan dengan hakikat
kebenaran tersebut peneliti menemukan sebuah doktrin innerancy of the scripture
(pendirian yang kuat oleh pemeluk agama) yang menyatakan kebenaran atas kitab
sucinya dalam setiap teks yang dikatakannya. Tentunya doktrin tersebut
merupakan sebuah sikap tendensi dari seorang pemeluk agama terhadap kitab suci
yang menjadi keyakinannya sehingga menjadikan seorang pemeluk agama yang
taat (beriman).
Doktrin innerancy of the scripture secara konseptualitas seharusnya dapat
dipahami bahwa setiap teks kitab suci berisikan faktualisasi dari sebuah kebenaran
dan sifatnya historis. Maka hal ini dapat dipandang bahwa kitab suci merupakan
kitab keagamaan yang dipegang erat oleh seorang pemeluk agama sebagai sebuah
jalan untuk menuju kebenaran. Tentunya untuk sampai pada sebuah keyakinan
atas kitab suci adalah melihat fakta sejarah yang tertuang dalam teks suci. Namun,
dalam teks suci unsur historisitas bukanlah satu-satunya alasan bagi seorang

4
pemeluk agama untuk meyakini kitab suci. Dalam pandangan peneliti, teks kitab
suci tidak hanya bermuatan fakta sejarah. Lebih dari sekedar itu, ada unsur-unsur
fiksi (fictional) yang melekat pada teks kitab suci yang menjadikan manusia
(pemeluk agama) mengetahui hal apa yang harus ia kerjakan untuk berada pada
kebenaran dan menuai hasil dari kebenaran.

B. Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Hermeneutika ?


2. Bagaimana sejarah Hermeneutika ?
3. Apa saja fungsi Hermeneutika?
4. Apa saja ruang lingkup Hermeneutika?
5. Apa saja Madzab-Madzab Hermeneutika ?
6. Bagaimana analisis bahasa/teori filsafat bahasa basis Hermeneutika ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa pengertian dari Hermeneutika.


2. Untuk mengetahui sejarah Hermeneutika.
3. Untuk mengetahui sejarah Hermeneutika.
4. Untuk mengetahui apa saja ruang lingkup Hermeneutika
5. Untuk mengetahui apa saja Madzab-Madzab Hermeneutika.
6. Untuk mengetahui Analisis Bahasa/Teori Filsafat Bahasa sebagai Basis
Hermeneutika

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hermeneutika

Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang


interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa
Yunani hermeneuein yang berarti, menafsirkan memberi pemahaman, atau
menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama
Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai
pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para
dewa-dewa di Olympus. Fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi
kesalahpahaman tentang pesan dewa dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat
manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan
ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu Hermes
menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil-
tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu
disampaikan. Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai
‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.

Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau


filsafat tentang interpretasi makna. Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari kata
kerja Yunani hermeneuien, yang memiliki arti menafsirkan, mengeinterpretasikan
atau menerjemahkan. Jika asal katanya dirunut, maka kata hermeneutika
merupakan derivasi dari kata Hermes, seorang dewa dalam mitologi Yunani yang
bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa
kepada manusia.

Mulyono, Edi. Dkk. 2012. Belajar Hermeneutika. Yogyakarta : IRCiSoD, E. Sumaryono.


1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius., (2016, 18 Juni) Asas.
https://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama ( 2020, 26 Mei ) Hermeneutika Diakses pada 23
Desember 2020, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutik

6
Menurut versi lain, dikatakan bahwa Hermes adalah seorang utusan yang
memiliki tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Tugas utama
Hermes yang digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kaki bersayap dan
ebih dikenal dengan sebutan Mercurius adalah menerjemahkan pesan-pesan dari
gunung Olimpus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Berawal
dari pengertian di atas, kajiankajian mengenai hermeneutika belakangan ini
menjadi daya tarik tersendiri di kalangan ilmuwan-ilmuwan yang ada. Dari
Schleieirmacher, Emilio Betti, Hans-Georg. Gadamer, atau Paul Ricoeur dari
dunia barat, hingga Fazlur Rahman, atau Hassan Hanafi di belahan dunia timur
merupakan contoh tentang bagaimana luar biasanya concern para ilmuwan
terhadap ilmu hermeneutika ini.

