Anda di halaman 1dari 37

Kerangka Sejarah tentang Relasi Antara Teologi Biblika

Dengan Disiplin Ilmu Teologi Lainnya

Kita mendengar kata sejarah, saya langsung teringat dengan ucapan yang umum atau
lazim kita dengar yang berbunyi, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
pahlawannya.” Walaupun kalimat atau ungkapan ini tidak berkaitan langsung dengan topik
bahasan kita, tetapi makna yang terkandung dalam ungkapan itu mempunyai implikasi yang
luas bagi pembicaraan kita di sekitar sejarah teologi biblika, utamanya teologi Perjanjian Lama.
Inti dari semuanya itu ialah pertanyaan klasik yang juga sering kita dengar yaitu: “apa yang kita
pelajari dari sejarah”. Karena kita yakin sejarah bukanlah peristiwa yang terjadi secara
kebetulan, karena sejarah adalah peristiwa yang terjadi di masa lampau dengan tujuan
mengajarkan sesuatu kepada generasi berikutnya. Karena itu tulisan yang memaparkan sejarah
pergumulan teologi biblika, khususnya teologi Perjanjian Lama dapat menolong kita untuk
melihat dan menemukan makna dari perjalanan sebuah sejarah.
Posisi Teologi Biblika dalam sejarah disiplin ilmu teologi. Theology as the mother of
the science
1. Teologi Sistematika / systematic Theology (dogmatika)
• Doktrin tentang Alkitab
• Doktrin tentang Allah
• Doktrin tentang Kristus
• Doktrin tentang keselamatan
• Doktrin tentang Roh Kudus
• Doktrin tentang gereja
• Doktrin tentang malaikat
• Doktrin tentang akhir zaman
• Etika
• Apologetika
• Theologia kontemporer
• Theologia kontekstual
2. Teologi Biblika
A. Teologi Perjanjian Lama
B. Teologi Perjanjian Baru
• Eksegese
• Hermeneutika
• Arkeologi
• Filologi

3. Teologi historis (historical theology)


• Sejarah Gereja mula-mula
• Sejarah Gereja Pertengahan
• Sejarah Gereja Reformasi
• Sejarah Gereja Asia
• Sejarah Gereja Indonesia

4. Teologia Praktika (Practical theology)


• Misiologi
• Pendidikan Kristen
• Homiletika
• Konseling
• Liturgika
SEJARAH PERKEMBANGAN TEOLOGIA BIBLIKA

ALKITAB

THEOLOGI

HISTORIKA SISTEMATIK PRAKTIKA


A

BIBLIKA

TEO. P.L. TEO. P. B.


Latar Belakang Historis

Secara sederhana teologi Biblika memiliki dua pengertian, yaitu:


a. Teologi yang semua doktrinnya berdasar dan bersumber pada Kitab Suci.
b. Teologi yang didukung Alkitab

1. Teologi Sebagai Pendukung Teologi Sistematika


Zaman ini dikenal sebagai waktu lahirnya benih-benih disiplin ilmu teologi
biblika. Istilah “Teologi Biblika” untuk pertama kali dipakai oleh Wolfgang Jacob
Christmann, 1629, istilah tersebut dipakai sebagai judul buku yang ditulisnya, yaitu
“Teutsche Biblische Theologie”. Oleh para reformator abad ke-XVII, ide Christmann ini
dikembangkan lebih mendalam lagi dengan berusaha mencari ayat-ayat Kitab Suci yang
mendukung teologia tradisional orthodox protestan. Hal ini tampak dengan jelas dari
karya teologia yang dihasilkan oleh Hendricus A. Diest, dalam bukunya yang terbit pada
tahun 1643 berjudul “Theologia Biblica”. Dalam karya ini tampak dengan jelas ayat-ayat
Kitab Suci berperan sebagai proof text (ayat-ayat pembukti) dari penjelasan teologia.
Karya-karya lain tampak dalam tulisan-tulisan Abraham Calovius (1655) dikenal
dengan dicta probantia dan collegia, di sana jelas terlihat bahwa ayat-ayat Kitab Suci
adalah sebagai pendukung dogmaticm, system doktrin-doktrin ortodoks. Karya yang
mirip sama juga tampak dalam tulisan Sebastian Schimdt (1671), John Hulsemann (1679),
Johann Heindrich Maius (1689), Johann Wilhelm Baier (1717) dan Christian Eberhard
(1739).

2. Teologi Biblika Sebagai Bandingan bagi Teologi Sistematika


Karena pengaruh perkembangan filsafat rasionalisme di Eropa pada abad ke-XVI
dan XVII, maka teologi yang dihasilkan oleh para teolog terkontaminasi oleh trend zaman
saat itu, dimana hampir semua karya teologi menggunakan metode historis kritis,
sehingga teologi yang dihasilkan adalah teologia Liberal.
Reaksi keras terhadap teologia Liberal di Jerman ini datang dari Philip Jacon
Spencer 1635-1707 yang terkenal sebagai the founding father of pistism. Misi yang
diemban oleh gerakan yang disebut Pietisme (gerakan yang menekankan kesalehan) itu
ialah kembali kepada Kitab Suci (back to the bible). Seruan back to the bible ini
menyebabkan kaum pietis menolak teologi gereja yang cenderung liberal dan kembali
kepada teologi yang Alkitabiah. Pengaruh dari gerakan pietisme tercermin dari karya-
karya Carl Haymann (1708), J. Deutschmann (1710) dan J. C. Weidner (1722) yang
dengan gigih menolak sistem-sistem doktrin ortodoks dengan teologi Alkitabiah. Sejak
saat itu teologi Biblika menjadi tandingan terhadap teologi sistematika / dogmatika.
3. Teologi Biblika Sebagai Disiplin Ilmu yang berdiri sendiri, yang terpisah dari Teologi
Sistematika.
Tahun 1787 dianggap sebagai tahun kelahiran teori biblika, karena pada saat itu
teologi biblika menjadi disiplin ilmu tersendiri dan lepas dari teologi sistematika.
Pendeklarasian disiplin teologi biblika ini dilakukan oleh Johan Philip Gabler, dalam
orasinya ketika ia dikukuhkan sebagai guru besar bidang filsafat teologi di Universitas
Aldorf pada tanggal 30 Maret 1787. Di sana ia membacakan orasinya berjudul: “Oratio
de Iusto Descrimene Theologicae Biblicae et Dogmaticae Regundisgue recte Utriusgue
Finibus.” (About the correct distinction of Biblical and Dogmatic theology and the right
definition of their goals). Atau tentang perbedaan yang tepat antara teologia biblika dan
teologia dogmatika dan definisi yang tepat tentang tujuan masing-masing.
Sejarah Teologi Perjanjian Lama

A. Dari Zaman Reformasi ke Zaman Pencerahan


Abad pencerahan diwarnai dengan penggunaan akal manusia untuk menjelaskan
segala sesuatu. Dengan kata lain, akal manusia dipakai sebagai patokan serta sumber
utama dari pengetahuan yang sahih. Keadaan yang demikian ini memberikan imbas yang
luas biasa bagi doktrin gereja, khususnya dalam bidang ilmu tafsir Kitab Suci atau
hermeneutik. Hal ini dapat dilihat dengan jelas bahwa pada saat itu berkembangnya suatu
cara baru dalam penelaahan Alkitab yang menekankan pada penelitian sejarah, kritik
sastra radikal Alkitab. Tokoh-tokohnya seperti J. B. Witter, Jean Austruc. Rasionalisme
bertujuan agar meninggalkan pandangan ortodoks gereja tentang pengilhaman Alkitab.
Mensejajarkan Kitab Suci dengan semua dokumen atau literature kuno yang harus
dipelajari seperti dokumen-dokumen kuno lainnya.sebagai akibatnya otoritas Alkitab
sebagai firman Allah ditolak.
Johann Solom Semler (1725) dalam treatise in the free investigation of the canon
menyatakan bahwa firman Allah sama sekali tidak identik dengan Alkitab. Tidak semua
bagian dari Alkitab itu diilhamkan dan Alkitab merupakan salah satu dokumen sejarah
yang murni sebagaimana dokumen-dokumen lainnya, sehingga Alkitab harus dipelajari
dengan menggunakan metode yang murni bersifat historis dan kritis. Karena itu, Semler
memandang teologi Biblika adalah disiplin ilmu sejarah yang berlawanan dengan
dogmatik tradisional.
Gotthilf Traugott Zacharia (1771) dalam tulisannya Biblische theologie oder
Undercuchung des Biblischen Grunbes der Vernohmsten lehren, dari hasil eksegesisnya
yang begitu teliti, Zacharia berusaha membangun suatu system pengajaran yang
didasarkan pada Alkitab sebagai firman yang diilhamkan Allah. Menurutnya setiap kitab
dalam Alkitab mempunyai waktu, tempat dan maksud tersendiri, karena itu Zacharia
yakin bahwa penafsiran Alkitab secara historis dan pemahaman kanonik tentang Alkitab
tidak berbenturan karena unsur historisnya tidak terlalu penting dalam teologi.
W. F. Hufnagel (1789) dalam bukunya berjudul Handbuch der BiblischenTheologie
menganggap bahwa teologi Biblika adalah sekumpulan peneliti sejarah atas ayat-ayat
bukti dari Alkitab yang mendukung dogmatik. C. F. Von Ammon (1792) lewat karyanya
Entwurf Einer reinen biblichen Theologiae menganggap bahwa Perjanjian Baru lebih
tinggi dari Perjanjian Lama.
Johann Philipp Gabler (1787) dalam orasi peneguhan dirinya sebagai guru besar di
Universitas Altdorf 30 Maret 1787 telah memberikan sumbangan yang sangat berharga
serta memiliki dampak yang sangat luas bagi perkembangan disiplin ilmu teologi biblika
khususnya teologi Perjanjian Lama. Dalam orasinya berjudul “Oration de iuso dicrimene
theologicae biblicae at dogmaticae regundisque recte utiruswue finibus”. Pidato
pengukuhan ini merupakan tonggak sejarah bagi dimulainya teologi biblika sebagai suatu
disiplin ilmu sejarah samata dan sepenuhnya terlepas dari dogmatik. Teologi Biblika
menurut Gabler memiliki sifat historis, meneruskan pemahaman para penulis Alkitab
tentang hal-hal rohani/ilahi. Sebaliknya teologi Dogmatik memiliki sifat mendidik, yaitu
mengajar hasil nalar filosofis seorang teolog yang tentunya diwarnai dengan aliran
pemikirannya. Gabler menggunakan pendekatan indukatif, historis dan deskriptis
terhadap teologi biblika. Pendekatan ini didasarkan pada 3 pertimbangan metodologi,
yaitu:
1. Ilham dari kitab Suci harus dihapuskan, karena Roh Allah tidak menghancurkan
kemampuan pribadi setiap orang kudus untuk memahami berbagai hal. Yang penting
menurut Gabler adalah bukan otoritas ilahi melainkan hanya apa yang dipikirkan oleh
para penulis Alkitab.
2. Teologi Biblika bertugas mengumpulkan secara teliti berbagai konsepsi dan berbagai
gagasan dari setiap penulis Alkitab, karena Alkitab tidak hanya berisi gagasan satu
orang saja. Tugas ini dapat dilaksanakan dengan cara menerapkan metode penelitian
sejarah, sastra dan sejarah filosofis.
3. Sebagai disiplin ilmu sejarah teologi biblika bertugas untuk menyelidiki gagasan-
gagasan mana yang penting dan yang berlaku saat ini dan mana yang tidak berlaku
untuk zaman kita.
Karya Gabler ini kemudian menginspirasikan penulis teologi biblika lainnya
seperti George Lorens Bauer untuk pertama kalinya menerbitkan buku Teologi Perjanjian
Lama, dengan judul “Theologi des Alten Testaments”. Pada tahun 1796 di Liepzig.
Setelah itu muncul karya W. M. L. de Wette yang berjudul “Biblische Dogmatik”, 1813.
De Wette adalah murid Gabler, seorang rasionalis yang meninggalkan sifat rasionalisnya
kemudian mengembangkan filsafat dialektika yang kemudian dipopulerkan oleh
Immanuel Kant.

