Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Di susun oleh :
Nama : Arsat Gowasa
Nim :~
Prodi : Pak
Matakuliah : Hermeneutik
Dosen : Delvis dauruk spd

SEKOLAH TINGGI THEOLOGI “IKAT” TUTORIAL


ALEXANDRIA JAKARTA, 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kehadiran hermeneutik dalam deretan ilmu-ilmu sosial, sebenarnya masih relatif
baru. Dilihat dari keberadaannya, hermeneutika baru dalam pertengahan abad ke-XIX
dipakai sebagai dasar metodologi ilmu-ilmu sosial, dan mula-mula dalam ilmu sejarah.
Tokoh yang perlu disebut dalam konteks ini adalah Wilhelm Dilthey (1833-1911). Akar
hermeneutika sebenannya berada di luar lingkungan ilmu pengetahuan modern dan dapat
ditelusuri jauh ke belakang dalam waktu sampai masa permulaan peradaban Yunani yang
mulai bekembang kurang lebih pada abad ke-IX sebelum Masehi. Ini berarti,
hermeneutika pada hakikatnya bukan aliran filsafat ilmu pengetahuan yang timbul dan
berkembang dalam jalur dunia ilmu pengetahuan, seperti halnya dengan aliran filsafat
ilmu pengetahuan yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya tetapi merupakan satu
unsur yang mempunyai sifat lebih umum dan berkembang dalam proses yang
berlangsung sudah lama sekali dan terus-menerus berubah.
Proses perkembangan hermeneutika dapat dibagi ke dalam empat tahap. Dalam
masing masing tahap itu konsep „hermeneutika‟ dipakai dengan pengertian tersendiri.
(1) hermeneutika berperan sebagai unsur dalam konteks kepercayaan dan ritus
agama.
(2) hermeneutika dipakai sebagai metode atau teknik analisis dokumen.
(3) hermeneutika diangkat menjadi ilmu pengetahuan kemanusiaan.
(4) hermeneutika berubah menjadi spesifik dalam ilmu filsafat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah hermeneutik

Secara etimologis kata „hermeneutika‟ berasal dan kata „hermeneuein‟ dalam bahasa
Yunani kuno dan berarti “seni menerangkan makna” (juga: “seni memberikan interpretasi,
“the art of interpretation, ars interpretandi). Asal-usul istilah “hermeneutika” pada masa
sekarang lazim dikaitkan dengan kata „Hermes,‟ nama seorang tokoh dalam mitologi bangsa
Yunani yang menurut sumber-sumber tertulis kuno, ia berperan sebagai pesuruh dewa-dewa
utama dan mempunyai tugas menyampaikan pesan-pesannya kepada manusia. Pada tahap
perkembangan awal ini konsep „hermeneutika‟ telah mempunyai tiga unsur pengertian yang
masih berlaku sampai sekarang.

Unsur pertama, secara harfiah hermeneutika berarti “mengalihkan makna yang


terkandung dalam konteks yang agak tertutup, tidak dikenal, sulit dimengerti, asing atau sulit
dimasukkan ke dalam konteks (kebahasaan) yang lebih dikenal, terbuka dan dapat
dimengerti.”. Secara lebih spesifik, hermeneutika adalah “menerangkan apa yang tidak dapat
dimengerti atau dipahami dengan cara menerjemahkannya ke dalam bahasa yang memang
dapat dimengerti.” Berbeda dengan tahap perkembangan pertama pada zaman Yunani
dahulu, penerjemahan itu pada masa kemudian tidak lagi dikaitkan dengan pemisahan antara
alam dewa-dewa di satu pihak dan dunia manusia di pihak lain, melainkan dengan pemisahan
antara dua kebudayaan yang berbeda atau perbedaan zaman dalam perkembangan sejarah..
Selanjutnya konsep „hermeneutika‟ masih ditemukan dalam anggapan yang tersebar luas
bahwa hermeneutika mencakup “analisis atau telaah tentang segalanya yang bermakna.”
Proses perluasan pemakaian konsep hermeneutika ini sebenarnya sudah mulai pada
permulaan zaman Yunani itu sendiri.

