BASYARNAS
DISUSUN OLEH :
DOSEN PEMBIMBING :
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) adalah sebuah wadah alternatif diluar
pengadilan (non-litigasi) di dalam penyelesaian sengketa atau perkara di perbankan syariah dan
lembaga keuangan syariah (LKS) lainnya. Keberadaan Basyarnas saat ini sangat dibutuhkan oleh
umat Islam Indonesia, terlebih dengan semakin marak dan berkemabangnya perusahaan
perbankan dan keuangan syariah di Indonesia air dewasa ini. Oleh karena itu, pertumbuhan
ekonomi dan bisnis syariah yang pesat dan kompleks seperti saat ini pasti melahirkan berbagai
macam bentuk kerjasama atau transaksi bisnis. Dengan semakin meningkatnya kerjasama bisnis
tersebut akan mendorong terjadinya persengketaan bisnis yang lebih tinggi diantara para pihak
yang terlibat didalamnya.
Sengketa merupakan fenomena yang tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia.
Potensi terjadinya sengketa atau perselisihan diantara umat manusia, senantiasa ada selama
masih ada interaksi antara sesama manusia. Pada umumnya, sengketa terjadi karena penipuan
dan ingkar janji. Ingkar janji itu sendiri dapat terjadi apabila pihak-pihak atau salah satu pihak
tidak melakukan apa yang dijanjikan / disepakati untuk dilakukan, pihak-pihak atau salah satu
pihak telah melaksanakan apa yang tekah disepakati, tetapi tidak pelaksanaannya “sama persis”
sebagaimana yang dijanjikan, dan pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan apa yang telah
dijanjikan, tetapi terlambat menunaikan janji serta pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Dalam kegiatan bisnis tentunya diharapkan akan mendatangkan keuntungan para pihak
sesuai dengan asas kesepatakan. Namun demikian apa yang telah mereka sepakati, terkadang
menimbulkan sengketa yang tentunya akan mendatangkan kerugian salah satu pihak. Untuk
menegakkan hak-hak para pihak tersebut, maka terdapat dua jalan yang bisa ditempuh oleh para
pihak, yaitu melalui jalur pengadilan atau melalui musyawarah. Tetapi ilmu hukum mempunyai
alternatif lain yaitu melalui suatu lembaga yang dinamakan Arbitrase.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Arbitrase?
2. Bagaimana Kompetensi Basyarnas dalam Sengketa Ekonomi Syariah?
3. Bagaimana Prosedur dan Putusan Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah di
Basyarnas?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui pengertian arbitrase
2. Untuk mengetahui Kompetensi Basyarnas dalam Sengketa Ekonomi Syariah
3. Untuk mengetahui Prosedur dan Putusan Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah di
Basyarnas
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologi Arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin) atau arbitrage yang berarti
suatu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Secara istilah Arbitrase
adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang arbiter atas dasar
kebijaksanaannya dan para pihak akan tunduk pada putusan yang diberikan oleh arbiter yang
mereka tunjuk. Dalam menjatuhkan putusan para arbiter biasanya tetap menerapkan hukum
seperti halnya yang dilakukan oleh hakim di pengadilan. Walaupun demikian, putusan dari
arbitrase berdasarkan kebijaksanaan, akan tetapi norma hukumlah yang menjadi sandaran utama
dalam menyelesaikan sengketa antar subyek hukum tersebut.
Sehubungan dengan pengertian di atas, dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang didasarkan pada perjanjian abitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan bahwa lembaga
arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat
mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Terkait dengan Arbitrase Syariah, padanan dari arbitrase ini dalam fiqh Islam adalah
tahkim dan kata kerjanya hakam yang secara harfiyah berarti menjadikan seorang sebagai
penengah/hakam bagi suatu sengketa. Istilah lain adalah ash-shulhu yang berarti memutus
pertengkaran atau perselisihan. Yang dimaksudkannya adalah suatu akad / perjanjian untuk
mengakhiri perlawanan / pertengkaran antara dua orang yang bersengketa. Jadi, dalam tradisi
Islam telah dikenal adanya hakam yang sama artinya dengan arbitrase, hanya saja lembaga
hakam tersebut bersifat ad hoc.