B. Dari Zaman Pencerahan ke Zaman Teologi Dialektika


Perdebatan dan perkembangan teologi biblika pada zaman pencerahan ini diakhiri
dengan dibebaskannya teologi biblika dari dogmatika yang selama ini menjadi
saingannya. Perkembangan selanjutnya memasuki masa yang sulit bagi teologi biblika.
Hal ini disebabkan oleh begitu pesatnya perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan
dan dan filsafat, sehingga teologi biblika yang dikenal sebagai teologi sejarah ini
dikalahkan oleh berbagai sistem filsafat, dan ilmu pengetahuan Alkitab yang konservatif
dan akhirnya mati oleh pendekatan yang dari sudut sejarah agama-agama. Tetapi disiplin
ilmu teologi biblika ini muncul kembali dalam periode dealektika.
Gottlob Ph. Kaiser, teolog pertama yang menggunakan pendekatan dari sudut
“sejarah agama-agama” dalam karyanya “Die Biblische Theologie” (1813) umpamanya
dengan tegas menolak segala hal yang berbau supranatural dan berusaha menggambarkan
perkembangan agama Perjanjian Lama dari sudut sejarah awal pertumbuhan. Karya
Kaiser ini menempatkan semua unsur biblika dan non-biblika rendah di bawah dari pada
prinsip agama universal.
W. M. L. de Wette murid Gabler menjadi teolog biblika pertama yang memadukan
teologi Alkitabiah dengan sistem filsafat. Dalam karyanya Biblische Dogmatik (1813) ia
mencoba mensintensiskan perkembangan awal pertumbuhan agama Hebraisme menjadi
kristenisme lewat Yudaisme.
D. C. Von Coll dalam karyanya Biblische Theologie (1836) memberikan reaksi yang
sanggat keras terhadap pandangan de Wette yang memasukan filsafat ke dalam teologi
biblika. Von Coll memunculkan teologi Alkitabiah historis dengan memberikan
penekanan pada teokratis yang kuat serta melukiskan perkembangan historis dari
Hebraism eke Yudaisme dan Kristenisme.
Wilhelm Vatke dalam dua karyanya Die Bibliche Theologie dan Die Religion des
Alten Testaments (1835) mengatakan bahwa rasionalisme teologi biblika sudah harus
diganti. Ia kemudian mengembangkan filsafat Hegel, tesis-antitesis dan sintesis. Tesis
adalah agama, alam; sedangkan antithesis adalah agama rohani dan agama Ibrani. Sintesis
adalah agama yang absolut atau agama universal. Vatke menyatakan bahwa Perjanjian
Lama tidak boleh disajikan berdasarkan kategori-kategori yang diambil dari Alkitab,
tetapi dari luar yaitu dari sudut sejarah agama.
E. W. Hengstenberg dalam bukunya “Christology of the Old Testament” (1834)
memberikan reaksi yang keras dan menentang pendekatan Rasionalis serta meragukan
kesahihan metodologi penelitan sejarah yang dipakai oleh para ahli terhadap Alkitab.
Steudel dengan karyanya “Vorlesungen uber die theologie des Alt Testament” (1840)
menggunakan metode sejarah tata bahasa dan menolak penggunaan metode penelitian
sejarah. Ia tetap percaya Alkitab mempunyai asal-usul ilahi tetapi menolak pengilhaman
harafiah. Dia mengecam subjektivitas kelompok Helegian dan menggolongkan dirinya
sebagai sorang supranaturalis.
Oehler, Theologie Des Alt testaments (1873) teolog yang memberikan kontribusi
penting dalam teologi Biblika setelah Gabler. Ia menerima adanya pemisahan antara
teologi PL dan teologi PB, dan berkata bahwa teologi PL hanya berfungsi secara benar
dalam konteks kanonik yang lebih luas. Teologi PL merupakan ilmu sejarah didasarkan
pada eksegesa dari sudut sejarah tata bahasa. Ia membedakan penelitian sejarah dan tata
bahasa dan penelitian sejarah. Karya Oehler ini dianggap sebagai penyajian penting
teologi Biblika abad ke-XIX khususnya tentang sejarah keselamatan.
• Tokoh-tokoh lain dari sejarah keselamatan adalah Gottfried Menken (1768-1831).
Johann T. Beck (1804-1878) dan J. Ch. Konrad von Hofman (1810-1817).
• Mazhab sejarah keselamatan didasarkan pada:
o Sejarah umat Allah sebagaimana diungkapkan dalam firman.
o Pemahaman tentang pengilhaman Alkitab.
o Hasil (pendahuluan dari sejarah antara manusia dengan Allah di dalam Yesus
Kristus).
• Von Hofman menemukan di dalam Alkitab suatu catatan tentang sejarah
penyelamatan langsung yang di dalamnya Tuhan sejarah adalah Allah Trinitas yang
dimaksud da tujannya adalah menebus umat manusia. Karena Yesus Kristus adalah
tujuan semula dunia ini yang menjadi sasaran sejarah keselamatan dan yang
memberikan arti kepada sejarah keselamatan, maka PL berisi proklamasi sejarah
keselamatan. Inilah yang harus diuraikan oleh teologi PL. Setiap kitab dalam Alkitab
diberi tempat yang logis dalam skema sejarah keselamatan. Alkitab terutama tidak
boleh dianggap sebagai koleksi ayat-ayat bukti atau tempat penyimpanan doktrin,
tetapi adalah saksi dari kegiatan Allah di dalam sejarah yang tidak akan selesai
sepenuhnya sebelum penggenapan akhir zaman.
Sebelum teologi PL dikaburkan oleh pendekatan sejarah agama-agama, muncul suatu
karya besar Hendrich Ewald, Die lehre der bible von Gott oder Theologie des alten un
Neuen Bundes (1871-1976). Murid-muridnya juga menulis Perjanjian Lama:
Ferdinand Hitzig, Vorlesunen uber biblische Theologie und mesianiche weissagungen
des alten Testaments (1880) dan August Dillmann, Handbuch der Alttestamentlichen
Theologiae (1885). Ewald mempertahankan suatu pembahasan yang sistematis ats
subyeknya, sementara F. Hitzig menulis suatu sejarah gagasan dan Dillman menulis
sejarah penyataan dengan penekanan sejarah keselamatan.

• Tahun 1878 menandai dimulainya kemenangan oleh pendekatan sejarah agama-


agama (religionschichte) atas teologi Perjanjian Lama dengan terbitnya karya J.
Wellhausen berjudul prolegomena to the history of Israel (1844-1918). Teologi PL
dan teologi Alkitabiah sejak saat ini dipengaruhi oleh:
o Tanggal lama yang diberikan oleh dokumen P (sumber Imamat) dalam penelitian
Pentateukh yang diperkenalkan oleh K. H. Graf dan A. Kuenen dan dipopulerkan
oleh Wellhausen, dan
o Gambaran yang sama sekali baru tentang perkembangan sejarah agama Israel
sebagaimana direkonstruksikan atas dasar tanggal-tanggal baru yang diberikan
pada bahan-bahan PL oleh golongan Graf-Kenen-Wellhausen.
Suatu ciri khas lain yang menonjol dari mazhab sejarah agama-agama adalah ialah metode
perkembangan evolusioner yang didasarkan sejarah pertumbuhan. Kelompok ini cocok
dengan suasana intelektual masa itu yang sudah diajarkan oleh Hegel dan Darwin untuk
menganggap prinsip-prinsip evolusi sebagai kunci ajaib untuk membuka semua rahasia
sejarah. Judul-judul karya teologi PL yang terbit pada masa itu adalah: August Kasyer:
Die Theologie des Alten Testaments in ihrer geschichtlicen Entwicklung dargestelt
(1886), Herman Schulltz: Altestamentliche Theologie (1886), A. B. Davidson: The
Theology of the OT (1904), Bernhard Stade: Biblische theologie des Alten Testaments
(1905) dan Rudolf Smend: Lehrbuch der Alttestamentlichen Religionschichte (1893).
• Selama lebih dari empat dasawarsa teologi PL dikaburkan oleh Religioneschichte.
Pendekatan ini yang penuh diliputi kejadian sejarah telah membawa kehancuran final
atas kesatuan PL yang direndahkan tingkatannya sehingga menjadi sebuah koleksi
bahan-bahan dari beberapa periode yang berdiri sendiri-sendiri dan hanya terdiri atas
berbagai refleksi umat Israel tentang jumlah agama-agama kafir yang berbeda-beda.
Hubungan isi yang hakiki antara PL dan PB direduksi.

