Anda di halaman 1dari 18

PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS SYARIAH DI

BASYARNAS

DISUSUN OLEH :

DOSEN PEMBIMBING :

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY


FAKULTAS HUKUM DAN SYARIAH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
BANDA ACEH
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) adalah sebuah wadah alternatif diluar
pengadilan (non-litigasi) di dalam penyelesaian sengketa atau perkara di perbankan syariah dan
lembaga keuangan syariah (LKS) lainnya. Keberadaan Basyarnas saat ini sangat dibutuhkan oleh
umat Islam Indonesia, terlebih dengan semakin marak dan berkemabangnya perusahaan
perbankan dan keuangan syariah di Indonesia air dewasa ini. Oleh karena itu, pertumbuhan
ekonomi dan bisnis syariah yang pesat dan kompleks seperti saat ini pasti melahirkan berbagai
macam bentuk kerjasama atau transaksi bisnis. Dengan semakin meningkatnya kerjasama bisnis
tersebut akan mendorong terjadinya persengketaan bisnis yang lebih tinggi diantara para pihak
yang terlibat didalamnya.

Sengketa merupakan fenomena yang tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia.
Potensi terjadinya sengketa atau perselisihan diantara umat manusia, senantiasa ada selama
masih ada interaksi antara sesama manusia. Pada umumnya, sengketa terjadi karena penipuan
dan ingkar janji. Ingkar janji itu sendiri dapat terjadi apabila pihak-pihak atau salah satu pihak
tidak melakukan apa yang dijanjikan / disepakati untuk dilakukan, pihak-pihak atau salah satu
pihak telah melaksanakan apa yang tekah disepakati, tetapi tidak pelaksanaannya “sama persis”
sebagaimana yang dijanjikan, dan pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan apa yang telah
dijanjikan, tetapi terlambat menunaikan janji serta pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Dalam kegiatan bisnis tentunya diharapkan akan mendatangkan keuntungan para pihak
sesuai dengan asas kesepatakan. Namun demikian apa yang telah mereka sepakati, terkadang
menimbulkan sengketa yang tentunya akan mendatangkan kerugian salah satu pihak. Untuk
menegakkan hak-hak para pihak tersebut, maka terdapat dua jalan yang bisa ditempuh oleh para
pihak, yaitu melalui jalur pengadilan atau melalui musyawarah. Tetapi ilmu hukum mempunyai
alternatif lain yaitu melalui suatu lembaga yang dinamakan Arbitrase.

Proses penyelesaian sengketa di lembaga arbitrase lebih mengedepankan kebebasan para


pihak dalam menetapkan bentuk lain dari proses yang serupa, namun melalui mekanisme yang
lebih sederhana dan diharapkan di dalam mekanisme tersebut tidak terjadi distorsi pada
penegakan hukum sehingga hasilnya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Berbeda halnya
dengan mekanisme penyelesaian sengketa di pengadilan yang mengikuti pola terstruktur, sarat
dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, serta cara-cara yang ketat, sehingga menimbulkan
ketidakpuasan pihak-pihak terhadap pengadilan. Oleh karena itu, pengadilan sebagai saran
pendistribusian keadilan menjumpai banyak hambatan dan distribusi keadilan yang diperoleh
masyarakat tidak lain adalah keadilan birokratis.

Di Indonesia terdapat bermacam-macam badan arbitrase yang dikhususkan dengan


kewenangannya dalam menyelesaikan perkara tertentu dan orang-orang tertentu. Akan tetapi
perlu digaris bawahi, bahwa nama sebuah badan arbitrase tidak berarti menunjukkan kompetensi
absolut dari suatu lembaga arbitrase, melainkan lebih menunjukkan bidang keahlian (expert)
yang dimiliki. Berkaitan dengan itu, Basyarnas yang sebelumnya bernama Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI), yang menandai kehadiran lembaga arbitrase Islam pertama kali
di Indonesia dan Basyarnas sendiri merupakan salah satu perangkat dari organisasi MUI. Oleh
karena itu, penulis dalam makalah yang singkat ini mencoba untuk membahas kembali tentang
kapan Basyarnas mempunyai kompetensi dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, dan
bagaimana rule dan prosedur penyelesaiannya. Selanjutnya, bagaiman eksistensi dan
problematika hukum Basyarnas itu sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Arbitrase?
2. Bagaimana Kompetensi Basyarnas dalam Sengketa Ekonomi Syariah?
3. Bagaimana Prosedur dan Putusan Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah di
Basyarnas?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui pengertian arbitrase
2. Untuk mengetahui Kompetensi Basyarnas dalam Sengketa Ekonomi Syariah
3. Untuk mengetahui Prosedur dan Putusan Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah di
Basyarnas

