Anda di halaman 1dari 33

METODE HERMENEUTIK ALKITAB

“KRITIK HISTORIS”

NAMA KELOMPOK 1:

ANDREAS TAMPEMAWA
DHEA TAMPOMURI
FEYBIOLA PAAT
GAUDETE MANDANG
PRISILYA SONDAKH
YURINDA MAKALEW
BAB I
PENDAHULUAN

Setiap tulisan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru timbul dari lingkungan
sosial, politis, dan budaya tertentu dalam kurun waktu berabad-abad. Kritik historis adalah
metode modern dan teruji untuk menggali bermacam-macam asal-usul serta melacak
perkembangan dan maknanya. Waktu dan peristiwa-peristiwa, begitu pula orang-orang dan
tempat-tempat yang disebut dalam cerita, semuanya diteliti dengan cermat.1
Akar dari pendekatan kritik historis telah muncul sejak zaman Yunani kuno. Unsur-
unsur itu pada zaman kuno telah digunakan oleh para komentator sastra Yunani klasik dan
kemudian selama periode Bapa-bapa gereja.2
Pada akhir abad ke-19, yaitu pada zaman naturalisme, orang sudah kurang
mengharapkan jembatan antara Alkitab dan manusia modern. “Pengalaman” dan “ilmu yang
bebas dari segala ikatan dogma dan tradisi”, itulah yang sekarang dijunjung tinggi. Ahli-ahli
teologi yang demikian pendiriannya mulai asyik mengupas isi Alkitab; makin lama makin
tercelik matanya pada kebenaran bahwa ada jurang yang dalam antara berita Alkitab dan
manusia zaman mutakhir ini.3 Di masa inilah pendekatan kritik historis makin berkembang
dibawah pengaruh Wellhausen, Kuenen, Gunkel dan lain-lain.
Metode kritik historis adalah sebuah metode yang sangat diperlukan bagi kajian
ilmiah atas makna teks-teks kuno. Di mulai dari kritik tekstual sampai kritik redaksi. Dengan
cara ini, metode ini berhasil membuka makna teks-teks alkitabiah yang seringkali sangat sulit
untuk dipahami kepada para pembaca modern.4 Oleh karena itu dalam makalah ini akan
membahas kritik historis pada bagian selanjutnya dan diakhiri bagian penutup.

1
W. R. F, Kamus Alkitab: a dictionary of the Bible. Panduan dasar ke dalam kitab-kitab, tema, tempat,
tokoh, dan istilah-istilah alkitabiah, (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), 222-223.
2
Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Alkitab dalam Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 43.
3
H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 279.
4
Komisi Kitab Suci Kepausan, 43.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 METODE KRITIK HISTORIS


Historis kritis adalah salah satu usaha untuk mendekati pemahaman Perjanjian Lama
dari sistem-sistem seperti pendekatan antropologi, religio-historis, kesusteraan, sosiologi,
arkeologi, dan teologi yang mendekati kritik histori.5
Metode historis yang dipakai dalam mengartikan Alkitab adalah metode-metode yang
biasa dipakai para sejarawan dalam mempelajari dokumen kuno untuk menentukan
pemahaman penulis-penulis dan kebenaran laporan-laporan mengenai apa yang terjadi dan
apa yang dikatakan (Crownfield, 1960:13).6
Tenney (1957:21) mengemukakan sepuluh macam metode, salah satunya metode
historis. Metode historis ialah metode yang meninjau kembali letak historis dan geografis
kitab dan berupaya menunjukkan pengaruhnya terhadap penafsiran. Metode itu, antara lain
memperhatikan tempat penulisan kitab, sejarah penerima, kronologi, dan pentingnya kitab.
Oleh karena itu, metode historis disebut juga hermeneutika yang mengarah kepada penulis,
yaitu menentukan makna seperti yang dimaksudkan oleh penulis dan pemahaman oleh
pembaca asli (Dockery dalam Baley, 1992:30). Metode historis menekankan perlunya
memperhatikan hubungan historis antara kitab dan bagian kitab lain serta memperhatikan
sumber-sumber di luar kitab mengenai sejarah dan kebudayaan (Braga, 1982:47).7
Metode penafsiran historis kritis sangat penting dalam penafsiran karena dapat
menjangkau teks asli yang dapat dipercaya. Dengan mengadakan rekontruksi teks yang
terjadi pada masa teks ditulis, yang diterima sebelum pengkanonan seluruh Alkitab. Dengan
metode penafsir ini juga akan mempelajari teks yang ditafsir dan kemudian dimampukan
untuk mengenal kesalahan-kesalahan yang akan dibenarkan, bagaimna ia melengkapi,
menyisipkan, memelihara sampai pada penulisan-penulisan yang kurang atau berlebih.8
Kritik historis merupakan metode tafsiran yang mempertimbangkan unsur sejarah
sebagai bahan untuk melihat arti dan makna yang terkandung dalam suatu teks Alkitab.9
Ada tiga asumsi dasar dalam pendekatan Kritik Historis:
1. Alkitab sebagai buku sejarah yang perlu diselidiki kebenarannya.
2. Penelitian Ilmiah terhadap Alkitab harus terlepas dari lingkungan.

5
A.A Sitompul dan Ulrich Beyer, Metode Penafsiran Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 31.
6
Andreas B. Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,
2004), 125.
7
Andreas B. Subagyo, 142.
8
A.A Sitompul dan Ulrich Beyer, 36-37.
9
Jhon H. Hayes dan Carl R. Holladay, Biblical Exegesis, (Atlanta: Jhon Knox Press, 1982), 53
3. Fungsi analisa tidak hanya menyangkut keputusan terakhir tetapi harus menyangkut
teks buku-buku Alkitabiah.10
Tujuan dari historis kritik untuk menemukan arti dan makna dari sebuah teks dengan
mengutamakan sudut pandang sejarahnya secara kritis dan sistematis serta menjaga agar
penafsir-penafsir tidak memaksa teks dari kebudayaan yang asing atau masa-masa yang lebih
awal dari kebudayaan seseorang kedalam pengertian masa kini.11 Kritik historis terhadap
Alkitab bermula dari usaha para penafsir untuk memahami kondisi sejarah penulisan kitab-
kitab yang kemudian berkembang pesat sehingga menjadi beberapa bentuk kritis, yaitu: kritik
bentuk, kritik tradisi, kritik redaksi, dan kritik teks.12

2.2 SEJARAH METODE HISTORIS-KRITIS


Unsur-unsur tertentu dari metode tafsir ini sangatlah kuno. Unsur-unsur itu pada
zaman kuno telah digunakan oleh para komentator sastra Yunani klasik dan, kemudian,
selama periode Bapa-bapa Gereja, oleh para pengarang seperti Origenes, Hieronimus, dan
Augustinus. Pada waktu itu, metode ini belum sangat berkembang. Bentuk-bentuknya yang
modern merupakan hasil dari penyempurnaan yang dihasilkan khususnya sejak zaman
humanisme Renaissans beserta gagasan mereka untuk kembali ke sumber-sumber (recursos
ad fontes).
Kritik teks atas Perjanjian Baru sebagai suatu disiplin ilmu sebetulnya baru bisa
diperkembangkan sejak kira-kira tahun 1800, setelah kaitannya dengan Textus receptus
diputuskan. Akan tetapi, awal dari kritik sastra berasal dari abad ke-17, berkat karya Richard
Simon, yang menunjukkan adanya teks-teks ganda (doublets), ketidaksesuaian dalam hal isi,
dan perbedaan gaya bahasa yang dapat diamati dalam Pentateukh suatu penemuan yang tidak
mudah didamaikan dengan gagasan yang mengaitkan seluruh teks pada Musa sebagai
pengarang tunggal.
Dalam abad ke-18, Jean Astruc sudah puas dengan keterangan bahwa Musa
menggunakan berbagai sumber (khususnya dua sumber utama) untuk menyusun Kitab
Kejadian. Akan tetapi, lambat laun, para kritisi Alkitab menentang kepengarangan Musa atas
Pentateukh dengan keyakinan yang semakin kuat. Kritik sastra untuk waktu yang lama
disamakan dengan usaha untuk mengidentifikasi sumber-sumber yang berbeda dalam suatu
teks. Maka, pada abad ke-19 berkembanglah "Hipotesis Dokumentaria" yang berusaha
memberikan keterangan tentang proses pengeditan Pentateukh. Menurut hipotesis ini, empat

10
Agus Jetron Saragih, Exegese Naratif, (Medan P3M STT. AS, 2006), 29
11
Robert M. Grannt & Bavid Tracy, Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1988) 173.
12
Stweri I. Lumintang,Theologia Abu-abu Pluralisme Agama, (Malang:Gandum Mas, 2004), 170-174.
dokumen, yang sampai pada tahap tertentu sejajar satu sama lain, telah terjalin bersama: yaitu
dokumen Yahwis (J). dokumen Elohis (E), dokumen Deuteronomis (D), dan dokumen Para
Imam (P). Editor terakhir memanfaatkan dokumen terakhir (P) sebagai struktur bagi
keseluruhan. Dengan cara yang sama, para ahli menggunakan Hipotesis "Dua Sumber" untuk
menerangkan baik kesamaan maupun ketidaksamaan di antara ketiga Injil Sinoptik. Menurut
teori ini, Injil Matius dan Lukas disusun berdasarkan dua sumber utama: di satu sisi, Injil
Markus dan, di sisi lain, kumpulan dari sabda-sabda Yesus (yang disebut "Q", dari kata
Jerman Quelle, yang berarti "sumber"). Dalam segi-segi yang hakiki, dua hipotesis di atas
tetap mempertahankan keunggulannya dalam eksegese ilmiah saat ini meskipun juga
mengalami tantangan.
Dengan kehendak untuk menyusun suatu kronologi teks-teks biblis, kritik literer
seperti ini membatasi diri pada tugas memotong dan membongkar teks agar dapat
mengidentifikasi berbagai sumber. Metode ini kurang memberi perhatian yang memadai pada
bentuk akhir teks dan pada pesan yang terkandung dalam bentuk yang secara aktual ada. Ini
berarti bahwa penafsiran historis-kritis sering kali tampak sebagai sesuatu yang sekadar
menghancurkan teks. Masalahnya menjadi semakin parah ketika, atas pengaruh dari sejarah
perbandingan agama-agama seperti terjadi kemudian atau atas dasar ide-ide filosofis tertentu,
beberapa ahli tafsir mengungkapkan berbagai penilaian yang sangat negatif terhadap Alkitab.
Hermann Gunkel yang membawa metode ini keluar dari ghetto kritik literer yang
dipahami dengan cara demikian. Meskipun ia masih menganggap kitab-kitab Pentateukh
sebagai suatu kumpulan, ia memberi perhatian pada susunan khusus dari unsur-unsur teks
yang berbeda-beda. Ia mencoba mendefinisikan jenis sastra (genre) masing-masing bagian
(misalnya, "legenda" atau "himne") dan setting aslinya dalam kehidupan komunitas atau Sitz
im Leben (misalnya, latar belakang hukum atau liturgi, dst.). Kepada model penelitian jenis
sastra ini, digabungkan "studi kritis tentang bentuk-bentuk" atau "kritik bentuk"
(Formgeschichte), yang diperkenalkan oleh Martin Dibelius dan Rudolf Bultmann dalam
penafsiran injil-injil sinoptik. Bultmann menggabungkan kajian kritik bentuk dengan
hermeneutika biblis yang diilhami oleh filsuf eksistensialis Martin Heidegger.
Akibatnya, Formgeschichte sering kali menimbulkan keberatan-keberatan serius.
Kendati demikian, salah satu hasil dari metode ini adalah untuk menunjukkan secara lebih
jelas bahwa tradisi yang termuat dalam Perjanjian Baru mempunyai asal-usul dan
menemukan bentuk dasar-nya dalam komunitas Kristiani, atau Gereja perdana, berawal dari
khotbah Yesus sendiri sampai pada kelompok yang mewartakan bahwa Yesus adalah Kristus.
Akhirnya, kritik bentuk dilengkapi oleh Redakstionsgeschichte ("Kritik Redaksi"), yakni
"studi kritis tentang proses editing". Metode ini mencoba menerangkan sumbangan personal
dari masing-masing penginjil dan menyingkapkan kecenderungan-kecenderungan teologis
yang memberi bentuk pada karya yang diolahnya.
Saat metode yang terakhir ini diterapkan, lengkaplah sudah seluruh rangkaian dari
tahap-tahap yang berbeda-beda, yang merupakan kekhasan metode historis-kritis: dari kritik
teks orang beranjak ke kritik literer, yang bertugas membedah teks untuk dapat menemukan
sumber-sumber yang ada di baliknya; kemudian orang beranjak ke studi kritis tentang bentuk
dan akhirnya, sampai pada suatu analisis tentang proses editorial, yang bertujuan untuk
memberi perhatian khusus pada teks setelah segala proses dilaksanakan. Semua ini
memungkinkan orang untuk memahami maksud pengarang dan editor Alkitab secara lebih
persis, dan juga pesan yang ingin mereka sampaikan kepada para pembaca pertama.
Pencapaian hasil ini menjadikan metode historis kritis sebagai metode yang sangat penting.