C. Zaman Kebangkitan Teologi Biblika (Zaman Setelah perang Dunia)


Pasca perang dunia pertama adalah momentum yang sangat penting dalam sejarah
perkembangan teologi Biblika, sebagai kebangkitan dari teologi Biblika. R. C. Dentan
mengemukakan 3 faktor yang menyebabkan kebangunan kembali teologi Biblika.
1. Hilangnya pamor naturalism evolusioner
2. Reaksi terhadap keyakinan bahwa kebenaran historis dapat dipercayai lewat
objektivitas ilmiah murni atau objektivitas sejenis yang harus dicapai.
3. Kecenderungan untuk kembali kepada ide penyataan di dalam teologi Dialektika.
Koing, dalam tulisannya Theologie des Alten Testaments (1922) menolak pandangan
tentang evolusi agama PL dari aliran Wellhausen, ia menggunakan metode penafsiran
PL berdasarkan tata bahasa. Hal ini merupakan momentum penting bagi kebangkitan
teologi PL.
o Tahun 1920-an ditandai dengan perdebatan yang sengit tentang sifat dari teologi
PL.
o W. Staerk, 1923 mempermasalahkan hubungan antara Religiongeschte dengan
filsafat agama dan teologi Alkitab
o C. Steuenage, Altestamentluiche Theologie und Alttestamentliche
religiongechichte (1923) menyatakan bahwa teologi PL itu sebagai subjek historis
murni, sebagai tambahan dari sejarah agama Israel.
o O. Eissfeldt dalam bukunya Israellitich-Judische religiongechichte und
Altestamentluiche Theologie (1926) menyatakan bahwa teologi PL adalah bidang
disiplin ilmu yang non-historis dan ditentukan oleh posisi iman sang teolog,
sehingga sifatnya menjadi subjektif, pada hal studi tentang agama Israel itu
bersifat historis dan objektif.
o W. Eichrodt bergelut dengan dikotomi antara iman dan pengetahuan, antara
objektivitas dan subjektivitas, antara yang relatif dan yang normatif. Eichrodt
berpegang teguh pada sejarah dan menganggap bahwa pandangan Eissfelt tidak
memuaskan, ia melihat pandangan Gabler berupa teologi PL sebagai disiplin ilmu
yang historis pada hakekatnya adalah baik.

D. Zaman Keemasan Teologi Biblika


Zaman keemasan Teologi Biblika sekitar tahun 1930-an dan berlangsung sampai
pada saat ini. Para teolog PL dengan karya mereka yang muncul mulai saat itu adalah:
1. E. Sellin, Theologie des Alten Testaments (1933)
2. L. Kohler, Theologie des AT (1936), memakai susunan Allah – manusia –
keselamatan.
3. W. Eichrodt Theologie des AT, 3 Jilid (1933, 1935, 1939) atau OT Theology, 2 Jilid
(1957) merintis metode penggunaan contoh yang representatif mewakili
keseluruhan berdasarkan suatu prinsip yang menyatukan.
4. W. Vischer, The Witness of the OT to Christ (1934).
5. H. Wheeler Robinson, Inspiration and Revelation in the OT (1946) dan Record and
Revelation (1938).
6. W dan H. Moeller (1938)
7. P. Heinisch, Theologie des AT (1940)
8. O. Proksch, Theologie des AT (1949)
9. J. Baab, the Theologie of the OT (1949)
10. G. E. Wright, God who act, Biblical Theology as Racital (1952) dan the OT and
Theology (1970).
11. Th. C. Vriezen, Hoofdilijen der Theologie van hed oude Testament (1954)
12. P. van Imschoot, Theologie de l’AT (1943)
13. G. von Rad, Old Testaments Theology, 2 jilid (1957)
14. J. B. Paine, The Theology of the Older Testament (1962)
15. A. Deissler, Die Grundbotschaft des AT (1972)
16. G. Fohler, Theologische Grundstrukturen des AT (1972)
17. W. Zimmerli, Grundriss der Altestamentlichen (1972)
18. J. L. McKenczie, A. Theology of the OT (1974)
19. M. Burrows, An Outline of Biblical Theological (1946)
20. G. Vos Biblical Theology (1948)
21. J. Blenkinsop, A. Sketchbook of Biblical Theology (1968)
22. C. R. Lehman, Biblical Theology I: OT (1971)
23. E. J. Young, The Study of OT Theology Today (1959)
24. J. N. Schfield, Introducting OT Theology (1964)
25. B. S. Childs, Biblical Theology in Christ (1970)

Perlu dicatat bahwa tidak pernah dalam sejarah Teologi Biblika hanya dalam waktu
singkat yaitu (1978-1981) dihasilkan begitu banyak teologi PL.
26. C. Westermann, Theologie des AT in Grundzugen (1978)
27. Ronald E. Clements, OT Theology: A Fresh Approach (1978)
28. Walter C. Kaiser, Toward an OT Theology (1978)
29. E. A. Martens, God’s Design: A Focus on OT Theology (1981)
30. W. A. Dyrness, Themes in OT Theology (2979)
31. Samuel Terrien, The Elisive Presence: Toward A New Biblical Theology (1978)
32. B. S. Childs, OT Theology in a Canonical Context (1985)
33. Thomas Edward McComiskey, The Covenants of Promise (1985)
34. Dua karya tentang sejarah dan perkembangan disiplin Theology PL adalah Henning
Graf Reventlow, Problem of OT Theology in the Twentieth Century (1985). John
H. Hayes dan Frederick Prussner, OT Theology: It’s History dan Development
(1985).
35. Paul D. Hanson, The People Called: The Grouth of the Community in the Bible
(1986)
36. Walter Bruegemann, Old Testaments Theology (1992)
37. Samuel E. Balentine, Prayer in the Hebrew Bible: The Drama of Divine-Human
Dialogue (1993).
38. Rolf P. Knierin, The Task of The Old Testament Theology (1995)
PENDEKATAN DALAM
THEOLOGIA PERJANJIAN LAMA

1. Tugas pendekatan terhadap Perjanjian Lama


Memang ada banyak sarjana Perjanjian Lama yang sudah mencoba untuk mengadakan
pendekatan terhadap Perjanjian Lama, khususnya tentang teologi dan eksegesanya, tetapi
secara umum usulan pendekatan mereka dapat dirangkum dalam tiga bagian seperti:
A. Pendekatan yang Deskriptif / Normatif
Umumnya para sarjana yang menjagokan pendekatan ini menyatakan bahwa
Perjanjian Lama harus diapproach dari segi arti dasar, yaitu tentang apa yang
dikatakan teks itu pada saat ditulis dan pada orang yang menerima tulisan itu.
Penekanannya ialah pada the past meaning, yaitu pada what the text meant. Faktor
historis dari iven yang ada di dalam Kitab Suci harus menjadi standar.
1. W. Eichrodt mengatakan bahwa Perjanjian Lama harus bersifat historical
science dan bukan normative science. Untuk itu Eichrodt tidak berkeinginan
untuk mencari arti dari teks Perjanjian Lama masa sekarang, karena yang
terpenting ialah bahwa teks alkitabiah itu berbicara pada orang dan tempat yang
bentuknya sudah lalu.
2. Von Rad, berkata bahwa Perjanjian Lama adalah kitab sejarah tentang Allah dan
manusia yang sangat esensial. Mempelajari Perjanjian Lama yang tepat menurut
Von Rad adalah bagaimana kita dapat menjelaskan hubungan antara firman
Allah dan sejarah, dalam segala bentuknya yang beragam. Menurut dia masalah
teologi Perjanjian Lama yang utama bukanlah arti normative dari apa yang
diungkapkan oleh Alkitabnya orang Ibrani, tetapi semata-mata tentang
pengakuan Israel secara tetap tentang YHWH. Karena itu mempelajari Alkitab
bertujuan untuk menemui dan mengatakan, disaksikan oleh teks Alkitab itu
sendiri tentang YHWH dalam kaitannya dengan sejarah kuno.
Prof. Tate, (Southern Biblecal Seminary)
“In orther to know the present meaning we have to understand the past meaning of the
Bible.”
Porteus mengatakan bahwa normative corcern itu juga sangat penting bagi suatu teologi:
if Old Testament Theology is truly theological aspec of the Old Testament will be work”.
Catatan: Teologi harus memiliki normatiks sense karena tanpa itu ia bukanlah teologi
tetapi suatu sejarah saja.
B. Pendekatan Teologis (Theologia Task)
Hal ini adalah pendekatan yang umumnya melihat bahwa Perjanjian Lama
tidak boleh dilihat dari segi sejarah dan arti dari pada apa yang dikatakan oleh teks
tetapi harus dilihat dari segi teologis yaitu iman yang dimiliki oleh orang Israel.
1. Otto Eisfelt, membedakan dengan tajam antara sejarah Israel dengan teologi
Perjanjian Lama. Menurut dia, teologi itu membentuk iman, sedang sejarah
membutuhkan iman serta membutuhkan studi kritis. Teologi tidak dipelajari
berdasarkan historis kritis, karena natur teologi Perjanjian Lama adalah iman.
Menurut dia, sejarah Israel beda dengan sejarah yang dikatakan dalam
Perjanjian Lama. Yang terpenting dalam pendekatan Perjanjian Lama adalah
teologi bukan sejarahnya.
2. Thomas Vreizen, mengatakan bahwa tugas utama Perjanjian Lama adalah
menapatkan future characteristic dari berita yang ada dalam Perjanjian Lama. Ia
mengatakan bahwa kita tidak perlu belajar sejarah bangsa Israel, karena itu tugas
para sejarawan. Sedangkan tugas teologi Perjanjian Lama ialah tentang dasar
dan natur iman.
Kedua sarjana ini menggaris bawahi perbedaan yang tajam antara:
1. Historical truth
2. Biblical Truth