B. Sejarah Hermeneutika

Hermeneutika pada awalnya merupakan sub-disiplin dari teologi dan


merupakan upaya mengeluarkan maksud teks dan kitab suci (exegese). Dalam
perkembangan selanjutnya hermeneutika digunakan tidak hanya sebagai metode
menafsirkan kitab suci, tapi berkembang sebagai metode penafsiran teks dalam
arti yang luas, seperti, tanda, simbol, karya seni dan lainnya. Akhyar Yusuf Lubis
membedakan hermeneutika dalam enam bentuk, yaitu (1) Teori eksegesis Bible
(2) Metode filologi secara umum (3) Ilmu pemahaman linguistik (4) Fondasi
metodologis Geisteswissenschaften (5) Fenomenologi eksistensial (6) sistem
interpretasi yang digunakan untuk meraih makna dibalik simbol-simbol dan mitos.
Masing-masing bentuk hermeneutika di atas mempresentasikan sudut pandang
mana hermeneutika mau dilihat. Tiap bentuk hermeneutika melahirkan suatu
pandangan yang berbeda tapi melegitimasikan kisi-kisi tindakan interpretasi,
khususnya interpretasi teks.

https://www.hermeneutikafeminisme.com( 2016, 24 Januari) Hermeneutika dan perkembangannya


diakses pada 23 Desember 2020 dari https://www.hermeneutikafeminisme.com/hermeneutika/

7
Richard E. Palmer membedakan antara exsegese dan hermeneutika. Exsegese
adalah komentar-komentar aktual atas teks, sedangkan hermeneutika adalah
metodologi yang digunakan untuk ber-exsegese. Jika exegese merupakan
komentar aktual terhadap teks, maka hermeneutika lebih banyak berurusan
dengan pelbagai aturan, metode dan teori penafsiran. Menurut Palmer, sejak awal
hermeneutika mengarah kepada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip
penafsiran tekstual. Ada tiga komponen dalam proses tersebut, yaitu
mengungkapkan, menjelaskan dan menterjemahkan. Dengan demikian,
hermeneutika dipahami sebagai teori penafsiran atau interpretasi teks.
Pemikiran awal mengenai hermeneutika sebagai metode penafsiran berasal
dari Wilhelm Dilthey (1833- 1911) filsuf Jerman yang menggagas pemisahan
metode ilmu-ilmu alam dengan metode ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Kemudian gagasan ini diperkuat oleh Windelband, tokoh hermenutika terkenal
(1894) dengan membedakan ilmu-ilmu nomotetis dengan ilmu-ilmu idiografis.
Ilmu nomotetis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan mencari hukum-hukum
alam, sedangkan ilmu idiografis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk
menemukan keunikan (kekhasan) suatu peristiwa atau fenomena. Bila ilmu
nomotetis terdapat pada naturwissenscaften, seperti yang terdapat dalam
kecendrungan pada ilmu kuantitatif, ilmu idiografis terdapat pada
giesteswissenschaften, dimana suatu peristiwa tidak pernah terjadi dengan sebab
dan akibat yang persis sama. Dasar pembedaan ini bersifat ontologis.
Namun oleh kaum positivisme, ilmu idiografis dianggap tidak ilmiah, karena
tidak bisa diverifikasi dan tidak bersifat universal sebagai ciri ilmiah yang telah
ditentukan. Oleh karena itu, metode hermeneutika untuk giesteswissenschaften,
ditolak. Dikemudian hari, barulah hermeneutika dengan sengaja direfleksikan
secara filosofis menjadi metode penafsiran dalam giesteswissenschaften seperti
yang dilakukan oleh Frederich Daniel Ernst Schleirmacher dan Wilhelm Dilthey.
Kedua tokoh ini menjadikan hermeneutika sebagai metode yang terhormat dalam
filsafat dan ilmu-ilmu humaniora.
Daniel Ernst Schleimacher (1768-1834) tokoh pertama yang memberikan
tonggak yang kukuh bagi hermeneutika dengan membangun hermeneutika