2.3 PRINSIP-PRINSIP METODE HISTORIS-KRITIS


Metode ini disebut metode historis, bukan hanya karena metode ini diterapkan pada
teks-teks kuno dalam kasus ini, teks-teks Alkitab dan memahami maknanya, dari sudut
pandang historis, tetapi juga dan terutama karena metode ini mencoba menerangkan proses-
proses historis yang memunculkan teks-teks biblis, suatu proses diakronis yang sering kali
kompleks dan membutuhkan waktu yang lama. Dalam tahap-tahap yang berbeda dari proses
pembentukannya, teks Kitab Suci dialamatkan pada para pendengar dan pembaca dari aneka
macam golongan, yang hidup di tempat dan waktu yang berbeda.
Disebut metode kritis, karena dalam setiap langkahnya (dari kritik tekstual sampai
kritik redaksi), metode ini bekerja dengan bantuan kriteria ilmiah untuk mencapai hasil
seobjektif mungkin. Dengan cara ini, metode ini berhasil membuka makna teks-teks
alkitabiah yang sering kali sangat sulit untuk dipahami kepada para pembaca modern.
Sebagai suatu metode analitis, metode historis-kritis mempelajari teks alkitabiah dengan cara
yang sama seperti mempelajari teks kuno lainnya dan memberi keterangan atas teks tersebut
sebagai suatu ungkapan wacana manusiawi.

2.4 DESKRIPSI METODE HISTORIS KRITIS


Pada tahap perkembangannya saat ini, metode historis-kritis bekerja dengan langkah-
langkah berikut:
Kritik teks, seperti telah dipraktekkan untuk waktu yang sangat lama, mengawali
rangkaian pekerjaan akademis ini. Dengan mendasarkan diri pada kesaksian manuskrip-
manuskrip paling kuno dan terbaik, dan juga papirus-papirus, versi-versi kuno tertentu dan
teks-teks dari zaman para Bapa Gereja, kritik teks berusaha menentukan, suatu teks Alkitab
yang sedekat mungkin dengan aslinya dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu.
Kemudian teks itu diteliti melalui analisis linguistik (morfologi dan sintaksis) dan
analisis semantik (makna kata), dengan menggunakan pengetahuan yang berasal dari filologi
historis. Adalah merupakan peranan kritik literer untuk menentukan awal dan akhir dari unit-
unit teks, baik besar maupun kecil, dan menentukan koherensi internal dari suatu teks.
Adanya pendobelan, perbedaan-perbedaan yang tidak dapat didamaikan, dan indikator-
indikator lain merupakan suatu petunjuk bahwa teks-teks tertentu merupakan hasil suatu
penggabungan. Teks seperti ini dapat dibagi ke dalam unit-unit kecil, yakni langkah berikut
yang merupakan usaha untuk melihat apakah unit-unit kecil ini berasal dari sumber-sumber
yang berbeda. Kritik literer berusaha mengidentifikasi jenis sastra, lingkungan sosial yang
memunculkannya, sifat-sifat khasnya, dan sejarah perkembangannya.
Kritik tradisi menempatkan teks dalam arus tradisi dan mencoba menggambarkan
perkembangan tradisi ini dalam perjalanan zaman. Akhirnya, kritik redaksi mengkaji
perubahan-perubahan yang dialami oleh suatu teks sebelum terbakukan dalam bentuk
finalnya. Kritik redaksi juga menganalisis tahap final ini, yakni mencoba mengidentifikasi,
sejauh mungkin, kecenderungan yang secara khusus merupakan ciri dari proses terakhir ini.
Langkah-langkah sebelumnya mencoba menerangkan suatu teks dengan menelusuri
asal-usul dan perkembangannya dalam perspektif diakronis, sementara langkah terakhir ini
diakhiri dengan suatu studi dalam perspektif sinkronis: dalam hal ini, suatu teks diterangkan
sebagaimana adanya sekarang, atas dasar hubungan timbal balik antara berbagai unsurnya,
dan dengan memperhatikan ciri khasnya sebagai pesan yang hendak dikomunikasikan oleh
pengarang kepada orang-orang sezamannya. Dalam hal ini, orang harus mempertimbangkan
tuntutan-tuntutan teks dari sudut pandang tindakan dan kehidupan (fonction pragmatique).
Jika teks-teks yang dipelajari termasuk jenis sastra historis atau dihubungkan dengan
peristiwa-peristiwa historis, kritik historis melengkapi kritik sastra untuk menentukan
pentingnya teks dari segi historis, dalam pengertian modern. Dengan jalan ini diterangkan
berbagai lapisan yang ada di balik pewahyuan alkitabiah dalam perkembangan historisnya
yang konkret.13
2.5 SEJARAH DI DALAM TEKS DAN SEJARAH DARI TEKS
John H. Hayes dan Carl R. Holladay berpendapat dalam bukunya “Pedoman
Penafsiran Alkitab” bahwa kritik historis terhadap dokumen-dokumen didasarkan pada
anggapan bahwa sebuah teks itu bersifat historis minimal dalam dua pengertian: teks itu

13
Komisi Kitab Suci Kepausan, 43-49.
berkaitan dengan sejarah dan juga memiliki sejarahnya sendiri. Atas dasar itu, kita dapat
membedakan “sejarah di dalam teks” dan “sejarah dari teks”.
“sejarah di dalam teks” menunjuk pada hal-hal yang berkaitan dengan sejarah yang
teks itu sendiri tuturkan, entah tokoh-tokoh tertentu, peristiwa-peristiwa, keadaan-keadaan
social, ataupun gagasan-gagasan. Dalam hal ini teks itu berfungsi sebagai sebuah jendela
yang melaluinya kita dapat memandang ke suatu periode sejarah. Bila secara kritis kita
membaca apa yang dikatakan oleh teks, maka kita akan dapat menarik kesimpulan mengenai
kondisi-kondisi keagamaan, sosial dan politik dari suatu atau sejumlah periode sejarah yang
di dalamnya teks itu ditulis.
Sedangkan “sejarah dari teks” menunjuk pada sesuatu yang tidak ada sangkutpautnya
dengan apa yang teks sendiri kisahkan atau gambarkan, yaitu "riwayat" atau sejarah teks itu
sendiri: bagaimana teks itu muncul, mengapa, di mana, kapan dan dalam keadaan yang
bagaimana; siapa penulisnya dan untuk siapa ditulis, disusun, disunting, dihasilkan dan
dipelihara; mengapa sampai teks itu ditulis, lalu hal apa saja yang mempengaruhi
kemunculan, pembentukan, perkembangan, pemeliharaan dan penyebarluasannya?14
Pertama-tama kita akan membicarakan soal-soal yang menyangkut sejarah dalam
teks, atau situasi yang digambarkan teks. Jelaslah jika teks berisi rujukan-rujukan kepada
tokoh-tokoh tertentu, tempat-tempat dan kebiasaan-kebiasaan yang asing bagi kita, maka
perlu sekali kita mengenal betul periode sejarah atau konteks budaya yang digambarkan
dalam teks untuk mengerti apa yang pada dasarnya tengah dikatakannya. Sarana yang paling
berguna untuk mendapatkan keterangan mengenai hal-hal ini biasanya adalah kamus-kamus
dan ensiklopedi-ensiklopedi Alkitab. Sama gunanya juga buku-buku pedoman, sejarah,
uraian-uraian sosiologis atas kurun waktu yang digambarkan teks. Untuk hal-hal yang
menyangkut sejarah, kronologi, nama-nama dan peristiwa-peristiwa, sarana yang paling
berguna dan yang harus diperhatikan adalah buku-buku mengenai sejarah Israel kuno dan
kekristenan mula-mula. Selain itu buku-buku yang khusus membahas kebudayaan, konteks
sosiologis dan kehidupan sosial zaman Alkitab, menyediakan keterangan yang disusun
dengan baik mengenai pelbagai aspek kehidupan sehari-hari yang beragam yang disyaratkan
atau dirujuk oleh teks. Informasi semacam ini sering juga dimasukkan ke dalam atlas-atlas
dan geografi Alkitab. Tetapi jelas kiranya manfaat utama atlas dan geografi adalah apabila
keduanya dipakai untuk mencari tahu letak nama-nama tempat dan informasi geografis
lainnya dalam rangka untuk memahami teks.15

14
John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015),
52.
15
John H. Hayes dan Carl R. Holladay, 55.
Dimensi kesejarahan yang kedua yang harus diteliti oleh penafsir adalah sejarah dari
teks, atau situasi yang dari dalamnya teks muncul yakni situasi pengarang dan pendengar atau
pembacanya. Kini telah diketahui bahwa banyak kitab dalam Alkitab yang anonim, meskipun
tradisi belakangan mencantumkan nama-nama tertentu sebagai pengarang kitab-kitab
tersebut. Tidak satupun dari keempat kitab Injil misalnya, memuat petunjuk yang jelas-jelas
menyebutkan siapa penulisnya masing-masing, meskipun pada abad ke-2 dan ke-3 nama-
nama Matius, Markus, Lukas dan Yohanes dicantumkan sebagai pengarang masing-masing
kitab. Nyatanya, kini secara luas diakui bahwa banyak tulisan alkitabiah sebenarnya
merupakan karya suntingan ketimbang karya satu orang penulis. Dan bahwa banyak orang
dan kelompok terlibat dalam proses penyuntingan yang, untuk tulisan-tulisan tertentu,
berlangsung lebih dari satu dasawarsa atau bahkan berabad-abad. Dalam hal ini khususnya
kitab Pentateukh, tetapi juga bagian-bagian lain dari Alkitab. Hal ini mengharuskan para
penafsir mengubah atau menggeser pemahaman mereka mengenai hubungan antara tulisan-
tulisan alkitabiah dengan para pengirim dan penerimanya yang mula-mula. Tampaknya hanya
ada sedikit tulisan alkitabiah yang ditulis dari awal sampai akhirnya oleh seorang penulis saja
dan di satu tempat saja. Apabila hal ini terjadi, ada bukti kuat yang memberi kesan bahwa
tulisan-tulisan seperti itu seringkali terus disunting, baik oleh pengarang atau pun oleh orang-
orang sesudahnya.16

2.6 ANALISIS LATAR BELAKANG


Analisis Latar Belakang berkaitan dengan fakta sejarah yang sangat rumit. Data ini
mencakup informasi berbagai bidang, di antaranya, geografi, waktu, agama, politik,
sosioekonomi, budaya, kebiasaan, hubungan dengan bangsa lain dan masih banyak yang lain.
Pengenalan akan latar belakang sangat menolong penafsir mengerti apa yang disampaikan
penulis-penulis kitab yang hidup pada zaman yang tidak sama. Ini juga mencegah penafsir
masa kini menyamakan keadaan zaman modern dengan situasi ketika kitab-kitab kanonikal
ditulis.17
Beberapa poin penting dalam analisis latar belakang, sebagai berikut:
1) Menaruh perhatian kepada riwayat tokoh-tokoh yang terkait.
2) Menyelidiki keadaan tempat yang disinggung kitab yang ingin ditafsir, termasuk
informasi geografis.

