Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas satu sama lain.
Agama islam tidak hanya mengatur tentang hubungan manusia dengan
Alloh SWT , tetapi juga mengatur tentang hubungan antar manusia. Di
dalam hubungan antar manusia tersebut, terdapat interaksi untuk
menyejahterakan sesama umat manusia dan kehidupan di dunia ini. Untuk
mencapai kesejahteraan duniawi, salah satu caranya adalah dengan
melakukan kegiatan ekonomi. Di dalam agama Islam, seluruh kegiatan
perekomian diatur di dalam dasar hukum ekonomi Islam sebagai sumber
pedoman berperilaku dalam kegiatan tersebut. Artinya, walaupun manusia
diberi kebebasan untuk mencapai kesejahteraan, namun manusia tidak
boleh melewati batas yang telah ditentukan dalam agama Islam. Maka dari
itulah, penulis membuat makalah ini dengan judul: Hukum Ekonomi di
dalam Islam .

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah hukum ekonomi di dalam Islam?

C. Tujuan dan Manfaat


Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui hukum dasar
dalam sistem ekonomi islam dan hal-hal yang berkaitan serta bagaimana
hukum dalam pandangan islam terhadap ekonomi.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Ekonomi dalam Islam

Sebuah ilmu tentu mempunyai landasan hukum agar bisa dinyatakan


sebagai sebuah bagian dari konsep pengetahuan, demikian pula dengan
ekonomi islam. Ada beberapa dasar hukum yang menjadi landasan
pemikiran dan penentuan konsep ekonomi islam. Beberapa dasar hukum
Islam itu diantaranya adalah:

1. Al Qur'an Ini adalah dasar hukum utama konsep ekonomi islam,


sebab Al Qur'an adalah ilmu pengetahuan yang berasal langsung dari Allah
Swt. Beberapa ayat dalam Al Qur'an merujuk pada perintah manusia untuk
mengembangkan sistem ekonomi yang berasal pada hukum islam.
Diantaranya terdapat pada QS. Fuskilat:42, QS. Az Zumar:27, QS. Al Hasy:22
2.Hadist dan Sunnah, adalah sebuah perilaku Nabi yang tidak
diwajibkan dilakukan manusia, namun apabila mengerjakan apa yang
dilakukan Nabi Muhammad maka manusia akan mendapatkan pahala.
Keduanya dijadikan dasar hukum ekonomi islam mengingat Nabi Muhammad
SAW sendiri adalah seorang pedagang yang sangat layak untuk dijadikan
panutan pelaku ekonomi modern.

3. Ijma,' yaitu sebuah prinsip hukum baru yang timbul sebagai akibat
adanya perkembangan jaman. Ijma' adalah konsensus baik dari masyarakat
atau cendikiawan agama, dengan berdasar pada Al Qur'an sebagai sumber
hukum utama.

4. Ijtihad atau Qiyas Ijtihad atau Qiyas, adalah sebuah aktivitas dari
para ahli agama untuk memecahkan masalah yang muncul di masyarakat,
dimana masalah itu tidak itu secara rinci dalam hukum islam. Dengan
merujuk beberapa ketentuan yang ada, maka Ijtihad berperan untuk
membuat sebuah hukum yang bersifat aplikatif, dengan dasar Al Qur'an dan
Hadist sebagai sumber hukum yang bersifat normatif.

B. Prinsip Hukum Ekonomi Islam

Dalam Hukum Ekonomi Islam, sebagai ketentuan yang ditetapkan


syara, terdapat prinsip-prinsip yang wajib dipenuhi apabila sebuah interaksi

2
antar sesama manusia yang berkaitan dengan harta dan kepemilikan akan
dilakukan. Prinsip-prinsip ini mesti dijadikan sebagai ugeran (aturan) dalam
melaksanakan aktivitas ekonomi. Berdasar pada beberapa pendapat para
fuqaha saat mendeskripsikan fiqih al-muamalah (baca: Hukum Ekonomi
Islam), maka setidaknya ditemukan empat prinsip, yaitu:

1. Pada asalnya aktivitas ekonomi itu boleh dilakukan sampai ada dalil
yang mengharamkannya,

2. Aktivitas ekonomi itu hendaknya dilakukan dengan suka sama suka


(an taradlin),

3. Kegiatan ekonomi yang dilakukan hendaknya mendatangkan


maslahat dan menolak madharat (jalb al-mashalih wa daru al-mafasid), dan

4. Dalam aktivitas ekonomi itu terlepas dari unsur gharar, kedzaliman,


dan unsur lain yang diharapkan berdasar syara.

