Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN BACA

TEOLOGI PERJANJIAN LAMA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :

TEOLOGI PERJANJIAN LAMA I

PROGRAM SARJANA TEOLOGI (S.Th.)

Dosen Pengampu:

Dr. Edi Sugianto, M.Th

Oleh:

Wenny Kristiani Waruwu


198.ST.11.17

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI TABERNAKEL INDONESIA


(STTIA)
Surabaya, Mei 2020
A. FORMAT LAPORAN BACA
1. Identifikasi Buku
 Judul Buku : Teologi Perjanjian Lama
 Penulis/Pengarang : Gerhard F. Hasel
 Tahun Terbit : 2016
 Tempat Terbit : Malang
 Penerbit : Gandum Mas
 Jumlah Halaman : 199 Halaman

I. PERMULAAN DAN PERKEMBANGAN TEOLOGI PERJANJIAN LAMA


Teologi perjanjian lama tidak pernah terlepas dari teologi alkitabiah dan telah
mengalami perkembangan, yaitu:
a. Sejak reformasi hingga pencerahan
Prinsip golongan Protestan “sola scriptura” (hanya dengan alkitab saja) menjadi
sorak peperangan dari gerakan reformasi terhadap teologi skolastik dan tradisi
kekuasaan gereja dengan memberikan sumber perkembangan teologi alkitabiah dalam
penafsiran alkitab (sui ipssius). Teologi alkitabiah dipakai dalam dua arti, yaitu
1. Sebuah teologi yang ajarannya bersumber dan berdasarkan alkitab saja;
2. Teologi yang dikandung oleh alkitab itu sendiri.
Hermeneutika Luther “sola scriptura” serta prinsipnya “was Christum treibet”
dan juga dualisme antara isi dan jiwa menghalanginya untuk mengembangkan teologi
alkitabiah. Kemudian dikembangkan oleh O. Glait dan Andreas Fischer, kemudian
Walfgang Jacob Christman dalam bukunya yang berjudul Teutsche Biblische
Theologia, kemudian abraham Calovius yang dikenal dengan teologi eksegetika.
Namun penekan dari kaum Pietisme (pendiri Philip Jacob Spener) telah mengubah arah
teologi alkitabiah sebagai suatu alat reaksi terhadap sifat ortodoks Protestan yang
kering sehingga pada akhirnya membawa pemisahan antara teologi sistematik dengan
teologi alkitabiah. Pemisahan kedua teologi tersebut mendapat pengaruh rasionalisme
pada zaman pencerahan.
b. Zaman pencerahan (Aufklarung)
Pada zaman pencerahan terdapat cara penelaah alkitab yang berbeda yang
dipengaruhi oleh reaksi rasionalisme terhadap supernaturalisme dan metode penelitian
sejarah (liberalisme) serta penggunaan kritik sastra radikal terhadap alkitab yaitu
menganggap alkitab sebagai dokumen sejarah sebab tidak semua bagian alkitab
diilhamkan. Von Ammon menganggap bahwa Perjanjian Baru lebih tinggi dari
Perjanjian Lama. Jadi, pada akhirnya teologi alkitabiah disesuaikan dengan zaman dan
sangat berkaitan ketat dengan sejarah sesuai dengan kesaksian alkitab itu sendiri.
c. Dari zaman pencerahan hingga zaman teologi dialetik
Pada zaman pencerahan disiplin teologi alkitabiah telah membebaskan diri dari
peranannya sebagai tambahan terhadap dogmatik dan menjadi saingan dari dogmatik.
Dalam perkembangan selanjutnya dipengaruhi oleh filsafat dan penerimaan terhadap
teologi dialektik setelah Perang Dunia I. Kemudian Kaiser dan para sarjana
menggunakan pendekatan “sejarah agama-agama” dan menempatkan semua aspek
alkitabiah dan non alkitabiah lebih rendah dari pada prinsip “agama universal”. De
Wette menggunakan filsafat Imanuel Kant untuk memadukan teologi alkitabiah dengan
suatu sistem filsafat. Namun pada pertengahan abad kesembilan belas, sebuah
konservatif yang sangat kuat menentang pendekatan-pendekatan yang rasional dan
filosofis terhadap teologi Perjanjian Lama dan menolak pendekatan berdasarkan
sejarah.
Oehler percaya bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru merupakan satu
kesatuan tapi dengan suatu pengecualian, yaitu Perjanjian Lama hanya berfungsi
didalam kanonik luas. Teologi Perjanjian Lama merupakan suatu ilmu sejarah yang
berdasar pada eksegese dari sudut sejarah tata bahasa yang tugasnya adalah
mereporduksi isi dari tulisan-tulisan dalam alkitab menurut kaidah-kaidah Bahasa
dengan mempertimbangkan keadaan sejarah pada tulisan-tulisan tersebut pertama kali
ditulis dan juga kondisi pribadi dari para penulis pada saat itu juga.
Pada tahun 1878 kemenangan pendekatan berdasarkan “sejarah agama-agama”
(Religionsgeschichete) yang diterbitkan oleh J. Wellhausen yang dipengaruhi oleh 1.
tanggal lama yang diberikan pada dokumen P 2. perkembangan sejarah agama Israel
atas dasar tanggal berikan oleh mazhab. Pendekatan Religionsgeschichete telah
mengaburkan Perjanjian Lama sebagai bahan koleksi dan lebih rendah tingkatannya
dari pada Perjanjian Baru.
d. Kebangunan kembali teologi Perjanjian Lama
Setelah perang Dunia I terdapat banyak faktor Zeutgeist yang mebawa kebangunan
kembali teologi Perjanjian Lama, yaitu 1)hilangnya pamor naturalisme evolusioner,
2)reaksi terhadap kebenaran historis yang dicapai melalui objektivitas ilmiah murni,
3)kecenderungan kembali pada ide penyataan di dalam teologi diakletik. O. Eissfeld
mengatakan bahwa Perjanjian Lama merupakan bidang disiplin yang non-historis,
ditentukan oleh posisi iman sang teolog sehingga bersifat subjektif padahal studi
tentang Israel bersifat historis dan objektif. Eichrodt mengatakan bahwa teologi
Perjanjian Lama sebagai suatu disiplin historis pada hakikatnya adalah baik dan tidak
ada sejarah Israel semacam praduga, sebab suatu unsur subjektif ada didalam setiap
ilmu karena prose seleksi dan pengaturan data tidak mungkin objektif semata-mata.
Pada tahun 1930-an dan seterusnya berlangsung sampai sekarang Teologi
Perjanjian Lama mengalami keemasan yang diikuti oleh penyelidikan B.S.Chlids yang
berharga tentang teologi alkitabiah di Amerika dari hasil dua prinsip berlawanan
perjuangan alkitab dalam persengketan antara Fundamentalis dengan Modernis yang
berlangsung tahun 1910-1930.