16
John H. Hayes dan Carl R. Holladay, 57.
17
Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, (Malang Literatur Saat, 2007),
277.
3) Memastikan waktu yang disebutkan dalam kitab yang bersangkutan, lalu
memperhatikan keadaan masa itu. Sering kali informasi mengenai apa yang terjadi
pada masa itu lebih penting daripada memastikan tahun masa itu.
4) Menaruh perhatian kepada informasi di bidang agama, politik, sosioekonomi,
budaya, kebiasaan, dan hubungan dengan bangsa lain. Ingat, informasi di bidang-
bidang ini sangat luas dan rumit. Kesimpulan para sarjana perlu dihargai, namun
jangan menerimanya begitu saja. Tidak sedikit informasi historis dan arkeologis
merupakan tafsiran yang berwarna subjektif.
5) Perhatikan sejarah yang di belakang cerita atau kejadian yang dicatat penulis
kitab.
6) Pelajarilah persamaan dan perbedaan antara Alkitab dengan karya atau informasi
di luar Alkitab. Perhatikan keunikan atau makna baru yang diberikan penulis
Alkitab.
7) Sekali-kali jangan menafsir Alkitab dengan kacamata zaman modern. Bersikap
sensitif terhadap hal-hal yang mungkin dianggap wajar menurut standar abad
modern.
8) Data yang dimiliki penafsir Alkitab masih sangat terbatas, jadi jangan mengambil
kesimpulan terlalu cepat. Jauh lebih baik penafsir memegang apa yang dicatat
Alkitab daripada cepat-cepat menerima informasi atau pendapat yang belum tentu
tepat.18
Grant R. Osborne menjelaskan sumber-sumber khusus untuk bahan latar belakang,
sebagai berikut: 1) Alusi-alusi Perjanjian Lama., 2) Alusi-alusi Intertestamental, 3) Paralel-
paralel dalam Naskah Qumran, 4) Perikop-perikop paralel dalam tulisan-tulisan para rabi, 5)
Perikop-perikop paralel dalam tulisan-tulisan Helenistik.19

18
Hasan Sutanto, 288-289.
19
Grant R. Osborne, Spiral hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab,
(Surabaya: Momentum, 2018), 189-194.
BAB III
PENDEKATAN HERMENEUTIK
MENGGUNAKAN METODE KTIRIK HISTORIS

3.1 CONTOH KERJA TASFIR METODE KTIRIK HISTORIS DALAM MATIUS


5:38-48
3.1.1 LATAR BELAKANG UMUM (Analisis sejarah)
Kata “Injil” berasal dari Bahasa Yunani εὐαγγέλιον (euanggelion) yang berarti “kabar
baik”. Kata “Injil” yang berarti “kabar tentang peristiwa-peristiwa yang menggembirakan”,
atau “kabar sukacita”. Yesus menggunakan kata “Injil” ketika memproklamasikan
kedatangan “Kerajaan Allah”.20
3.1.1.1. Penulis
Karya ini sampai secara anonim, tetapi menurut suatu tradisi gereja mula-mula,
pengarangnya adalah Matius, salah satu dari keduabelas murid.21 Tetapi kalaupun penulis
Matius bukan rasul Matius, bekas pemungut cukai, namun jelas ia seorang Yahudi. Hanya
mengingat kehalusan bahasa agaknya bukan seorang Yahudi yang berasal dari Palestina. Ia
menjadi dewasa di perantauan, di tengah-tengah orang-orang Yahudi yang berbahasa
Yunani.22 Berdasarkan bahan-bahan yang dijumpai dalam Injil ini, maka penulis Injil Matius
adalah seorang Kristen Yahudi Diaspora yang sudah berkecimpung dalam misi kepada dunia
bangsa-bangsa beberapa waktu.23 Dengan demikian dapat menyimpulkan bahwa penulis kitab
Injil Matius bersifat anonim.
3.1.1.2. Waktu dan Tempat Penulisan
Kapan tepatnya Injil Matius ini ditulis tidak diketahui. Sedikit sekali kemungkinannya
bahwa ia ditulis sebelum orang-orang Kristen mulai meninggalkan Yerusalem (Kisah 8:4).24
Matius mungkin ditulis pada tahun 80an di abad pertama.25 B.F. Drewes berpendapat bahwa
Injil Matius disusun dalam periode antara 75-90 M.26 Berdasarkan data-data yang ada dapat
disimpulkan bahwa Injil ini ditulis sekitar tahun 75-80 M.27

20
W. R. F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 152.
21
Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis terhadap Masalah-masalahnya,
(Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 183.
22
C. Groenen OFM, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanasius, 1984), 87.
23
Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru: Sejarah, Pengantar dan Pokok-pokok Teologisnya
(Bandung: Bina Media Informasi, 2010), 279.
24
Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru, (Malang: Gandum Mas, 2017), 184.
25
Willi Marxsen, 184.
26
B. F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar: Terjadinya dan Amanat Injil Matius, Markus, dan Lukas, (Jakarta:
Gunung Mulia, 2018), 176.
27
Samuel Benyamin Hakh, 280.
Tempat penulisan kitab Matius tidak dapat ditentukan dengan pasti. Dengan
mempertimbangkan ciri-ciri tulisan dan pribadi pengarang, dapat diperkirakan bahwa Injil
Matius ditulis di daerah yang dihuni sebagian besar oleh orang Yahudi, yang biasanya disebut
ialah Antiokhia di Siria.28 Willi Marxsen berpendapat kemungkinan di suatu wilayah Kristen
Yahudi yakni di Siria.29 Jadi dapat disimpulkan bahwa tempat penulisan Injil Matius ini di
luar Palestina. Daerah yang cocok untuk itu adalah Syria, khususnya Antiokhia.30
3.1.1.3. Penerima
Penulis Injil Matius sama sekali tidak menyebutkan secara tegas tentang siapa jemaat
penerima atau pembaca Injilnya. Oleh karena itu, berdasarkan isi Injil ini, para ahli tafsir
berusaha menyelidiki siapa pembacanya. Melalui suatu penelitian terhadap bahan-bahan di
dalam Injil ini; para peneliti mengemukakan bahwa Injil Matius ditulis dan ditujukan kepada
jemaat yang memiliki latar belakang tradisi Yahudi maupun Yunani.31
3.1.1.4. Maksud dan Tujuan Penulisan
Salah satu ciri utama Injil Matius adalah banyaknya kutipan dan rujukan Perjanjian
Lama di dalamnya. Hal ini pun menjadi pertimbangan utama dalam membahas maksud
penulis. Silsilah Yesus adalam Injil Matius menunjukkan bahwa Yesus adalah keturunan
langsung Abraham dan hal ini mengindikasikan maksud penulis Injil Matius.32 Injil Matius
adalah sebuah tulisan yang bersifat Yahudi, terlihat dari pembacanya yang berlatar belakang
Yahudi. Para ahli Perjanjian Baru beranggapan bahwa, Injil ini ditulis bagi jemaat Kristen
yang baru mengenal Yesus, dan berlatar belakang Yahudi.33 Tujuan dari Injil Matius adalah
untuk menunjukkan bagaimana Yesus dari Nazaret mengembangkan serta menguraikan
wahyu ilahi yang telah dimulai dalam nubuat tentang Mesias dalam Perjanjian Lama.34
3.1.1.5. Situasi/Keadaan (Sitz Im Leben)
- Keadaan Agama
Komunitas Matius sedang berada dalam tekanan dan penganiayaan oleh kelompok
orang Farisi. Orang Kristen disiksa dan dianiaya oleh para pemimpin Yahudi. Keadaan
tersebut menimbulkan sikap antipati yang mendorong terjadinya perpecahan antara
komunitas ini dengan komunitas sinagoge. Salah satu pokok yang menjadi persoalan hangat
di antara kedua kelompok itu adalah hukum Taurat. Kelompok Farisi menekankan
pendekatan legalistik terhadap hukum Taurat. Mereka membuat ratusan aturan tambahan

28
I. Suharyo, Pengantar Injil Sinoptik, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 17.
29
Willi Marxsen, 184.
30
Samuel Benyamin Hakh, 280.
31
Samuel Benyamin Hakh, 280.
32
Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru, Volume 1, (Surabaya: Penerbit Momentum, 2012), 17.
33
Stefan Leks, Tafsir Injil Matius, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 16.
34
Merrill C. Tenney, 192.
terhadap hukum Taurat untuk menghindari orang Yahudi melanggar hukum Taurat itu.
Sementara itu, kelompok Matius lebih menekankan kasih sebagai inti hukum taurat. Kasih itu
yang menjadi patokan dalam menafsir Taurat.35
- Keadaan Politik
Dikatakan dalam Injil Matius pada waktu Yesus dilahirkan, ada orang-orang Majus
dari Timur datang ke Bethelem untuk menyebah Yesus (Mat.2:1-12. Ketika Yesus hendak
dibunuh oleh Herodes, Ia di bawah lari ke Mesir. Yesus sendiri dikatakan memulai misinya di
Galilea dan pergi ke luar Palestina untuk memberitakan Injil.36
- Keadaan Ekonomi
Pada masa Yesus, pekerjaan utama masyarakat di Palestina adalah petani kecil,
nelayan tradisional, tukang bangunan, buruh, dan sebagainya banyak penduduk sudah merasa
terjamin hidupnya dengan mengolah sebidang tanah yang dikerjakan oleh anggota keluarga.
Disamping itu, ada juga pegawai pemerintahan, seperti pegawai administrasi dan pemungut
pajak. Kelompok yang disebut terakhir ini sangat dibenci oleh orang Yahudi karena mereka
bekerja untuk pemerintahan dan menjadi penghisap darah kehidupan masyarakat. Jadi, di
beberapa kota besar, pertumbuhan ekonomi sudah terasa, namun situasi pertumbuhan
perekonomian di desa-desa atau daerah pedalaman masih sangat rendah.37
- Keadaan Sosial
Masyarakat Yunani Romawi terdiri dari beberapa kelas sosial. Lapisan yang paling
atas ditempati oleh para pejabat dan para tuan tanah, serta para pengusaha besar. Lapisan
masyarakat yang dibawahnya adalah orang-orang merdeka yang memiliki kewargaan penuh,
seperti pegawai pemerintah, tukang, pengusaha kecil, dan sedikit petani. Lapisan yang paling
rendah adalah para budak. Di kalangan masyarakat Yahudi sendiri ada pembagian kelas
sosial. Lapisan paling atas adalah para bangsawan, tuan-tuan tanah. Lapisan di bawahnya
adalah orang-orang merdeka seperti pegawai pemerintahan, petani, pedagang, tukang
bangunan dan sebagainya. Lapisan yang paling bawah adalah para budak. Ada pula
kelompok yang terpinggirkan dari pergaulan masyarakat karena alasan-alasan keagamaan.38
- Keadaan Budaya
Injil Matius sangat berbau Yahudi. Ada banyak tradisi Yahudi yang diangkat dan
dibicarakan dalam Injil ini (Mat.5:17-19; 23:23; 24:20). Para pembaca juga diajak untuk
membayar pajak bait Allah (Mat. 5:17:24-27). Di dalam Injil inipun terdapat perdebatan yang

