Disusun Oleh:
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah Nya
sehimgga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul ‘’Studi Fiqih dengan Pendekatan
Hermeneutika” ini tepat waktu . Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada beliau
Nabi Agung Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya kelak di Yaumul Qiyamah.
Kami mengucapkan terimaksih kepada Bapak Teguh Mukidin, M. Hum. yang telah
memberikan tugas makalah ini sehingga dapat menambah wawasan bagi pembaca dan penulis.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada media masa,buku dan media lainnya yang
artikelnya kami gunakan dalam penulisan masalah ini.
Akhir kata,kami menyadari bahwa makalahh ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu,ktitik dan saran yang membangun kami terima demi kesempurnaan makalah ini.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................iii
BAB I..............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................1
C. Tujuan....................................................................................................................................2
BAB II............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................................3
1. Pengertian dan Sejarah Hermeneutika..................................................................................3
2. Karakteristik Pendekatan Hermeneutika...............................................................................4
3. Tokoh-tokoh Hermeneutika dan Hasil Pemikirannya...........................................................5
4. Prinsip-Prinsip Paham Hermeneutika...................................................................................9
5. Peran Pendekatan Hermaneutik dalam Studi Islam............................................................11
6. Problematika Pendekatan Hermeneutika dalam Hukum Islam..........................................13
7. Aplikasi Pendekatan Hermeneutik terhadap Teks-teks Keislaman....................................18
BAB III........................................................................................................................................25
PENUTUP...................................................................................................................................25
A. Kesimpulan.........................................................................................................................25
B. Saran....................................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................27
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran Hermeneutika tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran
tentang bahasa dalam wacana dan keilmuan lainnya. Hermeneutika pada awalnya banyak
digunakan oleh mereka yang berhubungan erat dengan kitab suci injil dalam menafsirkan
kehendak Tuhan kepada manusia. Ilmu ini dikenal dengan tafsir kitab suci, ia berkembang
pesat dalam berbagai disiplin keilmuan yang luas. Bentuk hermeneutika tersebut mulai
berkembang pada abad 17 dan 18.
Kajian terhadap hermenutika sebagai sebuah bidang keilmuan mulai marak pada abad
20, dimana kajian hermeneutika mulai berkembang. Ia tidak hanya mencakup bidang kajian
kitab suci (teks keagamaan) dan teks-teks klasik belaka, melainkan berkembang jauh pada
ilmuilmu lain seperti sejarah, hukum, filsafat, kesusastraan, dan lain-lain sebagainya yang
mencakup dalam ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan. Hermeneutik adalah teori tentang
bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks.
Sebenarnya hermeneutika sebagai metode baca teks telah dikenal luas dalam berbagai
bidang keilmuan Islam tradisional, terutama dalam tradisi Fiqih dan Tafsir Al Qur’an.
Sementara itu, hermeneutika modern dalam pemikiran Islam pada umumnya dan metode
penafsiaran Al Qur’an khususnya. Oleh karena itu, kajian hermeneutika dalam kajian Islam
juga perlu dipelajari untuk menambah khazanah keilmuan dan dapat memberikan
pengetahuan baru terhadap bagaimana memahami teks serta penafsiran terhadap teks yang
akan diteliti.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hermeneutika dan bagaimana sejarah Hermeneutika ?
2. Bagaimana karakteristik pendekatan Hermeneutika ?
3. Siapa tokoh-tokoh Hermeneutika dan bagaimana hasil pemikirannya ?
4. Bagaimana prinsip-prinsip paham Hermeneutika ?
5. Apa peran pendekatan Hermeneutika dalam Studi Islam/Fiqih ?
6. Bagaimana problematika pendekatan Hermeneutika dalam Hukum Islam ?
1
7. Bagaimana aplikasi pendekatan Hermeneutika terhadap teks keislaman ?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian Hermeneutika dan bagaimana sejarah Hermeneutika
2. Dapat mengetahui karakteristik pendekatan Hermeneutika
3. Dapat mengetahui tokoh-tokoh Hermeneutika dan bagaimana hasil pemikirannya
4. Dapat mengetahui prinsip-prinsip paham Hermeneutika
5. Dapat mengetahui peran pendekatan Hermeneutika dalam Studi Islam/Fiqih
6. Dapat mengetahui problematika pendekatan Hermeneutika dalam Hukum Islam
7. Dapat mengetahui aplikasi pendekatan Hermeneutika terhadap teks keislaman
2
BAB II
PEMBAHASAN
1 Auzi Fashri, Pierre Bourdieu; Menyingkap Kuasa Simbol, (Yogyakarta: Jalasutra, 2014), 22.
2 E, Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993) h.23.
3 Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010), hlm 124.
3
kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci itu mereka berkesimpulan bahwa
kesulitan itu akan terbantu pemecahannya oleh hermeneutika.4
Memasuki abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berekembang, F.D.E.
Schleirmacher, filsuf yang kelak digelari Bapak hermeneutika modern ini, memperluas cakupan
hermeneutika tidak hanya dalam bidang sastra dan kitab suci. Ia melihat sebagai metode
interpretasi, hermeneutika sangat besar artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua
kalangan.