Dalam prinsip pertama mengandung arti, hukum dari semua aktivitas


ekonomi pada awalnya diperbolehkan. Kebolehan itu berlangsung selama
tidak atau belum ditemukan nash Al-Quran dan Al-Hadits yang
menyatakan keharamannya. Ketika ditemukan sebuah nash yang
menyatakan haram, maka pada saat itu pula akad muamalah itu menjadi
terlarang berdasar syara. Prinsip Hukum Ekonomi Islam ini sebenarnya
mengacu pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Al-Quran
dan Al-Hadits. Al-Quran secara substansi berbicara mengenai masalah ini
terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 29, Dialah Allah yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu. Sedangkan Al-Hadits yang berkaitan
dengan prinsip ini adalah hadits yang diterima Salman Al-Farisi yang
diriwayatkan Turmudzi dan Ibn Majah, Rasulullah Saw bersabda, Apa yang
dihalalkan Allah adalah halal dan apa yang diharamkan Allah adalah haram
dan apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah
pemaafan-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatu pun. (HR. Al-
Bazar dan Al-Thabrani)

Prinsip Hukum Ekonomi Islam yang kedua adalah muamalah,


hendaknya dilakukan dengan cara suka sama suka dan tidak ada unsur
paksaan dari pihak manapun. Bila ada dalam sebuah aktivitas ekonomi
ditemukan unsur paksaan (ikrah), maka aktivitas ekonomi itu menjadi batal
berdasar syara. Prinsip muamalah ini didasarkan pada nash yang tertuang
dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 29, Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,

3
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu. Prinsip inipun didasarkan pada hadits Nabi Saw yang
menyatakan, Bahwasannya jual-beli hendaknya dilakukan dengan suka
sama suka.

Sedangkan prinsip yang ketiga adalah mendatangkan maslahat dan


menolak madharat untuk kehidupan manusia. Prinsip ini mengandung arti,
aktivitas ekonomi yang dilakukan itu hendaknya memperhatikan aspek
kemaslahatan dan kemadharatan. Dengan kata lain, aktivitas ekonomi yang
dilakukan itu hendaknya merealisasi tujuan-tujuan syariat Islam (maqashid
al-syariah), yakni mewujudkan kemaslahatan untuk manusia. Bila ternyata
aktivitas ekonomi itu dapat mendatangkan maslahat untuk kehidupan
manusia, maka pada saat itu hukumnya boleh dilanjutkan dan, bahkan, wajib
dilaksanakan. Namun bila sebaliknya, mendatangkan madharat, maka pada
saat itu pula wajib dihentikan. Prinsip ketiga itu biasanya didasarkan pada
firman Allah dalam surat Al-Anbiya ayat 107, Dan tidaklah Kami mengutus
kalian melainkan untuk (menjadi) rahmat untuk seluruh alam. Rahmat
dalam ayat ini bisa diartikan dengan menarik manfaat dan menolak
madharat (jalb al-manfaah wa daf al-madharah). Makna ini secara
substansial seiring dengan yang ditunjukkan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
185, yang menyatakan, Allah tidak menghendaki adanya kesempitan dan
kesulitan (musyaqah) dan surat An-Nisa ayat 28, Allah menghendaki
supaya meringankan bagimu, sebab manusia itu diciptakan dalam keadaan
lemah. Sedangkan prinsip terakhir, aktivitas ekonomi wajib terhindar dari
unsur gharar, dzhulm, riba dan unsur lain yang diharamkan berdasar syara.
Syariat Islam membolehkan setiap aktivitas ekonomi di antara sesama
manusia yang dilakukan atas dasar menegakkan kebenaran (haq), keadilan,
menegakkan kemaslahatan manusia pada ketentuan yang dibolehkan Allah
Swt. Sehubungan dengan itu, Syariat Islam mengharamkan setiap aktivitas
ekonomi yang bercampur dengan kedzaliman, penipuan, muslihat,
ketidakjelasan, dan hal-hal lain yang diharamkan dan dilarang Allah Swt.
Gharar maknanya tipuan, yang diduga dapat meniadakan kerelaan dan juga
adalah bagian dari memakan harta manusia dengan cara yang bathil. Jual-
beli gharar adalah jual-beli yang mengandung unsur ketidaktahuan (jahalah)
yang dapat membawa pada perselisihan, serta menyebabkan kemadharatan
dan meniadakan kemaslahatan manusia. Sedangkan aktivitas ekonomi yang
mengandung unsur zhulm (kedzaliman) adalah aktivitas ekonomi yang bila
dilakukan dapat merugikan pihak lain, seperti menumpuk-numpuk harta
(ihtikar) yang dapat mengganggu mekanisme pasar, jual-beli yang
mengandung unsur spekulasi seperti jual-beli munabadzah (jual-beli dengan

4
cara saling melempar). Adapun riba adalah satu tambahan atas pokok harta
dalam urusan pinjam-meminjam. Terdapat beberapa sebab, mengapa riba
diharamkan. Pertama, sebab Allah dalam Al-Quran dan Rasulullah Saw
dalam Al-Hadits jelas-jelas menyatakan, riba diharamkan. Kedua, sebab
esensi riba adalah perilaku orang untuk mengambil harta milik orang lain
dengan tidak seimbang. Ketiga, bisa menyebabkan orang malas untuk
berusaha, sebab selalu mengharapkan keuntungan dengan tanpa usaha
yang riil. Keempat, sebab dengan adanya riba bisa menyebabkan hilangnya
berbuat baik pada sesama manusia.