35
Samuel Benyamin Hakh, 281-283.
36
Samuel Benyamin Hakh, 281.
37
Samuel Benyamin Hakh, 22.
38
Samuel Benyamin Hakh, 23-24.
sengit tentang penafsiran terhadap makna hukum Taurat sebagai tradisi Yahudi yang sangat
dihormati.39

3.1.2 SUMBER MATIUS (Analisis sumber)


Di antara injil-injil Sinoptis (Matius, Markus, Lukas) terdapat persamaan-persamaan
yang tidak ada antara Injil-injil tersebut pada satu pihak dan Injil Yohanes pada pihak lain.40
Ada banyak bahan dalam Matius dan Lukas yang sangat sama dan yang tidak diambil-alih
dari Markus. Bahan ini sebagian besar terdiri dari sabda-sabda Yesus. Kesamaan dalam
terjemahan menunjukkan bahwa mereka memakai terjemahan sabda Yesus yang sama. Jadi,
di samping Markus, suatu sumber lain dipakai oleh Matius dan Lukas. Sumber ini oleh para
ahli sekarang ini disebut Q41. Bahan Q adalah bahan yang Matius dan Lukas punyai bersama
dan yang tidak mereka ambil-alih dari Markus.42 Matius memasukkan banyak dari bahan Q
ke dalam kelima khotbah Yesus dan ia cenderung pula untuk mencampur bahan Q dengan
bahan lain, maka biasanya urutan nats Q seperti yang ada dalam Lukas, dipakai sebagai titik-
tolak daftar bahan Q. Salah contoh dalam Matius 5:38-48 dan Lukas 6:27-36 termasuk dalam
isi sumber Q tentang pengajaran Yesus seperti yang tercatat dalam buku Satu Injil Tiga
Pekabar oleh B. F. Drewes.43

3.1.3 KHOTBAH DI BUKIT (Analisis sastra)


Dalam Injil Matius terdapat lima khotbah agung Yesus, yaitu khotbah di bukit (pasal
5-7); khotbah misioner (9:35-10:42); khotbah dalam bentuk perumpamaan (13:1-52); khotbah
eklesiologis (17:24-18:35); dan khotbah eskatologis (pasal 24-25).44 Khotbah di Bukit
tercantum dalam pasal 5-7 dari kitab Injil Matius, sehingga teks Matius 5:38-48 termasuk
dalam rangkaian Khotbah di Bukit.45 Khotbah di bukit itu ditujukan kepada semua orang.46
Khotbah di Bukit ditujukan kepada orang banyak, nyata dari adanya sebutan οἱ ὄχλοι (hoi
ochloi) (“orang banyak”) sebelum dan sesudah berkhotbah (5:1; 7:28).47

39
Samuel Benyamin Hakh, 281.
40
B. F. Drewes, 12.
41
Sering kali diterangkan bahwa huruf Q dipakai, sebab merupakan huruf pertama dari istilah bahasa
Jerman “Quelle”, yang berarti sumber. Tetapi, ada juga keterangan lain mengapa huruf Q dipakai, untuk
menunjuk pada sumber ini. (B. F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar: Terjadinya dan Amanat Injil Matius,
Markus, dan Lukas, (Jakarta: Gunung Mulia, 2018), 20).
42
B. F. Drewes, 20.
43
B. F. Drewes, 26-27.
44
Jack D. Kingsbury, Injil Matius sebagai Cerita: Berkenalan dengan Narasi Salah Satu Injil, (Jakarta:
Gunung Mulia, 2019), 142.
45
J. Verkuyl, Khotbah di Bukit, (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), 1.
46
J. Verkuyl, 3.
47
J. Sidlow. Baxter, Menggali Isi Alkitab 3: Matius sampai dengan Kisah Para Rasul, (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2012), 103.
Khotbah di bukit itu sebenarnya terdiri dari suatu rangkaian amsal-amsal, yang
dengan cara konkret dan sangat menarik hati menggambarkan sikap hidup manusia menurut
tuntutan Allah. Pada zaman itu bentuk inilah yang sering dipakai dalam pengajaran-
pengajaran keagamaan. Gaya bahasa sastra semacam itu lazim disebut “mesyalim” atau
masyaal, artinya: amsal teka-teki. “Mesyalim” atau amsal teka-teki ini dapat kita kenal dari
tanda-tanda yang berikut: Pertama, susunan amsal-amsal semacam itu berbentuk
paralelisme. Kedua, masyaal ini tak pernah abstrak. Ketiga, masyaal itu ialah tajam, tidak
disangka-sangka, radikal, hanya satu sisi yang ditekankan. Dalam bentuk masyaal orang
sengaja “melebih-lebihkan”.48

3.1.4 LATAR BELAKANG KHUSUS (Analisis bentuk)


Injil Matius sangat berbau Yahudi. Ada banyak tradisi Yahudi yang diangkat dalam
Injil ini.49 Perikop “Yesus dan hukum Taurat” (Matius 5:17-48) berbicara mengenai sikap
Yesus terhadap Torah sebagai keseluruhan (ayat 17-20) dan bagaimana perintah-perintah
dalam Torah harus dipahami dan dilaksanakan (ayat 21-48). Torah adalah pertama-tama
firman, pengajaran, janji. Baru sesudah itu hukum, peraturan, dan perintah.50
Khotbah di Bukit menghimpun seluruh ajaran Yesus menjadi satu untaian yang indah
sekali yang pernah Ia berikan kepada murid-murid-Nya pada berbagai kesempatan,
mempunyai tujuh tema utama:
1) Macam orang yang menurut Allah memperoleh kebahagiaan ilahi (Mat 5:3-16)
2) Kebaikan yang Ia tuntut (Mat 5:17-48)
3) Cara penyembahan yang Ia hargai (Mat 6:1-18)
4) Cara kebaktian yang Ia kehendaki (6:19-24)
5) Iman yang diperintahkanNya (Mat 6:25-34)
6) Cara yang Ia menghendaki kita memperlakukan orang lain (Mat 7:13-28)
7) Pernyataan yang harus dijalankan (dipraktekkan) (Mat 7:13-28).51
Yesus menghimbau orang untuk bertobat dan percaya kepada-Nya. Dalam
memberitakan tentang Kerajaan-Nya, Ia menunjukkan sifat pemerintahan-Nya serta cara
memasukinya. Di sini dijabarkan kedududukan Yesus terhadap hukum Taurat, karena Yesus
mengatakan bahwa “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan
hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan
untuk menggenapinya” (Mat 5:17). Khotbah di Bukit adalah suatu pernyataan langsung

48
J. Verkuyl, 5-6.
49
Samuel B. Hakh, 281.
50
J. L Ch. Abineno, Khotbah di Bukit: Catatan tentang Matius 5-7, (Jakarta: Gunung Mulia, 2017), 41.
51
A. M. Hunter, Yesus Tuhan dan Juruselamat, (Jakarta: Gunung Mulia, 1887), 60-61.
mengenai kekuasaan-Nya yang melebihi hukum. Ia tidak membatalkan hukum tetapi
melampaui hukum itu karena kekudusan pribadi-Nya. Kriteria kebenaran dalam Khotbah di
Bukit tidak diukur berdasarkan ukuran manusia melainkan berdasarkan pengetahuan tentang
Kristus, dengan mendengarkan Dia dan melakukannya (7:23-24).52
J. Verkuyl dalam bukunya mengatakan bahwa di dalam Matius 5:21-47 Tuhan Yesus
memberi penjelasan tentang tema yang telah dipaparkan di dalam ayat 17-20. Hukum Taurat
Allah menuntut supaya kita menyerahkan diri dengan segenap hati kita. Yesus datang bukan
untuk melawan atau merombak hukum Taurat Musa, melainkan justru untuk menggenapinya.
Yang dimaksudkan dengan “nenek moyang” ialah guru-guru hukum Taurat bangsa Yahudi,
yang memberi tafsiran tentang hukum Taurat. Mula-mula tafsiran-tafsiran itu diajarkan dan
diteruskan secara lisan, “halakha” baru kemudian ditulis di dalam kitab yang lazim disebut
“Midrasy dan Gemarra” dan kitab lainnya. Kadang-kadang hukum Taurat Musa itu dikutip
dan ditulis persis menurut hurufnya, misalnya: Jangan membunuh. Tetapi tafsirannya adalah
sedemikian rupa, hingga tekanan terletak pada perbuatan itu dan tidak pada hati manusia
sebagai sumber perbuatan itu. Kadang-kadang dalam “halakha” itu hukum Taurat Musa
diganti dan diubah dengan tambahan-tambahan yang memaksa maksud hukum Taurat,
sehingga menjadi kebalikannya. Misalnya, perintah: “Kasihilah sesamamu manusia” di
dalam halakha ditambah dengan: “dan bencilah musuhmu.” Dengan demikian maksud
hukum Taurat itu diputarbalikkan. Dalam hal ini, Tuhan Yesus menunjukkan maksud semula
dan hukum Taurat Allah. Ia menunjukkan kedalaman, kesungguhan dan kemutlakan
berlakunya.53
Dalam Matius 5:38-42, Yesus berbicara tentang prinsip-prinsip agung, dan bukannya
sedang meletakkan berbagai aturan baru.54 Bagian ini terkandung ciri-ciri etika Kristen dan
tata hidup Kristiani yang membedakan orang-orang Kristen dari orang-orang lain.55 Teks
Matius 5:43-48 sangat penting dalam memahami konsep kasih Kristen yang ideal. Mengasihi
teman adalah satu hal, tetapi mengasihi musuh adalah hal yang tidak sama. Para pengikut
Yesus tidak boleh sekadar mengikuti standar komunitas mereka. Karena Allah yang mereka
layani adalah Allah yang mengasihi, mereka juga harus menjadi orang-orang yang
mengasihi.56 C.G. Montefiore, seorang sarjana Yahudi, menyebut bagian ini sebagai “bagian
yang sentral dan paling terkenal” dari seluruh Khotbah di Bukit.57

