Anda di halaman 1dari 7

PERTEMUAN 2

RUANG LINGKUP SASTRA

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari materi ini, Anda diharapkan mampu:
1.1. Memahami sejarah ilmu sastra
1.2. Mengetahui objek ilmu sastra
1.3. Mengetahui tujuan ilmu sastra

B. URAIAN MATERI
1.1. Memahami Sejarah Ilmu Sastra
Sastra sebagai ilmu masih sering diperdebatkan. Keberatan yang pernah diajukan
kepada ilmu sastra umum karena tidak ada perhatian khusus pada karya sastra sebagai
sebuah karya seni yang unik. “Katanya, ilmu sastra hanya mau mencari skema-skema
bagaimana menceritakan suatu konvensi dalam puisi serta modul-modul komunikasi
tanpa menghiraukan cerita atau puisi yang satu-satunya itu, yang tak dapat diganti oleh
sebuah cerita atau puisi lain. Sastra tidak menyingung persoalan, karena setiap ilmuwan
sastra berusaha merumuskan pengertian-pengertian umum. Ia ingin tahu sifat-sifat yang
merupakan ciri khas bagi semua karya sastra ataupun sekelompok karya sastra, lagipula
kaidah-kaidah serta konvensi secara khusus berlaku bila kita menghadapi teks - teks
sastra, Luxemburg, dkk (1982: 2 – 3).
Penolakan terhadap keberatan menyatakan bahwa ilmu sastra tidak hanya
menekuni ilmu sastra tidak hanya menekuni kaidah-kaidah, sistem-sistem serta modul-
modul. Seorang peneliti sastra yang ada minat terhadap sejarah sastra tidak hanya
memerhatikan sistem-sistem dan perkembangan sastra. Ia (juga akan memerhatikan ciri-
ciri khas yang terdapat dalam karya-karya sastra masing-masing (Luxemburg, dkk,
1982: 3). Penolakan sastra sebagai ilmu juga diungkapkan oleh Wellek dan Warren (20:
14). Mereka berpendapat bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni.

1
Sedangkan studi/ilmu sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Akan tetapi sejumlah
teoretisi menolak mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu.
Selain dari pendapat sastrawan, pakar ilmu alam berpendapat bahwa ilmu sastra
tidak mampu mencapai taraf ilmiah karena dalam kenyataannya ilmu sastra hanya
mengimpor dasar-dasar ilmiah dari bidang lain. Misalnya sosiologi, psikologi, tanpa
memahami bahwa ilmu sastra dapat ditemukan dalam sastra. Pendapat lainnya bahwa
dalam memahami sastra, orang hanya memotong-motong sastra dari sudut ilmu lain.
Pendapat lain lagi, bahwa sastra dianggap tidak ilmiah karena cara pemahaman sastra
dianggap identik dengan omongan bertele-tele tanpa konsep yang jelas.
Keraguan terhadap keilmuan sastra masih juga bergaung sampai sekarang. Hal
ini tidak hanya di Universitas Amerika dan Inggris tetapi juga di Universitas Negara lain,
termasuk Indonesia. Sastra dinyatakan tidak ilmiah karena kurang konsisten, kurang
percaya diri, sehingga tidak menghasilkan konsep yang jelas. Budi Darma (1990: 338,
343), berpendapat kelemahan sastra sebagai ilmu di Indonesia disebabkan oleh dominasi
studi kebahasaan. Demikian juga para sarjana sastra Indonesia kurang banyak membaca
dan cenderung menerima segala sesuatu secara langsung lugas dan jelas, tanpa
pertimbangan dan evaluasi yang cermat.
Berdasarkan keraguan terhadap sastra sebagai ilmu di atas, akademisi sastra tidak
membiarkan terus berlangsung. Mereka menyusun dan merumuskan sastra sebagai ilmu
yang sejajar dengan ilmu lainnya. Sastra sebagai bidang kajian ilmiah baru dimulai pada
abad 19. Para ilmuwan sastra menginginkan agar pendekatan terhadap kegiatan manusia
yang bernama sastra dapat dilakukan secara ilmiah. Dengan demikian sastra berdiri
sendiri sebagai satu bidang ilmu yang eksis. Sastra sebagai salah satu bidang ilmu
berbeda dengan ilmu lainnya. Perbedaannya pada perhatian, pada penghayatan, bukan
pada kognisi. “Objek ilmu sastra adalah kehidupan manusia yang sudah terabstraksikan
dalam karya sastra” (Darma, 1990: 338). Oleh karena itu dalam ilmu sastra, karya sastra
sebagai objek utama kajian memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan objek-
objek kajian ilmu lainnya.
Kepekaan yang tinggi dituntut dalam ilmu sastra. Kepekaan tidak dapat diartikan,
diformalasikan dengan jelas. Keilmiahan ilmu sastra tidak eksplisit, tetapi implisit. Oleh