Unsur kedua, pengertian konsep hermeneutika mengenai hakikat atau sifat makna
yang ingin dipahami. Tulisan ataupun berita yang hendak diterjemahkan dianggap memiliki
makna yang selalu melebihi daya pemahaman yang berusaha mengungkapkannya. Artinya,
melalui hermeneutika makna yang terkandung dalam tulisan atau berita hanya dapat
diketahui sebagian saja. Makna yang hakiki dianggap selalu lebih mendalam atau lebih
menyeluruh daripada yang berhasil melalui analisis hermeneutika. Penting diperhatikan
bahwa konsep „hermeneutika‟ di sini dipakai dalam arti agak terbatas, yaitu analisis terhadap
makna yang terkandung dalam tulisan atau berita itu sendiri.

Unsur ketiga, hermeneutika, baik secara tegas tak terkatakan berangkat dan asumsi
bahwa suatu tulisan atau berita hanya dapat diartikan dengan satu cara saja. Asumsi ini
khususnya dianggap berlaku apabila terdapat langsung atau tidak langsung bahwa dokumen
bersangkutan dibuat untuk tujuan spesifik. Pikiran tentang metode hermeneutika ini
dikemukakan dalam bentuk aturan dan kaidah.

Dalam tahap perkembangan selanjutnya di Eropa,Zaman Romawi, hermeneutika


lebih khusus dipakai untuk menganalisis makna yang terkandung dalam dokumen hukum,
seperti undang-undang, dan dokumen agama, seperti Kitab Injil agama Kristen. Dokumen
semacam ini pada dasarnya bersifat normatif atau mengenai moral. Tujuan khusus analisis
hermeneutika adalah mengungkapkan dan menetapkan makna yang terkandung dalam teks
itu sendiri. Tahap awal zaman baru ini dinamakan “Kebangkitan Kembali” (Renaissance) dan
berlangsung sampai kurang lebih pertengahan abad ke-XVI. Periode itu ditandal dengan
usaha mempelajari kembali peradahan Yunani dan Romawi pada Zaman Klasik, yang
memang sangat berlainan dan situasi dan kondisi di Eropa pada Abad Pertengahan. Untuk
mempelajari peradaban tersebut dipakai hermeneutika sebagai metode. Analisis tulisan
Zaman Klasik menyebabkan munculnya dua macam pemakaian hermeneutika, masing-
masing untuk kepentingan yang berbeda. Pertama terdapat kelompok yang cenderung
menggunakan hermeneutika khusus untuk mengungkapkan dan mempelajari makna “murni”
yang terkandung dalam tulisan yang berasal dari Zaman Klasik.

B. Hermeneutika Sebagai Aliran Ilmu Filsafat

Sejak permulaan abad ke-XX hermeneutika berubah lagi menjadi aliran tersendiri
dalam ilmu filsafat. Dua nama yang tidak dapat dipisahkan dan perkembangan baru ini
adalah Martin Heidegger (1889-1976) dan Hans-Georg Gadamer (1900-). Heidegger adalah
filsuf pertama yang memperluas pengertian konsep “verstehen” lebih jauh daripada yang
diberikan oleh Dilthey. Kalau Dilthey menggunakan konsep verstehen dalam arti “upaya
memahami seeara psikologis kejiwaan dan kelakuan orang lain serta hasil cipta karyanya,”
yakni upaya interpretatif untuk memberikan makna kepada sesuatu yang dianggap pada
hakikatnya bersifat “fakta objektif” maka dalam pandangan filsafat Heidegger verstehen
menjadi “sesuatu yang sudah menjadi pembawaan manusia.” ini berarti, menurut Heidegger,
keperluan manusia memberikan makna kepada segala sesuatu sudah ditentukan terlebih
dahulu sebelum keberadaannya.. Antara pandangan Heidegger (dan Gadamer) di satu pihak
dan Dilthey di pihak lain terdapat perbedaan mendasar dalam beberapa hal.