Dari uraian itu dapat dipahami, aktivitas ekonomi baru dianggap


shahih apabila memenuhi prinsip-prinsip Hukum Ekonomi Islam itu. Bila
kativitas ekonomi itu tidak memenuhi salah satu atau beberapa prinsip
Hukum Ekonomi Islam, maka akan tergolong pada aktivitas ekonomi yang
ghayr al-shahih, baik bathil atau fasad. Pemenuhan prinsip-prinsip itu dalam
rangka menciptakan aktivitas ekonomi yang dapat menegakkan kebenaran,
keadilan, kemurahan, dan kerelaan. Sehubungan dengan hal ini, maka dapat
disimpulkan, prinsip Hukum Ekonomi Islam ini pada hakikatnya adalah
menegakkan kebenaran (shidq), keadilan (adalah), kemurahan (samahah),
dan kerelaan (taradhi), Wallaahu alam.

C. Asas Penerapan Hukum Islam

Asas hukum islam adalah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar
atau tumpuan Hukum Islam. Macam-macam asas hukum islam adalah
sebagai berikut :

1. Adam al-Haraj (Meniadakan Kesukaran)

Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa


memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanakannya. Itu
diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa
rukhsah) kepada manusia, agar menerima ketetapan hukum dengan
kesanggupan yang dimiliknya.

2. Taqlil Al-taklif (Menyedikitkan pembebanan)

Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif (penanggulangan)


terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam kewajiban
agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia
menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar
menurut kacamata sosial. Hal ini berguna memperingan dan menjaga nilai-
nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu
5
pelaksanaan hukum tanpa didasari parasaan terbebani yang berujung pada
kesulitan.

3. Tadarruj fi al-Tasyri (Berangsur-angsur dalam pesyariatan)

Hal ini terkait erat dengan prinsip kedua, yakni tidak memberatkan
umat. Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan secara
serta merta dengan format yang final, melainkan secara bertahap, dengan
maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang tiba-tiba.
Karenanya, wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan
realita yang terjadi pada waktu itu.

4. Muthobiqun Li Mashalihil Ummah (Sejalan dengan kemashlahatan


ummat)

Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-Quran. Seluruh


hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan dan
perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, agama,
maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran
senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat
Islam.

5. Tahqiqul Adalah (Menghendaki adanya realisasi keadilan)

Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip utama syariat Islam,
baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah. Persamaan hak tersebut
tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatapi juga bagi seluruh agama. Mereka
diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan ajaran masing-masing,
kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan hukum sesuai
hukum Islam.

Ada tiga pilar yang menjadi landasan : Pertama: ketakwaan yang


tertanam dan terbina pada setiap individu di tengah-tengah
masyarakat.Kedua: sikap masyarakat untuk saling mengontrol pelaksanaan
hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi perilaku penguasa. Ketiga:
negara/pemerintahan sebagai pelaksana hukum syariat. Sekalipun terdapat
ketakwaan individu dan kontrol sosial, pelaksana tathbq al-ahkm adalah
negara. Realitas menunjukkan bahwa individu dan masyarakat
melaksanakan Islam. Adapun negara adalah pihak yang menegakkan dan
bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam di tengah-tengah
masyarakat. Karena itu, negara Khilafah merupakan metode tathbq al-
ahkm. Padanyalah Allah memberikan amanah untuk menerapkan syariat
Islam. Kepala negara (Khalifah) beserta aparatnya adalah yang menjalankan
6
amanah itu. Bahkan sesungguhnya merekalah yang bertanggung jawab
mulai dari hal yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya.
Rasulullah saw. bersabda:

Imam/Khalifah adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas


rakyat yang diurusnya. (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dari Ibnu Umar. Lihat:
Yusuf an-Nabhani, Al-Fath al-Kabr, II/330-331).

D. Hukum Ekomnomi Islam Dalam Al-Quran As-Sunnah dan Kitab


Kitab Fiqih

Indikator lain tentang kepedulian Islam terhadap persoalan ekonomi


dan keuangan, ialah kenyataan yang menunjukkan bahwa di dalam al-
Quran, yang menjadi sumber utama dan pertama hukum Islam, terdapat
sejumlah ayat yang mengatur persoalan-persoalan hukum ekonomi dan
keuangan (ayat al-iqtishadiyyah wa-al-maliyyah ). Menurut kesimupulan
Abdul Wahhab Khallaf, paling sedikit ada 10 ayat hukum dalam al-Quran
yang berisikan norma-norma dasar hukum ekonomi dan keuangan.