C. Pendekatan Deskriptif Teologis (The Descriptive Theology Task)


Metode ini mengatakan bahwa Teologi Perjanjian Lama harus mempelajari teks
untuk mendapatkan arti “The past and Present”. Karena tanpa mempelajari “The
past meaning” dari teks Alkitab, maka teologi yang dihasilkan hanyalah sebagai
suatu sejarah belaka. Dan itu pada dasarnya bukanlah suatu teologi. Di lain pihak
tanpa mempelajari “The past meaning” dari teks pada saat dituliskan maka teologi
Perjanjian Lama tidak dapat memberikan makna teologis yang sebenarnya.
1. B. S. Childs, mengusulkan bahwa pendekatan yang tepat untuk suatu studi
Perjanjian Lama adalah lewat kanon dan melihat Perjanjian Lama sebagai
kanon gereja.
2. Roland De Voux adalah seorang sarjana yang menjunjung tinggi Kitab Suci
sebagai Firman yang diwahyukan Allah dan sejarah yang termaktub di
dalamnya. Dengan kata lain, De Voux ingin menegaskan kembali bahwa
Alkitab harus diterima sebagai firman Allah.
Kedua sarjana tersebut di atas mengemukakan bahwa dasar utama yang
mutlak diperlukan seseorang untuk mempelajari teologi Perjanjian Lama harus
menerima Perjanjian Lama sebagai “kanon gereja atau firman Allah”. Karena itu
tugas kita dalam mempelajari Alkitab adalah untuk mendapatkan “the past and the
present meaning” dari pada teks Kitab Suci.
Kesimpulan kita ialah untuk mengadakan suatu studi tentang teologi
Perjanjian Lama, kita tidak hanya membutuhkan “the descriptive task” atau
mendapatkan arti lampau dari teks itu, dan bukan pula “the theological text” yang
hanya mencari arti kekinian dari teks Alkitab. Tetapi haruslah merupakan gabungan
dari keduanya yang didasarkan bahwa Kitab Suci khususnya Perjanjian Lama
adalah firman yang diilhamkan Allah untuk orang-orang pada masa lalu dan juga
bagi orang-orang masa kini. “For what the text mean is understood in large measure
by it’s relation to the one whom it’s derected” (Childs).
It doesn’t seem to the proper to seek only the theological meaning of the text
without searcing for it’s historical meaning for the Old Testament indicates that it
was precisely in historical process that the God revealed him self. Without knowing
truly the historical and descriptive meaning of the text, it would be imposible for us
to know it’s proper theological meaning”.
METODOLOGI TEOLOGI PERJANJIAN LAMA

Walaupun para pakar Perjanjian Lama mengusulkan pendekatan yang berbeda dalam
mempelajari dan memunculkan teologi Perjanjian Lama. Tetapi secara umum mereka
menerapkan pola pendekatan yang tidak terlalu jauh berbeda. Lain halnya dengan metodologi,
rupanya para pakar Perjanjian Lama menggunakan metodologi yang berbeda. Secara umum
paling sedikit ada tiga metode yang diterapkan oleh para pakar untuk menyusun teologi
Perjanjian Lama.

A. Metode Sistematis-Sintesis (Sistematis-Syntetic Method)


Metode Sistematis adalah metode yang mensistematisasikan topic-topik teologia
utama dalam Perjanjian Lama. Metode ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari teologia
sistematika atau dogmatika. Tema-tema utama dalam Perjanjian Lama seperti dosa, ibadah,
kurban, Allah, perjanjian, pemilihan, dan lain sebagainya. Ini dapat dilihat dari buku Ludwig
Koehler, “Old Testament Theology” dan J. Burton Payne, mengatakan bahwa Perjanjian
Lama bukanlah kata-kata pengakuan iman Israel, tetapi firman Allah yang harus ditaati.
Karena itu, Payne mensistematir Perjanjian Lama dalam 6 topik utama, yaitu: Perjanjian,
Allah, Manusia, Anugerah, Komitmen, dan Rekonsiliasi.
Selain metode sistematis, para pakar Perjanjian Lama juga menggunakan metode
sintesis. Upaya yang dilakukan oleh para sarjana ini adalah mensintesiskan tema-tema yang
ada dalam Perjanjian Lama dalam suatu konsep yang dianggap sebagai ide sentral yang
mewakili seluruh Perjanjian Lama. Pakar yang menerapkan metode ini adalah Walther
Eichrodt dalam bukunya, “Old Testament Theology”. Menurut Eichrodt ide/sentral
Perjanjian Lama adalah: “COVENANT”. Langkah Eichrodt ini diikuti oleh G. E. Wright.

B. Metode Tradisi – Historis (The Tradition – Historical Method)


Pakar Perjanjian lama yang dikenal mempertahankan metode ini ialah Von Rad.
Menurut Von Rad dalam perjanjian lama tidak ada ide ataupun konsep sentral seperti apa
yang dikemukakan oleh para pakar perjanjian lama lainnya. Karena di dalam Alkitab
khususnya perjanjian lama menurut dia berisikan sebagai kesaksian tentang tindakan
penyelematan Allah.
Karena itu dalam mempelajari Theologia perjanjian lama, maka faktor historis dan
tradisi ini sangatlah penting. Sebab menurut Von Rad wahyu dalam perjanjian lama itu
berkembang dalam tradisi orang Yahudi, karena itu perjanjian lama harus dimengerti
sebagai kitab dimana sumber-sumber tradisi Israel dikumpulkan. Von Rad kadang-kadang
menyebut perjanjian lama itu sebagai wahyu tetapi dia tidak mengidentikkan wahyunya
perjanjian lama itu dengan wahyu yang sebenarnya yang dimanifestasikan oleh Allah dalam
sejarah. Karena itu Von Rad melihat perjanjian lama sebagai sejarah penyelamatan Allah.
C. Metode Pewahyuan-Historis (The Relevation-Historical Method)
Metode ini mengusulkan mempelajari theologia perjanjian lama itu atas dasar apa
yang dikatakan oleh perjanjian lama itu sendiri tentang isinya. Alkitab sendiri menyaksikan
bahwa Alkitab adalah firman yang diwahyukan Allah. Metode ini menganggap bahwa teks
dari kitab suci itu sendiri adalah wahyu Allah yang dapat dipercayai sepenuhnya, karena itu
sejarah yang diungkapkan oleh kitab suci itu adalah sejarah yang menyatakan tentang
wahyunya dalam sejarah.
SARAN-SARAN POKOK UNTUK MEMBUAT TEOLOGI PERJANJIAN LAMA

1. Teologi Alkitabiah harus dipahami sebagai sebuah disiplin yang bersifat historis-teologis.
Seorang teolog yang terlibat dalam penyusunan teologia PL maupun PB harus mengakui
bahwa tugasnya adalah untuk menemukan dan menguraikan apa makna asli dari ayat dan
apa arti ayat tersebut untuk masa kini. Ia harus berusaha untuk menghilangkan kesenjangan
yang menjembatani rentangan waktu antara masanya dengan masa para penulis Alkitab. Ia
harus meyakini bahwa naskah-naskah Alkitab adalah saksi-saksi dari maksud Allah yang
kekal bagi Israel dan bagi dunia sebagaimana dinyatakan lewat sejarah, memerlukan suatu
perpindahan dari tingkat penelitian sejarah menuju kepada tingkat penelitian teologis.
2. Bila teologi Alkitabiah dipahami sebagai sebuah disiplin yang bersifat historis-teologis,
maka dengan sendirinya metodenya yang tepat harus bersifat historis dan teologi sejak awal.
Sebuah teolog PL memerlukan eksegese yang berlandaskan pada prinsip-prinsip dan
langkah-langkah yang baik. Sebaliknya eksegese membutuhkan teologi PL yang dapat
mengkristalisasikan hasil eksegese. Tanpa teologi PL pelaksanaan penafsiran eksegese
mudah memasuki bahaya yaitu memisahkan ayat-ayat dari keseluruhan PL. Sebaliknya,
suatu eksegese yang teliti, tajam dan benar senantiasa dapat secara kritis memeriksa teologi
PL. Namun jangan diasumsikan bahwa keduanya merupakan prosedur yang berurutan.
Hasel menyetujui H.J. Kraus yang telah meminta adanya suatu proses penafsiran yang
bersifat teologi Alkitabiah yang didalamnya eksegese sejak awal berorientasi pada teologi
Alkitabiah.
Bila kita menambahkan kepada aspek ini bahwa metode penelititan yang memadai dan
tepat yang membahas ayat-ayat Alkitab perlu mempertimbangkan kenyataan mengenai
Allah dan tindakanNya memasuki sejarah, karena ayat Alkitab memberi bukti tentang
adanya dimensi yang sukar dimengerti dalam sejarah, maka kita memiliki suatu dasar yang
diatasnya penafsiran historis dan teologis dapat saling bergandengan tangan sejak awal
tanpa perlu dipisahkan secara dibuat-buat menjadi proses yang berurutan.
Penafsiran historis-teologis bila ingin dipakai untuk mengerti semua lapisan
pengalaman sejarah dan untuk menembus sampai kepada makna lengkap dari ayat serta
kenyataan yang dinyatakan di dalamnya, harus dibuat dengan iman. Oleh karena itu, kita
harus menegaskan bahwa bila penafsiran berusaha memahami pernyataan-pernyataan dan
kesaksian-kesaksian yang menunjuk kepada penyingkapan diri Allah sebagai Tuhan atas
waktu dan peristiwa, Tuhan yang telah memilih untuk menyatakan diriNya dalam peristiwa-
peristiwa dengan tanggal tertentu dari sejarah manusia lewat berbagai tindakan dan firman
tentang penghukuman dan keselamatan, maka proses pemahaman hal-hal tersebut haruslah
bersifat historis dan teologis sejak awal agar dapat memahami sepenuhnya realitas lengkap
yang sudah terungkap.
3. Seorang teolog biblika yang terlibat dalam teologi PL harus menunjukkan pokok-pokok
pendapatnya terlebih dahulu sebagai usahanya untuk menyusun suatu teologia PL. Suatu
teologia PL pertama-tama merupakan sebuah rangkuman penafsiran dan penjelasan tentang
kitab-kitab atau sekelompok kitab dari PL. Ia perlu menemukan teologi dari kitab PL dalam
bentuk terakhirnya. Ia tidak mensistematiskan apa yang tidak dapat disistematiskan.
4. Penyajian teologi-teologi dari kitab-kitab dalam PL. Sebaiknya tidak mengikuti urutan
kitab-kitab tersebut baik dalam urutan kanon Ibrani ataupun kanon LXX, tetapi menurut
urutan kronologisnya.
5. Sebuah teologi PL tidak sekadar berusaha untuk mengetahui teologi dari berbagai kitab,
tetapi berusaha juga untuk mengumpulkan dan menyajikan tema – tema utama PL. Teologi
PL harus membiarkan tema-tema, motif-motif dan konsepsi-konsepsinya dibentuk oleh PL
sendiri.
6. Sasaran terakhir dari teologi PL ialah menunjukkan ada atau tidaknya sebuah kesatuan inti
yang mengikat berbagai teologi serta tema-tema, konsepsi-konsepsi dan motif-motif
lognitudinal. Tujuan akhir dari suatu teologi PL ialah menarik kesatuan inti yang
tersembunyi itu dari persembunyiannya sebanyak mungkin dan membuatnya dapat dilihat.
Ini benar-benar merupakan usaha yang berat.
7. Seorang Teolog Biblika memahami Teologi PL sebagai lebih luas daripada Teologi kitab
suci Ibrani. Teologi PL menunjuk kepada konteks yang lebih luas dari Alkitab yang
didalamnya PB merupakan salah satu bagian. Sebuah teologi PL yang integral harus
menunjukkan hubungannya yang mendasar dengan PB atau Teologi PB.
Covenant Theology yang diusulkan
Oleh Walter Eichrodt