Dengan demikian, arbitrase merupakan suatu sistem atau cara penyelesaian sengketa
keperdataan oleh pihak ketiga yang disepakati atau ditunjuk oleh para pihak baik sebelum
terjadinya sengketa maupun setelah terjadinya sengketa. Proses arbitrase yang relatif cepat dan
murah, menjunjung tinggi asas konfidensialitas (kerahasiaan), bebas memilih arbiter dengan
pertimbangan keahlian (expert) dan para pihak bebas memilih hukum yang akan dipakai dalam
proses arbitrase dan putusan yang dihasilkan bersifat final and binding serta merupakan win-loss
solution.
Dalam tradisi Islam klasik, terdapat tiga bentuk mekanisme penyelesaian sengketa yang
pernah berkembang, baik pada masa Rasulullah Saw, Para Sahabat, Khalifah Bani Umayyah, dan
Bani Abbasiah, yaitu: sulh (perdamaian), tahkim (arbitrase), dan proses litigasi yang disebut
dengan wilayat al-aqda (kekuasaan kehakiman). Sulh berdasarkan catatan sejarah, rasulullah
Saw, pernah mendamaikan konflik yang terjadi dikalangan Bani ‘Amr Ibn ‘Auf ketika diantara
mereka terjadi peperangan. Dalam kesempatan lain, Rasulullah juga pernah mendamaikan kasus
utang-piutang antara Ka’ab Ibn Malik dan Ibn Abi Hadrad sehingga keduanya merasa puas
dengan keputusan Rasulullah. Oleh karena itu, perdamaian adalah cara terbaik dalam
menyelesaikan masalah (wa al-sulh khair). Dengan demikian, perdamaian merupakan instrumen
penyelesaian yang utama.
Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal
dewasa ini, yaitu pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih
atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai. Orang yang
menyelesaikannya disebut hakam. Dalam sejarah Islam, lembaga arbitrase telah dikenal sejak
zaman pra Islam. Pada saat itu, meskipun belum ada sistem peradilan yang terorganisir, setiap
ada persengketaan mengenai hak milik, hak waris, dan hak-hak lainnya seringkali diselesaiakan
melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk masing-masing yang berselisih.
Pada masa pra Islam, hakam atau juru damai atau arbitrase itu harus memenuhi beberapa
kualifikasi (persyaratan), antara lain harus memiliki kekuatan supranatural dan adikodrati.
Berdasarkan persyaratan ini, pada umumnya para hakam itu adalah ahli nujum. Oleh karena itu,
dalam pemeriksaan dan penyelesaian dikalangan mereka, hakam lebih banyak menggunakan
kekuatan firasat daripada menghadirkan alat-alat bukti, seperti saksi atau pengakuan (iqrar).
Dalam catatan sejarah para arbiter Arab / hakam dalam memeriksa / menyidangkan perkaranya
dilaksanakan di dalam kemah-kemah yang didirikan atau bahkan dibawah-bawah pohon. Setelah
Kushai ibn Ka’ab membangun sebuah gedung di Makkah yang pintunya sengaja dihadapkan ke
arah Ka’bah, maka disitulah sidang-sidang hakam/arbitrase dilaksanakan dan gedung itu dikenal
sebagai Dar al-Adda’wah.
Pada masa awal perkembangan Islam, tradisi penyelesaian perkara melalui tahkim lebih
berkembang di masyarakat mekkah, sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaiakan sengketa
bisnis diantara mereka. Demikian juga, lembaga arbitrase berkembang di Madinah sebagai
daerah agraris untuk menyelesaikan sengketa dibidang pertanian. Sebagaimana dituturkan oleh
Syalabi, Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi rasul pernah bertindak sebagai wasit
dalam perselisihan yang terjadi dikalangan masyarakat mekkah terkait dengan persoalan
peletakan kembali hajar Aswad ketempat semula.
Sedangkan dalam kekuasaan kehakiman secara umum, dalam tradisi Islam klasik dikenal
tiga lembaga kekuasaan kehakiman. Meskipun masih dalam bentuk yang sederhana, lembaga
kekuasaan kehakiman tersebut dapat berjalan efektif dalam menangani kasus-kasus umum
(kejahatan yang ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat) maupun khusus (pelanggaran
yang bersifat individual) yang muncul di tengah masyarakat. Ketiga lembaga kekuasaan
kehakiman tersebut adalah al-hisbah[18], al-mazalim[19], dan al-qada’[20].
Terkait dengan itu, untuk konteks Indoensia perkembangan arbitrase dimulai dari Rapat
Kerja Nasional (Rakernas) MUI tahun 1992, Hartono Marjono, SH, ditugasi memaparkan
makalahnya tentang arbitrase berdasarkan syari’at Islam yang kemudian mendapat sambutan
baik dari kalangan peserta dan kamudian direkomendasikan untuk ditindak lanjuti oleh MUI.