52
Merrill C. Tenney, 188.
53
J. Verkuyl, 38-40.
54
Leon Morris, Tafsiran Pilihan Momentum: Injil Matius, (Surabaya: Momentum, 2016), 133.
55
William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Matius pasal 1-10, (Jakarta: Gunung Mulia,
2017), 274.
56
Leon Morris, 136.
57
William Barclay, 290.
3.1.5 PERBANDINGAN TERJEMAHAN (Analisis teks)
Terjemahan Baru (TB)
38 39
Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata
kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan
40
siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada
orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga
41
jubahmu. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah
42
bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah
43
menolak orang yang mau meminjam dari padamu. Kamu telah mendengar firman:
44
Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu:
45
Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan
demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari
bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan
46
orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah
47
upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya
memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang
48
lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? Karena itu
haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”58
Naskah terjemahan Bible Works Greek LXX (BGT)
38 39
Ἠκούσατε ὅτι ἐρρέθη· ὀφθαλμὸν ἀντὶ ὀφθαλμοῦ καὶ ὀδόντα ἀντὶ ὀδόντος. ἐγὼ δὲ λέγω
ὑμῖν μὴ ἀντιστῆναι τῷ πονηρῷ· ἀλλ᾽ ὅστις σε ῥαπίζει εἰς τὴν δεξιὰν σιαγόνα [σου], στρέψον
40
αὐτῷ καὶ τὴν ἄλλην· καὶ τῷ θέλοντί σοι κριθῆναι καὶ τὸν χιτῶνά σου λαβεῖν, ἄφες αὐτῷ
41
καὶ τὸ ἱμάτιον· καὶ ὅστις σε ἀγγαρεύσει μίλιον ἕν, ὕπαγε μετ᾽ αὐτοῦ δύο. 42 τῷ αἰτοῦντί σε
43
δός, καὶ τὸν θέλοντα ἀπὸ σοῦ δανίσασθαι μὴ ἀποστραφῇς. Ἠκούσατε ὅτι ἐρρέθη·
44
ἀγαπήσεις τὸν πλησίον σου καὶ μισήσεις τὸν ἐχθρόν σου. ἐγὼ δὲ λέγω ὑμῖν· ἀγαπᾶτε τοὺς
45
ἐχθροὺς ὑμῶν καὶ προσεύχεσθε ὑπὲρ τῶν διωκόντων ὑμᾶς, ὅπως γένησθε υἱοὶ τοῦ πατρὸς
ὑμῶν τοῦ ἐν οὐρανοῖς, ὅτι τὸν ἥλιον αὐτοῦ ἀνατέλλει ἐπὶ πονηροὺς καὶ ἀγαθοὺς καὶ βρέχει
ἐπὶ δικαίους καὶ ἀδίκους. 46 ἐὰν γὰρ ἀγαπήσητε τοὺς ἀγαπῶντας ὑμᾶς, τίνα μισθὸν ἔχετε; οὐχὶ
47
καὶ οἱ τελῶναι τὸ αὐτὸ ποιοῦσιν; καὶ ἐὰν ἀσπάσησθε τοὺς ἀδελφοὺς ὑμῶν μόνον, τί
48
περισσὸν ποιεῖτε; οὐχὶ καὶ οἱ ἐθνικοὶ τὸ αὐτὸ ποιοῦσιν; ἔσεσθε οὖν ὑμεῖς τέλειοι ὡς ὁ
πατὴρ ὑμῶν ὁ οὐράνιος τέλειός ἐστιν.59

58
Bible Works 8, ITB. Terjemahan Baru (Indonesian).
59
Bible Works 8, BGT. Bible Works Greek LXX
New International Version (NIV)
38
“You have heard that it was said, 'Eye for eye, and tooth for tooth.” 39 But I tell you, Do not
resist an evil person. If someone strikes you on the right cheek, turn to him the other also. 40
41
And if someone wants to sue you and take your tunic, let him have your cloak as well. If
someone forces you to go one mile, go with him two miles. 42 Give to the one who asks you,
and do not turn away from the one who wants to borrow from you. 43 “You have heard that it
was said, 'Love your neighbor and hate your enemy.” 44 But I tell you: Love your enemies and
45
pray for those who persecute you, that you may be sons of your Father in heaven. He
causes his sun to rise on the evil and the good, and sends rain on the righteous and the
46
unrighteous. If you love those who love you, what reward will you get? Are not even the
47
tax collectors doing that? And if you greet only your brothers, what are you doing more
48
than others? Do not even pagans do that? Be perfect, therefore, as your heavenly Father is
perfect.60
New King James Version (NKJV)
38
“You have heard that it was said, ‘An eye for an eye and a tooth for a tooth.’ 39 “But I tell
you not to resist an evil person. But whoever slaps you on your right cheek, turn the other to
40
him also. “If anyone wants to sue you and take away your tunic, let him have your cloak
41 42
also. “And whoever compels you to go one mile, go with him two. “Give to him who
asks you, and from him who wants to borrow from you do not turn away. 43 “You have heard
44
that it was said, ‘You shall love your neighbor and hate your enemy.’ “But I say to you,
love your enemies, bless those who curse you, do good to those who hate you, and pray for
45
those who spitefully use you and persecute you, “that you may be sons of your Father in
heaven; for He makes His sun rise on the evil and on the good, and sends rain on the just and
46
on the unjust. “For if you love those who love you, what reward have you? Do not even the
47
tax collectors do the same? “And if you greet your brethren only, what do you do more
48
than others? Do not even the tax collectors do so? “Therefore you shall be perfect, just as
your Father in heaven is perfect.61
Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK)
“Nasihat tentang pembalasan”
38 39
“Kalian tahu bahwa ada juga ajaran seperti ini: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Tetapi
sekarang Aku berkata kepadamu: jangan membalas dendam terhadap orang yang berbuat
jahat kepadamu. Sebaliknya kalau orang menampar pipi kananmu, biarkanlah dia menampar
40
pipi kirimu juga. Dan jikalau orang mengadukan kalian kepada hakim dan menuntut
bajumu, berikanlah kepadanya jubahmu juga. 41 Kalau seorang penguasa memaksa kalian

60
Bible Works 8, NIV. New International Version (1984) (US).
61
Bible Works 8, NKJV. New King James Version (1982) with Codes.
42
memikul barangnya sejauh satu kilometer, pikullah sejauh dua kilometer. Kalau orang
minta sesuatu kepadamu, berikanlah kepadanya. Dan jangan juga menolak orang yang mau
meminjam sesuatu daripadamu.”
“Mengasihi musuh”
43
“Kalian tahu bahwa ada juga ajaran seperti ini: cintailah kawan-kawanmu dan bencilah
44
musuh-musuhmu. Tetapi sekarang Aku berkata kepadamu: cintailah musuh-musuhmu, dan
doakanlah orang-orang yang menganiaya kalian, 45 supaya kalian menjadi anak-anak Bapamu
yang di surga. Sebab Allah menerbitkan matahari-Nya untuk orang yang baik dan untuk
orang yang jahat juga. Ia menurunkan hujan untuk orang yang berbuat benar dan untuk orang
46
yang berbuat jahat juga. Sebab kalau kalian mengasihi hanya orang yang mengasihi kalian
saja, untuk apa Allah harus membalas perbuatanmu itu? Bukankah para penagih pajak pun
47
berbuat begitu? Dan kalau kalian memberi salam hanya kepada kawan-kawanmu saja,
apakah istimewanya? Orang-orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat begitu! 48 Bapamu
di surga mengasihi semua orang dengan sempurna. Kalian harus begitu juga.”62

3.1.6 STUDI PARALEL


MATIUS 5:38-48 LUKAS 6:27-36
38
Kamu telah mendengar firman: Mata ganti
mata dan gigi ganti gigi.
39 29
Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah Barangsiapa menampar pipimu yang
kamu melawan orang yang berbuat satu, berikanlah juga kepadanya pipimu
jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang yang lain, dan barangsiapa yang
menampar pipi kananmu, berilah juga mengambil jubahmu, biarkan juga ia
kepadanya pipi kirimu. 40Dan kepada orang mengambil bajumu
yang hendak mengadukan engkau karena
mengingini bajumu, serahkanlah juga
jubahmu.
41
Dan siapapun yang memaksa
engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah
bersama
dia sejauh dua mil.
42 30
Berilah kepada orang yang meminta Berilah kepada setiap orang yang
kepadamu dan janganlah menolak orang yang meminta kepadamu; dan janganlah
mau meminjam dari padamu. meminta kembali kepada orang yang
mengambil kepunyaanmu.
43
Kamu telah mendengar firman: Kasihilah
sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.

62
M. K. Sembiring et, (ed), Pedoman Penafsiran Alkitab: Injil Matius, (Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia, 2008), 134, 137.
44
Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah 27"Tetapi kepada kamu, yang
musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang mendengarkan Aku, Aku berkata:
menganiaya kamu. Kasihilah musuhmu , berbuatlah baik
kepada orang yang membenci kamu;
28
mintalah berkat bagi orang yang
mengutuk kamu; berdoalah bagi orang
yang mencaci kamu.
35
Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan
45
Karena dengan demikianlah kamu menjadi berbuatlah baik kepada mereka dan
anak-anak Bapamu yang di sorga, yang pinjamkan dengan tidak mengharapkan
menerbitkan matahari bagi orang yang jahat balasan, maka upahmu akan besar dan
dan orang yang baik dan menurunkan hujan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang
bagi orang yang benar dan orang yang tidak Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-
benar. orang yang tidak tahu berterima kasih dan
terhadap orang-orang jahat.
31
Dan sebagaimana kamu kehendaki
supaya orang
perbuat kepadamu, perbuatlah juga
demikian
kepada mereka.
46
Apabila kamu mengasihi orang yang 32Dan jikalau kamu mengasihi orang yang
mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena
pemungut cukai juga berbuat orang-orang berdosapun mengasihi juga
47
demikian? Dan apabila kamu hanya orang-orang yang
memberi salam kepada saudara-saudaramu mengasihi mereka. 33Sebab jikalau kamu
saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan berbuat baik kepada orang yang berbuat
orang lain? Bukankah orang yang tidak baik kepada kamu, apakah jasamu?
mengenal Allah pun berbuat demikian? Orang-orang berdosapun berbuat demikian
34
Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu
kepada orang, karena kamu berharap akan
menerima sesuatu dari padanya, apakah
jasamu? Orang-orang berdosapun
meminjamkan kepada orang-orang
berdosa, supaya
mereka menerima kembali sama banyak.
48 36
Karena itu haruslah kamu sempurna, sama Hendaklah kamu murah hati,
seperti Bapamu yang di sorga adalah sama seperti Bapamu adalah murah hati.”63
sempurna.”

CATATAN PARALEL
Studi Paralel Matius 5:38-48 dapat dilihat dalam Lukas 6:27-36. Ada beberapa
kesamaan dengan Lukas 6:27-36, tetapi sebagian besar kesamaan ini bersifat umum. Hampir
setiap kata yang penting berbeda, sehingga sulit mengaitkan kedua catatan ini.64 Berdasarkan

63
Alkitab Terjemahan Baru, 2008. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
64
Leon Morris, 133.
tabel studi paralel dan hubungan kesejajaran terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dari
kedua teks Injil sinoptik. Salah satu contoh, persamaan antara Matius 5:38-48 dan Lukas
6:27-36 sama-sama menggunakan Markus dan sumber Q dalam tulisannya. Sedangkan,
perbedaan Injil Matius dengan Lukas disebabkan karena memiliki latar belakang atau konteks
penulisan yang berbeda. Dalam Matius 5:38 diawali dengan “Kamu telah mendengar firman:
Mata ganti mata dan gigi ganti gigi” yang mengutip nats Perjanjian Lama (Kel. 21:24; Im.
24:20; Ul. 19:21) dan menempatkan “Kasihilah musuhmu” dalam Matius 5:44, sedangkan
dalam Lukas 6:27 tidak membahas nats dalam Perjanjian Lama. Tetapi langsung dengan
kalimat “Aku berkata” atau Yesus berkata mengenai “Kasihilah musuhmu” (Lukas 6:27).

