Hermeneutika
1. Imam M. (126402203189 )
2. Inge Amanda Putri ( 126402203190 )
3. Adetya Saputra ( 126402203191 )
Desember 2020
1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunianya kepada kami penyusun, karena dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat. Sholawat dan salam selalu tercurahkan bagi kekasih kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kehidupan dari zaman antah berantah ke
zaman kerlap kerlip lampu dan rumah mewah. Makalah ini kami susun untuk
untuk memenuhi tugas saya sebagai mahasiswa untuk mata kuliah Filsafat Umum.
Makalah ini disusun berdasarkan data-data yang kami kumpulkan dengan
berbagai metode untuk memastikan kevalitan informasi yang telah ada. Saya
ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang langsung terlibat maupun tidak
langsung dalam pembuatan makalah ini, khususnya untuk bapak Anang Wahid C,
Lc., M. H. I sebagai dosen pengampu.
Demikian saya sampaikan, sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat
berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya
memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Waalaikumsalam Wr.Wb.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
SAMPUL ................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUHAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Hermeneutika ..............................................................................6
A. Kesimpulan ....................................................................................... 19
B. Kritik dan Saran .............................................................................. 19
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
pemeluk agama untuk meyakini kitab suci. Dalam pandangan peneliti, teks kitab
suci tidak hanya bermuatan fakta sejarah. Lebih dari sekedar itu, ada unsur-unsur
fiksi (fictional) yang melekat pada teks kitab suci yang menjadikan manusia
(pemeluk agama) mengetahui hal apa yang harus ia kerjakan untuk berada pada
kebenaran dan menuai hasil dari kebenaran.
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hermeneutika
6
Menurut versi lain, dikatakan bahwa Hermes adalah seorang utusan yang
memiliki tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Tugas utama
Hermes yang digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kaki bersayap dan
ebih dikenal dengan sebutan Mercurius adalah menerjemahkan pesan-pesan dari
gunung Olimpus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Berawal
dari pengertian di atas, kajiankajian mengenai hermeneutika belakangan ini
menjadi daya tarik tersendiri di kalangan ilmuwan-ilmuwan yang ada. Dari
Schleieirmacher, Emilio Betti, Hans-Georg. Gadamer, atau Paul Ricoeur dari
dunia barat, hingga Fazlur Rahman, atau Hassan Hanafi di belahan dunia timur
merupakan contoh tentang bagaimana luar biasanya concern para ilmuwan
terhadap ilmu hermeneutika ini.
B. Sejarah Hermeneutika
7
Richard E. Palmer membedakan antara exsegese dan hermeneutika. Exsegese
adalah komentar-komentar aktual atas teks, sedangkan hermeneutika adalah
metodologi yang digunakan untuk ber-exsegese. Jika exegese merupakan
komentar aktual terhadap teks, maka hermeneutika lebih banyak berurusan
dengan pelbagai aturan, metode dan teori penafsiran. Menurut Palmer, sejak awal
hermeneutika mengarah kepada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip
penafsiran tekstual. Ada tiga komponen dalam proses tersebut, yaitu
mengungkapkan, menjelaskan dan menterjemahkan. Dengan demikian,
hermeneutika dipahami sebagai teori penafsiran atau interpretasi teks.
Pemikiran awal mengenai hermeneutika sebagai metode penafsiran berasal
dari Wilhelm Dilthey (1833- 1911) filsuf Jerman yang menggagas pemisahan
metode ilmu-ilmu alam dengan metode ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Kemudian gagasan ini diperkuat oleh Windelband, tokoh hermenutika terkenal
(1894) dengan membedakan ilmu-ilmu nomotetis dengan ilmu-ilmu idiografis.
Ilmu nomotetis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan mencari hukum-hukum
alam, sedangkan ilmu idiografis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk
menemukan keunikan (kekhasan) suatu peristiwa atau fenomena. Bila ilmu
nomotetis terdapat pada naturwissenscaften, seperti yang terdapat dalam
kecendrungan pada ilmu kuantitatif, ilmu idiografis terdapat pada
giesteswissenschaften, dimana suatu peristiwa tidak pernah terjadi dengan sebab
dan akibat yang persis sama. Dasar pembedaan ini bersifat ontologis.