Diantara sekian banyak pakar teologi perjanjian lama, Walter Eichrodt adalah salah satu
dari sekian banyak sarjana yang hasil karyanya menjadi bahan yang hangat didiskusikan para
pakar. Karya besar Eichrodt tersebut dituangkan dalam sebuah bukunya yang berjudul
“Theologie des Alten Testaments” yang diterbitkan pada tahun 1933 dan kemudian
diterjemahkan oleh Baker dengan judul “Old Testament Theology”. Dalam bukunya, secara
umum Eichrodt mengusulkan bahwa studi teologi perjanjian itu seharusnya bukan hanya
menyoroti tentang the deskriptif task-nya saja, tetapi juga harus menggunakan metode yang
disebutnya sebagai “Historico-scientific methods”. Untuk itu Eichrodt mengatakan bahwa
tugas utama dari suatu studi tentang teologi perjanjian lama ialah : “to construct a complete
picture of the Old Testament in teh realm of belief”. Karena itu Eichrodt mengusulkan bahwa
historical research itu harus melampaui historical peresentation. Untuk itu menurut Eichrodt
kita harus menggunakan yang ia namakan “The Cross-section” atau yang dikenal sebagai ide
sentral yang mewakili semua unsur dalam teologi perjanjian lama. Inilah yang nantinya dapat
menolong ktia untuk memilah-milah apa dan mana bagian dari perjanjian lama yang paling
penting dan mana yang tidak penting. Dengan cara demikian kita dapat melihat seluruh struktur
dan prinsip-prinsip utama dari agama orang Israel. Walaupun Eichrodt mengaku bahwa ada
banyak cross-section yang ada dalam perjanjian lama, “Covenant” adalah merupakan motif
yang dapat diambil sebagai mewakili dan mempersatukan teologi perjanjian lama. Berbicara
tentang covenant, Eichrodt mengaku bahwa memang disana terdapat banyak covenant dalam
perjanjian lama, tetapi diantara semuanya itu covenant antara Allah dengan umatNya Israel
yang dikenal sebagai Sianitic covenant adalah yang paling fundamental, karena menurut di
perjanjian itu paling tidak memiliki tiga dimensi penting yaitu :
1. Secara historis perjanjian Sinai merupakan dasar dan pekembangan Israel serta agama
mereka.
2. Secara teologis Perjanjian Sinai berfungsi sebagai pengevaluasian dan pemersatu dari
ekspresi iman orang Israel yang bervariable.
3. Secara struktur perjanjian Sinai mengacu pada iman orang Israel hari ini yang mempunyai
makna teologi yang penting.
Karena itu Eichrodt dalam bukunya mengusulkan kerangka teologi dalam perjanjian lama itu
sebagai berikut :
Bagian I : Etimologi dari kata covenant disini ia menjelaskan arti dari kata serta konsep
perjanjian, sejarah, serta penggunaannya dalam kitab suci Ibrani.
Bagian II : Hukum perjajian. Bagian ini dipisahkan menjadi dua bagian yaitu : apa yang
ia sebutkan sebagai hukum secular (the civil law) dan torah, sedangkan
bagian berikutnya ialah berbicara dengan kultus, berhubungan dengan makna
dari kegiatan kultus tersebut baik secara umum maupun secara khusus dengan
bangsa Israel. Bagian - bagian itu adalah meliputi tempat - tempat sacral,
obyek - obyek sacral, masa dan tindakan serta perbuatan sacral. Serta
ditambah dengan aktifitas-aktifitas ritual sesuai dengan yang diperintahkan
Yahwe kepada umat - umatNya Israel seperti kurban dan lain sebagainya.
Bagian III : Nama dari Allah perjanjian. Nama - nama Allah ini dikupas berdasarkan
pengertian bahasa semitik, serta pengertian yang baru dimiliki oleh Israel
tentang Allah mereka, Kel. 3:14; 6:3.
Bagain VI : Natur dari Allah perjanjian. Pembahasan ini dibagi dalam dua bagian
besar yaitu : berbicara tentang affirmasi dari ke – Illahi - an Allah serta
pribadiNya, dan Roh serta ke-Esa-annya; yang kedua berbicara tentang
affirmasi yang berhubungan dengan aktivitas-aktivitas drai keIllahiannya
dengan gambaran perjanjian lama tentang nroma-norma moral etik.
Bagian V : Instrumen - instrumen perjanjian. Bagian ini agaknya lebih luas, yaitu
menyangkut beberapa aspek seperti : pemimpin-pemimpin yang karismatik
yaitu Musa sebagai The founder of religion, para nabi, para nazir dan
para hakim, termasuk didalamnya fungsi dan peranan yang dimainkan oleh
para pemimpin tersebut dalam perjalanan sejarah bangsa Israel. Yang kedua
ialah berhubungan dengan para pemimpin yang diangkat seperti para imam
dan lembaga keimanan serta tugas dan peranan para imam tersebut
sebagai pelaksana kegiatan ritual.
Bagian VI : Pelanggaran perjanjian dan resikonya. Hukuman yang dilaksanakan adalah
dalam rangka merestorasikan covenant, serta pembaharuan terhadap covenant
tersebut.
Bagian VII : Kegenapan perjanjian. Ini menyoroti pentingnya pengharapan tentang
keselamatan bagi perjanjian lama, dan juga bagi doktrin tentang Allah, dasar-
dasar dari pengharapan perjanjian lama serta pengaruh dari unsur-unsur mitos,
kultus nasionalis dan inti agama. Disamping itu juga memuat tentang prediksi
dan pengharapannya.
Ringkasan Periode Historis Theologia Perjanjian Lama
Berdasarkan Methode Pendekatan
Walter C. Kaiser

Dalam upaya kita mengerti tentang wahyu serta rencana penebusan Allah, maka kita
harus mulai riset kita dari mana dan di mana Allah memulainya dalam sejarah. Untuk itu Walter
Kaiser membagi urutan peristiwa-peristiwa sejarah Kitab Suci itu dalam 11 periode yang terdiri
dari :