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Arbitrase Syariah

Secara etimologi Arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin) atau arbitrage yang berarti
suatu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Secara istilah Arbitrase
adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang arbiter atas dasar
kebijaksanaannya dan para pihak akan tunduk pada putusan yang diberikan oleh arbiter yang
mereka tunjuk. Dalam menjatuhkan putusan para arbiter biasanya tetap menerapkan hukum
seperti halnya yang dilakukan oleh hakim di pengadilan. Walaupun demikian, putusan dari
arbitrase berdasarkan kebijaksanaan, akan tetapi norma hukumlah yang menjadi sandaran utama
dalam menyelesaikan sengketa antar subyek hukum tersebut.

Sehubungan dengan pengertian di atas, dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang didasarkan pada perjanjian abitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan bahwa lembaga
arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat
mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Terkait dengan Arbitrase Syariah, padanan dari arbitrase ini dalam fiqh Islam adalah
tahkim dan kata kerjanya hakam yang secara harfiyah berarti menjadikan seorang sebagai
penengah/hakam bagi suatu sengketa. Istilah lain adalah ash-shulhu yang berarti memutus
pertengkaran atau perselisihan. Yang dimaksudkannya adalah suatu akad / perjanjian untuk
mengakhiri perlawanan / pertengkaran antara dua orang yang bersengketa. Jadi, dalam tradisi
Islam telah dikenal adanya hakam yang sama artinya dengan arbitrase, hanya saja lembaga
hakam tersebut bersifat ad hoc.

Dengan demikian, arbitrase merupakan suatu sistem atau cara penyelesaian sengketa
keperdataan oleh pihak ketiga yang disepakati atau ditunjuk oleh para pihak baik sebelum
terjadinya sengketa maupun setelah terjadinya sengketa. Proses arbitrase yang relatif cepat dan
murah, menjunjung tinggi asas konfidensialitas (kerahasiaan), bebas memilih arbiter dengan
pertimbangan keahlian (expert) dan para pihak bebas memilih hukum yang akan dipakai dalam
proses arbitrase dan putusan yang dihasilkan bersifat final and binding serta merupakan win-loss
solution.

1. Sejarah Arbitrase Syariah

Dalam tradisi Islam klasik, terdapat tiga bentuk mekanisme penyelesaian sengketa yang
pernah berkembang, baik pada masa Rasulullah Saw, Para Sahabat, Khalifah Bani Umayyah, dan
Bani Abbasiah, yaitu: sulh (perdamaian), tahkim (arbitrase), dan proses litigasi yang disebut
dengan wilayat al-aqda (kekuasaan kehakiman). Sulh berdasarkan catatan sejarah, rasulullah
Saw, pernah mendamaikan konflik yang terjadi dikalangan Bani ‘Amr Ibn ‘Auf ketika diantara
mereka terjadi peperangan. Dalam kesempatan lain, Rasulullah juga pernah mendamaikan kasus
utang-piutang antara Ka’ab Ibn Malik dan Ibn Abi Hadrad sehingga keduanya merasa puas
dengan keputusan Rasulullah. Oleh karena itu, perdamaian adalah cara terbaik dalam
menyelesaikan masalah (wa al-sulh khair). Dengan demikian, perdamaian merupakan instrumen
penyelesaian yang utama.

Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal
dewasa ini, yaitu pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih
atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai. Orang yang
menyelesaikannya disebut hakam. Dalam sejarah Islam, lembaga arbitrase telah dikenal sejak
zaman pra Islam. Pada saat itu, meskipun belum ada sistem peradilan yang terorganisir, setiap
ada persengketaan mengenai hak milik, hak waris, dan hak-hak lainnya seringkali diselesaiakan
melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk masing-masing yang berselisih.

Pada masa pra Islam, hakam atau juru damai atau arbitrase itu harus memenuhi beberapa
kualifikasi (persyaratan), antara lain harus memiliki kekuatan supranatural dan adikodrati.
Berdasarkan persyaratan ini, pada umumnya para hakam itu adalah ahli nujum. Oleh karena itu,
dalam pemeriksaan dan penyelesaian dikalangan mereka, hakam lebih banyak menggunakan
kekuatan firasat daripada menghadirkan alat-alat bukti, seperti saksi atau pengakuan (iqrar).
Dalam catatan sejarah para arbiter Arab / hakam dalam memeriksa / menyidangkan perkaranya
dilaksanakan di dalam kemah-kemah yang didirikan atau bahkan dibawah-bawah pohon. Setelah
Kushai ibn Ka’ab membangun sebuah gedung di Makkah yang pintunya sengaja dihadapkan ke
arah Ka’bah, maka disitulah sidang-sidang hakam/arbitrase dilaksanakan dan gedung itu dikenal
sebagai Dar al-Adda’wah.