8
sebagai suatu teori. Dia mengemukakan dua dimensi penafsiran grammatical
interpretation (interpretasi gramatika) dan psychological interpretation
(interpretasi psikologi). Menurut Schleimacher seperti yang dikutip Thompson,
dengan menggunakan unsur kupasan bahasa dan psikologis, seseorang mampu
membuat kejelasan asumsi-asumsi yang sesuai dengan originalitas ekspresi yang
diproduksi yang kemudian bisa memahami sang penutur secara baik. Kerja
Schleimacher merupakan langkah bagi Dilthey untuk menemukan metode bagi
ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Sebagai sebuah kajian filsafat dan menjadi sebuah metode dalam
berfilsafat, hermeneutika didefinisikan dengan cara yang berbeda-beda walaupun
pada dasarnya metode ini ingin menjelaskan bagaimana cara membaca,
memahami dan menghadapi teks, khususnya teks yang tertulis pada saat yang
berbeda dan dalam konteks kehidupan yang berbeda. Schleirmacher,
mendefinisikan hermeneutika sebagai seni memahami dan menguasai . Paul
Ricoeur mendefinisikan hermeneutika sebagai teori interpretasi (pengoperasian
atau aktivitas pemahaman) yang berhubungan dengan interpretasi teks atau
mengubah suatu ketidaktahuan menjadi mengerti. Menurut Gadamer, bahasa satu-
satunya entitas yang bisa dipahami, oleh karena itu untuk masuk kesuatu teks kita
harus masuk kedalam bahasa.
Josef Bleicher membagi hermeneutika atas tiga aliran yaitu :
Hermeneutika teoritis, Hermeneutika filosofis dan Hermeneutika kritis.
Hermeneutika teoritis memfokuskan perhatian pada masalah teori umum
penafsiran sebagai sebuah metodologi untuk ilmu-ilmu tentang manusia dan ilmu
sosial dan menempatkan hermeneutika dalam ruang epistemologi, yakni
hermeneutika di tempatkannya sebagai metode penafsiran terhadap pemikiran
orang lain. Aliran ini mengharapkan pemikiran orang lain (the mind of other)
dapat dipahami seobjektif mungkin, maka hermeneutika diupayakan akan
menemukan fondasi yang dibutuhkan bagi penelitian ilmiah. Tokoh pendukung
hermeneutika teoritis ini antara lain Schleiermacher dan Dilthey.
Hermeneutika teoritis mendapat kritik dari hermeneutika filosofis.
Hermeneutika filosofis tidak bertujuan untuk mencari makna objektif seperti