Berbeda dengan Khallaf, yang melihat ayat-ayat ekonomi semata-mata


dari aspek hukumnya, Mahmud Syauqi al-Fanjari dalam konteks yang agak
luas memprakirakan ayat-ayat ekonomi dan keuangan dalam al-Quran
berjumlah 21 ayat yang secara langsung terkait erat dengan soal-soal
ekonomi. Berlainan dengan Khallaf yang sama sekali tidak menunjukkan
ayat-ayat mana saja yang ia maksud dengan 10 ayat al-iqtishadiyyah wa-al-
maliyyah di atas, al-Fanjari secara eksplisit menyebutkan satu demi satu ke-
21 ayat ekonomi yang dimaksudkannya, yaitu: al-Baqarah (2): 188, 275 dan
279; An-Nisa (4): 5 dan 32; Hud (11): 61 dan 116; Al-Isra (17): 27; An-Nur
(24): 33; Al-Jatsiyah (45): 13; Adz-Dzariyat (51): 19; An-Najm (53): 31; Al-
Hadid (57): 7; Al-Hasyr (59): 7; Al-Jumu`ah (62): 10; Al-Ma`arij (70): 24 dan
25; Al-Ma`un (107): 1-3.

Senafas dengan al-Quran, al-Hadits yang menjadi sumber hukum


Islam penting kedua setelah al-Quran, juga membincang persoalan ekonomi
dan keuangan. Di dalam buku-buku hadis yang ada, terutama buku-buku
hadis hukum, selalu ditemukan kitab atau bab yang secara khusus
membahas persoalan-persoalan ekonomi dan keuangan. Sebagai ilustrasi,
perhatikan salah satu kitab hadis hukum yang paling masyhur dan dikenal
luas oleh para akademisi di seluruh dunia Islam dan bahkan perguruan-
perguruan tinggi non Islam yang mempelajari hukum Islam.

7
Ada yang memuat 192 hadis hukum tentang ihwal ekonomi dan bisnis
yang dikemas ke dalam beberapa bab, selengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Bab as-syuruth al-buyu` wa-ma nuhiya `anhu (bab tentang syarat-syarat


jual-beli dan hal-hal yang terlarang dari padanya), atau conditions of
business transactions and those which are forbidden (46 hadis);

2. Bab al-khiyar (bab tentang hak memilih pelaku akad untuk meneruskan
atau membatalkan akadnya), atau reconditional bargains (3 hadis);

3. Bab ar-riba (bab tentang riba), atau usury (18 hadis);

4. Bab ar-rukhshah fil-`araya wa-bai`il-ushuli watstsimar (kelonggaran


tentang berbagai pinjaman dan jual-beli pepohonan dan buah-buahnya),
atau licence regarding the sale of `Araya and the sale of trees and fruits (7
hadis);

5. Bab as-salam wal-qardhi war-rahni (bab tentang jual-beli salam, pinjam-


meminjam dan gadai), atau payment in advance, loan and pledge (10 hadis);

6. Bab at-taflis wa-al-hajr (bab tentang pailit dan penahanan harta


seseorang), atau insolvency and seizure (10 hadis);

7. Bab as-shuluh (bab tentang perdamaian), atau reconciliation (4 buah


hadis);

8. Bab al-hawalah wad-dhaman (bab tentang pemindahan hutang dan


tanggungan/jaminan pembayaran hutang), atau transference of a debt to
another and surety (4 hadis);

9. Bab as-syirkah wal-wakalah (bab tentang Persekutuan dan perwakilan),


atau partnership and agency (8 hadis);

10. Bab al-iqrar (bab tentang pernyataan pengakuan), confession (1


hadis);

11. Bab al-`ariyah (bab tentang pinjaman), atau loan (5 hadis);

12. Bab al-ghashb (bab tentang mengganggu hak orang lain), atau wrongful
appropriation (6 hadis);

13. Bab as-syuf`ah (bab tentang hak pilihan untuk membeli harta yang
dimiliki secara bersekutu), atau option to buy neighbouring property (6
hadis);

8
14. Bab al-qiradh (bab tentang peminjaman modal kepada orang lain dengan
motif bagi untung antara pemilik modal dan yang menggunakan modal),
atau giving someone some property to trade with, the profit being shared
between the two but any loss falling on the property (2 hadis);

15. Bab al-masaqah wal-ijarah (bab tentang pemeliharaan kebun dan upah
atau gaji), atau tending palm-trees and wages (9-10 hadis);

16. Bab Ihya al-mawat (bab tentang penggarapan/pengelolaan tanah tidak


bertuan), atau bringing barren lands into cultivation (5-6 hadis);

17. Bab al-waqf (bab tentang wakaf), atau mortmain (3 hadis);

18. Bab al-hibah, wa-al-`umra, wa-ar-ruqba (bab tentang hibah, umra dan
penjaga upahan), atau gifts, life-tenancy, and giving property which goes to
the survivor (11 hadis);

