Kita mendengar kata sejarah, saya langsung teringat dengan ucapan yang umum atau
lazim kita dengar yang berbunyi, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
pahlawannya.” Walaupun kalimat atau ungkapan ini tidak berkaitan langsung dengan topik
bahasan kita, tetapi makna yang terkandung dalam ungkapan itu mempunyai implikasi yang
luas bagi pembicaraan kita di sekitar sejarah teologi biblika, utamanya teologi Perjanjian Lama.
Inti dari semuanya itu ialah pertanyaan klasik yang juga sering kita dengar yaitu: “apa yang kita
pelajari dari sejarah”. Karena kita yakin sejarah bukanlah peristiwa yang terjadi secara
kebetulan, karena sejarah adalah peristiwa yang terjadi di masa lampau dengan tujuan
mengajarkan sesuatu kepada generasi berikutnya. Karena itu tulisan yang memaparkan sejarah
pergumulan teologi biblika, khususnya teologi Perjanjian Lama dapat menolong kita untuk
melihat dan menemukan makna dari perjalanan sebuah sejarah.
Posisi Teologi Biblika dalam sejarah disiplin ilmu teologi. Theology as the mother of
the science
1. Teologi Sistematika / systematic Theology (dogmatika)
• Doktrin tentang Alkitab
• Doktrin tentang Allah
• Doktrin tentang Kristus
• Doktrin tentang keselamatan
• Doktrin tentang Roh Kudus
• Doktrin tentang gereja
• Doktrin tentang malaikat
• Doktrin tentang akhir zaman
• Etika
• Apologetika
• Theologia kontemporer
• Theologia kontekstual
2. Teologi Biblika
A. Teologi Perjanjian Lama
B. Teologi Perjanjian Baru
• Eksegese
• Hermeneutika
• Arkeologi
• Filologi
ALKITAB
THEOLOGI
BIBLIKA
Perlu dicatat bahwa tidak pernah dalam sejarah Teologi Biblika hanya dalam waktu
singkat yaitu (1978-1981) dihasilkan begitu banyak teologi PL.
26. C. Westermann, Theologie des AT in Grundzugen (1978)
27. Ronald E. Clements, OT Theology: A Fresh Approach (1978)
28. Walter C. Kaiser, Toward an OT Theology (1978)
29. E. A. Martens, God’s Design: A Focus on OT Theology (1981)
30. W. A. Dyrness, Themes in OT Theology (2979)
31. Samuel Terrien, The Elisive Presence: Toward A New Biblical Theology (1978)
32. B. S. Childs, OT Theology in a Canonical Context (1985)
33. Thomas Edward McComiskey, The Covenants of Promise (1985)
34. Dua karya tentang sejarah dan perkembangan disiplin Theology PL adalah Henning
Graf Reventlow, Problem of OT Theology in the Twentieth Century (1985). John
H. Hayes dan Frederick Prussner, OT Theology: It’s History dan Development
(1985).
35. Paul D. Hanson, The People Called: The Grouth of the Community in the Bible
(1986)
36. Walter Bruegemann, Old Testaments Theology (1992)
37. Samuel E. Balentine, Prayer in the Hebrew Bible: The Drama of Divine-Human
Dialogue (1993).
38. Rolf P. Knierin, The Task of The Old Testament Theology (1995)
PENDEKATAN DALAM
THEOLOGIA PERJANJIAN LAMA
Walaupun para pakar Perjanjian Lama mengusulkan pendekatan yang berbeda dalam
mempelajari dan memunculkan teologi Perjanjian Lama. Tetapi secara umum mereka
menerapkan pola pendekatan yang tidak terlalu jauh berbeda. Lain halnya dengan metodologi,
rupanya para pakar Perjanjian Lama menggunakan metodologi yang berbeda. Secara umum
paling sedikit ada tiga metode yang diterapkan oleh para pakar untuk menyusun teologi
Perjanjian Lama.