9
hermeneutika teoritis, tetapi menggunakan metode hermeneutika sebagai cara
eksplikasi dan diskripsi fenomena Dasein dalam temporalitas dan historikalitas.
Hermeneutika filosofis bertujuan tidak menemukan makna melalui dialog antara
subjek-objek dan objek yang ditafsirkan tidak mencari makna objektif, tetapi
bagaimana penafsir menghasilkan penafsiran baru yang secara praktis relevan dan
memperluas wawasan. Tokoh terkemuka dari aliran hermenutika filosofis adalah
Martin Heidegger (1889-1976) yang berpengaruh besar terhadap perkembangan
hermeneutika pada era postmosdern. Dia memulai proyeknya dengan suatu
penelitian ontologis hermeneutika dan menolak pemahaman terhadap dunia
keilmuan dimana subjek-objek harus objektif, sehingga melahirkan pemahaman
yang kaku dan bersifat hitam putih. Karena itu, Heidegger memfokuskan
pembahasan pada fondasi ontologis hermeneutika.
Pemikiran Heidegger dilanjutkan oleh muridnya Hans Georg Gadamer
(1900-2002) yang menegaskan bahwa penafsiran adalah proses produksi makna,
tidak merupakan reproduksi makna. Gadamer mengemukakan hubungan antara
prior text (pra pemahaman) dengan otoritas tradisi. Menurut Gadamer upaya
objektivistik akan sia-sia dalam penafsiran sebuah teks, karena antara teks dan
penafsir terbentang jurang tradisi yang tidak mungkin disatukan. Penafsir dan teks
menurut Gadamer senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing.
Dalam memandang realitas, penafsir tidak bisa melepaskan diri dari tradisi,
sehingga penafsiran bukanlah aktivitas subjek sebagai diri yang menyendiri,
terpisah dari sejarah, melainkan berangkat dari tradisi dimana ia ada didalamnya,
yang dipahami bukan struktur psikologis orang lain, tetapi adalah objek yang
punya makna yang tertanam dalam suatu tradisi yang dimilikinya. Pendekatan
terhadap teks harus dilakukan melalui prior text dan realitas historis kekinian dan
selanjutnya penafsir memunculkan produksi makna dari teks itu dan kesemuanya
bersifat subjektif dan dilakukan dengan proses dialogis antara cakrawala teks
dengan penafsir yang dikenal dengan the fusion of horizons.
Hermeneutika filosofis mendapat tantangan dari pemikir kritik ideologi
seperti yang dikemukan oleh Jurgen Habermas dan Karl Otto Apel. Mereka
mengembangkan suatu metode penafsiran hermeneutis yang berbingkai Teori

10
Kritis yang disebut dengan hermeneutika kritis. Jika dalam hermeneutika filosofis
yang menjadi problem hermeneutis pada akhirnya adalah bahasa dan permainan
bahasa, maka hermeneutika kritis justru menempatkan faktor-faktor ekstra-
linguistik sebagai masalah yang harus dipecahkan oleh hermeneutika.
Hermeneutika teoritis dan filosofis mengabaikan hal-hal diluar bahasa, seperti
kerja dan dominasi yang justru sangat menentukan terbentuknya konteks
pemikiran dan perbuatan.
Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah postmodern
hermeneutika mulai berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat kritis
terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Hermeneutika tidak lagi
terbatas pada metode apa yang paling valid untuk mencapai kebenaran penafsiran,
tapi juga mendekonstruksi acuan dari kebenaran-kebenaran yang selama ini
dipercaya dengan mengkritisi dasar-dasar epistemologis dan ontologis yang
menopangnya. Hadirnya pemikiran postmoderen membawa hermeneutika ke
dalam diskursus yang bernuansa dekonstruksi yang dikemukakan oleh Jacques
Derrida (1930-2004) seorang filsuf berkebangsaan Aljazair. Dekontruksi yang
disebut juga sebagai hermeneutika radikal telah menjadi konsep penting dan
banyak digunakan dalam penelitian sosial budaya kontemporer.
C. Fungsi Hermeneutika

Hermeneutika sebagai sebuah metode merupakan cara untuk menafsirkan


simbol-simbol yang terwujud dalam teks atau bentuk lainnya. Awalnya memang
hanya digunakan untuk menafsirkan kitab suci saja, namun semenjak Dilthey
(1833-1911) metode ini mulai digunakan untuk ilmu-ilmu kemanusiaan seperti
sejarah, psikologi, hukum sastra seni dan sebagainya. Probem utama dalam
hermenetutik adalah pencarian makna terhadap teks-teks klasik, lebih-lebih teks-
teks keagamaan (al-Qur’an). Karena teks keagamaan ini mempunyia sifat
ototritatif ‘bahasa tuhan’. Dalam arti, bahwa bahasa yang dipakai dalam kitab-
kitab suci (al-Qur’an) mengandung dua dimensi. Pertama, fakta materiil
memperlihatkan bahwa al-Qur’an dibentuk dalam sebuah bahasa. Kedua, namun
bahasa yang digunakan tersebut bukanlah bahasa biasa karena dianggap bahkan

11
diyakini, sebagai berasal dari tuhan. Ini berarti al-Qur’an mempunyai bahasa yang
memiliki watak otoritatif.