3.1.7 PEMBAGIAN POKOK-POKOK PIKIRAN


- Ayat 38 : Hukum pembalasan mata ganti mata dan gigi
ganti gigi
- Ayat 39-42 : Kejahatan dibalas dengan perbuatan baik
- Ayat 43-47 : Kasih kepada musuh
- Ayat 48 : Tuntutan menjadi sempurna

3.1.8 KATA-KATA KUNCI


1. Mendengar
Kata kerja aorist 1 aktif indikatif orang
Ἠκούσατε kedua jamak
(Ekousate) Verb indicative aorist active 2nd person
plural
Ἠ + κού + σ + ατε Dari kata ἀκούω(akouo)
(e + stem + s + akhiran) to hear = mendengar, mengerti
Kamu/kalian dulu mendengar
2. Kasihilah
Kata kerja future aktif indikatif orang
kedua tunggal
ἀγαπήσεις
Verb indicative future active 2nd person
(agapeseis)
singular
Dari kata ἀγαπάω (agapao)
ἀγαπή + σ + εις
to love = mencintai, menaruh kasih atau
(Stem + s + akhiran)
mengasihi, menyatakan kasih
Engkau akan mengasihi
3. Musuhmu
τὸν ἐχθρόν Kata sandang maskulin akusatif tunggal
(ton echthron) + Kata sifat maskulin akusatif tunggal
tidak ada gelar
τὸν + ἐχθρ + όν Definite article accusative masculine
(Kata sandang + stem + singular + adjective normal accusative
akhiran) masculine singular no degree
Dari kata ὁ (ho)
the = itu
Dari kata ἐχθρός (echthros)
hating; enemy (as a noun) = yang
membenci, musuh; yang dibenci
Musuh itu
4. Berdoalah
Kata kerja present medium imperatif
orang kedua jamak
προσεύχεσθε Verb imperative present middle 2nd
(proseuchesthe/ person plural
proseukhesthe) Dari kata προσεύχομαι (proseuchomai/
proseukhomai)
προσεύχ + εσθε to pray = berdoa, bersembahyang
(Stem + akhiran) Biarlah kamu/kalian berdoa untuk
diri sendiri atau kepentingan sendiri
Berdoalah dirimu
5. Sempurna
Kata sifat
τέλειός Adjective
(teleios) Dari kata τέλειός (teleios)
complete, perfect, mature perfect =
τέλει + ός sempurna atau sudah mencapai tujuan,
(Stem + akhiran) lengkap, utuh, genap
Sempurna

3.1.9 URAIAN TAFSIRAN


Dalam uraian tafsiran ini kelompok hanya mengambil 1 ayat saja sebagai contoh.

POKOK PIKIRAN 1: AYAT 38


“HUKUM PEMBALASAN MATA GANTI MATA DAN GIGI GANTI
GIGI”
Dalam Alkitab Terjemahan Baru (TB) bagian Matius 5:38-42 termasuk dari perikop
“Yesus dan hukum Taurat” (Matius 5:17-48), sedangkan dalam terjemahan Bahasa Indonesia
Masa Kini (BIMK) Matius 5:38-42 terdapat perikop sendiri yang berjudul “Nasihat tentang
pembalasan”. Pokok pikiran ini didasarkan pada hukum pembalasan yang berkembang di
tengah-tengah kehidupan yang tidak mengenal kasih yang secara khusus dibahas dalam
Matius 5:38.
Ayat 38
Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi.
Ἠκούσατε ὅτι ἐρρέθη· ὀφθαλμὸν ἀντὶ ὀφθαλμοῦ καὶ ὀδόντα ἀντὶ ὀδόντος.
Perkataan yang berulang kali diucapkan Tuhan Yesus dalam Khotbah di Bukit
khususnya dalam Matius 5:17-48 ialah, “Kamu telah mendengar... Tetapi, Aku berkata
kepadamu...” merupakan serangkaian kalimat yang biasa disebut sebagai Six Antitheses of
the Sermon on the Mount (enam antitesis dari Khotbah di Bukit) atau oleh Hagner
digambarkan sebagai the six bold antitheses representing the teaching of Jesus (enam
antitesis berani yang mewakili ajaran Yesus)65 yang terdapat dalam Matius 5:21-22a; 27-28;
31-32; 33-34,37; 38-39; 43-45,48. Dalam bagian ini akan dibahas secara khusus dua antitesis
terakhir dalam Matius 5:38-48.
Kalimat Kamu telah mendengar dalam bahasa Yunani Ἠκούσατε (ekousate) kata
kerja aorist 1 aktif indikatif orang kedua jamak berasal dari kata ἀκούω (akouo) to hear =
mendengar, mengerti,66 artinya: kamu/kalian dulu mendengar. NIV dan NKJV
menerjemahkan “You have heard that it was said” artinya: kamu telah mendengar bahwa
dikatakan, BIMK menerjemahkan “Kalian tahu bahwa ada juga ajaran seperti ini”.
John Wenham berkata “What our Lord did was not to negate any of the Old Testament
commands but to show their full scope and to strip off current misinterpretations of them”67
yang artinya “Apa yang dilakukan Tuhan kita bukanlah untuk meniadakan salah satu dari
perintah Perjanjian Lama tetapi untuk menunjukkan cakupan penuhnya dan untuk menghapus
salah tafsir saat ini atas perintah tersebut”. Yesus ingin mengembalikan makna yang
sebenarnya dari apa yang difirmankan oleh Allah dalam Perjanjian Lama.
Perkataan ini sering ditafsirkan seakan-akan Tuhan Yesus menolak atau setidak-
tidaknya membetulkan etika Perjanjian Lama. Tetapi, pendapat demikian tidak membedakan
antara hukum tertulis dalam Perjanjian Lama dengan hukum lisan (adat istiadat), yang
dikembangkan pada zaman Antar Perjanjian selama 400 tahun itu. Jika Tuhan Yesus
mengutip Perjanjian Lama, biasanya Ia berkata, “Ada tertulis ...” (4:4, 6, 7, 10; 11:10; 21:13;
26:24, 31), sedangkan ungkapan “Telah difirmankan ...” menyatakan bahwa Tuhan Yesus
mengutip hukum lisan (adat istiadat). Ungkapan itu terdapat 6 kali dalam Matius 5 (ayat 21-
22, 27-28, 31-32, 33-34, 38-39, 43-44).
Mungkin ada yang berkata bahwa hal-hal yang dikatakan oleh Tuhan Yesus itu juga
tertera dalam Perjanjian Lama. Memang benar demikian. Tetapi yang dikutip Tuhan Yesus

65
David I. Santoso, Theologi Matius: Intisari dan Aplikasinya, (Malang: Literatur SAAT, 2009), 118.
66
Barclay M. Newman Jr, 5.
67
John Wenham, Christ and the Bible, (Amerika serikat: Wipf & Stock Publishers, 2009), 39.
ialah hukum-hukum lisan yang bersumberkan hukum tulisan. Misalnya Matius 5:21-22,
“Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum”. Ini adalah hukum ke-6 dari
Sepuluh Firman yang ditambah dengan keterangan-keterangan dari hukum lisan. Apabila
ucapan Tuhan Yesus sama bunyinya dengan ayat Perjanjian Lama. Ia bukan menolak ayat itu,
tetapi menentukan atau menyatakan arti dan maksud rohaninya di samping kepatuhan
lahiriah. Hukum-hukum lisan yang sangat berliku-liku itu dapat disebut lambang sistem
tafsiran harfiah yang memperbudak orang Yahudi. Tuhan Yesus senantiasa untuk
menekankan hakikat amanat hukum-hukum itu secara rohani kepada pendengar-Nya.68
Yesus melawan interpretasi69 para rabi mengenai hukum Taurat. Para rabi
mengajarkan bahwa di dalam hubungan perseorangan antara manusia dan manusia, orang
boleh mempraktikkan hukum pembalasan. Dasar untuk itu mereka ambil dari Kitab Imamat
24:20 dst, tercantum kata-kata yang terkenal: “Mata ganti mata dan gigi ganti gigi”. Tetapi
masalahnya di dalam Kitab Imamat 24 itu bukanlah mengenai hubungan perseorangan,
melainkan mengenai hak pemerintah untuk menghukum. Hak itu sama sekali tak disangkal
oleh Tuhan Yesus, di pandang dari sudut manapun juga. Kepada pemerintah telah diberikan
pedang untuk menghukum.70
Dalam ayat 38 ini, penulis Injil Matius mengutip “mata ganti mata dan gigi ganti gigi”
yang dalam bahasa Yunani ὀφθαλμὸν ἀντὶ ὀφθαλμοῦ καὶ ὀδόντα ἀντὶ ὀδόντος (ophthalmon
anti ophthalmou kai odonta anti adontos). Mata dalam bahasa Yunani ὀφθαλμὸν
(ophthalmon) kata benda maskulin akusatif tunggal berasal dari kata ὀφθαλμός (ophthalmos)
an eye = mata, artinya: mata. Sedangkan dalam terjemahan bahasa Ibrani Mata berasal dari
kata ‘ayin dengan kata-kata searti dalam bahasa-bahasa lain di Asia Barat, dipakai untuk
anggota badan manusia (Kej 3:6), binatang (Kej 30:41), untuk Allah (Mzm 33:18), dan juga
benda-benda (Yeh 1:18; bnd Why 4:6).71 Kata ganti dalam bahasa Yunani ἀντὶ (anti) kata
depan/preposisi genetif berasal dari kata ἀντὶ (anti) instead of, for (gen) = instead of (with
genitive) = daripada, sebagai ganti, alih-alih (dengan genetif), artinya: ganti. ἀντὶ (anti)
merupakan preposisi yang dapat juga berarti “di tempat” atau “sebagai ganti”. Kata ini
menunjukkan penghukuman merupakan pembalasan yang pas. Kata dan dalam bahasa
Yunani καὶ (kai) kata penghubung/konjungsi berasal dari kata καὶ, (kai) and, even, also =
dan, tetapi, juga, yaitu, maupun, bukan hanya, melainkan juga, artinya: dan. Gigi dalam

68
J. Sidlow Baxter, 142.
69
Interpretasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) adalah pemberian kesan,
pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu; tafsiran. https://kbbi.web.id/interpretasi diakses 20 April
2022 pukul 16:11.
70
J. Verkuyl, 55-56.
71
J.D. Douglas, dkk, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II: M-Z, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 2011), 35.
bahasa Yunani ὀδόντα (odonta) kata benda maskulin akusatif tunggal berasal dari kata ὀδούς
(odous) a tooth = gigi, artinya: gigi. Jika semua kata dalam Matius 5:38 digabungkan maka
terjemahan Yunaninya dapat berarti “Kamu dulu mendengar bahwa telah dikatakan: mata
ganti dari mata dan gigi ganti dari gigi.”
Craig S. Keener seorang penulis buku “The IVP Bible Background Commentary: New
Testament Second Edition” menjelaskan latar konteks munculnya “Mata ganti mata dan gigi
ganti gigi” sebagai berikut:
The “eye for an eye” and “tooth for a tooth” are part of the widespread ancient Near
Eastern law of retaliation. In Israel and other cultures, this principle was enforced by a
court and refers to legalized vengeance; personal vengeance was never accepted in the
*law of Moses. The *Old Testament did not permit personal vengeance; David, a
great warrior, recognized this principle (1 Sam 25:33; 26:10-11).72
“Mata ganti mata” dan “gigi ganti gigi” adalah bagian dari hukum pembalasan Timur
Dekat kuno yang tersebar luas. Di Israel dan budaya lainnya, prinsip ini ditegakkan
oleh pengadilan dan mengacu pada balas dendam yang dilegalkan; pembalasan
pribadi tidak pernah diterima dalam hukum Musa. Perjanjian Lama tidak mengizinkan
balas dendam pribadi; Daud, seorang pejuang yang hebat, mengakui prinsip ini (1
Sam 25:33; 26:10-11).