Namun oleh kaum positivisme, ilmu idiografis dianggap tidak ilmiah, karena
tidak bisa diverifikasi dan tidak bersifat universal sebagai ciri ilmiah yang telah
ditentukan. Oleh karena itu, metode hermeneutika untuk giesteswissenschaften,
ditolak. Dikemudian hari, barulah hermeneutika dengan sengaja direfleksikan
secara filosofis menjadi metode penafsiran dalam giesteswissenschaften seperti
yang dilakukan oleh Frederich Daniel Ernst Schleirmacher dan Wilhelm Dilthey.
Kedua tokoh ini menjadikan hermeneutika sebagai metode yang terhormat dalam
filsafat dan ilmu-ilmu humaniora.
Daniel Ernst Schleimacher (1768-1834) tokoh pertama yang memberikan
tonggak yang kukuh bagi hermeneutika dengan membangun hermeneutika
8
sebagai suatu teori. Dia mengemukakan dua dimensi penafsiran grammatical
interpretation (interpretasi gramatika) dan psychological interpretation
(interpretasi psikologi). Menurut Schleimacher seperti yang dikutip Thompson,
dengan menggunakan unsur kupasan bahasa dan psikologis, seseorang mampu
membuat kejelasan asumsi-asumsi yang sesuai dengan originalitas ekspresi yang
diproduksi yang kemudian bisa memahami sang penutur secara baik. Kerja
Schleimacher merupakan langkah bagi Dilthey untuk menemukan metode bagi
ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Sebagai sebuah kajian filsafat dan menjadi sebuah metode dalam
berfilsafat, hermeneutika didefinisikan dengan cara yang berbeda-beda walaupun
pada dasarnya metode ini ingin menjelaskan bagaimana cara membaca,
memahami dan menghadapi teks, khususnya teks yang tertulis pada saat yang
berbeda dan dalam konteks kehidupan yang berbeda. Schleirmacher,
mendefinisikan hermeneutika sebagai seni memahami dan menguasai . Paul
Ricoeur mendefinisikan hermeneutika sebagai teori interpretasi (pengoperasian
atau aktivitas pemahaman) yang berhubungan dengan interpretasi teks atau
mengubah suatu ketidaktahuan menjadi mengerti. Menurut Gadamer, bahasa satu-
satunya entitas yang bisa dipahami, oleh karena itu untuk masuk kesuatu teks kita
harus masuk kedalam bahasa.
Josef Bleicher membagi hermeneutika atas tiga aliran yaitu :
Hermeneutika teoritis, Hermeneutika filosofis dan Hermeneutika kritis.
Hermeneutika teoritis memfokuskan perhatian pada masalah teori umum
penafsiran sebagai sebuah metodologi untuk ilmu-ilmu tentang manusia dan ilmu
sosial dan menempatkan hermeneutika dalam ruang epistemologi, yakni
hermeneutika di tempatkannya sebagai metode penafsiran terhadap pemikiran
orang lain. Aliran ini mengharapkan pemikiran orang lain (the mind of other)
dapat dipahami seobjektif mungkin, maka hermeneutika diupayakan akan
menemukan fondasi yang dibutuhkan bagi penelitian ilmiah. Tokoh pendukung
hermeneutika teoritis ini antara lain Schleiermacher dan Dilthey.
Hermeneutika teoritis mendapat kritik dari hermeneutika filosofis.
Hermeneutika filosofis tidak bertujuan untuk mencari makna objektif seperti
9
hermeneutika teoritis, tetapi menggunakan metode hermeneutika sebagai cara
eksplikasi dan diskripsi fenomena Dasein dalam temporalitas dan historikalitas.
Hermeneutika filosofis bertujuan tidak menemukan makna melalui dialog antara
subjek-objek dan objek yang ditafsirkan tidak mencari makna objektif, tetapi
bagaimana penafsir menghasilkan penafsiran baru yang secara praktis relevan dan
memperluas wawasan. Tokoh terkemuka dari aliran hermenutika filosofis adalah
Martin Heidegger (1889-1976) yang berpengaruh besar terhadap perkembangan
hermeneutika pada era postmosdern. Dia memulai proyeknya dengan suatu
penelitian ontologis hermeneutika dan menolak pemahaman terhadap dunia
keilmuan dimana subjek-objek harus objektif, sehingga melahirkan pemahaman
yang kaku dan bersifat hitam putih. Karena itu, Heidegger memfokuskan
pembahasan pada fondasi ontologis hermeneutika.