Faktanya, sekarang berbagai disiplin ilmu menyadari arti pentingnya, dan hermeneutika
di zaman ini telah masuk ke bidang- bidang semisal agama (kitab suci), sastra, sejarah, hukum
dan filsafat. Hingga akhir abad ke-20, paling tidak hermeneutika dapat dipilah dalam tiga
kategori:
a) Sebagai filsafat, dimana hermeneutika tumbuh menjadi satu aliran pemikiran yang
menempati lahan-lahan strategisdalam diskursus filsafat (Heidegger dalam hermeneutika
eksistensialis-ontologis)
b) Sebagai kritik, hermeneutika memberi reaksi keras terhadap berbagai asumsi idealis yang
menolak pertimbangan ekstralinguistik sebagai faktor penentu konteks pikiran dan aksi
(Habermas)
c) Sebagai teori, hermeneutika berfokus pada problem di sekitar teori interpretasi,
bagaimana menghasilkan interpretasi dan standarisasinya.5
5 http://antpoers.blogspot.com/2017/06/metode-hermeneutik-dalampendidikan.html?m=1#:~:text=Karakteristik
%20Pendekatan%20Hermeneutik,-
Hermeneutika%20sebagi%20pendekatan&text=Pertama%2C%20hermeneutika%20adalah%20metode%20dan,dan
%20kritik%20sastra%20atau%20sejarah diakses pada tanggal 15 Mei 2021 pukul 14:25.
5
Schleirmacher menciptakan dua bentuk hermeneutika yaitu pemahaman
ketatabahasaan dan pemahaman psikologis yang ditunjukan oleh jiwa pengarang.
sehingga hermeneutikanya sering disebut sebagai hermeneutica intelligendi karena
penalaran rasional dan intuisi merupakan dua bentuk kecerdasan tertinggi yang dimiliki
manusia. Meskipun individualitas pengarang merupakan tumpuan utama dalam
hermeneutikanya, tetapi konteks kesejarahan dan budaya pengarang menjadi
pertimbangan yang penting. b. Jurgen Habermas.
Hebermas pada dasarnya membutuhkan dialog, sebuah proses memahami adalah
proses kerja sama dimana pesertanya saling berhubungan diri satu dengan yang lainnya
secara serentak di lebenswell atau dunia kehidupan. Lebenswell mempunyai tiga aspek
yaitu : dunia objektif, dunia sosial, dunia subjektif. 6 Jika dihubungkan dengan empat
konsep tentang tindakan, maka pemahaman menjadi sangat eksperensial, yaitu:
1) Dalam hubungannya dengan tindakan teleologis, pemahaman menggambarkan
tujuan, yaitu bahwa setiap tindakan manusia mempunyai tujuannya sendiri.
2) Dalam hubungannya dengan tindakan normatif, pemaha-manmenandai hal-hal
yang bersifat normatif, misalnya: semua pengendara menghentikan kendaranya
pada saat trafficlight menunjukan warna merah.
3) Dalam hubungannya dengan tindakan teleologis, pemahaman dapat ditunjukan
dengan cara misalnya “kita berpura-pura melakukan sesuatu tindakan yang lain
pada saat kita secara tiba-tiba berpapasan dengan orang yang tidak kita sukai”.
4) Dalam hubungannya dengan tindakan komunikatif, pemahaman merupakan suatu
peristiwa perhubungan bahasa dalam kaitan ruang dan waktu. Pemahaman ini
terjadi dalam lebenswelt atau transendetal di mana pembicara dan pendengarnya
bertemu dengan satu sama lain. Jadi, lebenswelt merupakan dunia pemahaman
atau dunia di mana akal dan kesadaran kita bertemu dengan akal dan kesadaran
orang lain secara timbal balik dalam konteks sosial.7
c. Hans-George Gadamer
Gardamer boleh kita sebut sebagai hermeneutik sejati. Gadamer secara mendasar
menegaskan bahwa persoalan hermeneutik bukanlah persoalan tentang metode tidak
6 Ibid., hlm. 29
7 Ibid, hlm. 94-95.
6
mengajarkan tentang metode yang digunakan untuk Geisteswissenschaften. Hermeneutik
lebih merupakan usaha memahami dan menginterprestasi sebuah teks. Hermeneutik
merupakan bagian dari keseluruhan pengalaman mengenai dunia. Hermeneutik
berhubungan dengan suatu teknis tertentu, dan berusha kembali kesusunan tata bahasa,
karena teknis atau kunstlehre (ilmu tentang seni) inilah maka hermeneutik menjadi
sebuah filsafat praktis yang juga berarti sebuah ilmu pengetahuan tentang segala hal yang
universal yang mungkin untuk diajarkan.
d. Wilhelm Dilthey
Sebagai seorang filsuf dan ahli bidang hermeneutik filosofis, Dilthey berambisi untuk
menyusun sebuah dasar epistemologis baru bagi pertimbangan sejarah yakni dengan
memandang dunia dalam dua wajah, yaitu wajah dalam (interior) dan wajah luar
(eksterior). Secara interior, peristiwa itu dilihat atas dasar kesadaran atau keadaan sadar.