Dalam keberadaan manusia Delthey menegaskan persatuan yang mula-mula


(primordial unity) antara “subjek” dan “objek.” Manusia adalah “makhluk yang berada dalam
dunia” sebelum ini menjadi “subjek” yang menuntut mempunyai pengetahuan tentang
“objek-objek” dalam dunia. Ini berarti, dalam pandangan Heidegger, pengembangan
pengetahuan benlangsung dalam konteks interpretasi dan pemahaman jauh lebih luas dan
menyeluruh daripada yang digambarkan oleh Dilthey.

Hermeneutika bukan pandangan filsafat ilmu pengetahuan yang seragam. Ada banyak
perbedaan dalam hal asas, tujuan maupun pendekatan atau metode. Juga terdapat perbedaan
pandangan yang cukup tajam antara para “peletak dasar” (founding fathers), seperti misalnya
W. Dilthey, dan “penerusnya” pada zaman sekarang, seperti, antara lain, Gadamer (1900), P.
Ricoeur (1913-), K.-O. Apel (1922-) dan J. Habermas (1929-). Dalam pasal ini diterangkan
asas -asas yang mendasari aliran hermeneutika yang berlaku pada masa kini, khususnya
“pendekatan interpretatif‟ dalam ilmu sosial di Amerika Serikat, dengan cara
mempertentangkannya dengan pandangan Dilthey.
C. Pandangan Filsafat Ilmu

(1). Asumsi Dasar

Prinsip yang mendasari gejala yang dipelajari oleh ilmu kemanusiaan sebagai objek
studi khasnya, menurut Dilthey, adalah “verstehen,” yakni kemampuan manusia saling
memahami berdasarkan pengalaman sendiri. Sehubungan dengan prinsip ini dibuat lima
asumsi dasar:

a. Memahami adalah sesuatu yang biasa dalam kehidupan manusia sehari-sehari.


Sebab, tanpa mengadakan interpretasi terhadap kelakuan orang lain, manusia tidak bisa
bertindak, yaitu mengarahkan kelakuannya untuk mencapai tujuan tertentu.

b. Tindakan (actions), dan juga gerak-gerik tubuh (gesticulation) serta tutur kata atau
suara, hanya merupakan “isyarat” (signs). Diasumsikan bahwa “di bawah” atau “di
belakang” lapiran luar itu tersembunyi dorongan-dorongan subjektif seperti pikiran, cita-cita,
perasaan, harapan. “isyarat-isyarat” itu adalah lambang atau simbol dari dorongan-dorongan
yang membelakanginya.

c. Manusia memiliki kemampuan “menembus” lapisan luar itu sampai pada dorongan
sesama manusia tersebut dan dapat memahaminya karena pihak yang bertindak dan pihak
yang hendak memahaminya, dua-duanya berada dalam “lingkup pengalaman”
(Erlebnisraum) bersama. Keberadaan dalam lingkup pengalaman yang sama menyebabkan
dorongan dua belah pihak pada hakikatnya mempunyai persamaan.

d. Daya pemahaman manusia tidak terbatas pada tindakan perseorangan (individual


actions) yang terbatas pada tempat dan waktu tertentu, tetapi juga menjangkau gejala yang
lebih menyeluruh seperti misalnya sandiwara, acara tv, lagu, maupun tatanan ekonomi dan
zaman peradaban. Gejala menyeluruh ini dapat dipahami karena pada hakikatnya merupakan
“fakta maknawi” yang juga berdasarkan pada pemberian makna oleh orang bersangkutan.

e. Dua orang yang asing satu sama lain, karena hidup dalam konteks sejarah yang
berbeda, dapat saling memahami karena dua-duanya adalah “bagian” dari suatu “pemahaman
kolektif‟ yang memuat semua “fakta maknawi” yang ada. Pemahaman kolektif ini melebihi
kesadaran setiap individu, yakni tidak dapat begitu saja dipengaruhi oleh daya pikir masing-
masing. Namun demikian, apa yang dipikirkan seseorang adalah cermin dari fakta-fakta
maknawi yang bersifat umum itu.