Pada tanggal 22 April 1992 Dewan Pimpinan MUI mengundang para praktisi hukum termasuk
dari kalangan perguruan tinggi guna bertukar pikiran tentang perlu tidaknya dibentuk Arbitrase
Islam.
Pada rapat selanjutnya tanggal 2 Mei 1992, diundang juga wakil dari Bank Muamalat
Indonesia dan untuk selanjutnya dibentuk tim kecil guna mempersiapkan bahan-bahan kajian
untuk kemungkinannya membentuk badan arbitrase Islam. Demikian selanjutnya dalam rakernas
MUI 24-27 November 1992, juga diputuskan bahwa sehubungan dengan rencana pendirian
lembaga arbitrase muamalat, agar MUI segera merealisasikan.
Adapun yang menjadi dasar arbitrase syariah yang pertama adalah anjuran al-Qur’an
tentang perlunya “perdamaian”, yaitu QS. al-Hujarat ayat 9 yang berbunyi:
Artinya:“Dan jika ada dua kelompok dari orang-orang mukmin bertikai maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka
tindaklah kelompok yang berbuat aniaya itu sehingga ia kembali kepada perintah Allah. Jika ia
telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Ayat di atas menjelaskan tentang perselisihan antara kaum muslimin yang antara lain
disebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas kebenarannya. Jika perselihan tersebut terjadi, maka
harus didamaikan dengan cara yang adil. Adapun kata ashlihu pada ayat di atas, diambil dari kata
ashlaha yang asalnya shaluha. Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan antonim
dari kata fasada yakni rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian, shuluha berarti
tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat, sedangkan ishlah adalah upaya
menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak
lagi.
Dalam konteks hubungan antar manusia, maka nilai-nilai itu tercermin dalam
keharmonisan hubungan. Jadi, apabila hubungan antar dua belah pihak retak atau terganggu,
maka terjadi kerusakan dan hilang atau paling tidak berkurang kemanfaatn yang dapat diperoleh
dari mereka. Dengan demikian, menuntut adanya ishlah yakni perbaikan agar keharmonisan
pulih, sehingga terpenuhi nilai-nilai bagi hubungan tersebut, dan dampaknya akan lahir aneka
manfaat dan kemaslahatan.
Artinya:“Dan jika kamu khawatir persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila ada dua pihak terjadi persengketaan, maka
hendaknya diantara kedua belah pihak yang bersengketa menunjuk seorang juru damai yang
bijaksana untuk menyelesaikan persengketaan keduanya dengan baik. Oleh karean itu, fungsi
utama hakam di sini adalah mendamaikan dan berhak menetapkan hukum sesuai dengan
kemaslahatan, baik disetujui oleh pasangan yang bertikai maupun tidak. Dengan demikian,
melihat tafsir ayat di atas, maka sangat memungkinkan dan relevan untuk dijadikan dasar terkait
dengan pembahasan arbitrase syariah yang sedang berkembang dewasa ini.
Dasar hukum arbitrase selanjutnya adalah al-Hadis, selain al-Qur’an dan al-Hadis juga
Ijmak (kesepakatan) ulama-ulama dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. atas keabsahan
praktek tahkim. Pada masa sahabat telah terjadi sengketa secara arbitrase dikalangan para
sahabat dan tak seorang pun yang menentangnya. Bahkan Umar bin Khattab telah memberikan
pengarahan dalam persoalan ini dengan menyatakan:
Selain landasan ayat di atas, kita mengetahui bahwa pelaksanaan syariat Islam di
Indonesia didasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2, implementasi adanya
landasan konstitusional tersebut, beberapa perundang-undangan telah lahir yang berkaitan
dengan kedudukan Basyarnas yaitu:
3. Bentuk-Bentuk Arbitrase
Arbitrase sebagai salah satu instrumen penyelesaian sengketa diluar peradilan resmi dan
sudah lama adanya, dalam praktek yang terjadi selama ini. Maka secara garis besar arbitrase
terdapat dua jenis Arbitrase, yaitu:
Arbitrase Institusional adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan
arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai
aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), badan-badan tersebut
mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri. Jadi, sifat permanen tersebut
merupakan salah satu pembeda dari arbitrase ad hoc. Arbitrase institusional ini sudah dan tetap
ada sebelum ada perselisihan maupun setelah perselisihan tersebut selesai diputus. Arbitrase ini
sudah memiliki aturan-aturan prosedur sebagai pedoman bagi para pihak, termasuk dalam hal
penentuan/pengangkatan para arbiternya. Di Indonesia, terdapat dua badan arbitrase institusional,
yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan oleh Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) tahun1977 dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang didirikan
serta menjadi perangkat organisasi dari Majelis Ulama Indonesia tahun 1993.