Mata ganti mata dan gigi ganti gigi didasari oleh orang Yahudi dari Keluaran 21:24:
Imamat. 24:20 Ulangan 19:21. Leon Morris berpendapat bahwa Matius menambahkan kata
“dan” untuk menggabungkan kedua anggota tubuh yang ia singgung tetapi selain itu, kutipan
Matius persis sama dengan ayat aslinya. Mata ὀφθαλμὸν (ophthalmon) merupakan organ
tubuh yang sangat penting, dan kehilangan mata jelas akan berdampak besar. Karena itu,
hukuman setimpal harus dijatuhkan kepada orang yang melukai mata. Demikian juga dengan
gigi ὀδόντα (odonta). Dalam kedua kasus ini, hukuman yang dijatuhkan persis sama.73
Yesus mulai pengajaran-Nya dengan mengutip hukum yang tertua di dunia ini “Mata
ganti mata dan gigi ganti gigi”. Hukum itu dikenal dengan nama lex talionis, yaitu hukum
pembalasan.74 Joseph P. Hester dalam bukunya yang berjudul “The Ten Commandments: A
Handbook of Religious, Legal and Sosial Issues” menjelaskan Lex talionis sebagai berikut:
Lex talionis (an eye for an eye). The law of retaliation or principle of equivalence
provided that the punishment should be the same in kind as the offense, “life for life,
eye for eye, tooth for tooth...” (Exodus 21:23ff.). Lex talionis was conceived of as a
primitive form of justice, but marked an advance to a higher form of morality, in
which purely individual hostile acts or revenge against the transgressor were replaced
by acts of socio-ethical retribution performed either by representatives of the group or
by the offended individual under group sanctions. Known also as “blood revenge,” in
which it was the duty of a kinsman to kill the killer of his kin, lex talionis was

72
Craig S. Keener, The IVP Bible Background Commentary: New Testament Second Edition, (Illinois:
InterVarsity Press, 2014), 59.
73
Leon Morris, Tafsiran Pilihan Momentum: Injil Matius, (Surabaya: Momentum, 2016), 133.
74
William Barclay, 274.
showing signs of weakening in more organized and civil societies as the Hebrews
began to provide cities of refuge to protect the accidental killer from death.75
Lex Talionis (mata ganti mata). Hukum pembalasan atau asas persamaan menyatakan
bahwa hukuman harus sama jenisnya dengan pelanggaran, “nyawa ganti nyawa, mata
ganti mata, gigi ganti gigi...” (Keluaran 21:23). Lex talionis dipahami sebagai bentuk
keadilan primitif, tetapi menandai kemajuan ke bentuk moralitas yang lebih tinggi, di
mana tindakan permusuhan atau balas dendam murni individu terhadap pelanggar
digantikan oleh tindakan pembalasan sosial-etika yang dilakukan baik oleh
perwakilan dari kelompok atau oleh individu yang tersinggung di bawah sanksi
kelompok. Dikenal juga sebagai “balas dendam darah,” di mana tugas seorang kerabat
untuk membunuh pembunuh kerabatnya.

“Mata ganti mata dan gigi ganti gigi” adalah prinsip keadilan atau hukum pembalasan
(lex talionis) yang sudah ada sejak zaman dahulu (The Code of Hammurabi, raja Babilonia
kuno 1792-1750 SM).76 Hukum Hammurabi adalah hukum tertulis yang diberlakukan pada
zaman raja Babilonia yang meliputi berbagai aturan hukum menyangkut keluarga,
perdagangan, harta kekayaan, perburuhan, fitnah, masalah sihir, tarif, dan utang-piutang,
yang jumlahnya sekitar 300 peraturan hukum.77 Hukum Hammurabi ini semulanya ditujukan
pada badan atau pemerintah yang berkuasa, khususnya lembaga peradilan ketika mereka
menjalankan proses pengadilannya. Proses pengadilan, yaitu dalam arti proses membuat adil
suatu perkara. Memang dalam zaman Perjanjian Lama prinsip ini diterapkan sebagai prinsip
keadilan atau hukum pembalasan (the law of retaliation) pada waktu terjadi perselisihan atau
perkelahian bahkan pembunuhan dalam masyarakat.78
Pada zaman itu, lex talionis merupakan kemajuan besar. Ini berarti keadilan tanpa
pandang bulu. Tidak peduli setinggi apapun jabatan orang yang bersalah, ia tidak bisa luput
dari hukuman, dan tidak peduli setidak penting apapun orang yang bersalah, ia tidak dapat
dijatuhi hukuman yang lebih besar dari kesalahannya. Lex talionis memisahkan hukuman
dari balas dendam pribadi, meski praktik Yahudi condong mengaitkan keduanya. Berbeda
dari itu Yesus berkata bahwa pengikut-Nya tidak boleh dengan gigih menuntut ganti rugi.
Mereka harus rela melepaskan balas dendam pribadi, seperti yang Taurat ajarkan jika saja
mereka memperhatikannya (Im. 19:17-18; bdk. Ams. 24:29). 79
Lepas dari sifatnya yang buas dan haus darah, hukum lex talionis atau hukum
pembalasan sebenarnya adalah permulaan dari anugerah. Maksud aslinya adalah untuk
membatasi pembalasan atau balas dendam. Pada zaman purba masyarakat berkelompok dan
tersusun berdasarkan suku. Pada zaman itu pembalasan dendam dan penumpahan darah
75
Joseph P. Hester, The Ten Commandments: A Handbook of Religious, Legal and Sosial Issues,
(Washington DC: McFarland & Company, 2003), 250.
76
David I. Santoso, 131.
77
Martin Basiang, The Contemporary Law Dictionary, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016), 77.
78
David I. Santoso, 131.
79
Leon Morris, 133.
merupakan salah satu ciri masyarakat kesukuan seperti itu. Kalau ada seorang anggota suku
yang satu melukai anggota suku yang lain, maka seluruh anggota suku yang terluka akan
bangkit melakukan pembalasan terhadap suku yang pertama tadi. Dan pembalasan yang
diinginkan tidak lain adalah pembalasan penumpahan darah. Hukum lex talionis mengatakan,
bahwa hanya si pelaku saja dan bukan seluruh anggota sukunya! yang harus mendapatkan
hukuman. Dan hukumannya haruslah sama dengan kerusakan yang dilakukannya; tidak boleh
lebih dari itu. Dengan pemahaman seperti itu, maka jelaslah bahwa hukum tersebut bukanlah
hukum yang buas dan haus darah; tetapi sebaliknya malah merupakan hukum yang bersifat
anugerah, di mana jumlah korban dibatasi pada yang memang perlu saja.80
“Mata ganti mata dan gigi ganti gigi” merupakan sebutan yang cukup terkenal untuk
menggambarkan hukum pembalasan. Lex talionis atau hukum pembalasan ini berkembang di
tengah-tengah kehidupan yang saling membalas hal yang sama atau hal serupa kepada orang
lain. Seiring berjalannya waktu, manusia akhirnya mulai menggunakannya untuk kepentingan
sendiri agar memenangkan apa yang mereka tuntut terhadap orang lain. Hukum-hukum yang
ada dalam dunia Perjanjian Lama merupakan sebuah hukum yang menonjol atau memiliki
ciri khusus di antara kepustakaan hukum yang ada di dunia. Lex talionis tidaklah sama
dengan seluruh etika Perjanjian Lama, karena lex talionis hanyalah sebagian kecil dari
seluruh etika Perjanjian Lama. Sehingga ada beberapa hal mengenai lex talionis yang harus
dipahami dengan jelas sesuai dengan situasi dan kondisi.
Lex talionis sebenarnya mengandung beberapa makna, seperti (1) mengandung
anugerah dan kemurahan, (2) sebagai pedoman bagi para hakim dalam memutuskan
hukuman bagi pelaku yang bersalah dan bukan sebagai hak-hak pribadi dalam menghukum
seseorang,
(3) hukum pembalasan ini tidak pernah diberlakukan secara harafiah, (4) memberikan
kemajuan dalam mengatur ganti rugi yang disebabkan oleh pelaku kejahatan, (5) hukum
pembalasan ini memberikan sebuah tempat bagi usaha-usaha memperoleh anugerah,
kemurahan dan keadilan bagi setia orang. Pada dasarnya “mata ganti mata dan gigi ganti
gigi” ini ditujukan agar supaya mencegah adanya sikap balas dendam antar sesama manusia.
3.1.10 TEOLOGI NASKAH
Setelah membahas kerja hermeneutika maka selanjutnya disusun teologi naskah
berdasarkan teks Matius 5:38-48, kelompok kami hanya mengambil satu contoh saja, yang
diuraikan sebagai berikut:
1. Yesus sebagai penggenapan hukum Perjanjian Lama

80
William Barclay, 275-276.
Khotbah di Bukit dimulai dengan Yesus mengucapkan sabda Bahagia, kemudian
Yesus mengajarkan tentang garam dan terang dunia, sesudah itu Yesus mengucapkan
berbagai pandangan tentang hukum Taurat dalam Perjanjian Lama. Yesus telah menegaskan
dalam Matius 5:17 bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para
nabi, melainkan untuk menggenapinya. Dalam Injil Matius, Yesus sering dihubungkan
dengan berbagai kutipan dari Perjanjian Lama.
Hukum “mata ganti mata dan gigi ganti gigi” atau hukum lex talionis, sering dikutip
oleh ahli-ahli Taurat dan orang Farisi pada masa itu untuk menjadi dasar seseorang dapat
membalas dendam secara pribadi. Ahli-ahli Taurat dan orang Farisi telah mengajarkan
demikian dan itulah sebabnya Yesus membantah penafsiran mereka. Perjanjian lama memang
mengatakan “mata ganti mata dan gigi ganti” ayat ini memang seperti itu, tetapi tidak bisa
dipakai untuk mengizinkan pembalasan pribadi karena membalas pembalasan pribadi
bertentangan dengan hukum Kasih. Dari hal inilah maka Yesus sering mengatakan “Kamu
telah mendengar... Tetapi, Aku berkata kepadamu...” terhadap penafsiran dari para ahli-ahli
Taurat dan orang Farisi. Perkataan Yesus ini bukan melawan Firman Tuhan dalam Perjanjian
Lama, tetapi Yesus sedang melawan penafsiran ahli-ahli Taurat dan orang Farisi yang
mengizinkan pembalasan pribadi berdasarkan keadaan pada saat itu.
Ketika seorang Yahudi mengalami perlakuan yang buruk dari orang lain seperti mata
telah dirusak oleh orang lain atau gigi dipatahkan oleh orang lain. Maka pada masa itu, orang
yang dilukai dapat meminta keadilan dalam persidangan dengan meminta orang yang
memiliki otoritas sebagai hakim untuk berhak memberi hukum kepada orang yang bersalah.
Suatu persidangan tidak akan sah tanpa adanya saksi. Oleh karena itu, menurut hukum
dikalangan orang Israel dibutuhkan lebih dari satu orang saksi paling tidak atau dua sampai
tiga orang.