II. SEKITAR MASALAH METODOLOGI


Setelah perang Dunia I muncullah perdebatan yang menyangkut masalah apakah
teologi Perjanjian Lama bersifat deskriptif dan historis atau usaha yang normatif dan
teologis. Sehingga para sarjana mengklasifikasikan teologi Perjanjian Lama dalam
penyusunannya. Dalam karya ilmiah Gabler-Wrede-Stendah mengenai deskriptif atau
normatif mengatakan bahwa teologi alkitabiah bersifat historis karena mengemukkan apa
yang dipikirkan oleh penulis keagaamaan tentang ilahi. Teologi alkitabiah memisahkan
pendekatan deskriptif terhadap alkitab melalui pendekatan normatif untuk menerjemahkan
ayat makna ayat untuk masa kini. Masalah fundamental terdapat pada ayat yang sedang
diselidiki.
Perjanjian Lama menggunakan metodologi 1. Metodologi Didaktik-Dogmatik.
Pendekatan dari teologi sistematik tentang teologi-antropologi-soteriologi, namun lebih
berfokus kepada Allah sebagai pusat dari doktrin tersebut; 2. Metodologi Proresif-Genetis.
Pendekatan berdasarkan pembeberan penyataan Allah sebagaimana disajikan oleh Alkitab
berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh Allah dengan Nuh, Abraham, Musa dan melalui
Kristus semuanya menunjukkan “keberadaan organik” dari alktab serta “anatomi” kitab
suci; 3. Metode penggunaan contoh yang repsentatif yang mewakili keseluruhan.
Menjadikan dunia pemikiran Perjanjian Lama sebagai pusat Perjanjian Lama dengan
menganggap serius bahwa setiap riset sejarah yang layak disebut mempunyai elemen yang
subjektif; 4. Metode topikal. Menyusun bahan-bahan dan tema Perjanjian Lama dengan
cara dibaca, dirangkum dan disesitematisi yang didasarkan pada keseluruhan pengalaman
sebagai suatu analisis yang menyatu secara palsu tentang suatu pengalaman sejarah yang
memiliki kesatuan inti yang berbeda dengan kesatuan tulisan yang logis; 5. Metode
diakronis. Membangkitkan pemikiran serta riset baru dalam ukuran yang tidak tertandingi
berdasarkan riset sejarah tradisi dengan menceritakan kembali dalam bahasan teologis; 6.
Metode “Pembentukan Tradisi” suatu fenomenologi proses-proses pembentukan tradisi
untuk menemukan kesinambungan dan kesatuan tidak lagi di dalam Allah yang sama tetapi
di dalam suatu ontologi proses hidup tertentu yang berkesinambungan; 7. Metode
Dialektis-Tematik. Tema perjanjian menuju tema “kehadiran ilahi” sebagai tema dominan
dalam gereja yang dinyatakan Allah dalam tindakan dan Firman-Nya sedangkan manusia
dinyatakan dalam perkataan dan perbuatan; 8. Metode “Metode Alkitabiah Baru”
menyoroti masalah-masalah metodologis yang belum terpecahkan; 9. Teologi Perjanjian
Lama yang kanonik multipleks. Teologi Perjanjian Lama yang kanonik berisi penjelasan-
penjelasan dan penasiran berdasarkan prosedur pendektan multipleks. Teologi Perjanjian
lama diurutkan berdasrkan penekanan dua cabang teologi kitab perkitab atau rangkaian
tulisan dan tema, motif dan konsepsi-konsepsi yang dihasilkan dari pembahsan berbagai
segi dengan memakai suatu pendekatan unilinear. Teologi Kristen harus mengerti bahwa
Perjanjian Lama merupakan bagian dari suatu keseluruhan yang lebih luas dengan
membedakan disiplin teologi dari Israel.