Secara eksterior, suatu peristiwa memiliki tanggal dan tempat khusus atau tertentu.
Kesulitan yang dihadapi Dilthey kemudian adalah bagaimana menempatkan penyelidikan
sejarah supaya sejajar dengan penelitian ilmiah. Sebab dalam penelitian ilmiah hanya
terdapat satu dimensi, yaitu dimensi eksterior. Kesadaran para peneliti ilmiah tidak
meresap masuk ke dalam eksperimennya.
Menurut Dilthey, Hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang
kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan pada
peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup di
masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut interpreter harus memiliki kesamaan
yang intens dengan pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi
psikologis Schleiermacher. Pada bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha
membumikan kritiknya ke dalam sebuah transformasi psikologis. Namun, karena
psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya ia hentikan. Ia menolak
asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang
implisit dalam pikiran pengarang. Bagi Dilthey hermeneutika universal memerlukan
prinsip-prinsip epistemologi yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Menurutnya, dalam tindakan pemahaman historis, yang harus berperan adalah
pengetahuan pribadi mengenai apayang dimaksudkan manusia. Jika Kant menulis
7
Crituque of Pure Reason, ia mencurahkan pemikiran untuk gagasan Crtique of Historical
Reason.
e. Paul Ricoeur
Paul Recoeur mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus
eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika.
Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak
ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam
pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitis dari
simbol dalam masyarakat atau sastra. Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik
yang memiliki multi makna, ia dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki
makna permukaan yang betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih
dalam. Hermeneutika adalah sistem dimana signifikansi mendalam diketahui bahwa
kandungan yang nampak.
Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna objektif
sang pengarang, maka berbagai interpensi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna
tidak diambil hanya menurut pandangan hidup pengarang, tapi juga menurut pengertian
pandangan hidup pembacanya. Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks
atau teori tafsir.
f. Jaques Derrida
Keseluruhan gagasan tentang hermeneutik cenderung berhubungan dengan
pengertian tentang ‘’yang merangkai’’ dan ‘’yang dirangkai’’ menurut kerangka waktu
pengarang teks atau pembacanya. Jadi dalam hal ini, interpreter harus dapat menerapkan
pesan teks kedalam kerangka waktunya sendiri. Istilah kelayakan digunakan untuk
menggambarkan cara pembaca dan kritik menghayati pandangan dunia si pengarang..
kemudian istilah
‘’permanan’’ dipergunakan oleh Gademer untuk menunjukkan bahwa hermeneutik
hanyalah sekedar permainan mana inter preter dan ahlinya.
Memahami sebuah istilah pada dasarnya adalah lebih dari pada sekedar mengetahui
makna atau tanda kata-kata yang dipergunakan dalam ucapan. Ideaalnya, pendengar atau
8
pembaca harus ambil bagian dalam kehidupan pengarang atau pembicara sehingga ia dapt
memahaminya. Inilah yang dimaksudkan istilah ‘kelayakan’ atau ‘kepatuhan’. Namun,
interprestasi tidak pernah dapat terterlaksana jika dilakukan dalam rasio satu lawan satu
antara interpreter dengan teks. Orang harus menempatkan dirinya pada interprestasi
subjektif, baik iitu terjadi di dalam filsafat atau kesusastraan. Dari pembahasan di atas itu,
tampak bahwa Derrida tidak dapat disebut sebagai pemikir relatif-empiris ataupun
skeptis.
Bahkan juga bukan anti kebenaran. Ia sendiri mengatakan bahwa kebenaran itu sifatnya
imperatif. Apakah seseorang menggunakan metode fenomenologis, strukturalis, ataupun
hermeneutik, ia pasti akan mencapai kebenaran. Jika kebenaran itu meragukan, pasti
bukan karena interprestasiyang lemah atau interpreternya lemah, melainkan karena
keterbatasan bahasa, atau karena keterbatasan dan ketidak sempurnaan manusia sendiri.8
Bagi penganut ajaran hermeneutika, dunia yang kita tinggali ini merupakan sumber
pengetahuan yang paling mendasar dan terpenting. Bagi intelektual barat yang mengikuti faham
empirisme justru pengetahuan objektif yang menentukan pemahaman atas dunia yang kita
tinggali itu. pengikut hermeneutika dalam mempelajari perilaku manusia mencari perspektif yang
memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang paling mendasar. Mereka keberatan dengan
konsep perspektif objektif, sebab objektifitas adalah abstraksi dan reduksi dari dunia sebenarnya.
Dunia yang kita tinggali dan kita alami ini lebih bermakna daripada alam semesta fisikal. Artinya
perspektif keseluruhan dan kontekstual seyogianya menjadi dasar dalam memahami fenomena
yang diselidiki. Argumen objektivitas mengandung risiko menjauhkan fenomena dari dunia yang
kita tinggali ini.