1. Teologi Alkitabiah harus dipahami sebagai sebuah disiplin yang bersifat historis-teologis.
Seorang teolog yang terlibat dalam penyusunan teologia PL maupun PB harus mengakui
bahwa tugasnya adalah untuk menemukan dan menguraikan apa makna asli dari ayat dan
apa arti ayat tersebut untuk masa kini. Ia harus berusaha untuk menghilangkan kesenjangan
yang menjembatani rentangan waktu antara masanya dengan masa para penulis Alkitab. Ia
harus meyakini bahwa naskah-naskah Alkitab adalah saksi-saksi dari maksud Allah yang
kekal bagi Israel dan bagi dunia sebagaimana dinyatakan lewat sejarah, memerlukan suatu
perpindahan dari tingkat penelitian sejarah menuju kepada tingkat penelitian teologis.
2. Bila teologi Alkitabiah dipahami sebagai sebuah disiplin yang bersifat historis-teologis,
maka dengan sendirinya metodenya yang tepat harus bersifat historis dan teologi sejak awal.
Sebuah teolog PL memerlukan eksegese yang berlandaskan pada prinsip-prinsip dan
langkah-langkah yang baik. Sebaliknya eksegese membutuhkan teologi PL yang dapat
mengkristalisasikan hasil eksegese. Tanpa teologi PL pelaksanaan penafsiran eksegese
mudah memasuki bahaya yaitu memisahkan ayat-ayat dari keseluruhan PL. Sebaliknya,
suatu eksegese yang teliti, tajam dan benar senantiasa dapat secara kritis memeriksa teologi
PL. Namun jangan diasumsikan bahwa keduanya merupakan prosedur yang berurutan.
Hasel menyetujui H.J. Kraus yang telah meminta adanya suatu proses penafsiran yang
bersifat teologi Alkitabiah yang didalamnya eksegese sejak awal berorientasi pada teologi
Alkitabiah.
Bila kita menambahkan kepada aspek ini bahwa metode penelititan yang memadai dan
tepat yang membahas ayat-ayat Alkitab perlu mempertimbangkan kenyataan mengenai
Allah dan tindakanNya memasuki sejarah, karena ayat Alkitab memberi bukti tentang
adanya dimensi yang sukar dimengerti dalam sejarah, maka kita memiliki suatu dasar yang
diatasnya penafsiran historis dan teologis dapat saling bergandengan tangan sejak awal
tanpa perlu dipisahkan secara dibuat-buat menjadi proses yang berurutan.
Penafsiran historis-teologis bila ingin dipakai untuk mengerti semua lapisan
pengalaman sejarah dan untuk menembus sampai kepada makna lengkap dari ayat serta
kenyataan yang dinyatakan di dalamnya, harus dibuat dengan iman. Oleh karena itu, kita
harus menegaskan bahwa bila penafsiran berusaha memahami pernyataan-pernyataan dan
kesaksian-kesaksian yang menunjuk kepada penyingkapan diri Allah sebagai Tuhan atas
waktu dan peristiwa, Tuhan yang telah memilih untuk menyatakan diriNya dalam peristiwa-
peristiwa dengan tanggal tertentu dari sejarah manusia lewat berbagai tindakan dan firman
tentang penghukuman dan keselamatan, maka proses pemahaman hal-hal tersebut haruslah
bersifat historis dan teologis sejak awal agar dapat memahami sepenuhnya realitas lengkap
yang sudah terungkap.
3. Seorang teolog biblika yang terlibat dalam teologi PL harus menunjukkan pokok-pokok
pendapatnya terlebih dahulu sebagai usahanya untuk menyusun suatu teologia PL. Suatu
teologia PL pertama-tama merupakan sebuah rangkuman penafsiran dan penjelasan tentang
kitab-kitab atau sekelompok kitab dari PL. Ia perlu menemukan teologi dari kitab PL dalam
bentuk terakhirnya. Ia tidak mensistematiskan apa yang tidak dapat disistematiskan.
4. Penyajian teologi-teologi dari kitab-kitab dalam PL. Sebaiknya tidak mengikuti urutan
kitab-kitab tersebut baik dalam urutan kanon Ibrani ataupun kanon LXX, tetapi menurut
urutan kronologisnya.
5. Sebuah teologi PL tidak sekadar berusaha untuk mengetahui teologi dari berbagai kitab,
tetapi berusaha juga untuk mengumpulkan dan menyajikan tema – tema utama PL. Teologi
PL harus membiarkan tema-tema, motif-motif dan konsepsi-konsepsinya dibentuk oleh PL
sendiri.