III. MASALAH SEJARAH, SEJARAH TRADISI DAN SEJARAH KESELAMATAN


Menurut Von Rad Sejarah Israel yaitu sejarah berdasarkan penelitian modren dan
sejarah yang dibangun oleh iman Kristen melalui gambaran kerigmatik (tentang sejarah
Israel yang dibangun oleh imannya) dan kesaksian-kesaksian. Meskipun demikian Israel
hanya dapat memahami sejarahnya sebagai sebuah jalan yang dilintasi dengan tuntutan
Yahweh. Von Red beranggapan bahwa gambaran kerigmatik tidak berhubungan dengan
sejarah dan gambaran berdasarkan penelitian sejarah dengan kedua gambaran Israel dapat
berdiri sejajar dengan teologi Perjanjian Lama, dengan cara menguraikan kerigmatik dan
mengabaikan penelitian sejarah. Pandangan tersebut mendapat pertentangan dari Franz
Hesse, sehingga ia melawan pandangan Von Red dengan sebuah tesis yang berisi bahwa
iman haruslah didasarkan pada apa yang benar-benar terjadi bukan yang diakui terjadi.
Hesse mengatakan bahwa hanya sejarah Israel yang dihasilkan oleh penelitian sejarah yang
relevan secara teologis. Dalam apa yang dialami, diderita Israel selama berabad-abad
didalamnya terdapat sejarah keselamatan. Sejarah keselamatan ada didalam, dengan dan
dibalik sejarah Israel, ada Allah yang menuntun kepada tujuan-Nya yaitu keselamatan
didalam Yesus Kristus.
Walther Eichrdt dengan keras menolak pendapat Von Rad yang mengadakan
dualisme atas kedua gambaran sejarah Israel yang membuyarkan “sejarah Israel yang
benar” menjadi “puisi religius” sebab ia membuat jurang antara fakta-fakta lahiriah dan
sejarah penyelamatan dalam Perjanjian Lama dengan “kejadian dalam batin yang
menentukan” yaitu penguasaan batiniah oleh campur tangan Allah terhadap roh manusia.
Jadi Eichrodt mengatakan bahwa kepercayaan terhadap kesaksian Alkitab tentang fakta-
fakta sejarah terdapat sebuah perjanjian dan keselamatan yang membuat iman memiliki
kuasa.
Baum Gartel menanggapi pendapat Von Rad yang menyatakan bahwa secara
historis Perjanjian Lama memiliki kedudukan yang lain dari agama Kristen karena tindakan
Israel diterima begitu saja dan relevan bagi gereja Kristen. A. Weiser dan Hampel melihat
realitas sejarah dan pengungkapan kerigmatik, fakta dan penafsiran membentuk suatu
kesatuan Perjanjian Lama. Penberg memperluas pengertian sejarah keselamatan dan
menjadikannya identik dengan sejarah universal di dalam kesatuan sang Allah yang bekerja
untuk menepati janji-janjiNya. Kraus menunjukkan bahwa salah satu masalah yang paling
sulit dari hal memperoleh dan menyajikan teologi alkitabiah adalah titik tolaknya, makna
dan fungsi penelitian sejarah.
Menurut Gerhard F. Hasel tidak mungkin mendasarkan “sejarah keselamatan” pada
metode penelitian sejarah “Hesse” dan tidak mungkin memperluas metode penelitian
sejarah sedemikian rupa sampai realitas mutlak dapat nyata melaluinya karena penyesuaian
besar yang berbau prasangka dan filosofis yang harus dibuat akan mengubah metode ini
secara demikian radikal sehingga sifatnya yang berkaitan dengan penelitian sejarah
sebagaimana biasanya dipahami akan hilang. Dikotomi modren telah memecah sejarah
Israel dengan pengaruh-pengaruh yang begitu ketinggalan zaman dan meragukan seperti
positivisme dan neo-kantianisme. Jadi, harus bekerja dengan suatu metode yang
memperhatikan keseluruhan sejarah itu dengan mengakui kesatuan asli dari fakta-fakta dan
maknanya serta suatu konsepsi tentang realitas mutlak yang memadai.