2
karena itu, ilmu sastra mampu membuktikan diri sebagai kajian ilmiah. Di dalamnya
terdapat unsur fakta/data, inferensi atau simpulan dan pendapat/judgement. Selain itu
langsung atau tidak ilmu sastra selalu mengedepankan inkuiri, masalah, hipotesis
terselubung dan jawaban terhadap inkuiri, masalah serta pembuktian terhadap hipotesis
terselubung (Darma, 1990:342). Tahap-tahap dalam ilmu sastra tidak berjenjang secara
hierarkis seperti dalam ilmu pada umumnya (dari pengetahuan, pemahaman, penerapan,
analisis, sintesis, dan terakhir evaluasi), tetapi lebih bersifat melebar. Titik berat ilmu
sastra adalah pada esensi karya sastra. Oleh karena itu, keilmiahan studi sastra memiliki
sifat tersendiri. Dengan demikian ilmu sastra memiliki keilmiahan sendiri.

1.2. Mengetahui Objek Ilmu Sastra


Objek ilmu sastra adalah kehidupan manusia yang sudah diabstraksikan dalam
karya sastra (Darma, 1990: 338). Oleh karena itu, objek utama ilmu sastra adalah karya
sastra. Karya sastra yang menjadi objek ilmu sastra itu bersifat kreatif, imajinatif, intuitif,
bertitik tolak pada penghayatan, berupa abstraksi kehidupan. Tanpa karya sastra tidak
mungkin bicara ilmu sastra. Karya sastra lahir oleh dorongan manusia untuk
mengungkap diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi, 1993: 1).
Karya sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat dan ilmu jiwa. Sastrawan
dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup,
kejiwaan bukan dengan cara teknis akademik, melainkan melalui karya sastra.
Karya sastra adalah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi. Karya
sastra juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan
emosional. Karya sastra adalah hasil ekspresi individual penulisnya. Oleh karena itu
kepribadian, emosi, dan kepercayaan penulis akan tertuang dalam karya sastranya.
Karya sastra adalah hasil proses kreatif. Karya sastra bukanlah hasil pekerjaan yang
memerlukan keterampilan sesuatu seperti membuat sepatu, kursi atau meja. Karya sastra
memerlukan perenungan, pengendapan ide, langkah tertentu yang berbeda antara
sastrawan yang satu dengan sastrawan yang lain.

3
Karya sastra memiliki bentuk dan gaya yang khas. Kekhasan karya sastra berbeda
dengan karya nonsastra. Kekhasan karya sastra harus dibedakan atas genre karya sastra,
yaitu puisi, prosa dan drama.
Bahasa yang digunakan dalam karya sastra juga memiliki kekhasan. Bahasa
dalam karya sastra telah mengalami penyimpangan, pemutarbalikan dari bahasa praktis
sehari-hari. Bahasa yang sudah biasa dan dikenal diasingkan, disulap, digali dan diberi
makna baru atau diberi penambahan muatan maknanya. Oleh sebab itu karya sastra
dipandang sebagai wujud referensi wacana. Wacana sastra dipandang sebagai suatu
pemakaian bahasa tertentu bukan sebagai ragam bahasa tertentu.
Karya sastra mempunyai logika tersendiri. Logika karya sastra erat berkaitan
dengan konvensi karya sastra. Logika karya sastra mencakup isi dan bentuk karya sastra.
Bentuk pantun setiap bait terdiri atas empat baris. Setiap baris terdiri atas empat kata
atau 9 – 10 suku kata. Persajakan ab ab. Dari isinya baris satu dan dua hanya merupakan
pengantar (sampiran), sedangkan isinya ada pada baris ketiga dan keempat. Semua itu
merupakan logika puisi yang disebut pantun. Berubah sedikit saja, berubah pula
logikanya. Jika semua berupa isi maka disebut syair.
Dalam puisi ada yang tidak masuk akal jika menggunakan logika biasa. Tetapi
masuk akal dalam logika puisi. Dalam logika biasa tidak mungkin lembaran daun
berbunyi gemerincing apalagi seperti lonceng katedral. Tetapi dalam logika puisi
lembaran daun berbunyi gemerincing seperti lonceng katedral justru logis. Dalam
tersunyian, sedikit saja usikan akan terasa besar akibatnya hingga daun yang jatuh saja
dirasakan berbunyi.
Hal yang sama juga ditemukan bila membaca novel Rafilus karya Budi Darma.
Tokoh Rafilus digambarkan sebagai tokoh yang tubuhnya seperti terbuat dari besi tidak
bisa mati, kebal peluru, atau seperti setan. Penggambaran tokoh rafilus yang demikian
masuk akal dalam logika novel. Dalam kenyataan sehari-hari, hal itu tidak masuk akal.
Dalam novel Rafilus diperlukan untuk menekankan tema novel. Oleh karena itu logika
dalam karya sastra dinilai dalam kaitannya dengan penyajian karya sastra. Bukan dengan
menggunakan ukuran logika di luar sastra. Sebab itu logika dalam karya sastra disebut
logika internal.