6. Sasaran terakhir dari teologi PL ialah menunjukkan ada atau tidaknya sebuah kesatuan inti
yang mengikat berbagai teologi serta tema-tema, konsepsi-konsepsi dan motif-motif
lognitudinal. Tujuan akhir dari suatu teologi PL ialah menarik kesatuan inti yang
tersembunyi itu dari persembunyiannya sebanyak mungkin dan membuatnya dapat dilihat.
Ini benar-benar merupakan usaha yang berat.
7. Seorang Teolog Biblika memahami Teologi PL sebagai lebih luas daripada Teologi kitab
suci Ibrani. Teologi PL menunjuk kepada konteks yang lebih luas dari Alkitab yang
didalamnya PB merupakan salah satu bagian. Sebuah teologi PL yang integral harus
menunjukkan hubungannya yang mendasar dengan PB atau Teologi PB.
Covenant Theology yang diusulkan
Oleh Walter Eichrodt
Diantara sekian banyak pakar teologi perjanjian lama, Walter Eichrodt adalah salah satu
dari sekian banyak sarjana yang hasil karyanya menjadi bahan yang hangat didiskusikan para
pakar. Karya besar Eichrodt tersebut dituangkan dalam sebuah bukunya yang berjudul
“Theologie des Alten Testaments” yang diterbitkan pada tahun 1933 dan kemudian
diterjemahkan oleh Baker dengan judul “Old Testament Theology”. Dalam bukunya, secara
umum Eichrodt mengusulkan bahwa studi teologi perjanjian itu seharusnya bukan hanya
menyoroti tentang the deskriptif task-nya saja, tetapi juga harus menggunakan metode yang
disebutnya sebagai “Historico-scientific methods”. Untuk itu Eichrodt mengatakan bahwa
tugas utama dari suatu studi tentang teologi perjanjian lama ialah : “to construct a complete
picture of the Old Testament in teh realm of belief”. Karena itu Eichrodt mengusulkan bahwa
historical research itu harus melampaui historical peresentation. Untuk itu menurut Eichrodt
kita harus menggunakan yang ia namakan “The Cross-section” atau yang dikenal sebagai ide
sentral yang mewakili semua unsur dalam teologi perjanjian lama. Inilah yang nantinya dapat
menolong ktia untuk memilah-milah apa dan mana bagian dari perjanjian lama yang paling
penting dan mana yang tidak penting. Dengan cara demikian kita dapat melihat seluruh struktur
dan prinsip-prinsip utama dari agama orang Israel. Walaupun Eichrodt mengaku bahwa ada
banyak cross-section yang ada dalam perjanjian lama, “Covenant” adalah merupakan motif
yang dapat diambil sebagai mewakili dan mempersatukan teologi perjanjian lama. Berbicara
tentang covenant, Eichrodt mengaku bahwa memang disana terdapat banyak covenant dalam
perjanjian lama, tetapi diantara semuanya itu covenant antara Allah dengan umatNya Israel
yang dikenal sebagai Sianitic covenant adalah yang paling fundamental, karena menurut di
perjanjian itu paling tidak memiliki tiga dimensi penting yaitu :
1. Secara historis perjanjian Sinai merupakan dasar dan pekembangan Israel serta agama
mereka.
2. Secara teologis Perjanjian Sinai berfungsi sebagai pengevaluasian dan pemersatu dari
ekspresi iman orang Israel yang bervariable.
3. Secara struktur perjanjian Sinai mengacu pada iman orang Israel hari ini yang mempunyai
makna teologi yang penting.
Karena itu Eichrodt dalam bukunya mengusulkan kerangka teologi dalam perjanjian lama itu
sebagai berikut :
Bagian I : Etimologi dari kata covenant disini ia menjelaskan arti dari kata serta konsep
perjanjian, sejarah, serta penggunaannya dalam kitab suci Ibrani.