Dunia ini adalah untuk memahami dan menginterpretasi realitas, Berikut adalah beberapa
prinsip faham hermeneutika:
10
Secara sederhana, hermeneutika berfungsi untuk mengetahui makna kata, kalimat dan
teks, serta berfungsi untuk menemukan instruksi dari simbol. Peta hermeneutika menurut Josef
Bleicherr ada tiga, yakni; sebagai metodologi, sebagai filsafat atau filosofis, dan sebagai kritik.
11
dalam dialektika konteks dan kontekstualisasinya. Teks al-Qur’an akan sulit dipahami oleh
berbagai pembaca lintas generasi.9
Dengan adanya keterbatasan ini, ditambahkan lagi dengan mengaitkan fakta bahwa
mereka dibatasi dengan segenap aturan normatif, aturan yang dihubungkan dengan pelanggaran
terhadap hukum Tuhan. Seorang peneliti dibebani dengan syarat harus berakidah yang benar,
berakhlak mulia, bersifat ikhlas, berhati jujur, dan sebagainya. Bila syarat-syarat ini tidak
dipenuhi maka ide penafsirannya tidak diakui.10
Hal ini yang membuat para pemikir kontemporer melihat jika hal ini dibiarkan
terusmenerus, maka umat Islam tidak akan mampu menembus lautan makna yang
dibentangkannya dibalik ayat-ayat al-Qur’an. Demikian halnya jika metode tafsir selama ini
menempatkan teks sebagai satu-satunya area kajian, maka sudah saatnya segala unsur empiris-
psikologis-kultural yang terlibat dalam pembentukan teks itu dieksplorasi. Faktor inilah yang
ditemukan dalam pembahasan hermeneutika. Maka, hermeneutika menjadi alternatif baru dalam
upaya rekonstruksi keilmuan tafsir.12
Satu hal yang menunjol dari Hermeneutik Hasan Hanafi dalam pemikirannya secara
umum adalah muatan idiologisnya yang syarat-syarat dan maksudnya sangat praksis. Tipikal
pemikiran revolusioner semacam ini, justru sangat berbeda dengan meinstream umat Islam yang
masih terkungkung oleh lembaga-lembaga tradisionalisme dan ortodoksi.13
Dalam hal ini dapat dicontohkan tentang hukum potong tangan dalam al-Qur’an. Meski
secara tegas dalam al-Qur’an tertulis kewajiban hukum potong tangan bagi pencuri, namun hal
tersebut dapat dipahami secara berbeda. Dalam kacamata hermeneutik, pesan yang tidak
terkatakan adalah adanya keadilan dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Hak untuk memiliki
suatu benda tidak boleh dicapai dengan cara-cara yang mengesampingkan aturan-aturan yang
ada. Pada masa teks tersebut turun, keadaan sosialmasyarakat Arab ketika itu memang
meniscayakan adanya hukum potong tangan. Suatu konstruk budaya Arab ketika itu memang
menghendaki adanya hukum potong tangan bagi pencuri. Namun, karena kondisi sosial budaya
masyarakat yang tidak sama, maka substansi dari hukum potong tangan lebih dikedepankan. Di
11 Ibid., hlm. 14
15
Ibid., hlm. 28
13
Indonesia, hukum potong tangan diganti dengan hukum penjara, suatu upaya yang secara
substantiv sama dalam mencegah pengulangan kejahatan yang sama.12
Pada dasarnya, hukum Islam dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, hukum Islam
yang bersifat absolut, universal, dan permanen, tidak berubah, dan tidak dapat berubah. Hukum
Islam yang termasuk bagian ini adalah hukum Islam yang tercantum dalam Alquran dan Hadis
Mutawâtir yang penunjukannya telah jelas (qat ‘î al-dalâlah). Kedua, hukum Islam yang bersifat
relatif, tidak universal dan tidak permanen. Pada batasbatas tertentu, hukum Islam dalam bentuk
seperti ini dapat berubah sesuai situasi dan kondisi. Hukum Islam yang masuk kelompok ini
adalah hukum-hukum yang dihasilkan melalui proses ijtihad.18 Kerangka berpikir adanya
17
Lihat misalnya dua buku David Norton, A History of the Bible as Literature, 2 jilid (Cambridge: Cambridge
University Press, 1993) dan A Textual History of the King James Bible (Cambridge: Cambridge University Press,
2005).
18
39 Yûsuf al-Qarâdawî, al-Ijtihâd fī al-Sharī’ah al-Islâmiyyah ma‘a Nazârah Tahlīliyyah fī al-Ijtihâd al-
Mu‘âsir (Kuwayt: Dâr al-Qalam, 1985), h. 205.
Di kalangan ahli usul fikih dikenal adanya dikotomi antara dalil qat‘î dan zannî, baik
eksistensinya
(wurûd) maupun penunjukannya (dalâlah).13
Melalui celah-celah dari dalil yang zannî, baik wurûd maupun dalâlah-nya, para ahli
hukum Islam berupaya untuk menentukan kesimpulan hukum. Oleh karena itu, bersumber pada
dalil zannî, maka sudah dapat diduga bahwa simpulan hukumnya pun akan bersifat zannî.