1. Prolegomene : Janji pada zaman pre-patriak.


Perjanjian zaman Abraham yang dicatat dalam Kej. 12:1-2 adalah merupakan awal dari
pemilihan Allah terhadap individual, melalui mana akhirnya ia akan membebaskan seluruh
dunia kalau manusia itu percaya kepadanya. Dan ini mempunyai arti yang penting pula bagi
sejarah bangsa Israel dan theologia Perjanjian Lama. Signifikansi dari perjanjian Abraham
ini makin jelas dan besar setelah umat manusia itu melewati event-event penting dalam
sejarahnya yaitu : Kejatuhan, Air Bah dan Menara Babel. Kata yang sangat penting dalam
bagian ini ialah : BERKAT TUHAN (Blessing of God) atau BERKAT, yang dapat dilihat
dari berkat terhadap keluarga dan juga suatu bangsa yaitu Nuh dan Abraham, yang klimaks
nya terdapat dalam Kej. 12:1-3.
2. Kelengkapan janji : Zaman Patriak.
Tema yang sangat menonjol dalam era ini ialah bahwa Allah menyatakan diriNya serta
mengumumkan kepada mereka bahwa Dia adalah Allah dari para patriak. Sehingga
dijumpai nama Allah dengan sebutan “....Akulah Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah
Yakub.” Para Patriak ini adalah orang yang secara pribadi menerima firman Allah,
bandingkan Kejadian 12:1; 13:14; 21:12; 22:1, atau dengan cara Allah sendiri yang
menampakkan diri kepada mereka dalam bentuk visi, Kejadian 2:7; 15:1; 17:1; 18:1 ataupun
dalam bentuk malaekat Tuhan 22:1, 15.
3. Janji tentang umat : Zaman Musa.
Ini adalah merupakan moment penting dalam sejarah Israel sebagai suatu bangsa, karena
pada saat inilah Allah secara resmi mengadakan perjanjian dengan mereka yang mengambil
tempat di padang gurun, yaitu di atas gunung Sinai yang dikenal sebagai “The Sinaitic
Covenant”, bandingkan kel. 6:6 di sana dikatakan, “Aku akan mengangkat
kamu....Covenant formula yang jelas,” I will be your God and you will be my people”. Ini
makin jelas diungkapkan pada saat covenant inaguration di Sinai dalam Kel. 19, dikatakan
“.....Jadi sekarang jika kamu sungguh-sungguh berpegang pada perjanjian dan
mendengarkan firman-Ku, maka kamu akan menjadi bagiku.”
1. Milik pusaka (My own possesissioni)
2. Imamat yang Rajani (Kingdom of priest)
3. Bangsa yang Kudus (Holy nation).
setelah peristiwa itu maka Israel sebagai suatu bangsa yang baru diberikan Allah hukum-
hukum keagamaan sepuluh hukum (decalog) dan hukum-hukum sipil yang dikenal dengan
The Covenant code (Kel. 21-23).
4. Janji tentang tempat : Pada masa premonarki
Salah satu janji Allah yang sekaligus merupakan sebuah peristiwa historis dalam Kitab Suci
ialah tentang penaklukan tanah Kanaan, yang sekaligus sebagai tanah tempat dimana nama
Allah akan ditinggikan dan menetap, Kel. 12:8-12, bandingkan Kej. 15:18-21; Yos. 11:23;
21:43-45. Lambang kehadiran Allah dalam tabut Perjanjian adalah juga merupakan bagian
penting dari masa ini, lihat 1 Sam. 4-7, serta tempat tinggal Allah yang sifatnya tidak
permanen.
5. Janji tentang seorang raja : Masa raja Daud
Kalau Kej. 12:1-3 adalah merupakan bagian dari masa para patriak, maka 2 Sam. 7 adalah
merupakan bagian dari zaman raja Daud, bagian ini dikenal dengan nubuatan nabi Nathan
yang disebut Natan’s Oracle. Kerinduan hati Daud disini ialah untuk membangun Bait
Allah sebagai tempat yang permanen bagi tabut perjanjian Tuhan dan juga tempat ibadah
yang tetap bagi umat Allah, tetapi ternyata niatnya itu tidak disetujuai oleh Allah, yang
diungkapkan oleh Tuhan lewat nabi Nathan. Kelanjutan dari dinasti Daud mempunyai
signifikansi yang penting baik dari segi hidtoris maupun theologis, serta mempunyai
pengaruh yang sifatnya universal.
6. Kehidupan dalam janji
Masa ini adalah merupakan masa transisi, sedangkan tema utama yang sangat menonjol
pada masa ini ialah hikmat. Kalau janji-janji Allah dalam masa para patriak didasarkan pada
torah Musa, maka pada masa ini hikmat Salomo dapat dijumpai di berbagai kitab seperti
Amsal, Pengkhotbah, dlsb. Kunci dari seluruh bagian ini ialah diungkapkan dalam kata
“TAKUT AKAN TUHAN”.
7. Janji tentang hari : Abad ke-9
The day of the promise adalah merupakan bagian dari lima masa pelayanan para nabi Israel,
dan kita jumpai pada setiap masa itu memiliki tekanan-tekanan tersendiri. Pada masa para
nabi, rupanya perhatian itu bukan hanya ditujukan kepada Israel secara eksklusif saja, tetapi
juga kepada dunia-dunia lain sekitarnya. Walaupun demikian dosa-dosa Israel adalah
merupakan sasaran kecaman-kecaman keras para nabi, ini dapat dilihat dari kecaman yang
dilontarkan oleh nabi Yoel dan Obaja. Dan teologinya sangat jelas bahwa “The day of the
lord” adalah sebagai hari dimana Tuhan menghukum dosa dan menyelamatkan mereka
yang setia.
8. Janji tentang hamba : Abad ke-8
Para nabi yang menyuarakan suara profetisnya pada abad ini adalah : nabi-nabi seperti
Hosea, Mika, Yunus dan Yesaya. Tetapi dari sekian banyak suara nubuatan yang disuarakan
rupanya teologia utama yang diungkapkan oleh Yesaya 40:66 adalah merupakan tema
sentral yang mewarnai masa itu yaitu teologia tentang hamba yang menderita (The suffering
servant) yang muncul dari Abraham.
9. Pembaharuan janji : Abad ke-7
Sementara menyerukan peringatan-peringatan yang keras terhadap bangsanya, para nabi
seperti Zefanya, Habakuk dan Nahum juga mengingatkan tentang kehancuran Assyiriah,
mereka juga memberikan peringatan-peringatan yang keras tentang kejatuhan Yerusalem
pada tahun 586, tetapi ditengah-tengah keadaan itu kita jumpai nabi Yeremia
menyampaikan janji Allah tentang Perjanjian baru dalam Yer. 30:3 yaitu yang ditulis
bukan atas loh batu tetapi di dalam hati.
10. Janji tentang kerajaan : pada masa pembuangan
Dalam keadaan yang sulit ketika sama-sama berada dalam tawanan di Babel nabi Yehezkiel
dan Daniel terus mengingatkan bangsa Isrel tentang akan munculnya the good shepherd
yang nantinya akan mempersatukan ke-12 suku bangsa Israel. Kemudian Daniel dengan
nubuatannya tentang the son of men yang tidak lain adalah Mesias yang diprediksi sebagai
raja, yang akan mendirikan kerajaan yang kekal selama-lamanya.
11. Janji kemenangan : masa pasca pembuangan
Sejarah tentang Ezra dan Nehemia serta Ester dan nubuatan para nabi seperti Hagai dan
Zakaria memberikan catatan final tentang wahyu Allah dan kanon perjanjian lama. Kitab-
kitab diatas mencatat tentang pembebasan Yehuda dari penawanan Babel, yang
menimbulkan kesukacitaan yang luarbiasa di hati umat Allah yang juga memberikan
motivasi kepada mereka untuk membangun kembali tembok Israel dan Bait Allah yang
selama ini dirindukan mereka.
Theologia Von Rad : Heilsgeshichte

Heilgeshichte adalah merupakan isu sentral dan kritikal dalam teologia Von Rad karena
topik inilah yang membedakan teologinya dengan teologi lainnya. Sebab menurut dia
heilgeshichte atau saving history adalah merupakan sifat dasar yang unik dari iman Israel.

Heilgeshichte menurut VonRad


Von Rad mengakui bahwa istilah heilgeshichte bukanlah terminology ciptaan dirinya,
tetapi ide ini ia dapatkandari seorang teolog pendahulunya, yaitu J.C.K. Von Hofmann pakar
teologi Jerman yang mencurahkan perhatian yang sangat mendalam terhadap sejarah Alkitab
dan menyatakan bahwa sejarah penyelamatan Allah adalah bentuk penting dalam teologia
perjanjian lama. Walaupun Von Rad banyak berhutang budi dari Hofmann, dan teolog lainnya
yang memandang sejarah penyelamatan Allah dalam perjanjian lama secara objektif atau
heilgeashichte objective. Tetapi menurut Von Rad, Objective saving memisahkan apa yang
disebut sebagai the objective of scientific research dengan salvation history.
Mengenai definisi tentang apa itu heilgeshichte, dalam pemikiran VonRad memang
sangat kabur. Dari pengamatan kita berdasarkan klasifikasi yang digunakan oelh VonRad ada
kesan bahwa ia membedakan antara sejarah alkitab dengan saving history, ia mencoba memilah
bagian-bagian dari kitab suci, mana yang termasuk dalam saving history dan Israel history.
Menurut vonRad yang termasuk dalam saving history ialah :
a. Janji-janji yang diucapkan kepada para patriakh.
b. Even-even penting yang dialami oleh Israel, dalam perjalanan mereka menuju tanah
Kanaan. (Inilah apa yang ia sebutkan sebagai the canonical saving history)
c. Perjanjian-perjanjian yang dibuat baik itu perjanjian Sinai maupun perjanjian dengan
Daud.
Sedangkan yang tidak termasuk dalam saving history adalah :
a. Catatan tentang perpecahan kerajaan.
b. Penawaran dari suku-suku yang ada di bagian Israel utara.
c. Catatan yang termasuk dalam Exlesiaticus 44-50
Dari pembagian ini VonRad menyatakan bahwa perjanjian lama sendiri memberikan
pengertian yang berbeda tentang Heilgeshichte yang jauh lebih jelas terlihat dari pandangan
yang berasal dari kitab Yos. 2-10 dengan The Deutoronomic Historians. VonRad
mengatakan bahwa heilgeshichte bukanlah ciptaannya tetapi adalah merupakan teologia
perjanjian lama. Oleh sebab itu dia memberikan alasan mengapa saving history itu penting
dalam perjanjian lama.
1. Teologia perjanjian lama harus secara tepat menyatakan tentang Yahwe, yaitu Kerygma
yang tidak lain adalah saving history.
2. Saving history kontras dengan Israel World of Faith.
3. Heilgeshichte itu hanya berbicara tentang realitas dari sejarah.
4. Hanya teologia saving history yang dapat mengintegrasikan antara berita para nabi
dengan tradisi-tradisi sejarah.
5. Teologia saving history dapat menolong ktia untuk mengerti relasi antara perjanjian
lama dengan perjanjian baru secara tepat, karena hubungan yang nyata itu sendiri adalah
tidak lain dari saving history.
Contoh Study Kata “Teologia Perjanjian”