IV. PUSAT PERJANJIAN LAMA DAN TEOLOGI PERJANJIAN LAMA

Bagi Eichrodt konsepsi pusat teologi Perjanjian Lama adalah perjanjian sebagai
suatu doktrinal dan sebagai sebuah konsepsi pemersatu. Sedangkan G. Fohrer menanggapi
bahwa perjanjian antara Yahweh dengan Israel tidak memainkan peran apa-apa dalam
kehidupan Israel. E. Sellin memilih kekudusan Allah sebagai ide pokok untuk
menuntunnya dalam paparan teologi Perjanjian Lama dan kepada kedatangan Yang Kudus
dalam penghakiman dan keselamatan yang keduanya berasal dari kekudusan Allah. Bagi
Kohler sendiri memilih Allah sebagai Tuhan, sebab kekuasaan Allah sebagai pemimpin
dan raja hanya akibat wajar ketuhanan Allah, sedangkan Hans Wildberger menunjukkan
konsepsi pusat dari Perjanjian Lama ialah pemilihan Israel sebagai umat pilihan. Vriezen
lebih memilih Allah sebagai pusat Perjanjian Lama dan hubungan-Nya kepada manusia
dan dunia.

Smend berkata bahwa Perjanjian Lama berpusat pada Allah dan untuk
mengatuhinya harus berlandaskan pada pusatnya yaitu Allah. Para nabi bernubuat sebagai
puncak prestasi yang mereka peroleh yaitu menangkap kembali iman dimensi yang
didalamnya Yahweh telah menyatakan diri-Nya secara paling baik didalam sejarah dan
politik. Orientasi penyelamatan masa lampau dijadikan sebagai tindakan dimasa depan
untuk mengakhiri konsepsi-konsepsi sejarah.
Berbagai filosif dari teologi skolastik pada abad pertengahan berada dalam praduga
oleh alasan-alasan yang menyatakan bahwa sifat multipleks bahan Perjanjian Lama yang
sangat beraneka ragam akan cocok diatur dengan memakai pusat. Namun harus diakui
bahwa tidak ada tema tunggal yang cukup komprehensif yang didalamnya mencakup
segala ragam pandangan tersebut. Sehingga pada akhirnya para teolog memilih untuk
mengsistematiskan bahan-bahan alkitab dengan skema Allah-Manusia-Keselamatan yang
dipinjam dari teologi sistematika atau dogmatika. Para teolog juga menyepakati bahwa
Allah adalah pusat dari Perjanjian Lama, sama seperti di Perjanjian Baru yang berpusat
pada Kristosentris. Allah menyatakan diriNya dengan penyataan sifat yang terealisasikan
dalam tindakan yang berkaitan dengan dunia dan manusia, alam dan sejarah. Allah adalah
landasan penyusunan sebuah teologi Perjanjian Lama dan firman-Nya sebagai kitab
terbuka yang memberikan kesaksian mengenai Allah sebagai pusat serta karya keselamatan
dan penghakiman-Nya terhadap Israel dan dunia.