Dengan demikian, hasil ijtihad seseorang atau sekelompok orang lebih banyak yang bersifat
relatif. Tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menjadikan hasil ijtihad seseorang atau
sekelompok orang sebagai kebenaran mutlak. Perbedaan pendapat di kalangan para ulama
mencerminkan kerelatifan pendapat tersebut. Sejauh berupa hasil pemahaman ahli fikih, bisa jadi
satu pendapat berbeda dengan pendapat ahli fikih lainnya.
Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai produk sejarah. Hal ini merupakan
sebuah asumsi yang mungkin tepat dalam kasus Bibel, mengingat sejarahnya yang sangat
problematika.14Namun, hal ini tidak berlaku untuk Alquran, sebagai sumber hukum Islam, yang
kebenarannya melintasi batas ruang dan waktu dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh
umat manusia. Dalam banyak hal, Alquran dan Sunah banyak menjelaskan hukum-hukum
normatif yang tidak berkaitan dengan kondisi sosial saat itu. Selain itu, Alquran merupakan
wahyu Allah yang tidak terkait dengan situasi historis manusia. Oleh karena itu, maka Alquran
bukan merupakan produk sejarah.
13 Wahbah al-Zuhaylî, al-Wasît fî Usûl al-Fiqh, (Dimasq: alMatba’ah al-‘Ilmiyyah, 1969), h. 605-606 dan ‘Ali
Hasaballâh, Usûl al-Tashrî al-Islâmî, (al-Qâhirah: Dâr al-Ma‘ârif, 1964), h. 20.
14 Sebagaimana diakui oleh Emanuel Tov, pakar sejarah Perjanjian Lama, dalam The Anchor Bible Dictionary, ed.
David Noel Freedman, (New York: Doubleday, 1992), Jilid 6, h. 394.
15
Ketiga, hermeneutika menuntut pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis.
Tidak ada penafsiran yang mutlak benar, akan tetapi semuanya bersifat relatif. Yang benar
menurut seseorang belum tentu benar menurut orang lain. Kebenaran terikat dengan konteks
tertentu. Dalam hukum Islam, ada-ada hal yang sifatnya merupakan kebenaran mutlak yang tidak
dapat diganggu gugat atau sesuatu yang sudah jelas tanpa perlu dipertanyakan lagi (ma‘lûm min
al-dîn bi al-darûrah).
Keempat, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis atau selalu meragukan
kebenaran dari manapun datangnya dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai
hermeneutis circle, di mana makna bahasa senantiasa berubah. Sikap semacam ini 15
mungkin
sesuai untuk Bibel yang telah mengalami pergantian bahasa dari Hebrew dan Syriac ke Greek
lalu Latin dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi. Tetapi hal ini tidak berlaku
untuk Alquran yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman21
Dalam kajian hukum Islam ada satu istilah yang hampir sama dengan konsep
hermeneutika yaitu takwil (ta’wîl). Sebagian kalangan menganggap bahwa konsep hermeneutika
ini sama dengan takwil. Padahal secara epistemologi, keduanya memiliki perbedaan yang
signifikan. Sejumlah ulama usul fikih menyebutkan se jumlah definisi tentang takwil. Imam
alGhazâlî mem berikan definisi takwil sebagai ungkapan dari sebuah kemungkinan makna yang
dikuatkan oleh dalil sehingga menjadi lebih kuat secara zan dari makna yang ditunjukkan oleh
zâhir kalimat. Definisi tersebut dapat dipahami bahwa seakan-akan semua takwil adalah
menjauhkan lafaz dari hakikatnya pada makna majâz.16 Imam al-Âmidî memberikan pengertian
ta’wîl (takwil) dengan mengarahkan lafaz pada selain makna zâhir yang di dukung dengan
kemungkinan. Sementara ta’wîl yang diterima dan benar adalah mengarahkan lafaz pada selain
makna zâhir yang ditunjukkan dan didukung oleh dalil yang menguatkannya. 17 Sementara Ibn
alHâjib mendefinisikan ta’wîl dengan definisi yang mirip definisi al-Ghazâlî, yaitu mengarahkan
makna zâhir pada makna muhtamal atau makna yang dimungkinkan yang lebih lemah
berdasarkan dalil yang menjadikannya kuat.18 Sejauh ini definisi yang paling luas diterima dan
15 Lihat penjelasan dalam buku Muhammad Mustafa Azami, Sejarah Teks Al-Qur’an: Dari Wahyu Sampai
Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).
16 Al-Ghazâlî, Al-Mustasfâ fī ‘Ilm al-Usûl, h. 196
17 Al-Âmidi, al-Ihkâm fī Usûl al-Ahkâm, (Bayrût: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, t.t.), vol. 3, h. 50.
18 Ibn al-Hâjib, Mukhtasar al-Muntahâ ma‘a Sharh al-‘Adud, vol. 2, h. 303; Ibn al-Hâjib, al-Muntahâ al- Usûlî
(Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), vol. 2, h. 168-18.