Dalam Pasal 1 butir 1 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan: “Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Dari
pengertian tersebut dapat diketahui pula bahwa dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara
para pihak itu sendiri, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan
oleh para pihak mengikat mereka sebagai undang – undang.
Kompetensi absolut dari lembaga arbitrase ditentukan oleh ada tidaknya perjanjian yang
memuat klausula arbitrase baik berupa pactum de compromittendo ataupun akta kompromis.
Dalam pasal 11 UU No. 30 Tahun 1999 tentang alternatif penyelesaian sengketa menyatakan
bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya kepengadilan
Negeri. Oleh karena itu, berdasarkan aturan hukum yang berlaku kewenangan absolute seluruh
badan-badan peradilan negara, termasuk dalam hal ini lingkungan peradilan agama tidak dapat
menjangkau sengketa atau perkara yang timbul dari perjanjian yang didalamnya terdapat
klausula arbitrase.
Legitimasi penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah bahwa perjanjian berlaku
sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya dan bahwa hukum perjanjian
menganut sistem terbuka (open system). Oleh karena itu, terdapat kebebasan dari para pihak
dalam menentukan materi / isi perjanjian, pelaksanaan perjanjian, dan cara menyelesaikan
sengketa. Sehingga secara tegas dikatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa diluar
pengadilan umum yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian yang dibuat
sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) maupun sesudah terjadi sengketa (akta
kompromis).
Namun, dalam praktiknya terdapat badan-badan arbitrase secara spesifik ditujukan untuk
menyelesaikan sengketa tertentu oleh pihak tertentu. Salah satunya adalah Basyarnas yang secara
khusus mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa sengketa muamalah yang dihadadpi
oleh umat Islam.
Terkait dengan prosedur, menurut Mertokusumo bahwa arbitrase adalah suatu prosedur
penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang
berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.
Sedangkan yang dimaksud dengan prosedur berperkara melalui badan arbitrase adalah
keseluruhan proses yang harus ditempuh sejak awal pendaftaran perkara dari segi administratif,
penunjukan arbiter/majelis arbiter, persidangan, pemeriksaan perkara, pembuktian dan
kesimpulan, kemudian diputuskan.
Berkaitan dengan prosedur dan proses penyelesaian sengketa lembaga keuangan syariah
melalui Basyarnas harus didasarkan pada UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Peraturan Prosedur Basyarnas (dulu BAMUI). Adapun ketentuan-ketentuan umum yang terkait
prosedur penyelesaian sengketa UU No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
a) Pemeriksaan sengketa harus diajukan secara tertulis, namun demikian dapat juga secara
lisan apabila disetujui para pihak dan dianggap perlu oleh Arbiter atau Majelis Arbiter.
b) Arbirter atau Majelis Arbirter terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara pihak
yang bersengketa.
c) Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak
Arbiter atau Majelis Arbiter terbentuk, namun demikian dapat diperpanjang apabila
diperlukan dan disetujui para pihak.
d) Putusan Arbitrase harus memuat kepala putusan yang berbunyi “Demi keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” nama sengkat sengketa, uraian singkat
sengketa, pendirian cara pihak, nama lengkat dan alamat Arbiter atau Majelis Arbiter
mengenai keselurhan sengketa, pendapat masing-masing Arbiter dalam hal terdapat
perbedaan pendapat dalam Majelis Arbitrase, amar putusan, tempat dan tanggal putusan,
dan tanatangan Arbiter atau Majelis Arbiter.
e) Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan.
f) Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan harus ditutup dan ditetapkan
sidang mengucapkan putusan arbitrase dan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari
setelah pemeriksaan ditutup.
g) Dalam waktu paling lama 14 hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan
permohonan kepada Arbiter atau Majelis Arbiter untuk melakukan koreksi terhadap
kekeliruan administrasi dan atau menambah atau mengurangi seuatu tuntutan putusan.