Pemikiran Heidegger dilanjutkan oleh muridnya Hans Georg Gadamer
(1900-2002) yang menegaskan bahwa penafsiran adalah proses produksi makna,
tidak merupakan reproduksi makna. Gadamer mengemukakan hubungan antara
prior text (pra pemahaman) dengan otoritas tradisi. Menurut Gadamer upaya
objektivistik akan sia-sia dalam penafsiran sebuah teks, karena antara teks dan
penafsir terbentang jurang tradisi yang tidak mungkin disatukan. Penafsir dan teks
menurut Gadamer senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing.
Dalam memandang realitas, penafsir tidak bisa melepaskan diri dari tradisi,
sehingga penafsiran bukanlah aktivitas subjek sebagai diri yang menyendiri,
terpisah dari sejarah, melainkan berangkat dari tradisi dimana ia ada didalamnya,
yang dipahami bukan struktur psikologis orang lain, tetapi adalah objek yang
punya makna yang tertanam dalam suatu tradisi yang dimilikinya. Pendekatan
terhadap teks harus dilakukan melalui prior text dan realitas historis kekinian dan
selanjutnya penafsir memunculkan produksi makna dari teks itu dan kesemuanya
bersifat subjektif dan dilakukan dengan proses dialogis antara cakrawala teks
dengan penafsir yang dikenal dengan the fusion of horizons.
Hermeneutika filosofis mendapat tantangan dari pemikir kritik ideologi
seperti yang dikemukan oleh Jurgen Habermas dan Karl Otto Apel. Mereka
mengembangkan suatu metode penafsiran hermeneutis yang berbingkai Teori
10
Kritis yang disebut dengan hermeneutika kritis. Jika dalam hermeneutika filosofis
yang menjadi problem hermeneutis pada akhirnya adalah bahasa dan permainan
bahasa, maka hermeneutika kritis justru menempatkan faktor-faktor ekstra-
linguistik sebagai masalah yang harus dipecahkan oleh hermeneutika.
Hermeneutika teoritis dan filosofis mengabaikan hal-hal diluar bahasa, seperti
kerja dan dominasi yang justru sangat menentukan terbentuknya konteks
pemikiran dan perbuatan.
Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah postmodern
hermeneutika mulai berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat kritis
terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Hermeneutika tidak lagi
terbatas pada metode apa yang paling valid untuk mencapai kebenaran penafsiran,
tapi juga mendekonstruksi acuan dari kebenaran-kebenaran yang selama ini
dipercaya dengan mengkritisi dasar-dasar epistemologis dan ontologis yang
menopangnya. Hadirnya pemikiran postmoderen membawa hermeneutika ke
dalam diskursus yang bernuansa dekonstruksi yang dikemukakan oleh Jacques
Derrida (1930-2004) seorang filsuf berkebangsaan Aljazair. Dekontruksi yang
disebut juga sebagai hermeneutika radikal telah menjadi konsep penting dan
banyak digunakan dalam penelitian sosial budaya kontemporer.
C. Fungsi Hermeneutika
11
diyakini, sebagai berasal dari tuhan. Ini berarti al-Qur’an mempunyai bahasa yang
memiliki watak otoritatif.
Satu sisi bahasa al-Qur’an mempunyai karakter ke-Ilahi-an, disisi lain juga
mempunyai karakter ke-manusia-an. Sementara hermeneutik dipakai sebagai
metode pembacaan atas teks dalam kerangka untuk menemukan dimensi-dimensi
baru yang belu ditemukan sebelumnya, bahkan yang dimaksudkan oleh makna
awalnya (secara gramatika). Salah satu peran pokok dari hermeneutika adalah
hendak memelihara ‘ruh’ dari sebuah teks, agar teks tersebut tidak menjadi “tubuh
mati”. Pertanyaan pokok dalam hermeneutika adalah bagaimana sebenarnya
hubungan antara teks (text) atau nash, penulis atau pengarang (author), dan
pembaca (reader) dalam memahami sebuah makna teks. Dalam memperdebatkan
hubungan antara teks, pengarang dan pembaca, Khaled Aboe el Fadl, seorang
pakar dalam bidang hukum dari Mesir yang sekarang menetap di Amerika
menjelaskan bahwa penentuan makna tidaklah hanya ditentukan oleh pembaca
saja, atau teks saja, tetapi ditentukan oleh interaksi antara obyektifitas teks dengan
subyektifitas pembaca. Disana, tentu akan ada proses negosiasi makna antara
kekuatan teks dengan kekuatan akal pembaca, sehingga menghasilkan makna
yang sesuai dengan kehendak tuhan. Meski tidak ada standarisasi yang jelas untuk
bisa mencapai makna sebagaimana yang dikehendaki tuhan.