16
komprehensif adalah yang dikemukakan Tâj al-Dîn ibn al-Subkî, yaitu mengalihkan makna lafaz
zâhir. Bila mengalihkannya pada makna lemah yang dimungkinkan tetapi berlandaskan dalil,
maka itulah ta’wîl yang benar. Namun, bila tidak berlandaskan dalil yang benar maka itu adalah
ta’wîl yang salah, apabila tidak berlandaskan apa-apa, maka itu adalah bukan ta’wîl. 19
Menggunakan atau memahami makna yang muncul dari setiap lafaz adalah suatu hal
yang mesti dilakukan karena makna tersebut bersifat aksiomatik secara kebahasaan selama tidak
ada dalil atau indikator valid yang menjauhkan dari makna muncul tersebut. Begitu juga tidak
menggunakan makna majâz selama makna hakikat masih dimungkinkan, sebab tidak meng
gunakan makna lahir muncul yang masih me mungkinkan adalah berarti dalil tanpa alasan apa
pun. Apabila hal ini dilakukan maka fungsi bahasa akan hancur dan bahasa tidak dapat lagi
menunjukkan makna apa-apa dan pemahaman manusia pun akan rancu. Kaidah pemikiran dan
bahasa inilah yang dipegang para pakar bahasa dan ulama selama berabad-abad yaitu
menggunakan lafaz pada makna lahir secara aksioma.
Adapun dalil atau indikator yang dapat menjauhkan lafaz dari makna lahir atau
hakikatnya adalah sebagai berikut: Pertama, dalil berupa hukum syariat (shar’î) yang sudah
menjadi ketetapan berdasarkan dalil lain berupa firman Allah Swt. atau Sunah Rasulullah Saw.
seperti dalil atau tanda yang menjauhkan makna hakikat dari lafaz al-mubâsharah (saling
bertemunya kulit) dalam firman Allah surah al-Baqarah [2] ayat 187, “Janganlah kamu campuri
mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid”, pada makna majazinya yaitu bersetubuh.
Kedua, dalil logika (‘aqlî), seperti indikator yang menjauhkan makna hakikat dalam firman Allah
dalam surah Yûsuf [12]: 82, “Dan tanyalah (penduduk) negeri”, dan firman-Nya dalam surah al-
Baqarah [2]: 15, “Allah akan memperolok-olok (menghinakan) mereka.” Ketiga, dalil
kebahasaan (lughawî) yaitu ketika penggunaan secara kebahasaan sendiri tidak pantas
menggunakan makna hakikatnya, seperti firman Allah dalam surah al-Baqarah [2]: 194, “Maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu”, sebab kias tidak dapat disebut
serangan (agresi) kecuali dari makna majasnya atau dilihat dari musyâkalah. Keempat, dalil
kebiasaan (‘urfî) pada umumnya, seperti dalil yang menjauhkan lafaz al-dâbbah (yang melata)
atau al-ghâ’it (kotoran) dari makna aslinya dari segi kebahasaan pada makna lain.
19 Tâjuddin ibn al-Subki, Jam‘ al-Jawâmi‘, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), h. 54.
17
Agar takwil dilaksanakan secara benar maka ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, lafaz yang hendak ditakwil harus berupa lafaz yang memiliki potensi menerima takwil,
yaitu seperti lafaz yang asal mula peletakannya mengandung makna takwil, misalnya lafaz zâhir
dan nas. Apabila lafaz itu tidak memiliki potensi ditakwil, seperti lafazh al-mufassar dan
almuhkam maka ta’wîl tersebut adalah takwil yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kedua,
makna yang akan menjadi makna takwil adalah makna yang memang dikandung oleh lafaz itu
secara kebahasaan atau digunakan secara shar‘î. Ketiga, takwil tersebut harus didasarkan pada
dalil yang benar, baik berupa nas, ijmak, kias, maupun dalil-dalil sahih yang lain. Apabila tidak
ada dalil sama sekali atau dalil tersebut ditentang oleh dalil lain yang berkekuatan sama atau
bahkan lebih kuat maka takwil itu adalah takwil yang tidak dapat dibenarkan. Keempat, orang
yang 20melakukan takwil merupakan orang yang diakui kapakaran dalam bidangnya, seperti para
imam mujtahid dan para pemilik jiwa keilmuan yang matang, yang mempunyai kemampuan
untuk mengistinbat hukum.26
24 Wahyuni Eka Putri, "Hermeneutika Hadis Fazlur Rahman" dalam Hermeneutika al Qur'an dan Hadis, 330
31
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutiko al Qur an dan Hadis. (Sleman: eLSAQ, 2010), 3.