Usaha mengembangkan pengetahuan ilmiah, menurut Dilthey, dimulai dari


pemahaman (verstehen) terhadap “isyarat” yang tersedia dan terbuka untuk diamati melalui
pancaindra dengan maksud mengenal “bagian dalamnya.”“Isyarat” itu diasumsikan
merupakan ekspresi atau ungkapan “dorongan-dorongan dan dalam.” Dorongan ini dianggap
bagian pemahaman kolektif yang bersifat umum dan menyeluruh. Pemahaman kolektif
adalah kenyataan tersendiri yang mempunyai perkembangan (sejarah) sendiri pula dan
terungkapkan dalam segala macam bentuk kehidupan.Pemahaman tentang isyarat perlu
dikembangkan menjadi “interpretasi sempurna” tentang “kenyataan” yang tersembunyi di
dalamnya

Pandangan Wilhem Dilthey tentang hakikat objek studi ilmu kemanusiaan dan tujuan
penelitian ilmiah mempunyai implikasi lanjut terhadap pengertian konsep „kebenaran‟ dan
„objektivitas.‟ Pengertian dua konsep dasar ini tidak dapat dilihat terpisah satu dan yang lain.
Kebenaran menurut Dilthey berarti “terdapat persamaan dengan pemahaman kolektif
manusia” yang umum dan menyeluruh. Kebenaran ini pada hakikatnya bersifat normatif.
Pengetahuan yang dikembangkan dengan metode verstehen dianggap bersifat “objektif‟ jika
memenuhi tiga syarat berikut:

1. Didorong oleh perhatian (interest) yang benar-benar murni objek studi, yaitu
ungkapan dalam kehidupan manusia telah “baku” atau “tetap” selama masa yang panjang,
sehingga wujudnya benar-benar sesuai dengan bentuk aslinya.

2. Dihasilkan sesuai dengan aturan mengadakan interpretasi yang sudah baku untuk
“menciptakan kembali” objek studi dalam diri ilmuwan sendiri berdasarkan perasaan empati
terhadap sesama manusia.

Penting ditambahkan di sini bahwa dalam pandangan Dilthey metode hermeneutika


berjalan menurut dua prinsip. Pertama, “prinsip ketidakterpisahan antara usaha mengenal
sesuatu dan memberikan penilaian (evaluation) terhadapnya.” misalnya satu jenis tindakan
yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu, perlu diketahui konteks luas di mana tindakan
itu terjadi. Artinya, pemahaman hanya dapat dikembangkan dengan cara mengaitkan apa
yang spesifik dan kongkret dengan sesuatu yang bersifat lebih menyeluruh atau abstrak.

D. Masalah Metodologis Dilthey

Masalah metodologis pokok yang tersimpan dalam pandangan Dilthey berkisar pada
pertanyaan, “Bagaimana berdasarkan kesadaran perseorangan, yang bersifat subjektif,
mempunyai susunan khas dan terkait dengan fakta-fakta tunggal yang terbatas dalam waktu
dan tempat, dapat dikembangkan pengetahuan yang bersifat objektif dan berlaku umum?”
Pertanyaan ini oleh Dilthey sendiri dijawab dengan mengatakan, pertama, bahwa „objektif‟
berarti “berhubungan dengan objek (studi)” atau “keluar dan sesuatu yang berada di luar atau
berdiri sendiri terlepas dan kesadaran yang berpikir.” Dengan perkataan lain, dalam
pandangan Dilthey “pengetahuan objektif‟ adalah pengetahuan yang “mencerminkan” objek
luar itu dengan sempuma. Kedua, “objektif” berarti “dianggap oleh umum merupakan
pengetahuan penting.”. Weber memperlihatkan bahwa objek studi ilmu kemanusiaan tidak
bersifat normatif, tetapi deskriptif, dan dapat dipelajari dengan metode yang juga bebas nilai
(value free) seperti metode penelitian ilmu alam. Dengan demikian ia membuka jalan untuk
perkembangan baru ilmu sosial.