1. Terminologi
a. Berit Covenant : a solemnpromise made binding by oath, wich may be either a
verbal form or a symbolic action.
2. Studi tentang perjanjian Sinai dalam diskusi sarjana kontemporer.
a. Teori Madenhall. Teori tentang persamaan bentuk antara perjanjian Sinai dengan
The Ancient Near East Treaty Form.
1. Preamble (muka dimah)
2. Historical Pologue (latar belakang sejarah)
3. Stipulation (ketentuan / persyaratan)
4. Treaty Documents (dokumen perjanjian)
5. Treaty Witness (saksi-saksi perjanjian)
6. Curse and blessing (kutuk dan berkat)
b. Mederith Kline memperkenalkan tentang persamaan bentuk treaty masyarakat timur
dekat kuno dengan kitab Ulangan.
c. Perjanjian antara Yosua dan orang Gibeon, Yosua 9. (Suzerin and Bazal Kings)
3. Perjanjian Sinai adalah perjanjian antara Allah dengan bangsa Israel di gunung Sinai
dengan perantaraan nabi Musa. (Ulangan 19)
4. Pengertian Israel tentang perjanjian Sinai
a. Yeremia : Perjanjian Sinai sebagai perjanjian perkawinan antara Allah dengan
umatNya Israel.
Yer. 31:31-32 – Ba’alti = tuan atau suami.
Yer. 2:2 – “I was a husband to them”
b. Yehezkiel – memandang perjanjian Sinai sebagai wadah dimana Israel menjadi istri
Yahwe.
Yeh 16:6-8
“I sproud the corner of mya garment over you and covered your nakedness” (v. 8).
Menghamparkan kain adalah tradisi yang biasanya dilakukan oleh orang laki-laki
Israel sebagai tanda bersedia mengambil seorang wanita sebagai istri (bandingkan
dengan kisah Ruth dan Boaz – Rut 3:9)
c. Yesaya – Yesaya dengan jelas mengungkapkan bahwa Yahwe adalah suami dari
Israel. Yesaya 54:5 – “For your maker is your husband”.
Walaupun Yesaya tidak dengan jelas menyebutkan tentang Sinai sebagai peristiwa
perkawinan Yahwe dengan Israel, tetapi secara implisit itu menunjukkan kepada
hubungan Allah dengan Israel dalam konteks perjanjian.
Pemilihan Israel Di soroti Dari studi kata

Terminologi
Secara umum pakar perjanjian lama sepakat bahwa “Bahar” adalah satu-satunya kata
dalam bahasa Ibrani yang secara tepat menjelaskan arti serta konsep pemilihan Israel. Walaupun
ada konsesi umum tentang peandangan tersebut diatas, sebagian pakar perjanjian lama
meragukannya dengan mengatakan bahwa kata “Bahar” tidak dapat dianggap satu-satunya
kata yang dapat menjelaskan ide tentang pemilihan Israel.
Riset yang dilakukan oleh para pakar perjanjian lama mengembangkan studi filologi
yang menyoroti penggunaan dan perkembang kata-kata, frase, serta idiom dalam bahasa Ibrani
untuk mengerti tentang ide dan konsep tentang pemilihan Israel, selain dari itu studi ini
memperhatikan tentang latar belakang kehidupan atau life setting bangsa Israel yang
diungkapkan dengan berbagai bentuk terminology serta metapora yang bisa mengungkapkan
konsep pemilihan Israel. Karena menurut para pakar tersebut ide atau konsep tentang pemilihan
Israel sudah berakar secara mendalam dalam kehidupan bangsa Israel sejak lama. Hasil temuan
ini membantah pandangan sebagian pakar perjanjian lama yang mengatakan bahwa ide tentang
pemilihan bangsa Israel itu tidak pernah muncul sebelum kitab Ulangan. Mengapa demikian?
Karena ide tentang pemilihan bangsa Israel tidak pernah akan terlepas dari ketiga tema utama
kitab suci yang berkaitan dengan sejarah bangsa Israel yaitu : pemilihan, penolakan dan
restorasi. Pada saat yang bersamaan konsep ini tidak dapat dipisahkan dari konsep tentang
perjanjian Allah dengan Israel.
Istilah pemilihan.
Berdasarkan life setting (Zit Im Leben) serta metapor yang digunakan oleh penulis kitab
suci, maka ide tentang pemilihan Israel paling tidak ada tiga kata dalam bahasa Ibrani yang
mengungkapkan tentang pemilihan, yaitu :
1. “Bahar” artinya – memilih – to choose
2. “Lakah” artinya – mengambil – to take
3. “Ebed” artinya – Hamba – servant

1. Penggunaan kata bahar dalam konteks pemilihan Israel.


• Pemilihan Abraham, Kej. 18:19.
• Pemilihan Israel, Maz. 4:4; 33:12; Yes. 14:1; 43:10; 40:7; Hag. 2:14.
2. Penggunaan kata Laqah.
Kel. 16:6 (ing – 7) “I will take you”
a. Dalam konteks pernikahan
• Mengambil istri, Hak. 21:22
• Israel sebagai istri Yahwe, Ul. 4:34 – 5, 27, 38; Yer. 31:332.
b. Dalam konteks pengadopsian
• Israel diangkat sebagai anak oleh Yahwe, Kel. 4:22-23 “The first son”, Yes.
43:6; Hos. 1:10; Yer. 3:19; Bandingkan Yer. 3:4; 31:20; Yes. 63:16.
3. Dalam konteks hubungan tuan dan hamba (Ebed).
Israel hamba yang Kupilih Yes. 41:8
Israel sebagai hamba Im. 25:55
Yahwe sebagai raja dan Israel sebagai hamba raja, Yes. 33:22; 44:1-2, 5.
Theologi Tentang Penolakan Israel
The Rejection of Israel

Karena kasih karuniaNya Allah telah memilih Israel sebagai suatu bangsa dalam bentuk
perjanjian Sinai, sehingga Israel menjadi bangsa yang kudus, imamat kerajaan dan harta milik
kesayangan Allah. Karena itu ketidak setiaan Israel adalah dasar utama bagi penolakan Allah
terhadap Israel. Kalau dalam pemilihan Israel kitab suci menggunakan beberapa terminology
yang berlawanan dengan terminology pemilihan. Sebagaimana ide tentang pemilihan
diungkapkan dalam bentuk metapor, maka ide tentang penolakan juga diungkapkan dalam
bentuk metapor yang dapat terlihat dari beberapa metaor di bawah ini :
1. Yahwe menceraikan Israel.
Kita telah mempelajari bahwa ide tentang pemilihan Israel diungkapkan dalam bentuk
metapor perkawinan antara Allah dengan Israel, maka penolakan Israel diungkapkan dalam
bentuk perceraian.
• Hosea 2:1 Frase “She is not my wife, and I am not her husband” ini adalah semacam
pernyataan dari seorang suami istri sudah tidak ada lagi antara Yahwe dengan Israel,
pernyataan cerai.
• Yer. 3:8 “I sent her away and given her write of divorce”.
• Yer. 50:1 “Where is your mother’s certificate of divorce”.
• Hos. 2:9 “Lest I stripe her nakedness”.
• Yer. 13:22; Yehezkiel.
• Hos. 1:9 frase “you are not My people” adalah rejection formula untuk menyatakan
bahwa yang bersangkutan sudah tidak lagi terikat dalam pernikahan, karena status Israel
sebagai umat terkait dengan keberadaannya sebagai istri Yahwe dalam pernikahan Sinai.
Formula yang sama juga terdapat orang Babel.

2. Yahwe mengirim Israel keluar dari rumahNya.


Pemilihan Allah terhadap Israel melalui Musa ketika mereka berada di Mesir dan membawa
mereka ke tanah kanaan adalah gambaran tentang bagaimana Yahwe menyediakan tempat
/ rumah bagi Israel. Sehingga keluar / dikeluarkan dari rumah itu diartikan sebagai
penolakan Yahwe terhadap mereka.
• Imamat 26:11,12 Frase “I will make my dwelling place”.
• Yer. 15:1 “I will sent them away from my presence”.
• Hos. 9:15 “I will drive out them out of my house”.
• Ul. 29:25-7 “Yahwe akan mengeluarkan mereka dari tanah”.
• Yer. 3:2-3 Israel dikeluarkan dari tanah sebab mereka telah menajiskan tanah itu.
• Yes. 54:6 Mereka ditolak, karena mereka menolak Yahwe. (Yer. 6:30).
3. Yahwe melupakan umatNya.
• Yes. 49:9
• Hos. 2:32; 3:21 “Israel melupakan Yahwe”.
• Hos. 4:6 Yahwe melupakan Israel.
• Yer. 30:12-14 Semua kekasihmu melupakan engkau, mereka tidak mencarimu.

4. Babel dipakai sebagai alat penolakan.


• Yes. 10:5-6 Israel ditaklukan Assyria, 2 Raja 19:20-25.
• Yer. 5:15-8; 22:13:20. Babel dipakai untuk menawan suku Yehuda sebagai penolakan.

5. Yahwe mencabut umatNya.


• Yes. 5:1-7 Perumpamaan tentang kebun anggur.
• Yeh. 19:10-12 Israel dicabut oleh Allah.
• Ul. 28:63 Israel akan dicabut dari tanah kanaan dan dibuang ke dalam tawanan asing.
RESTORASI (PEMULIHAN ISRAEL)

Kalau dalam pemilihan dan penolakan Yehuda, kitab suci menggunakan beberapa
terminology untuk mengungkapkan ide tersebut maka dalam restorasi kitab suci mengguankan
terminology yang pernah dipakai sebelumnya. Inti dari restorasi adalah memulihkan,
memperbaharui dan konsilidasi. Restorasi berarti memulihkan Yehuda ke dalam posisinya yang
semula karena hubungan yang sebelumnya telah terpisah antara Allah dengan umatNya Israel.

Adapun beberapa terminology yang digunakan dalam restorasi ini adalah :


1. Yahwe mengambil Israel lagi.
Hos. 11:8 Masakan Aku membiarkan engkau, hai Efraim
How can I give you up, how can I hate you over?
Yes. 54:6-8 Masakan istri dalam masa muda akan tetap ditolak?
Hanya sesaat lamanya akan meninggalkan engkau,.... tetapi
karena kasih sayangku, Aku akan mengambil engkau kembali.