19. Bab al-luqathah bab tentang luqatah), atau finds (6 hadis);

20. Bab al-faraidh (bab tentang kewarisan), atau shares inheritance (13
hadis);

21. Bab al-washaya (bab tentang wasiat), atau wills (6-7 hadis);

22. Bab al-wadi`ah (bab tentang penitipan), atau trust (satu hadis).

Pembahasan ekonomi Islam/Syariah akan semakin terasa meluas dan


mendalam tatkala kita membaca literatur-literatur Islam yang lain terutama
dalam berbagai kitab fiqih (hukum Islam) yang jumlahnya tidak lagi puluhan
apalagi belasan; akan tetapi, telah mencapai ratusan dan bahkan ratusan
ribu. Hampir atau bahkan semua kitab fikih terutama yang bersifat umum
dan berukuran tebal apalagi berjilid-jilid pasti membahas persoalan
muamalah khususnya dalam bidang ekonomi dan keuangan.

Selain kitab-kitab fikih yang membahas berbagai persoalan hukum


Islam dalam bentuknya yang bersifat umum dan komprehensif, juga teramat
banyak kitab-kitab fikih klasik maupun kontemporer yang secara spesifik
membahas ihwal ekonomi-bisnis dan keuangan ala Islam secara khusus.
Perhatikan misalnya karya Abi Abdul Qasim bin Salam (1408 H/1988 M),
Kitab al-Amwal, dan buah pena Ahmad Isa Asyur, al-Fiqh al-Muyassar fil-
Mu`amalat. Yang pertama merepresentasikan karya-karya fikih keuangan
klasik; sedangkan yang kedua, mewakili kitab-kitab fikih ekonomi
kontemporer.

9
Pendeknya, hukum ekonomi Islam sebagaimana dapat ditelusuri dalam
berbagai literatur yang ada dan tersedia, memiliki jangkauan yang sangat
luas. Hanya saja, bagaimana cara kita menggali dan mengembangkan
norma-norma hukum ekonomi Islam yang terserak-serak di dalam berbagai
literatur dimaksud, inilah tantangan yang harus dijawab dan dicarikan
solusinya.

E. Jangkaun Hukum Ekonomi Islam

Seperti dapat difahami dari sisinya yang manapun, ekonomi dan ilmu
ekonomi termasuk ekonomi Islam memiliki jangkauan atau ruang-lingkup
yang sangat luas. Ekonomi Syariah, tidak semata-mata berhubungan dengan
ihwal bahan baku, produksi, distribusi, pemasaran dan konsumsi seperti
yang sering menjadi pembahasan utama ilmu ekonomi, akan tetapi ekonomi
juga berhubungan dengan dunia kerja dan dunia usaha. Demikian pula
halnya dengan lembaga-lembaga keuangan baik dalam bentuk bank maupun
non bank.

Dunia kerja dan dunia usaha kita terutama yang berhubungan dengan
sektor riil dewasa ini terkesan sedemikian sempit. Dunia kerja dan usaha
seolah-olah identik benar dengan dunia perdagangan (tijarah) dan industri-
industri tertentu dengan buruh sebagai andalan utamanya; sementara
sektor-sektor yang lain semisal kehutanan, pertanian, kelautan, transportasi
dan lain-lain, belum digarap secara memadai apa lagi profesional. Demikian
pula dengan dunia keuangan yang seakan-akan identik benar dengan
perbankan dan beberapa lembaga keuangan non bank khususnya asuransi.
Sementara dalam bidang-bidang yang lain semisal pegadaian, tampak belum
tertangani sebagaimana mestinya. Belum lagi mengamati kecenderungan
pasar yang terkesan lebih berorientasi ke wilayah-wilayah perkotaan atau
tepatnya kota-kota besar dengan kurang peduli untuk tidak mengatakan
mengabaikan pengembangan pasar yang sejatinya juga mengarah ke
daerah-daerah pedesaan. Padahal, di antara prinsip ekonomi dan keuangan
yang telah dan hendak terus dibangun oleh Islam/Syariah ialah prinsip
keadilan dan pemerataan. Tanpa penerapan kedua prisnip ini, keadilan yang
merata dan atau pemerataan yang berkeadilan, sistem ekonomi Islam tidak
akan ada bedanya dengan sistem-sistem ekonomi yang lain.

Dalam itu, upaya memperluas konsep dan wawasan ekonomi


Islam/Syariah sebagaimana disinggung di atas, pada gilirannya menuntut
pula pengembangan konsep hukum Islam tentang ekonomi dan keuangan.
Hukum ekonomi dan keuangan Islam di Indonesia dewasa ini dapat

10
dikatakan masih sangat terbatas. Bukan semata-mata terbatas dalam
bidang/jenis ekonomi dan keuangan tertentu yang telah diaturnya;
melainkan juga sangat terbatas dalam hierarki peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya. Sebagai ilustrasi, dari 22 bidang hukum
ekonomi/keuangan yang termuat dalam kitab Bulugh al-Maram sebagaimana
dituliskan sebelum ini, baru sebagian kecil saja yang tercover dalam
peraturan perundang-undangan.