25 Anfin Jamil, Permasalahan Hermeneutika dalam Tafsir al-Qur'an dalam
http://arifinmalay.blogspot.com/2011/12/permasalahan -hermeneutika-dalam-tafsir.html
33
lbid.11
20
inspirasi. Hal ini yang membedakan dengan al-Qur'an yang tidak mengalami permasalahan
dari segi sejarah. Al-Qur'an sudah jelas riwayat dan sanadnya serta telah dihafal oleh para
sahabat di bawah bimbingan Rasulullah SAW. Al Quran memiliki jalur periwayatan yang
amat banyak. Sedangkan Bibel. selain riwayatnya tunggal (ahad) yang dibawa oleh seorang
saja, baik Johanes. Markus, Lukas maupun Mathius, periwayatan Bibel juga mursal, sanadnya
terputus karena tidak pernah bertemu dengan Nabi 'Isa secara langsung.33
Penafsiran terhadap al-Qur'an telah dilakukan sejak masa Rasulullah, -di mana Nabi
Muhammad SAW sebagai penafsir pertama dan kemudian dilanjutkan oleh sahabat beliau, dan
berlanjut sampai sekarang. Dalam penafsiran al-Qur'an ini terdapat beberapa metode yang
dipakai, diantaranya Tafsir bi al-Ma'tsur. Tafsir bi ar-Ra'yi, dan Tafsir al-Isyari.
Karakteristik tafsir yang membedakannya dengan hermeneutika adalah adanya otoritas untuk
menafsirkan yang diberikan oleh Allah Swt, kepada Rasulullah SAW, dan kemudian
dilanjutkan pada masa sahabat, tabi'in, dan sampai sekarang. Penafsiran al-Quran berangkat
dari arti kosakata dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang karena terdapat beberapa
persyaratan yang amat ketat untuk menjadi seorang mufassir. Hal ini berbeda dengan
hermeneutika berusaha menghapus otoritarianisme sebuah teks seperti yang diungkapan
Khaled M. Abou El-Fadl. Hermeneutika menghapus otoritas baik yang dilakukan oleh
penafsir, pembaca penafsiran seorang penafsir, maupun sikap selektif terhadap penggunaan
bukti/dalil atas suatu permasalahan.
21
kuncinya?" Ketika kunci diserahkan oleh (Usman bin Thalhah) kepada beliau SAW:
berdirilah 'Abdullah bin Abbas seraya berkata: "Wahai Rasulullah SAW: demi ayahku dan
ibuku, berikan kunci itu kepadaku, akan kurangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah
(pengairan)". Lalu Usman bin Thalhah menarik tangannya kembali. Maka Rasulullah SAW
bersabda: "Wahai "Usman bin Thalhah, berikan kunci itu kepadaku (Nabi SAW)" Usman
bin
Thalhah berkata: "Inilah amanat Allah SWT.". Maka berdirilah Rasulullah SAW. dan membuka
Ka'bah, kemudian keluar untuk melakukan thawwaf di Baitullah (Ka'bah). Maka turunlah Malaikat
Jibril membawa perintah agar kunci tadi dikembalikan (kepada Usman bin Thalhah). Lalu beliau
SAW. memanggil 'Usman bin Thalhah dan menyerahkan kunci kepadanya (kepada "Usman bin
Thalhah), kemudian (Nabi SAW.) membaca Ayat tersebut.
Dari ayat diatas, terdapat persoalan pokok yang terdiri dari:
1) Perintah menunaikan amanat
Perintah yang terkandung dalam ayat tersebut mengandung kewajiban setiap orang
yang beriman agar menunaikan amanat yang menjadi tanggungjawabnya, baik amanat
dari Tuhan ataupun dari sesama manusia. 2) Perintah menetapkan hukum dengan adil
"Menetapkan hukum" dalam ayat di atas mencakup pengertian "membuat dan
menerapkan hukum". Secara kontekstual, ayat tersebut tidak hanya ditujukan kepada
kelompok sosial tertentu dalam masyarakat, tetapi kepada setiap orang yang
mempunyai kekuasaan memimpin orang lain.
Persoalan lain adalah keadilan" yang diwakili oleh kata al-adl. Al Baidhawi
menyatakan bahwa al'adl bermakna al-inshaf wa al-sawivat. berada di pertengahan
dan mempersamakan. Keadilan yang dimaksud adalah yang relevan dengan martabat
kemanusiaan dan dalam bingkai keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Kesimpulannya, bahwa perintah menetapkan hukum dengan adil agar dalam menggunakan
kekuasaannya bertujuan untuk memelihara martabat kemanusiaan. Selain itu juga dalam
pembuatan hukum dan aturan lainnya harus berdasarkan pada keadilan sesuai dengan kodrat
manusiawi.
Selain itu, di dalam perintah membentuk aturan-aturan hukum secara tersirat juga
terkandung pemberian kewenangan untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan.
Pemerintah berkewajiban mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan oleh karenanya
22
diberikan kekuasaan tersebut, karena jika tanpa kekuasaan tersebut maka tugas tidak dapat
dilaksanakan.
Dalam hal ini, kaitannya dengan konteks kehidupan bernegara, prinsip menunaikan amanat
sesuai dengan fungsi eksekutif dan yudikatif. Sedang prinsip menetapkan hukum dengan
adil sesuai dengan fungsi legislatif.