Bagian II : Hukum perjajian. Bagian ini dipisahkan menjadi dua bagian yaitu : apa yang
ia sebutkan sebagai hukum secular (the civil law) dan torah, sedangkan
bagian berikutnya ialah berbicara dengan kultus, berhubungan dengan makna
dari kegiatan kultus tersebut baik secara umum maupun secara khusus dengan
bangsa Israel. Bagian - bagian itu adalah meliputi tempat - tempat sacral,
obyek - obyek sacral, masa dan tindakan serta perbuatan sacral. Serta
ditambah dengan aktifitas-aktifitas ritual sesuai dengan yang diperintahkan
Yahwe kepada umat - umatNya Israel seperti kurban dan lain sebagainya.
Bagian III : Nama dari Allah perjanjian. Nama - nama Allah ini dikupas berdasarkan
pengertian bahasa semitik, serta pengertian yang baru dimiliki oleh Israel
tentang Allah mereka, Kel. 3:14; 6:3.
Bagain VI : Natur dari Allah perjanjian. Pembahasan ini dibagi dalam dua bagian
besar yaitu : berbicara tentang affirmasi dari ke – Illahi - an Allah serta
pribadiNya, dan Roh serta ke-Esa-annya; yang kedua berbicara tentang
affirmasi yang berhubungan dengan aktivitas-aktivitas drai keIllahiannya
dengan gambaran perjanjian lama tentang nroma-norma moral etik.
Bagian V : Instrumen - instrumen perjanjian. Bagian ini agaknya lebih luas, yaitu
menyangkut beberapa aspek seperti : pemimpin-pemimpin yang karismatik
yaitu Musa sebagai The founder of religion, para nabi, para nazir dan
para hakim, termasuk didalamnya fungsi dan peranan yang dimainkan oleh
para pemimpin tersebut dalam perjalanan sejarah bangsa Israel. Yang kedua
ialah berhubungan dengan para pemimpin yang diangkat seperti para imam
dan lembaga keimanan serta tugas dan peranan para imam tersebut
sebagai pelaksana kegiatan ritual.
Bagian VI : Pelanggaran perjanjian dan resikonya. Hukuman yang dilaksanakan adalah
dalam rangka merestorasikan covenant, serta pembaharuan terhadap covenant
tersebut.
Bagian VII : Kegenapan perjanjian. Ini menyoroti pentingnya pengharapan tentang
keselamatan bagi perjanjian lama, dan juga bagi doktrin tentang Allah, dasar-
dasar dari pengharapan perjanjian lama serta pengaruh dari unsur-unsur mitos,
kultus nasionalis dan inti agama. Disamping itu juga memuat tentang prediksi
dan pengharapannya.
Ringkasan Periode Historis Theologia Perjanjian Lama
Berdasarkan Methode Pendekatan
Walter C. Kaiser
Dalam upaya kita mengerti tentang wahyu serta rencana penebusan Allah, maka kita
harus mulai riset kita dari mana dan di mana Allah memulainya dalam sejarah. Untuk itu Walter
Kaiser membagi urutan peristiwa-peristiwa sejarah Kitab Suci itu dalam 11 periode yang terdiri
dari :
Heilgeshichte adalah merupakan isu sentral dan kritikal dalam teologia Von Rad karena
topik inilah yang membedakan teologinya dengan teologi lainnya. Sebab menurut dia
heilgeshichte atau saving history adalah merupakan sifat dasar yang unik dari iman Israel.
1. Terminologi
a. Berit Covenant : a solemnpromise made binding by oath, wich may be either a
verbal form or a symbolic action.
2. Studi tentang perjanjian Sinai dalam diskusi sarjana kontemporer.
a. Teori Madenhall. Teori tentang persamaan bentuk antara perjanjian Sinai dengan
The Ancient Near East Treaty Form.
1. Preamble (muka dimah)
2. Historical Pologue (latar belakang sejarah)
3. Stipulation (ketentuan / persyaratan)
4. Treaty Documents (dokumen perjanjian)
5. Treaty Witness (saksi-saksi perjanjian)
6. Curse and blessing (kutuk dan berkat)
b. Mederith Kline memperkenalkan tentang persamaan bentuk treaty masyarakat timur
dekat kuno dengan kitab Ulangan.
c. Perjanjian antara Yosua dan orang Gibeon, Yosua 9. (Suzerin and Bazal Kings)
3. Perjanjian Sinai adalah perjanjian antara Allah dengan bangsa Israel di gunung Sinai
dengan perantaraan nabi Musa. (Ulangan 19)
4. Pengertian Israel tentang perjanjian Sinai
a. Yeremia : Perjanjian Sinai sebagai perjanjian perkawinan antara Allah dengan
umatNya Israel.