Satu sisi bahasa al-Qur’an mempunyai karakter ke-Ilahi-an, disisi lain juga
mempunyai karakter ke-manusia-an. Sementara hermeneutik dipakai sebagai
metode pembacaan atas teks dalam kerangka untuk menemukan dimensi-dimensi
baru yang belu ditemukan sebelumnya, bahkan yang dimaksudkan oleh makna
awalnya (secara gramatika). Salah satu peran pokok dari hermeneutika adalah
hendak memelihara ‘ruh’ dari sebuah teks, agar teks tersebut tidak menjadi “tubuh
mati”. Pertanyaan pokok dalam hermeneutika adalah bagaimana sebenarnya
hubungan antara teks (text) atau nash, penulis atau pengarang (author), dan
pembaca (reader) dalam memahami sebuah makna teks. Dalam memperdebatkan
hubungan antara teks, pengarang dan pembaca, Khaled Aboe el Fadl, seorang
pakar dalam bidang hukum dari Mesir yang sekarang menetap di Amerika
menjelaskan bahwa penentuan makna tidaklah hanya ditentukan oleh pembaca
saja, atau teks saja, tetapi ditentukan oleh interaksi antara obyektifitas teks dengan
subyektifitas pembaca. Disana, tentu akan ada proses negosiasi makna antara
kekuatan teks dengan kekuatan akal pembaca, sehingga menghasilkan makna
yang sesuai dengan kehendak tuhan. Meski tidak ada standarisasi yang jelas untuk
bisa mencapai makna sebagaimana yang dikehendaki tuhan.

D. Ruang Lingkup Hermeneutika

Hermeunitika dalam sejarah pertumbuhannya mengalami perkembangan dan


perubahan-perubahan persepsi dan model pemakaiannya, sehingga muncul
keragaman pendefinisian dan pemahaman terhadap hermeunitika itu sendiri.
Gambaran perkembangan pengertian dan pendefinisian tersebut oleh Richard
E.Palmer dalam Hamidi (2007: 82-85) dibagi dalam enam kategori hermeunitika
sebagai berikut :

a) Hermeunitika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci

12
Terminologi hermeunitika dalam pengertian ini pertama kali dimunculkan sekitar
abad 17-an oleh J.C Dannhauer. Meskipun sebenarnya kegiatan penafsiran dan
pembicaraan tentang teori-teori penafsiran, baik itu terhadap kitab suci, sastra
maupun dalam bidang hukum, sudah berlangsung sejak lama. Misalnya dalam
agama Yahudi, tafsir terhadap teks-teks Taurat telah dilakukan oleh para Ahli
Kitab. Dalam tradisi Kristen, juga pernah terjadi dua macam penafsiran terhadap
kitab sucinya, yaitu penafsiran harfiah yang dianut oleh mazhab Anthiokia dan
penafsiran simbolik yang banyak digunakan oleh Mazhab Alexandria. Demikian
juga dalam Islam, ilmu tafsir (hermeunitika Al-Qur’an) dipakai sebagai upaya
untuk memahami kandungan Al-Qur’an, sehingga muncul beraneka macam
metode tafsir. Hermeunitika Al-Qur’an dalam perspektif ini dijadikan sebagai
sebuah teori tafsir untuk mengungkapkan makna “tersembunyi” di balik teks atau
kitab suci.