V. HUBUNGAN ANTARA KEDUA PERJANJIAN


Pada tahun 1797 terbit buku Theologie des Alten Testament karangan Georg
Lorens Bauer, yang pada akhirnya menimbulkan persoalan-persoalan tentang
kesinambungan dan keadaan tidak bersambung terhadap hubungan Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru serta cara mempelajarinya sebagai suatu kesatuan atau perpecahan.
Beberapa sarjana mempermasalahkan hubungan keduanya, dengan menunjuk Perjanjian
Lama sebagai sebuah kitab non-Kristen.
Oleh pencarian Rudolf Bultman untuk mencari kaitan keduanya dalam kurun waktu
sejarah Israel, dengan menetapkan Perjanjian Lama sebagai sejarah kegaggalan dan
akhirnya berubah menjadi janji. Perjanjian Lama yang diadakan oleh Allah kepada Israel
hanya sebuah perkiraan tentang Perjanjian Baru, bukan penyataan sebagaimana orang
Israel itu sendiri. Hubungan keduanya tidak relevan secara teologis walaupun Perjanjian
Lama memiliki sifat menjanjikan, oleh karena kegagalan tersebut.
Keyakinan Bultman dan Friedrich Baumgartel yang berpandangan bahwa
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak memiliki hubungan. Meskipun Baumgartel
tidak mengikuti tesis Bultman tentang kegagalan total, karena ia beranggapan bahwa ada
sebuah janji dasar yang abadi sehingga ia memilih untuk mempertahankan pendapatnya
tentang hubungan Yesus Kristus dengan sejarah yang tidak berlandaskan pada Perjanjian
Lama sepenuhnya melainkan pada penjelmaan.
Franz Hesse mantan murid Baumgartel membuat penyerdehanaan yang sama dari
banyak janji menjadi janji dasar tunggal. Janji pada Perjanjian Lama ditinggalkan sebab
Israel berkeras hati terhadap firman Allah, dimana Firman itu pada akhirnya mencapai
puncaknya pada salib Kristus.
Wilhelm Vischer menginginkan agar eksegese Perjanjian Lama didominasi oleh
Perjajian Baru, dengan demikian Perjanjian Lama menjadi sangat penting. Dalam dialektik
yang ketat “Perjanjian Lama menafsirkan Perjanjian Baru dan Perjanjian Baru menafsirkan
Perjajian Lama” dan pusat perhatian Alkitab adalah kerajaan Allah, bukan pendamaian dan
penebusan. Perjanjian lama hanya bisa dipahami melalui peristiwa Kristus yang mencakup
sejarah Perjanjian Lama dan menunjukkan kembali kepada kesaksian-kesaksian yang ada.
Pendekatan Kristlogis –teokratis terhadap kesatuan perjanjian menghasilkan
kesulitan-kesulitan karena pendekatan tersebut mempersingkat dan sebenarnya menghapus
kesaksian alkitab. Mengingat beberapa pertimbangan yang ada, maka jalan satu-satunya
yang memadai untuk mengatasi sifat multipleks dari hubungan antara kedua perjanjian
adalah menggunakan pendekatan multipleks, yaitu pendekatan yang menggunakan
pemakaian tipologi secara sangat berhati-hati dan teliti, memakai ide penggenapan janji
dan juga secara hati-hati memakai pendekatan Heilsgeschechte (sejarah keselamatan).
Pendekatan ini menuntun pada pengakuan akan adanya kesamaan dan perbedaan, lama dan
baru, kesinambungan dan keadaan terputus tanpa mengubah sedikitpun kesaksian sejarah
dan makna harafiah aslinya dan juga tidak kurang dalam konteks dan maksud kerigmatik
yang lebih luas mengenai Perjanjian Lama yang memberikan kesaksian.
Para ahli teologi Perjanjian Lama memiliki perbedaan pendapat tentang hubungan
keduanya. Untuk itu pendekatan multipleks melalui pola hubungan historis dan teologis
antara kedua perjanjian adalah sebagai berikut: 1. memiliki sejarah yang
berkesinambungan dari umat Allah dan perbuatan Allah bagi umat manusia; 2. hubungan
antara kedua perjanjian dapat dilihat melalui kutipan-kutipan Alkaitab; 3. pemakaian
makna teologis pada Perjanjian Baru diambil dari suatu kata Ibrani yang telah lama untuk
dikembangkan; 4. tema utama keduanya memiliki persamaan dan dengan cara tertentu
dilanjutkan dan diselesaikan disitu; 5. pemakaian tipologi yang hati-hati dengan suatu
metodologi yang memadai untuk menyelesaikan sejarah antara kedua perjajian; 6. kategori
janji atau nubuatan dan penggenapan menjelaskan suatu aspek lain dari hubungan timbal
balik antara kedua perjanjian; 7. konsepsi sejarah keselamatan yang menyatukan kedua
perjanjian, dari Adam dosa bergerak kepada seluruh umat mansuai lewat Abraham sampai
pada Kristus didalam penggenapan yang penuh kemuliaan.1