12
Terminologi hermeunitika dalam pengertian ini pertama kali dimunculkan sekitar
abad 17-an oleh J.C Dannhauer. Meskipun sebenarnya kegiatan penafsiran dan
pembicaraan tentang teori-teori penafsiran, baik itu terhadap kitab suci, sastra
maupun dalam bidang hukum, sudah berlangsung sejak lama. Misalnya dalam
agama Yahudi, tafsir terhadap teks-teks Taurat telah dilakukan oleh para Ahli
Kitab. Dalam tradisi Kristen, juga pernah terjadi dua macam penafsiran terhadap
kitab sucinya, yaitu penafsiran harfiah yang dianut oleh mazhab Anthiokia dan
penafsiran simbolik yang banyak digunakan oleh Mazhab Alexandria. Demikian
juga dalam Islam, ilmu tafsir (hermeunitika Al-Qur’an) dipakai sebagai upaya
untuk memahami kandungan Al-Qur’an, sehingga muncul beraneka macam
metode tafsir. Hermeunitika Al-Qur’an dalam perspektif ini dijadikan sebagai
sebuah teori tafsir untuk mengungkapkan makna “tersembunyi” di balik teks atau
kitab suci.
13
bahwasanya sebuah teks yang dihadapi tidak sama sekali asing dan tidak
sepenuhnya biasa bagi seorang penafsir. Keasingan suatu teks di sini diatasi
dengan mencoba membuat rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi
batin pengarangnya dan berempati dengannya. Dengan kata lain harus juga
dilakukan penafsiran psikologis atas teks itu sehingga dapat mereproduksi
pengalaman sang pengarang.
14
f) Hermeunitika sebagai Sistem Penafsiran
E. Madzab-Madzab Hermeneutika
Menurut Palmer (2005), Sumaryono (1999), dan Rahardjo (2007), beberapa tokoh
yang mempunyai peran besar dalam perkembangan hermeneutika, antara lain :
15
neksus struktural yangmempertahankan masa lalu sebagai sebuah
kehadiran masa kini.
3. Edmund Husserl (1889 -1938), tokoh hermeneutika feno menologis,
menyebutkan bahwa proses pemahaman yang benar harus mampu
membebaskan diri dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara
sendiri. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara
metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada
hubungannya, termasuk bias-bias subjek penafsir dan membiarkannya
mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.
4. Martin Heidegger (1889 -1976), tokoh hermeneutika dialektis,
menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah
ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu
merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang.
5. Hans -Georg Gadamer (1900 -2002), tokoh hermeneutika dialogis, bagi -
nya pemahaman yang benar adalah pema -haman yang mengarah pada
tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya , kebenar-an dapat dicapai
bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengaju -kan
banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat
penting bagi terjadinya dialog.
6. Jurgen Habermas (1929), tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa
pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon
pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan
kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan
unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan gender.
7. Paul Ricoeur (1913) yang membedakan interpretasi teks tertulis dan
percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup
pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari
pembacanya.
8. Jacques Derrid a (1930), tokoh hermenutika dekonstruksionis,
mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan makna selalu menyelipkan
tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan
16
penanda. Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan
pembacanya.
“Bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan
wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini.”
Apakah yang dimaksud dengan telos tersebut? Setiap orang yang memakai
bahasa ibu pada hakikatnya mampu menangkap arti atau makna dari kata-kata
dengan baik dan tepat walaupun baru pertama kali mendengar. Hal tersebut
tentunya berbeda dengan orang lain yang mencoba untuk menggunakan atau
17
berusaha untuk dapat berbicara dengan bahasa yang sama itu. Atas dasar ini lah,
Gadamer menyatakan bahwa “mengerti” berarti mengerti melalui bahasa. Oleh
karena itu, hermeneutik adalah cara baru untuk “bergaul” dengan bahasa.
Sehingga, jika mengerti selalu dikaitkan dengan bahasa, maka bahasa juga
membatasi dirinya sendiri, dikarenakan terikat oleh aturan tata bahasanya yang
berlaku. Dengan demikian, kita harus menyesuaikan diri terhadap kupasan-
kupasan linguistik dan kecil kemungkinan untuk melakukan pembaharuan.
18
BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSAKA
20