b) Hermeunitika sebagai Metode Filologi

Dalam laju perkembangannya, hermeunitika mengalami perubahan dalam


memperlakukan teks. Perkembangan ini merambat sejalan dengan perkembangan
rasionalisme dan filologi pada abad pencerahan. Dalam wilayah ini, sekalipun
suatu teks berasal dari kitab suci, harus juga diperlakukan sebagaimana teks-teks
buku lainnya. Semua teks dipandang sama-sama memiliki keterkaitan dengan
sejarah ketika teks itu muncul. Itu artinya, metode hermeunitika sebagai
penafsiran kitab suci mulai bersentuhan dengan teori-teori penafsiran sekuler
seperti filologi. Sumbangan yang berarti dalam memperkaya pengertian
hermeunitika ini berasal dari seorang teolog modern yang bernama Rudolf
Bultman dengan konsep penafsiran demitologisasinya dan Wilhelm Dilthey
dengan konsep historical understandingnya. Demikian pula terjadi di kalangan
pemaharu muslim, seperti Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves.

c) Hermeunitika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik

Hermeunitika linguistik sebagai kelanjutan dari hermeunitika filologis, ia telah


melangkah lebih jauh di balik teks. Hermeunitika jenis ini menyatakan

13
bahwasanya sebuah teks yang dihadapi tidak sama sekali asing dan tidak
sepenuhnya biasa bagi seorang penafsir. Keasingan suatu teks di sini diatasi
dengan mencoba membuat rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi
batin pengarangnya dan berempati dengannya. Dengan kata lain harus juga
dilakukan penafsiran psikologis atas teks itu sehingga dapat mereproduksi
pengalaman sang pengarang.

d) Hermeunitika sebagai Fondasi Metodologis dari geiteswissenschaften

Dalam perkembangannya, hermeunitika dalam perspektif ini dijadikan sebagai


metode untuk memperoleh makna kehidupan manusia secara menyeluruh,
sehingga garapan kerjanya tidak semata-mata interpretasi teks saja, tetapi
berusaha memperoleh makna kehidupan dari semua bentuk sinyal dan simbol,
praktik sosial, kejadian-kejadian sejarah dan termasuk juga karya-karya seni.
Menurut Dilthey, suatu peristiwa sejarah itu dapat dipahami dengan tiga proses.
Pertama, memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku aksi. Kedua,
memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung
berhubungan dengan peristiwa sejarah. Ketiga, menilai peristiwa-peristiwa
tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarawan yang
bersangkutan hidup.

e) Hermeunitika sebagai Fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial

Hermeunitika sebagai “hermeunitika dasein” merupakan hermeunitika yang tidak


terkait dengan ilmu atau peraturan interpretasi teks dan juga tidak terjait dengan
metodologi bagi ilmu sejarah (humaniora), tetapi terkait dengan pengungkapan
fenomologis dari cara beradanya manusia itu sendiri. Pada intinya menurut
Edmund Husserl mengatakan bahwa pemahaman dan penafsiran adalah bentuk-
bentuk eksistensi manusia.

http://meitanun.blogspot.com (2013, 28 Juni) Ruang Lingkup Hermeneunitika. Diakses pada 23


Desember 2020 dari http://meitanun.blogspot.com/2013/06/ruang-lingkup-hermeneutika.html

14
f) Hermeunitika sebagai Sistem Penafsiran

Setelah hermeunitika mengalami beragam pendefinisian di tangan beberapa


tokoh, dari mulai pengertian sebagai teori penafsiran konvensional sampai
merupakan bagian dari metode filsafat, kemudian muncullah seorang tokoh
bernama Paul Ricoeur yang menari kembali diskursus hermeunitika ke dalam
kegiatan penafsiran dan pemahaman teks. Lebih lanjut dia mengatakan,
hermeunitika adalah teori mengenai aturan-aturan penafsiran yaitu penafsiran
terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda atau simbol yang dianggap teks.
Hermeunitika juga bertujuan untuk menghilangkan misteri yang terdapat dalam
simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya.
Hermeunitika membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi
keanekaragaman makna dari simbol-simbol. Langkah pemahaman Hermeunitika
menurut Ricoeur ada tiga langkah yakni Pertama, langkah simbolik atau
pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua, pemberian makna oleh simbol serta
penggalian yang cermat atas makna. Ketiga, langkah filosofis yaitu berpikir
dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.