Namun, di sini ada pengecualian apabila telah terjadi kekhilafan, atau penipuan di
dalamnya mengenai suatu fakta atau dengan adanya novum. Setelah putusan tersebut sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap, maka salinan otentik putusan diserahkan dan didaftarkan di
kepeniteraan PN (Pengadilan Negeri). Bilamana putusan tidak dilakukan secara sukarela, maka
dilaksanakan berdasarkan perintah ketua PN (Pengadilan Negeri). Berdasarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 perubahan No. 02 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan
Badan Arbitrase Syariah, disebutkan bahwa dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak
dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut berdasarkan perintah Pengadilan Agama.
Disisi lain, eksistensi arbitrase tidak sepenuhnya independen tanpa keikut sertaan
pengadilan negeri terhadap proses arbitrase. Jurisdiksi arbitrase berdasarkan UU No. 30 Tahun
1999 masih sangat bias dan berisi norma yang sangat ambivelen. Undang-Undang tersebut masih
sangat jelas memberikan kewenangan lebih terhadap pengadilan negeri dalam mencampuri
proses arbitrase. Oleh karena itu, jurisdiksi pengadilan negeri terhadap forum arbitrase dapat
dikatakan masih sangat kuat. Akibatnya putusan arbitrase yang disebutkan dalam Undang-
Undang itu sebagai putusan yang final dan mengikat para pihak pada dasarnya sama sekali tidak
memiliki titel eksekutorial tanpa keterlibatan jurisdiksi pengadilan.
Begitu juga halnya dengan eksistensi Basyarnas yang secara khusus merupakan sebuah
pilihan hukum bagi umat Islam dalam menyelesaikan sengketa bisnis syariah. Masalahanya
adalah apabila salah satu pihak tidak menjalankan putusan tersebut dengan sukarela maka dapat
dimintakan eksekusinya melalui Pengadilan Agama, berdasarkan pada Surat Edaran Mahkamah
Agung poin 4 (empat) No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah.
Tentunya hal ini bertolak belakang dengan UU No. 30 Tahun 1999, yang secara hirarki
perundang-undangan di Indonesia berada diatas Peraturan Pemerintah.
BAB III
HASIL ANALISA
Berdasarkan dari uraian pembahasan maka penulis mengambil hasil analisa dari penelitian ini
sebagai berikut:
Dengan perkembangan ekonomi dan bisnis syariah dewasa ini, tidak menutup
kemungkinan akan adanya kecendrungan masyarakat atau pihak-pihak yang bersengketa
memilih untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya di lemabaga non-litigasi baik itu Basyarnas
atau arbitrase lainnya, daripada proses litigasi (pengadilan) menunjukkan bahwa arbitrase lebih
mengedepankan asas cepat dan sederhana dalam proses beracara dengan tidak mengesampingkan
nilai-nilai keadilan subtantansial.
Oleh karena itu, seharusnya pemerintah bisa berlaku bijak dengan memposisikan
arbitrase sejajar dengan pengadilan serta bisa menjalankan putusannya sendiri tanpa
mendaftarkan putusannya pada pengadilan. Mengingat peran arbitrase sangatlah urgen ditengah-
tengah perkembangan ekonomi dan bisnis syariah dewasa ini. Begitupun, Eksistensi Basyarnas
haruslah diberikan payung hukum yang khusus, agar mencerminkan eksistensi hukum Islam
disamping sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Peraturan tentang penyelesaian sengketa alternatif atau arbitrasi pada sebagian besar
prinsipnya mengadopsi UNCITRAL Model yang kemudian disesuaikan dengan prinsip-prinsip
syariah. Dengan perkembangan ekonomi syariah saat ini, maka dukungan terhadap lembaga
penyelesaian sengketa bisa menjadi pendukung dalam meningkatkan aktivitas ekonomi syariah.
Meski ada banyak kritik terhadap praktik penyelesaian sengketa melalui arbitrase karena
dianggap terlalu teknis, formal, mahal, dan memakan waktu yang lama. Tantangan di atas
seharusnya bisa dijawab oleh kelembagaan arbitrase syariah dengan menjalankan prinsip-prinsip
syariah secara konsisten. Harapannya di masa mendatang keberadaan arbitrase syariah benar-
benar mampu menunjang aktivitas ekonomi syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Basir, Cik, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: Di Pengadilan Agama & Mahkamah
Syariah, cet. Ke-1, Jakarta: Kencana, 2009.
Burton Simataupang, Richard, Aspek Hukum Dalam Bisnis, edisi revisi, cet. Ke-2, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2003.
https://business-law.binus.ac.id/2017/04/30/gratifikasi-versus-suap/