Yer. 31:31-32 – Ba’alti = tuan atau suami.
Yer. 2:2 – “I was a husband to them”
b. Yehezkiel – memandang perjanjian Sinai sebagai wadah dimana Israel menjadi istri
Yahwe.
Yeh 16:6-8
“I sproud the corner of mya garment over you and covered your nakedness” (v. 8).
Menghamparkan kain adalah tradisi yang biasanya dilakukan oleh orang laki-laki
Israel sebagai tanda bersedia mengambil seorang wanita sebagai istri (bandingkan
dengan kisah Ruth dan Boaz – Rut 3:9)
c. Yesaya – Yesaya dengan jelas mengungkapkan bahwa Yahwe adalah suami dari
Israel. Yesaya 54:5 – “For your maker is your husband”.
Walaupun Yesaya tidak dengan jelas menyebutkan tentang Sinai sebagai peristiwa
perkawinan Yahwe dengan Israel, tetapi secara implisit itu menunjukkan kepada
hubungan Allah dengan Israel dalam konteks perjanjian.
Pemilihan Israel Di soroti Dari studi kata
Terminologi
Secara umum pakar perjanjian lama sepakat bahwa “Bahar” adalah satu-satunya kata
dalam bahasa Ibrani yang secara tepat menjelaskan arti serta konsep pemilihan Israel. Walaupun
ada konsesi umum tentang peandangan tersebut diatas, sebagian pakar perjanjian lama
meragukannya dengan mengatakan bahwa kata “Bahar” tidak dapat dianggap satu-satunya
kata yang dapat menjelaskan ide tentang pemilihan Israel.
Riset yang dilakukan oleh para pakar perjanjian lama mengembangkan studi filologi
yang menyoroti penggunaan dan perkembang kata-kata, frase, serta idiom dalam bahasa Ibrani
untuk mengerti tentang ide dan konsep tentang pemilihan Israel, selain dari itu studi ini
memperhatikan tentang latar belakang kehidupan atau life setting bangsa Israel yang
diungkapkan dengan berbagai bentuk terminology serta metapora yang bisa mengungkapkan
konsep pemilihan Israel. Karena menurut para pakar tersebut ide atau konsep tentang pemilihan
Israel sudah berakar secara mendalam dalam kehidupan bangsa Israel sejak lama. Hasil temuan
ini membantah pandangan sebagian pakar perjanjian lama yang mengatakan bahwa ide tentang
pemilihan bangsa Israel itu tidak pernah muncul sebelum kitab Ulangan. Mengapa demikian?
Karena ide tentang pemilihan bangsa Israel tidak pernah akan terlepas dari ketiga tema utama
kitab suci yang berkaitan dengan sejarah bangsa Israel yaitu : pemilihan, penolakan dan
restorasi. Pada saat yang bersamaan konsep ini tidak dapat dipisahkan dari konsep tentang
perjanjian Allah dengan Israel.
Istilah pemilihan.
Berdasarkan life setting (Zit Im Leben) serta metapor yang digunakan oleh penulis kitab
suci, maka ide tentang pemilihan Israel paling tidak ada tiga kata dalam bahasa Ibrani yang
mengungkapkan tentang pemilihan, yaitu :
1. “Bahar” artinya – memilih – to choose
2. “Lakah” artinya – mengambil – to take
3. “Ebed” artinya – Hamba – servant
Karena kasih karuniaNya Allah telah memilih Israel sebagai suatu bangsa dalam bentuk
perjanjian Sinai, sehingga Israel menjadi bangsa yang kudus, imamat kerajaan dan harta milik
kesayangan Allah. Karena itu ketidak setiaan Israel adalah dasar utama bagi penolakan Allah
terhadap Israel. Kalau dalam pemilihan Israel kitab suci menggunakan beberapa terminology
yang berlawanan dengan terminology pemilihan. Sebagaimana ide tentang pemilihan
diungkapkan dalam bentuk metapor, maka ide tentang penolakan juga diungkapkan dalam
bentuk metapor yang dapat terlihat dari beberapa metaor di bawah ini :
1. Yahwe menceraikan Israel.
Kita telah mempelajari bahwa ide tentang pemilihan Israel diungkapkan dalam bentuk
metapor perkawinan antara Allah dengan Israel, maka penolakan Israel diungkapkan dalam
bentuk perceraian.