E. Madzab-Madzab Hermeneutika

Menurut Palmer (2005), Sumaryono (1999), dan Rahardjo (2007), beberapa tokoh
yang mempunyai peran besar dalam perkembangan hermeneutika, antara lain :

1. Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 -1834), tokoh hermeneutika


roman tisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar
kajian teologi(teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian
filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada
unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks
kultural.
2. Wilhelm Dilthey (1833 -1911), tokoh hermeneutika metodis, berpendapat
bahwa proses pemahaman ber -mula dari pengalaman, kemudian
mengekspresikannya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah

15
neksus struktural yangmempertahankan masa lalu sebagai sebuah
kehadiran masa kini.
3. Edmund Husserl (1889 -1938), tokoh hermeneutika feno menologis,
menyebutkan bahwa proses pemahaman yang benar harus mampu
membebaskan diri dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara
sendiri. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara
metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada
hubungannya, termasuk bias-bias subjek penafsir dan membiarkannya
mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.
4. Martin Heidegger (1889 -1976), tokoh hermeneutika dialektis,
menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah
ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu
merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang.
5. Hans -Georg Gadamer (1900 -2002), tokoh hermeneutika dialogis, bagi -
nya pemahaman yang benar adalah pema -haman yang mengarah pada
tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya , kebenar-an dapat dicapai
bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengaju -kan
banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat
penting bagi terjadinya dialog.
6. Jurgen Habermas (1929), tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa
pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon
pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan
kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan
unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan gender.
7. Paul Ricoeur (1913) yang membedakan interpretasi teks tertulis dan
percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup
pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari
pembacanya.
8. Jacques Derrid a (1930), tokoh hermenutika dekonstruksionis,
mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan makna selalu menyelipkan
tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan

16
penanda. Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan
pembacanya.

F. Analisis Bahasa/Teori Filsafat Bahasa sebagai Basis Hermeneutika

Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Kita berfikir melalui


bahasa, kita berbicara dan menulis dengan bahasa. Kita mengerti dan membuat
interpretasi dengan bahasa. Tentu saja, nunansa-nuansa bahasa ini bukanlah
merupakan sesuatu hal yang baru, namun untuk pertama kalinya bahsa menjadi
pusat pembicaraan filosofis. Hans-Georg Gadamer menulis sebagai berikut :

“Bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan
wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini.”

Sumaryono menyimpulkan ungkapan Gadamer tersebut dengan


menjelaskan dimana Gadamer telah menyederhanakan status manusia di dunia ini
sebagai bagian yang seakan tidak terbedakan dari dunia itu sendiri. Lebih lanjut,
E. Sumaryono menjelaskan bahwa tidak mungkin berbuat apa-apa di dunia tanpa
menggunakan bahasa. Karena bahasalah maka setiap orang menemukan dirinya
sendiri di dalam dunia yang berubah terus menerus. Menurut Gadamer, bahasa
tidak boleh kita pikirkan sebagai yang mengalami perubahan. Bahasa harus kita
pikirkan atau kita pahami sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan (teleologi) di
dalam dirinya.[15] Bahwa kata-kata atau ungkapan secara aksidental tidak pernah
memiliki kebakuan, dikarenakan, menurut Wilhelm Dilthey, kata atau ungkapan
memiliki tujuan (telos) dan maksud sendiri. Setiap kata tidak pernah tidak
bermakna, walaupun diketahui arti kata-kata bersifat konvensional atau
perumusannya tidak mempunyai dasar logika. Namun, kata-kata itu tidak pernah
dibentuk secara aksidental saja (asal-asalan).