Nabi Yeremia mengungkapkan restorasi ini dalam konteks pembaharuan perjanjian yang
akan dibuat oleh Yahwe dengan umatNya.

Yeremia 31:31-34, Aku akan membuat perjanjian yang baru....”the new covenant” diartikan
sebagai sesuatu yang baru dalam konteks restorasi.
Yeremia 31 “Saatnya telah tiba....” menunjukkan pada hari restorasi Israel.

Yeremia 50:5 Perjanjian yang sama ini dinamakan “Perjanjian yang kekal” (Berit Olam).
Yehezkiel 37:26, perjanjian ini disebut sebagai “Perjanjian damai sejahtera” (Berit Syalom).

2. Yahwe membawa kembali Israel dari tawanan babel.


Kalau dulu Tuhan memakai Siria dan Babel sebagai alatNya untuk mendisiplinkan
Israel dan umat Yehuda, dalam konteks penolakannya terhadap mereka, maka dalam
konteks restorasi justru Allah melawan Babel dengan menyatakan tentang nasib yang akan
menimpa negera tersebut. Yes. 14:1-2 bandingkan Yes. 13:17-18, Yes. 46-47, Yes. 41:1-2.
Tuhan akan menyayangi dan memilih Yakub sekali lagi.... . Bangsa-bangsa akan
mengantar mereka kembali pulang ke tempatnya “....and again He will choose Israel”.
Dengan demikian kita melihat bahwa restorasi itu diungkapkan oleh Yesaya dalam bentuk
pemilihan ulang terhadap Israel. Bandingkan Yes.52:1-2.
Yer. 30:3, Yeremia berkata bahwa waktunya akan datang dimana Ia akan
merestorasikan keadaan bangsa dan umatNya Israel dan Yehuda.
3. Yahwe akan mengembalikan status umatNya sebagai anak.
Walaupun penolakan Israel adalah akibat dari kemurtadan meraka, dan sebagai
akibatnya mereka harus dikirim ke negeri asing sebagai tawanan, tetapi Allah tidak
memutuskan relasinya dengan Israel secara total, Allah masih tetap sebagai ayah dari Israel
karena mereka adalah anakNya bahkan anak sulungNya.
Yer. 31:1-9, “.....Karena Aku adalah ayah kepada Israel, dan Efraim adalah anak
sulungKu...”.
Yer. 31:20, “Aku akan menyatakan rahmatKu kepadanya, demikianlah dikatakan
Yahwe” Pada hari restorasi Yahwe berjanji akan memberikan nama lain kepada Israel. Yes.
65:13-15, Yes. 56:5.

4. Yehuda akan kembali ke tanah milik mereka sendiri.


Dalam pemilihan terdahulu kita jumpai bahwa Allah memberikan tanah kepada Israel
sebagai hadiah, dan di dalam penolakan ktia jumpai bahwa Israel harus diusir ke laur dari
tanah tersebut, tetapi sekarang dalam konteks restorasi Yahwe membawa Israel kembali dan
menempatkan mereka untuk memilikinya kembali.
Yer. 16:14-15, “Karena aku akan merestorasikan merka kembali ke tanah milik mereka
yang telah kuberikan kepada nenek moyang mereka.”
Lebih jelas lagi dikatakan bahwa Yahwe merestorasikan umatNya dengan membawa
mereka kembali kepada milik pusaka mereka. Yer. 12:15 bandingkan Yer. 30:3; 31:4; Yeh.
11:17; 34:27; 36:8; 24, 28, 35; 47:13-23; Amos 9:13-15; Yoel 2:18; Maz. 105:43-45; Yes.
62:4-5.

5. Yahwe akan menebus Yehuda kembali.


Yahwe telah menjual Yehuda ke dalam tangan Nebukadnezar, sehingga mereka sebagai
hamba-hamba disana. Yer. 17:4; 27:4; 17; 28: 14; 40:9, tetapi dalam restorasi Dia menebus
kembali umatNya. “you were sold for nothing and you will be redeemed without money”. –
Yes. 52:3, Kata to redeem, atau to buy back.
Yes. 11:11 – Lord will again recover the second time, (to purchase). Nama “hamba yang
terpilih” (choosen servant), Yes. 41:8-9.

6. Yahwe akan menanam Yehuda kembali.


Yer. 24:6-7, to plant them or not uproot them.
Keadaan setelah restorasi, Hos. 14:6-8.

7. Yahwe akan mengumpulkan dombaNya lagi.


• Yer. 23:3
• Yes. 40:11
8. Yahwe akan membangun kembali Israel.
• Yer. 33:7-11 will restore he fortune of Israel.
• Yer. 31:4

9. Yahwe akan membersihkan Israel.


• Yeh. 37:23
• Yeh. 36:24-28
Teologi Tentang Doa / Prayer in the Hebrew Bible

Samuel E. Balentine, (1993) “Prayer in the Hebrew Bible : The Drama of Divine Human
Dialogue” adalah murid dari Brueggemann, dan Brueggemann jugalah yang menulis pengantar
untuk buku yang dikarang Balentine.
Menurut Balentine, doa adalah sebuah dialog yang terjadi antara manusia dengan yang
ilahi yang didasarkan pada relasi yang baik.
Kalau selama ini kita selalu melihat kitab-kitab syair atau mazmur adalah kitab-kitab
yang kaya dengan doa, Balentine rupanya lebih jeli melihat kitab suci. Ia melihat bahwa Kitab
Suci diawali dengan doa, karena menurut Balentine frase “In the Beginning” (pada mulanya)
adalah frase tentang doa.
With these word the Hebrew Bible presents a confessional perspective that shapes all
that follows “In the Beginning God”. Whatever criteria one uses the devine prayer, prayer is
also, perhaps especially, shaped by this same confession. All prayer is directed to God. (hal.
33).
Balentine memunculkan doa dari tokoh-tokoh penting dalam kitab suci seperti doa
Yakub (Kej. 32:9-12), doa Elia (Raja 17:17-24), doa Daud (Taw. 29:10-19), doa Salomo ( 1
Raja 3: 4-15), doa Zedekia untuk intervensi Ilahi (2 Raja 19:15-19; 20:2-3). Doa Daniel (Daniel
9:4-19), doa Ratapan Yeremia (Ratapan 1:18-2:6).
Teologi Tentang Selingkuh (whoredom)

Raymond C. Orthlund, Jr. Whoredom : God’s Unfaithful Wife in Biblical Theology.


Dalam pemaparan secara eksegetis yang mendalam Orhlund memilih beberapa bagian
dari kitab suci PL untuk menjelaskan tentang ketidaksetiaan Israel sebagai istri Yahwe. Karena
itu ia mulai dengan pemaparan tentang relasi antara Yahwe dengan Israel dari Kej. 1:27 dengan
judul “In the Beginning : Human marriage as one flash”.
Kemudian dilanjutkan dengan membahas tentang persundalan umatNya yang terjadi di
padang gurun dengan menyembah lembu emas dalam Keluaran 34:11-16. Dengan judul
“committing great harlot”. Dilanjutkan dengan kitab para nabi ia memaparkan perselingkuhan
Israel lebih mendalam dengan menyebut Israel sebagai seorang perempuan sundal dan
bersundal dimana-mana. “under every green tree” (Jeremia 1-2). Yehzkiel 16 membicarakan
tentang persundalan Israel yang lebih tanpa malu dibawah judul “In every public square”. Dia
merefleksikan fenomena ini di dalam perjanjian baru. Dengan mengatakan bahwa generasi
orang sundal adalah generasi yang menuntut tanda (Mat. 12:38-39; 16:1-2).
Teologi Tentang Tanah

Walter. Brueggemann, (1977). The land.


Adalah pakar pejanjian lama yang sangat terkenal berpengaruh dan disegani di Amerika yang
banyak membimbing para pakar perjanjian lama.
Brueggemann memberikan dua makna penting yang terkandung dari kata tanah/negeri
bagi bangs Israel.
1. Tanah/negeri disini menunjukkan kepada tanah/negeri dalam arti yang sesungguhnya
yakni tanah Kanaan, dimana Israel memperoleh tempat perlindungan di negeri tanah
yang dijanjikan Tuhan.
2. Tanah/negeri dalam arti simbolis yang mengacu pada keadaan yang tenang, aman,
damai, tentram yang penuh dengan sukacita dan kemakmuran.
Pembahasan Brueggemann dengan teologi tentang tanah bagi Israel diawali dari
kejadian 12 ketika Yahwe memanggil Abraham untuk meninggalkan negerinya menuju negeri
yang telah dijanjikan oleh Allah. Negeri yang dituju secara rinci diberitahukan oleh Allah
bahkan lengkap dengan batas-batasnya. (Kej. 15:18-21).
Beberapa bagian penjelasan yang menarik yang diuraikan oleh Brueggemann berkaitan
Israel dan tanah yang mereka miliki. Ia mulai dengan tanah sebagai yang dijanjikan dan tanah
yang bermasalah. Beberapa pembahasan penting lainnya berkaitan dengan tanah seperti :
1. Tanah sebagai hadiah/ pemberian Allah. Pemberian inilah yang mengikat Israel
kepada Tuhannya. (Ul. 6:10-11, 8:7-10).
2. Tanah juga sebagai cobaan. Cobaan yang terbesar dari Israel ialah melupakan Allah
yang memberikan mereka tanah (Ul. 8:11-17).
3. Tanah sebagai tugas. Tugas utama umat Allah ialah memelihara negeri / tanah yang
diberikan Allah. 1) jauhkan dari berhala di negeri, 2) memelihara Sabat, 3)
memperhatikan persaudaraan satu dengan lainnya (Im. 25:35-38).
4. Tanah sebagai ancaman. Tuhan ingatkan kepada Yosua bahwa tugas menguasai
tanah Kanaan tidaklah gampang. Karena itu dia diminta untuk kuat, tidak goyah.....
(Yos. 1:6-9).

Anda mungkin juga menyukai