3.1.11 IMPLIKASI BAGI GEREJA MASA KINI


Seiring berjalannya waktu, zaman memang dapat berubah tetapi Firman Allah akan
terus menjadi relevan dalam segala zaman, baik itu di zaman Israel, zaman penulisan kitab,
zaman masa kini maupun zaman yang akan datang. Teks Injil Matius 5:38-48, sangat tepat
untuk menjadi cerminan bagi gereja masa kini dan kehidupan orang Kristen.
1. Hukum balas dendam merusak hubungan antar sesama manusia
Kehidupan orang Yahudi memang dipengaruhi oleh hukum Taurat, namun dalam
prakteknya mereka sering dipengaruhi oleh penafsiran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi mengenai hukum Taurat secara lisan (berdasarkan adat istiadat) yang telah mereka
tambah dengan berbagai aturan yang sangat mengikat yang berjumlah 613 halakha. Dalam
Matius 5:38 Yesus berkata bahwa mereka telah mendengar hukum “mata ganti mata dan gigi
ganti gigi” atau hukum pembalasan (lex talionis). Sebenarnya hukum lex talionis itu
diberikan dalam konteks hukum pengadilan. Pengadilan itu harus memberikan hukuman yang
setimpal dengan kesalahan orang yang diadili. Tujuan hukum lex talionis ini diberikan supaya
jangan sampai terjadi balas dendam yang bersifat pribadi karena itulah maka diberikan aturan
semacam hukum pengadilan. Hukum yang diberikan oleh pengadilan itu harus adil atau
setimpal dengan kesalahan yang diperbuat, jangan terlalu berat ataupun jangan terlalu ringan
harus seimbang antara kesalahan dan hukuman yang diberikan.
Yesus tidak menghendaki kehidupan orang percaya untuk mempraktekkan sikap balas
dendam. Keadilan sesungguhnya hanya dapat dinyatakan oleh Allah dalam diri Yesus Kristus
yang telah terlebih dahulu menunjukkan keadilan dan kasih. Gereja masa kini seharusnya
dapat memberikan ajaran yang benar dan tepat mengenai Firman Tuhan agar tidak terjadi
kesalahpahaman seperti yang telah dilakukan oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
dalam menafsirkan hukum Taurat. Tantangan gereja masa kini memang semakin dipengaruhi
oleh masalah-masalah pribadi yang kemudian memberikan dampak yang besar dalam
persekutuan anggota jemaat. Seringkali persoalan-persoalan kecil dan sepele dapat memicu
konflik yang bermuara pada kekerasan dan menimbulkan rasa balas dendam. Tak dapat
dipungkiri bahwa realita kehidupan masa kini sering memegang prinsip balas dendam. Dalam
realita yang demikian, cara-cara kekerasan dijumpai sebagai bentuk akhir dari penyelesaian
konflik antar sesama manusia. Bahkan ada ungkapan kebaikan dibalas dengan kebaikan tetapi
kejahatan harus dibalas dengan kejahatan pula. Yesus menegaskan dengan jelas bahwa
kehidupan orang percaya harus dapat menunjukkan sikap yang berbeda dengan kehidupan
orang lain yakni memancarkan kasih. Di dalam keluarga maupun dalam masyarakat
seharusnya mengedepankan kasih agar semakin menyadari bahwa sikap balas dendam tidak
akan menyelesaikan masalah, namun hanya merusak hubungan antar sesama manusia.
BAB IV
KESIMPULAN

Kritik historis adalah metode penafsiran yang memperhatikan keadaan konteks


historis dari suatu teks. Dari setiap langkah-langkah kritik historis memberikan suatu
gambaran tentang penyelidikan yang mendalam dalam memahami suatu teks yang hendak
ditafsirkan. Dalam kerja tafsir menggunakan kritik historis bermaksud untuk menyingkapkan
teks-teks Alkitab yang sulit dimengerti oleh para pembaca modern dengan menyelidiki
konteks sejarah di balik teks tersebut. Menggali makna dari suatu teks menggunakan kritik
historis, sangatlah diperlukan bantuan dari berbagai sumber-sumber sejarah seperti latar
belakang kitab, kamus, ensiklopedia, terjemahan-terjemahan alkitab, buku pedoman
penafsiran dan lain-lain seperti yang telah diuraikan di atas.
Kegunaan kritik historis memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya.
Kelebihan kritik historis antara lain; memperhatikan aspek sejarah yang mencakup pada
aspek kehidupan pada zaman itu, membuka jalan pembaca modern tentang makna teks
Alkitab, memahami makna teks secara mendalam tanpa mengeluarkan makna teks yang
terkandung di dalamnya. Sedangkan kekurangannya antara lain; seringkali analisa sejarah
bersifat dugaan, kesulitan menemukan sejarah sebenarnya dibalik teks.
Metode kritik historis digunakan untuk menafsirkan teks Matius 5:38-48 dan
memberikan makna implikasi bagi Gereja masa kini. Yesus menampilkan sebuah pemaknaan
yang seharusnya dilakukan dalam memahami ajaran hukum Taurat. Yesus memberikan
pengajaran dalam Matius 5:38-48 dengan menggambarkan berbagai ilustrasi kehidupan
sehari-hari tentang sebuah ajaran hidup berdasarkan kasih. Yesus menuntut kebenaran yang
lebih benar yang melampaui standar kehidupan hukum Yahudi. Yesus datang bukan untuk
meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi melainkan untuk menggenapinya (Mat 5:17).
Yesus menginterprestasi pengajaran ahli-ahli Taurat dan orang Farisi terhadap hukum Taurat
yang membebankan. Dalam kehidupan pada masa itu terdapat ajaran mengenai “mata ganti
mata dan gigi ganti gigi” atau hukum pembalasan (lex talionis) di mana kekerasan dilawan
dengan kekerasan.
Kasih yang dijabarkan oleh Matius 5:38-48 berbicara mengenai kasih kepada musuh
dan berdoa bagi orang yang menganiaya. Kasih meruntuhkan tembok-tembok permusuhan,
pembalasan pribadi, pertikaian, keangkuhan yang terjadi dalam kehidupan di dunia ini.
Tatanan hidup demikian harus nampak dalam kehidupan murid-murid dan pengikut-Nya
termasuk dengan warga gereja masa kini, agar benar-benar menjadi anak-anak Bapa di sorga.
DAFTAR PUSTAKA

Abineno, J. L. Ch. Khotbah di Bukit: Catatan tentang Matius 5-7. Jakarta: Gunung Mulia,
2017.

Baker, David L. Satu Alkitab Dua Perjanjian. Jakarta: Gunung Mulia, 2019.

Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Matius pasal 1-10. Jakarta: Gunung
Mulia, 2017.

Basiang, Martin. The Contemporary Law Dictionary. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2016.

Baxter, J. Sidlow. Menggali Isi Alkitab 3: Matius sampai dengan Kisah Para Rasul. Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2012.

Berkhof, H dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.

Drewes, B. F. Satu Injil Tiga Pekabar: Terjadinya dan Amanat Injil Matius, Markus, dan
Lukas. Jakarta: Gunung Mulia, 2018.

Grannt, Robert M dan Bavid Tracy. Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1988.

Groenen, C. OFM. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanasius, 1984.

Guthrie, Donald. Pengantar Perjanjian Baru, Volume 1. Surabaya: Penerbit Momentum,


2012.

Hakh, Samuel B. Perjanjian Baru: Sejarah, Pengantar dan Pokok-pokok Teologisnya.


Bandung: Bina Media Informasi, 2010.

Hayes, Jhon H dan Carl R. Holladay, Biblical Exegesis. Atlanta: Jhon Knox Press, 1982.
Hayes, John H. dan Carl R. Pedoman Penafsiran Alkitab. Jakarta: Gunung Mulia, 2015.
Hester, Joseph P. The Ten Commandments: A Handbook of Religious, Legal and Sosial
Issues. Washington DC: McFarland & Company, 2003.

Hunter, A. M. Yesus Tuhan dan Juruselamat. Jakarta: Gunung Mulia, 1887.


Keener, Craig S. The IVP Bible Background Commentary: New Testament Second Edition.
Illinois: InterVarsity Press, 2014.

Kingsbury, Jack D. Injil Matius sebagai Cerita: Berkenalan dengan Narasi Salah Satu Injil.
Jakarta: Gunung Mulia, 2019.

Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Alkitab dalam Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Leks, Stefan. Tafsir Injil Matius. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Lumintang Stweri I. Theologia Abu-abu Pluralisme Agama. Malang:Gandum Mas, 2004.

Marxsen, Willi. Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis terhadap Masalah-


masalahnya. Jakarta: Gunung Mulia, 2016.

Morris, Leon. Tafsiran Pilihan Momentum: Injil Matius. Surabaya: Momentum, 2016.

Osborne, Grant R. Spiral hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab.


Surabaya: Momentum, 2018.

Santoso, David I. Theologi Matius: Intisari dan Aplikasinya, Malang: Literatur SAAT, 2009.

Saragih, Agus Jetron. Exegese Naratif. Medan P3M STT. AS, 2006.

Sitompul, A.A dan Ulrich Beyer. Metode Penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Sembiring, M. K., et, (ed), Pedoman Penafsiran Alkitab: Injil Matius. Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia, 2008.

Subagyo, Andreas B. Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Yayasan Kalam
Hidup, 2004.

Suharyo, I. Pengantar Injil Sinoptik. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Sutanto, Hasan. Hermeneutik Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab. Malang Literatur Saat,
2007.

Tenney, Merrill C. Survei Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 2017.

Verkuyl, J. Khotbah di Bukit. Jakarta: Gunung Mulia, 2002.


Wenham, John. Christ and the Bible. Amerika serikat: Wipf & Stock Publishers, 2009.

DAFTAR REFERENSI

Alkitab Terjemahan Baru, 2008. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Browning, W. R. F. Kamus Alkitab: a dictionary of the Bible. Panduan dasar ke dalam kitab-
kitab, tema, tempat, tokoh, dan istilah-istilah alkitabiah. Jakarta: Gunung Mulia, 2011.

Douglas, J.D. dkk. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II: M-Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi
Bina Kasih, 2011.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online). https://kbbi.web.idonlinterpretasi diakses 20


April 2022 pukul 16:11.

SUMBER ELEKTRONIK

Bible Works 8, BGT. Bible Works Greek LXX.

Bible Works 8, ITB. Terjemahan Baru (Indonesian).

Bible Works 8, NIV. New International Version (1984) (US).

Bible Works 8, NKJV. New King James Version (1982) with Codes

Anda mungkin juga menyukai