Bagian terbesarnya, sama sekali belum tertuangkan ke dalam legislasi,


bahkan sebagai bagian dari ilmu ekonomi sekalipun masih belum
tersosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat luas. Kajian tentang ayat-
ayat dan hadis-hadis hukum ekonomi di lembaga-lembaga tinggi, jelas masih
terlalu jauh dari yang seharusnya, apalagi dari yang dicita-citakan. Selain
terbatas tenaga ahlinya, juga sangat terbatas porsi waktu dan lain-lain yang
disediakan untuk itu. Padahal, penurunan norma-norma hukum dan terutama
nilai-nilai ekonomi Islam ke dalam hukum yang hidup di masyarakat apalagi
dalam bentuk legislasi nasional, kini benar-benar dibutuhkan oleh
masyarakat hukum Indoneia.

Minimnya peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang


ekonomi dan keuangan Islam/Syariah ini, bukan disebabkan minimnya
norma-norma hukum Islam yang dapat dikaji dan digali dari berbagai
literatur yang tersedia; melainkan lebih disebabkan faktor-faktor lain di luar
hukum Islam sebagai bahan bakunya. Kalau terpaksa juga harus disebutkan,
maka di antara faktor penyebabnya ialah karena kemauan politik (political
well) yang belum sepenuhnya mengayomi di samping keterbatasan dana
yang dialokasikan untuk itu. Guna mempercepat proses legislasi nasional di
bidang ekonomi dan keuangan Islam/Syariah, maka mutlak diperlukan
dukungan dana yang memadai di samping kemauan politik yang
mengayomi. Tanpa kemauan politik yang mengayomi dan dukungan dana
yang memadai, legislasi nasional di bidang ekonomi Syariah belum tentu
lebih baik dari legislasi-legislasi nasional di bidang-bidang yang lain. Apalagi
legislasi nasional yang berhubungan dengan dunia Syariah. Padahal, secara
ideologis maupun konstitusi, hukum Islam (syariah) dalam konstelasi tata
hukum Indonesia memiliki kedudukan yang sangat kuat dan memainkan
peranan (fungsi) yang sangat penting.

F. Kedudukan Hukum Ekonomi Islam Di Indonesia

Seperti diketahui bersama, sejak didirikan pada tanggal 17 Agustus


1945 M/10 Ramadhan 1367 H, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

11
melalui Undang-Undang Dasarnya menyatakan diri sebagai negara hukum.
Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 dimandemen, pencantuman Indonesia
sebagai negara hukum dijumpai dalam bagian penjelasan yang menyatakan:
Indonesia, ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). Negara
Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (machtsstaat).

Setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


diamandemen, pernyataan Indonesia sebagai negara hukum termaktub
dalam BAB I Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan: Negara Indonesia adalah
negara hukum. Permasalahannya sekarang, adakah yang dimaksud dengan
kata hukum dalam kalimat Negara Indonesia adalah negara hukum, itu
termasuk di dalamnya hukum tidak terulis ? Ilmu hukum memang
mengajarkan kepada kita tentang keberadaan hukum tidak tertulis di
samping hukum tertulis. Tetapi dalam kenyataannya, hukum modern dewasa
ini tampak lebih mengacu atau bahkan lebih berpihak kepada hukum
terutulis (codified law) dibandingkan dengan sekedar pengakuan apalagi
keberpihakannya kepada praktek hukum tidak tertulis (uncodified law).

Mengingat keberadaan hukum tertulis jauh lebih dominan


dibandingkan dengan keberadaan hukum tidak tertulis, maka pendapat yang
memandang cukup pengamalan hukum Islam dengan pendekatan kultural
(tanpa harus dengan legal-formal), agaknya sudah kurang relevan untuk
dipertahankan. Sekurang-kurangnya dalam bidang-bidang hukum tertentu
semisal hukum ekonomi Islam yang tengah dibincangkan.

Pengamalan atau penerapan hukum Islam secara legal formal melalui


legislasi nasional dewasa ini tampak telah menjadi kebutuhan mendesak
yang harus segera ditangani. Selain momentumnya yang benar-benar tepat
karena kehadiran sistem ekonomi Islam/Syariah dipandang sebagai salah
satu solusi terbaik dalam menata kembali ekonomi Indonesia yang carut-
marut; juga mengingat arah perkembangan hukum nasional Indonesia ke
depan tampak lebih mengacu kepada hukum tertulis atau lebih tepatnya lagi
merujuk kepada peraturan perundang-undangan.