4
Karya sastra merupakan dunia rekaan (fiksi). Kata fiksi mempunyai makna
khayalan, impian, jenis karya sastra yang tidak berdasarkan kenyataan yang dapat
dipertentangkan dengan nonfiksi (cerita berdasarkan kenyataan). Dalam kenyataannya,
karya sastra bukan hanya berdasarkan khayalan, melainkan gabungan kenyataan dan
khayalan. Semua yang diungkapkan sastrawan dalam karya sastranya adalah hasil
pengetahuan yang diolah oleh imajinasinya.
Sastrawan memperlakukan kenyataan dengan tiga cara yaitu, manipulasi,
artifisial, interpretatif. Hanya kadar kenyataan dalam karya sastra yang berbeda untuk
setiap karya sastra. Karya sastra yang bersifat biografis, otobiografis, historis, catatan
perjalanan, kadar kenyataannya lebih dominan.
Karya sastra mempunyai nilai keindahan tersendiri. Karya sastra yang tidak
indah tidak termasuk karya sastra. Setiap daerah, golongan, waktu menentukan nilai
keindahan yang berbeda. Saat Siti Nurbaya terbit, novel itu dianggap indah. Keadaannya
menjadi lain seandainya novel itu diterbitkan sekarang. Karya sastra adalah sebuah nama
yang diberikan masyarakat kepada hasil karya seni tertentu. Hal ini mengisyaratkan
adanya penerimaan secara mutlak oleh masyarakat sastra. Penerimaan bukan berarti
karya sastra harus mudah diterima oleh masyarakat dan sesuai dengan selera masyarakat.
Hal itu akan merosokkan nilai sastra. Karya sastra yang baik juga tidak selalu sulit
dipahami. Segala sesuatu yang dikatakan oleh masyarakat sastra sebagai karya sastra
pada suatu masa pada hakikatnya bisa dikelompokkam sebagai karya sastra. Sebaliknya
bagaimana pun baiknya suatu karya sastra berdasarkan objeknya dan dimaksud oleh
penulisnya sebagai karya sastra bila masyarakat sastra menolaknya maka hasilnya bukan
karya sastra.

1.3. Mengetahui Tujuan Ilmu Sastra


Ilmu sastra membahas esensi ilmu sastra, sejarah dan perkembangan ilmu sastra,
metode ilmiah sastra, yang harus dikembangkan ilmuwan atau calon ilmuwan sastra.
Tujuan ilmu sastra yang dimaksud ialah sebagai berikut.
a. Imu sastra sebagai sarana pengujian pemahaman ilmiah sastra sehingga manusia
menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah sastra. Seorang ilmuwan sastra harus memili

5
sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri sehingga dapat menghindarkan diri dari
sifat solipsistik mengganggap hanya pendapatnya yang paling benar.
b. Ilmu sastra merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode
keilmuan sastra. Kecenderungan yang terjadi di kalangan para ilmuwan sastra
modern menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu sastra.
Satu sikap yang diperlukan menerapkan metode ilmiah yang sesuai atau yang cocok
dengan struktur ilmu sastra, bukan sebaliknya. Metode ilmu sastra hanya sarana
berpikir bukan hakikat ilmu sastra.
c. Ilmu sastra memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan sastra. Setiap
metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis
– rasional agar dapat dipahami dan dipergunakan secara umum. Semakin luas
penerimaan dan penggunaan metode ilmiah sastra, semakin valid metode tersebut.
Lebih dari yang diuraikan sebelumnya mengenai sejarah, objek, dan tujuan ilmu
sastra, yang menjadi cakupan dari ilmu sastra meliputi teori sastra, kritik sastra, dan
sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian karya sastra.
Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga
disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian
sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu,
pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya
dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang digunakan pada zaman itu. Bahkan
dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan periode
berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat kritikan
yang cukup kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat
berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun demikian, dalam praktiknya,
pada waktu seseorang melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu
tersebut saling terkait.

C. LATIHAN/TUGAS
1. Sastra sebagai ilmu, penjelasan seperti apa yang dapat Anda berikan untuk hal ini?
2. Apa saja yang menjadi objek ilmu sastra?

6
3. Cari tahu dan jelaskan kembali mengenai perbedaan antara teori sastra, kritik sastra,
dan sejarah sastra!

DAFTAR PUSTAKA

Luxemburg, et. Al. 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta:
Gramedia.

Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya

Wellek, R dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

Anda mungkin juga menyukai