Apakah yang dimaksud dengan telos tersebut? Setiap orang yang memakai
bahasa ibu pada hakikatnya mampu menangkap arti atau makna dari kata-kata
dengan baik dan tepat walaupun baru pertama kali mendengar. Hal tersebut
tentunya berbeda dengan orang lain yang mencoba untuk menggunakan atau

17
berusaha untuk dapat berbicara dengan bahasa yang sama itu. Atas dasar ini lah,
Gadamer menyatakan bahwa “mengerti” berarti mengerti melalui bahasa. Oleh
karena itu, hermeneutik adalah cara baru untuk “bergaul” dengan bahasa.
Sehingga, jika mengerti selalu dikaitkan dengan bahasa, maka bahasa juga
membatasi dirinya sendiri, dikarenakan terikat oleh aturan tata bahasanya yang
berlaku. Dengan demikian, kita harus menyesuaikan diri terhadap kupasan-
kupasan linguistik dan kecil kemungkinan untuk melakukan pembaharuan.

Ruslan H.R. 2012. KALIMAT ITU HENDAKNYA MENGANDUNG HERMENEUTIK.


Surabaya. http://www.pta-bengkulu.go.id/images/artikel/kalimat1.pdf

18
BAB III
PENUTUP

I. KESIMPULAN

Hermeneutika bukanlah barang yang baru, bahasa menjadi pusat bahasa


hermeneutik sejauh hal itu menyatakan keseluruhan jaringan sejarah, kebudayaan,
kehidupan dan nilai-nilai yang merupakan petunjuk ke arah interpretasi.
Hermeneutik sebagai metode filsafat dapat diandalkan, namun sebagai motode,
hermeneutik tidak dapat disejajarkan dengan metode penelitian ilmiah yang
sifatnya ketat dan baku. Sebab, hermeneutik sifatnya luwes dan fleksibel.
Mengutip pendapat Stephen C.Pepper, metoda filsafat bukanlah motode
"ketergantungan" atau kepastian, melainkan lebih merupakan metode hipotesis.
Akhimya penulis berkesimpulan, Hermeneutik sebagai metode pembahasan
filsafat akan selalu relevan, sebab kebanaran yang diperoleh tergantung pada
orang yang melakukan interpretasi dan "dogma"- Hermeneutik bersifat luwes
sesuai dengan perkembangan zaman dan sifat open-minded.

D. KRITIK DAN SARAN

Demikianlah makalah yang dapat saya susun. Sebagai mahasiswa kita


harus mengembangkan ilmu yang kita peroleh dan mencari kebenaran ilmu itu
semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, akhir kata saya menyadari bahwa
makalah ini bukanlah proses akhir, tetapi merupakan langkah awal yang masih
banyak memerlukan perbaikan. Karena itu saya sangat mengharapkan tanggapan,
saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya makalah saya yang
selanjutnya. atas perhatiannya kami sampaikan terimakasih.

19
DAFTAR PUSAKA

Mulyono, Edi. Dkk. 2012. Belajar Hermeneutika. Yogyakarta : IRCiSoD,

Sumaryono. 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

https://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama ( 2020, 26 Mei ) Hermeneutika


Diakses pada 23 Desember 2020, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutik

https://www.hermeneutikafeminisme.com( 2016, 24 Januari) Hermeneutika dan


perkembangannya diakses pada 23 Desember 2020 dari
https://www.hermeneutikafeminisme.com/hermeneutika/

http://meitanun.blogspot.com (2013, 28 Juni) Ruang Lingkup Hermeneunitika.


Diakses pada 23 Desember 2020 dari
http://meitanun.blogspot.com/2013/06/ruang-lingkup-hermeneutika.html

Ruslan H.R. 2012. KALIMAT ITU HENDAKNYA MENGANDUNG


HERMENEUTIK. Surabaya. http://www.pta-
bengkulu.go.id/images/artikel/kalimat1.pdf

20

Anda mungkin juga menyukai