Senafas dengan beberapa pemikiran di atas, dapatlah dikemukakan


bahwa kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin
terasa penting manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi
nasional Indonesia yang disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan.
Urgensi dari kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa

12
Indonesia, kebutuhan masyarakat, dan bahkan dari sisi falsafah dan
konstitusi negara sekalipun.

Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum NKRI (Negara Kesatuan


Republik Indonesia) dibentuk, bahkan jauh sebelum para penjajah
mengangkangi wilayah nusantara apapun sebutan atau namanya ketika itu
, negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang jelas-jelas beragama,
khususnya Islam yang kemudian keluar sebagai mayoritas tunggal sampai
kini. Sekurang-kurangnya di daerah-daerah tertentu, hukum ekonomi Islam
dalam konteksnya yang sangat luas pernah berlaku dan paling tidak
sebagian daripadanya masih tetap diberlakukan sampai sekarang ini.

Sistem bagi hasil dalam bentuk paroan/memaro dan lain-lain dalam


bidang pertanian, peternakan dan sebagainya yang dikenal luas di sejumlah
daerah terutama di pulau Jawa, merupakan salah satu bukti konkret bagi
keberlakuakn atau diberlakukannya hukum ekonomi Islam di nusantara
tempo dulu. Demikian pula dengan simbol-simbol transaksi perdagangan di
sejumlah pasar tradisional yang terkesan kental dengan mazhab-mazhab
fikih yang dikenal masyarakat.

Dari sisi komunitas yang mendiami NKRI, bagian terbesarnya adalah


pemeluk agama Islam. Atas dasar ini maka sungguh merupakan kewajaran
bila hukum sebuah negara dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut oleh
bagian terbesar penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi Islam di
Indonesia sama sekali tidak terkait dengan apa yang lazim dikenal dengan
sebutan diktator mayoritas dan tirani minoritas. Alasannya, karena
penerapan hukum ekonomi Islam tidak dilakukan secara paksa apalagi
dipaksakan. Sistem ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan
sebanding dan sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi
Konvensional.

Dari sudut pandang kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem ekonomi


Islam di Indonesia juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada umumnya.
Terbukti dengan keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-
lembaga ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi
Syariah. Atau, paling sedikit berkenaan dengan hal-hal ekonomi dan
keuangan tertentu, ada kemungkinan bersinergi antara lembaga
ekonomi/keuangan Konvensional dengan lembaga ekonomi/keuangan Islam.
Demikian juga dengan para pengguna jasa lembaga ekonmi dan atau
keuangan Islam. Teramat banyak untuk disebutkan satu persatu nama-nama
lembaga keuangan khususnya bank di samping lembaga-lembaga keuangan

13
non bank lainnya yang secara aktif dan terencana justru membuka atau
mendirikan lembaga-lembaga keuangan Syariah.

Di negara hukum Indonesia, kedudukan/posisi hukum ekonomi Islam


sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana kedudukan/posisi hukum Islam
secara umum dan keseluruhan. Demikian pula dengan signifikansi
fungsi/peran hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan, terutama dalam
upaya menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum ekonomi
sebagaimana urgensi peran dan fungsi hukum Islam secara umum dan
keseluruhan dalam meopang, melengkapi dan atau mengisi kekosongan
hukum nasional.

Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia, dewasa


ini sesngguhnya tidak lagi hanya sekedar karena tuntutan sejarah dan
kependudukan (karena mayoritas beragama Islam) seperti anggapan
sebagian orang/pihak; akan tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan
kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa
adil dan meratanya sistem ekonomi Syariah dalam mengawal kesejahteraan
rakyat yang dicita-citakan oleh bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Kedudukan hukum ekonomi Islam/Syariah seperti dipaparkan sebelum


ini, akan semakin kuat manakala dihubungkan dengan falsafah dan
konstitusi negara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Singkatnya, sistem ekonomi Syariah sama sekali tidak
bertentangan apalagi melanggar Pancasila terutama Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, juga sama sekali tidak bertentangan apalagi melawan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia baik bagian Pembukaan
(preambule) yang di dalamnya antara lain termaktub kalimat: Dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maupun
dengan bagian isinya terutama yang tertera dalam BAB XI (Agama) Pasal 29
ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang mengatur perihal
perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Indonesia.

G. Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam

UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang


Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran
Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap perundang-
undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas.
Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara

14
di tingkat pertama antara orang orang yang beragama Islam di bidang
ekonomi syariah.

Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan


ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syariah, antara lain meliputi :

Bank syariah, Lembaga keuangan mikro syariah, Asuransi syariah,


Reasurasi syariah, Reksadana syariah, Obligasi syariah dan surat berharga
berjangka menengah syariah, Sekuritas syariah, Pembiayaan syariah,
Pegadaian syariah, Dana pensiun lembaga keuangan syariah dan Bisnis
syariah.

Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum


ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan
atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan
Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syariah. Dalam
prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum
kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu
pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk
Wetboek (BW), kitab Undang-undang hukum sipil Belanda yang
dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun
1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi
dalam praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah
BW.

Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di


bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum
yang ada akibat politik Penjajah yang secara sistematis mengikis
keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Akibatnya,
lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya, sangat
terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang
sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara
syariah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.

H. Tujuan Dan Aspek Hukum Islam

Islam adalah agama yang memberi pedoman hidup kepada manusia


secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupannya menuju tercapainya
kebahagiaan hidup rohani dan jasmani, baik dalam kehidupan individunya,
maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umum, tujuan pencipta
hukum (syari) dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk

15
kemaslahatan dan kepentingan serta kebahagiaan manusia seluruhnya baik
si sunia maupun akhirat. Tujuan hukum islam yang demikian itu dapat kita
tangkap antara lain dari firman Allah SWT: Dalam QS. Al-Anbiya ayat 107,
dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. Dan dalam surat QS. Al-baqarah:201-202, dan di antara
mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka"( Inilah
doa yang sebaik-baiknya bagi seorang Muslim).202. mereka Itulah orang-
orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah
sangat cepat perhitungan-Nya.

Tujuan Hukum Islam (maqashid al syariah) sebagaimana diuraikan di


atas, dapat diperinci kepada lima tujuan yang disebut al-maqashid al-
khamsah atau al kulliyat al-khamsah. Lima tujuan itu adalah:

1) Memelihara agama (hifdz al-din) Agama adalah sesuatu yang harus


dimiliki oleh manusia agar manusia dapat hidup dengan pedoman

2) Pemeliharaan jiwa (hifdz al-nafs) Karena hukum islam wajib memelihara


hak manusia untuk hidup.

3) Pemeliharaan akal (hifdz al-aql) Pemeliharaan akal sangat penting bagi


manusia karena dengan mempergunakan akalnya.

4) Pemeliharaan keturunan (hifdz al-nasl) Agar pemeliharaan kelanjutan


keturunan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.

5) Pemeliharaan harta (hifdz al-mal-wa al-irdh) Agar manusia memperoleh


harta dengan cara yang halal kehidupannya.

Aspek-Aspek Hukum Islam

Hukum islam sebagai hukum-hukum yang mempunyai asas dan tiang


pokok. Kekuatan sesuatu hukum, sukar mudahnya, hidup matinya, dapat
diterima atau ditolak oleh masyarakat tergantung kepada asas dan tiang-
tiang pokoknya. Maka asas-asas (dasar-dasar)pembinaan hukum islam yang
dikatakan Daa imut Tasyri = tiang-tiang pokok pembinaan hukum, antara
lain, ialah : Nafyul Haraji = meniadakan kepicikan. Allah berfirman : Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
Segala hukum islam yang diwahyukan allah, tidak ada didalamnya sesuatu
yang menimbulkan kepicikan yang sulit dipikul oleh manusia.

16
BAB III

PENUTUP

Terdapat 4 sumber hukum ekonomi dalam islam, yaitu: Al Quran, As-


Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Berdasar pada beberapa pendapat para fuqaha
saat mendeskripsikan fiqih al-muamalah (baca: Hukum Ekonomi Islam),
maka setidaknya ditemukan empat prinsip, yaitu: 1. Pada asalnya aktivitas

17
ekonomi itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya, 2.
Aktivitas ekonomi itu hendaknya dilakukan dengan suka sama suka (an
taradlin),3. Kegiatan ekonomi yang dilakukan hendaknya mendatangkan
maslahat dan menolak madharat (jalb al-mashalih wa daru al-mafasid), dan
4. Dalam aktivitas ekonomi itu terlepas dari unsur gharar, kedzaliman, dan
unsur lain yang diharapkan berdasar syara.

Asas hukum islam adalah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar
atau tumpuan Hukum Islam. Macam-macam asas hukum islam adalah
sebagai berikut : Adam al-Haraj (Meniadakan Kesukaran), Taqlil Al-taklif
(Menyedikitkan pembebanan), Tadarruj fi al-Tasyri (Berangsur-angsur dalam
pesyariatan), Muthobiqun Li Mashalihil Ummah (Sejalan dengan
kemashlahatan ummat), dan Tahqiqul Adalah (Menghendaki adanya realisasi
keadilan).

DAFTAR ISI

18
http://jhunnumberone.blogspot.co.id/2014/02/aspek-hukum-dalam-
sistemekonomi-islam.html

http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2016/03/dasar-dan-prinsip-hukum-
ekonomi-islam.html

https://roselinkk.wordpress.com/2013/05/30/aspek-hukum-dalam-ekonomi-
islam/

https://wennyekaputri.wordpress.com/2015/01/08/pengertian-dasar-hukum-
dan-landasan-filosofi-ekonomi-syariah/

19

Anda mungkin juga menyukai