VI. SARAN-SARAN POKOK UNTUK MEMBUAT TEOLOGI PERJANJIAN LAMA


Ada beberapa saran-saran pokok mengenai Teologi Perjanjian Lama berdasarkan
kritikan dan jalan yang ditempuh oleh para ahli dalam membuat teologi Perjanjian Lama,
yaitu:
1. Teologi alkitabiah harus dipahami sebagai sebuah disiplin yang bersifat historis-
teologis dengan menguraikan apa makna asli dari ayat yang diselidiki dan artinya bagi
masa kini.
2. Teologi alkitabiah harus menggunakan metode yang bersifat historis dan teologis
sebagai hasil dari disiplin historis-teologis. Sejarah dapat dijelaskan dan diterangkan
melalui sejarah peristiwa-peristiwa sejarah sebelumnya dan dipahami dari sudut
analogi dengan pengalaman-pengalaman sejarah lainnya.
3. Ahli teologi alkitabiah yang terlibat dalam teologi Perjanjian Lama menunjukkan
pokok persoalannya terlebih dahulu karena usahanya merupakan teologi Perjanjian
Lama yang materinya berasal dari Perjanjian Lama. Dengan demikian harus
memperhatikan latar belakang sejarah, budaya dan sosial untuk mengungkapkan
makna ayat-ayat yang terpisah serta asal mula tulisan, isinya, bentuknya serta maksud
penulisannya dan maknanya yang beraneka ragam. Hal tersebut dipengaruhi oleh
kebudayaan pada zaman purbakala pada daerah Timur Dekat Kuno.
4. Penyajian teologi-teologi dari kitab-kitab atau kelompok tulisan dalam Perjanjian
Lama.
5. Teologi Perjanjian Lama tidak hanya mengetahui teologi dari berbagai kitab atau
kelompok kitab, tapi berusaha juga untuk mengumpulkan dan menyajkan tema-tema
utama Perjanjian Lama.

1
Kutipan Terbaik Hlm. 166-168
6. Teologi Perjanjian Lama memperoleh teologinya melalui kitab-kitab yang terpisah dan
kelompok tulisan dan memberikan tema-tema yang longitudinal.
7. Teologi Perjanjian Lama yang integral menunjukkan hubungannya yang mendasar
dengan Perjanjian Baru atau dengan teologi Perjanjian Baru.

RESPON

Kekuatan

1. Diuraikan dengan baik perkembangan teologi Perjanjian Lama mulai dari zaman
reformasi-zaman pencerahan-teologi diakletik berdasarkan zaman dan para tokoh-
tokoh pada pada saat itu.
2. Menjelaskan suatu topik bahasan dengan membandingkan pendapat para teolog dan
menyimpulkannya

Kelemahan

1. Memokuskan pembahasan pada pandangan para tokoh dari pada menjelaskan dengan
dalam permasalahan tersebut.
2. Penjelasan setiap bagian kurang gamblang dan lebih memetingkan pandangan orang
lain dari pada menjelaskan pendapatnya sendiri

KUTIPAN TERBAIK

1. Hesse mengatakan bahwa hanya sejarah Israel yang dihasilkan oleh penelitian sejarah yang
relevan secara teologis. Hlm 106
2. Ahli teologi alkitabiah yang terlibat dalam teologi Perjanjian Lama menunjukkan pokok
persoalannya terlebih dahulu karena usahanya merupakan teologi Perjanjian Lama yang
materinya berasal dari Perjanjian Lama. Dengan memperhatikan latar belakang sejarah,
budaya dan sosial untuk mengungkapkan makna ayat-ayat yang terpisah serta asal mula
tulisan, isisnya, bentuknya serta maksud penulisannya dan maknanya yang beraneka
ragam. Hal tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan pada zaman purbakala pada daerah
Timur Dekat Kuno. Hlm 179

Anda mungkin juga menyukai