• Hosea 2:1 Frase “She is not my wife, and I am not her husband” ini adalah semacam
pernyataan dari seorang suami istri sudah tidak ada lagi antara Yahwe dengan Israel,
pernyataan cerai.
• Yer. 3:8 “I sent her away and given her write of divorce”.
• Yer. 50:1 “Where is your mother’s certificate of divorce”.
• Hos. 2:9 “Lest I stripe her nakedness”.
• Yer. 13:22; Yehezkiel.
• Hos. 1:9 frase “you are not My people” adalah rejection formula untuk menyatakan
bahwa yang bersangkutan sudah tidak lagi terikat dalam pernikahan, karena status Israel
sebagai umat terkait dengan keberadaannya sebagai istri Yahwe dalam pernikahan Sinai.
Formula yang sama juga terdapat orang Babel.
Kalau dalam pemilihan dan penolakan Yehuda, kitab suci menggunakan beberapa
terminology untuk mengungkapkan ide tersebut maka dalam restorasi kitab suci mengguankan
terminology yang pernah dipakai sebelumnya. Inti dari restorasi adalah memulihkan,
memperbaharui dan konsilidasi. Restorasi berarti memulihkan Yehuda ke dalam posisinya yang
semula karena hubungan yang sebelumnya telah terpisah antara Allah dengan umatNya Israel.
Nabi Yeremia mengungkapkan restorasi ini dalam konteks pembaharuan perjanjian yang
akan dibuat oleh Yahwe dengan umatNya.
Yeremia 31:31-34, Aku akan membuat perjanjian yang baru....”the new covenant” diartikan
sebagai sesuatu yang baru dalam konteks restorasi.
Yeremia 31 “Saatnya telah tiba....” menunjukkan pada hari restorasi Israel.
Yeremia 50:5 Perjanjian yang sama ini dinamakan “Perjanjian yang kekal” (Berit Olam).
Yehezkiel 37:26, perjanjian ini disebut sebagai “Perjanjian damai sejahtera” (Berit Syalom).
Samuel E. Balentine, (1993) “Prayer in the Hebrew Bible : The Drama of Divine Human
Dialogue” adalah murid dari Brueggemann, dan Brueggemann jugalah yang menulis pengantar
untuk buku yang dikarang Balentine.
Menurut Balentine, doa adalah sebuah dialog yang terjadi antara manusia dengan yang
ilahi yang didasarkan pada relasi yang baik.
Kalau selama ini kita selalu melihat kitab-kitab syair atau mazmur adalah kitab-kitab
yang kaya dengan doa, Balentine rupanya lebih jeli melihat kitab suci. Ia melihat bahwa Kitab
Suci diawali dengan doa, karena menurut Balentine frase “In the Beginning” (pada mulanya)
adalah frase tentang doa.
With these word the Hebrew Bible presents a confessional perspective that shapes all
that follows “In the Beginning God”. Whatever criteria one uses the devine prayer, prayer is
also, perhaps especially, shaped by this same confession. All prayer is directed to God. (hal.
33).
Balentine memunculkan doa dari tokoh-tokoh penting dalam kitab suci seperti doa
Yakub (Kej. 32:9-12), doa Elia (Raja 17:17-24), doa Daud (Taw. 29:10-19), doa Salomo ( 1
Raja 3: 4-15), doa Zedekia untuk intervensi Ilahi (2 Raja 19:15-19; 20:2-3). Doa Daniel (Daniel
9:4-19), doa Ratapan Yeremia (Ratapan 1:18-2:6).
Teologi Tentang Selingkuh (whoredom)