Lembaga eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan harus bertindak amanah dan
dijalankan dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan tugas. Jangan mempersulit
masyarakat dan jangan pula mengejar kepentingan duniawi apalagi dengan cara yang tidak
kesatria.
Peranan lembaga yudikatif dalam menjalankan amanah patut mendapat sorotan sekarang ini.
Banyak hakim yang terlibat kasus suap dan melakukan perbuatan tercela. Mungkin mereka
sebenarnya bukanlah termasuk kategori yang berhak" dalam ayat di atas, namun mereka
tetap "berhak" karena proses rekrutmen yang transaksional.
Lembaga legislatif juga tidak jauh berbeda. Banyak anggota legislatif yang tersandung kasus
korupsi penyalahgunaan uang negara. Mungkin juga karena proses rekrutmennya melalui
partai politik sebagai lembaga tempat transaksi jabatan publik sehingga yang punya uang
yang berkuasa. Maka ketika mereka sudah duduk di kursi jabatan, akan memikirkan
pengembalian modal kampanye. Padahal mereka bertugas untuk menetapkan dan membuat
hukum di negara ini. Maka tidak heran apabila hukum yang dihasilkan tidak sesuai dengan
kepentingan masyarakat banyak, bahkan hanya untuk kepentingan partai, kelompok dan
golongan mereka.26
b. Q.S. al-Maidah: 38
Tentang hukum potong tangan yang dijelaskan dalam al-Qur'an. Meski secara tegas al-
Qur'an menyebutkan tentang kewajiban hukum potong tangan bagi pencuri, namun hal
tersebut dapat dipahami secara berbeda. Dalam pandangan Hermeneutik, ayat tersebut
mengandung pesan tersirat tentang konsep keadilan dalam pemenuhan hak dan kewajiban.
Akan tetapi, hak untuk memiliki suatu benda tidak dapat diperoleh dengan cara-cara yang
mengesampingkan aturanaturan yang ada.
26 Fitrah Bukhari. Teori Hermeneutika al-Qur'an dan Aplikasinya Terhadap Penafsiran Politik Pemerintahan
dalam http://fitrahidealis.wordpress.com/2012/11/08/teon hermeneutika-al-quran-dan-aplikasinya-terhadap-
penafsiranayat-politikpemermtahan )
23
Pada masa teks tersebut turun, keadaan sosial masyarakat Arab ketika itu memang
meniscayakan adanya hukum potong tangan. Konstruk budaya Arab ketika itu memang
menghendaki adanya hukum potong tangan bagi pencuri. Kondisi sosial budaya masyarakat
Arab tidak sama dengan Indonesia, maka lebih mengutamakan substansi dari hukum potong
tangan tersebut yakni untuk memberikan efek jera. Hukum potong tangan di Indonesia
diganti dengan hukum penjara yang memiliki subtansi sama yakni sebagai usaha dalam
mencegah pengulangan kejahatan yang serupa.27
A. Kesimpulan
Hermeneutika dapat diartikan sebagai teori analisis dan praktik terhadap teks. Sebagai
kajian filsafat yang memiliki perbedaan dengan cara kerja epistemologi pada umumnya yang
menitik beratkan ukuran kebenaran pada rasionalitas ilmiah hermeneutika mengandung
kemahiran untuk memahami teks-teks yang berada pada ruang relativitas kultural dan historis
dari setiap wacana manusia. Proses kegiatan reflektif terhadap pengetahuan dan karya
manusia dalam teori hermeneutika selalu terkait dengan persoalan waktu, tempat, pencipta
teks, dan subjek penafsir.
Pada Ensiklopedia Britanica tentang ‘’hermeneutika’’ yang diungkap oleh Fahmi Salim
yang menyatakan bahwa ‘’Hermeneutika adalah kajian tentang kaidah-kaidah umum untuk
menafsirkan Bibel, dan tujuan utama dari hermeneutika dan metode-metode takwil Yahudi
dan
Nasrani sepanjang sejarahnya adalah untuk menyingkap kebenaran dan nilai dari Bibel’’
Ada beberapa tokoh Hermeneutika, yaitu :
1) F.D.E. Scehleiermacher
2) Jurgen Habermas
3) Hans-George Gadamer
4) Wilhelm Ditlhey
5) Paul Recoeur
6) Jaques Derrida
Selain itu hermeneutika mempunyai karakteristik tersendiri serta memunculkan tokoh
dan hasil karyanya tersendiri juga berprinsip pada makna dan bahasa yang ingin dicapai guna
memahamkan sebuah teks dari author atau penulis dengan pemahaman yang lebih baik.
Hermeneutika berperan dalam studi islam sebagai alternatif baru, seperti halnya dalam ilmu
tafsir yang dapat membantu pemaknaan dari sebuah ayat Al-Qur’an yang sulit dipahami.
25
B. Saran
Pendekatan Hermeneutika dalam kajian Islam perlu dipelajari untuk mena,bah khazanah
keilmuan dan dapat memberikan pengetahuan baru terhadap bagaimana memahami teks serta
penafsiran terhadap teks yang akan diteliti.
26
DAFTAR PUSTAKA
27