E. Hermeneutik Paul Ricoeur

Menurut Ricoeur fakta atau produk itu dibaca sebagai suatu naskah. Pemahaman
seperti itu terjadi, jikalau misalnya ada pemahaman mengenai :

1. Bahasa bukan sekedar sebagai bunyi-bunyian, tetapi sebagai komunikasi.

2. Tarian tidak hanya sebagai gerak yang bersifat biotik, tetapi sebagai bagian dalam upacara
ritual.

3. Kurban tidak hanya sebagai pembakaran benda, atau penyembelihan binatang, tetapi
sebagai tanda penyerahan.

Bagi Ricoeur hidup ini merupakan interpretasi, terutama jika terdapat pluralitas
makna, disaat itulah interpretasi dibutuhkan. Apalagi jika symbol-simbol dilibatkan,
interpretasi menjadi penting, sebab disini terdapat makna yang mempunyai multi-lapisan.
Menurutnya interpretasi adalah usaha untuk “membongkar” makna-makna yang masih
terselubung atau usaha untuk membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang
terkandung dalam makna kesusastraan.Kata-kata adalah symbol yang menggambarkan
makna lain yang sifatnya “tidak langsung, tidak begitu penting serta figurative (berupa
kiasan) dan hanya dapat dimengerti melalui symbol-simbol tersebut”. ( Sumaryono,
1999,105)

Dalam melakukan interpretasi, menurut Ricoeur, terdapat dua kegiatan yaitu kegiatan
Dekontekstualisasi (proses „pembebasan‟ diri dari konteks) dan kegiatan Rekontekstualisasi
(proses masuk kembali ke dalam konteks). Dari penjelasan ini maka telihat bahwa tugas dari
penafsir sangat berat, karena ia harus dapat membaca “dari dalam” teks tanpa masuk atau
menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari
kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Maka untuk dapat berhasil dalam usahanya, ia
harus dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus dapat mengatasi situasi dikotomis,
serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek-aspek subyektif dan obyektif.
Penafsir pada suatu saat harus dapat membuka diri terhadap teks yang hadir dihadapannya.
Membuka diri disini maksudnya adalah mengizinkan teks memberikan kepercayaan kepada
diri kita dengan cara yang obyektif. Maksudnya adalah proses meringankan dan
mempermudah isi teks dengan cara menghayatinya. (Sumaryono, 1999,109). Setiap teks
mempunyai 3 macam otonomi, yaitu, intensi atau maksud pengarang, situasi cultural dan
kondisi social pengadaan teks, serta untuk siapa teks itu dimaksudkan.( Sumaryono,
1999,109)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Bagi Paul Ricoeur kenyataan selalu tidak akan pernah lepas dari simbol-simbol yang
harus di tafsirkan. Seperti halnya bahasa yang diterjemahkan dalam kata-kata, itu semua
harus diterjemahkan agar manusia menemukan makna sesungguhnya. Ricoeur menjelaskan
tentang simbol-simbol dengan menggunakan simbol kejahatan dan juga menerangkan asal-
usul dari kejahatan itu dengan menggunakan mitos-mitos. Dari sini Ia menerangkan tentang
betapa pentingnya memperhatikan simbol-simbol yang hidup dalam masyarakat.

Dari penjelasan diatas kita dapat melihat bahwa penafsir dihadapkan pada tugas yang
berat, karena ia harus menghadapi dua situasi yang sangat berbeda dalam satu waktu, dimana
disatu sisi ia harus dapat menjaga jarak dengan teks yang hadir dihadapannya, sekaligus ia
juga harus dapat membuka diri agar dapat menghayati teks tersebut secara menyeluruh
dengan tidak lupa memperhatikan latar belakang kehadiran teks tersebut. Disadari pula oleh
Ricoeur bahwa setiap penafsir sudah mempunyai angapan atau gagasan yang melekat pada
diri mereka, dan itu semua turut mewarnai hasil interpretasi yang dihadirkan oleh setiap
penafsir.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumaryono, E.1999. Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat.

ed.1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

2. Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa; Realitas Bahasa,Logika Bahasa,

Hermeneutika, dan Postmodernisme. Yogyakarta: Paradigma

3. Ibrahim, A. S. 2012. Teori-Teori Pengetahuan. Malang:

Universitas Negeri Malang

Anda mungkin juga menyukai