Pada masa awal perkembangan Islam, tradisi penyelesaian perkara melalui tahkim lebih
berkembang di masyarakat mekkah, sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaiakan sengketa
bisnis diantara mereka. Demikian juga, lembaga arbitrase berkembang di Madinah sebagai
daerah agraris untuk menyelesaikan sengketa dibidang pertanian. Sebagaimana dituturkan oleh
Syalabi, Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi rasul pernah bertindak sebagai wasit
dalam perselisihan yang terjadi dikalangan masyarakat mekkah terkait dengan persoalan
peletakan kembali hajar Aswad ketempat semula.

Pertumbuhan sistem hakam/sistem arbitrase dimasa khalifah Umar ibn Khottab


mengalami perkembangan yang menggembirakan seiring dengan pembenahan lembaga peradilan
dan tersusunnya pokok-pokok pedoman beracara di Pengadilan / Risalah al-Qadla’ Abu Musa al-
Asy’ari, yang salah satunya adalah pengukuhan terhadap kedudukan arbitrase. Pada penghujung
masa al-Khulafa ar-Rasyidin masalah hakam ini tidak hanya untuk menyelesaikan masalah-
masalah atau sengketa keluarga dan bisnis akan tetapi juga menyelesaikan masalah-masalah
politik, perdagangan dan peperangan. Dengan demikian, wilayah yurisdiksi arbitrase semakin
luas dan fenomena yang demikian menjadikan bidang garapan badan arbitrase pada awal masa
Islam datang juga semakin luas, sesuai dengan perkembangan atau kemajuan untuk pemenuhan
kebutuhan hajat hidup ummat manusia terhadap hukum.

Sedangkan dalam kekuasaan kehakiman secara umum, dalam tradisi Islam klasik dikenal
tiga lembaga kekuasaan kehakiman. Meskipun masih dalam bentuk yang sederhana, lembaga
kekuasaan kehakiman tersebut dapat berjalan efektif dalam menangani kasus-kasus umum
(kejahatan yang ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat) maupun khusus (pelanggaran
yang bersifat individual) yang muncul di tengah masyarakat. Ketiga lembaga kekuasaan
kehakiman tersebut adalah al-hisbah[18], al-mazalim[19], dan al-qada’[20].

Terkait dengan itu, untuk konteks Indoensia perkembangan arbitrase dimulai dari Rapat
Kerja Nasional (Rakernas) MUI tahun 1992, Hartono Marjono, SH, ditugasi memaparkan
makalahnya tentang arbitrase berdasarkan syari’at Islam yang kemudian mendapat sambutan
baik dari kalangan peserta dan kamudian direkomendasikan untuk ditindak lanjuti oleh MUI.
Pada tanggal 22 April 1992 Dewan Pimpinan MUI mengundang para praktisi hukum termasuk
dari kalangan perguruan tinggi guna bertukar pikiran tentang perlu tidaknya dibentuk Arbitrase
Islam.

Pada rapat selanjutnya tanggal 2 Mei 1992, diundang juga wakil dari Bank Muamalat
Indonesia dan untuk selanjutnya dibentuk tim kecil guna mempersiapkan bahan-bahan kajian
untuk kemungkinannya membentuk badan arbitrase Islam. Demikian selanjutnya dalam rakernas
MUI 24-27 November 1992, juga diputuskan bahwa sehubungan dengan rencana pendirian
lembaga arbitrase muamalat, agar MUI segera merealisasikan.

Dalam perkembangan selanjutnya, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)


mengalami perubahan nama dan status. Dalam rekomendasi Rapat Kerja Nasional MUI, tanggal
23-26 Desember 2002, menegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hakam (arbitrase syari’ah)
satu-satunya di Indonesia dan merupakan perangkat organisasi MUI. Kemudian sesuai dengan
hasil pertemuan antara Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dengan Pengurus Badan
Arbitrase Muamalah Indonesia tanggal 26 Agustus 2003 serta memperhatikan isi surat Pengurus
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia No. 82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 7 Oktober 2003, maka
Majelis Ulama Indonesia dengan SK nya. Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 30 syawal 1424/24
Desember 2004 M, menetapkan diantaranya, bahwa;[24] nama Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitarse Syari’ah Nasional (BASYARNAS), bentuk badan
hukum BAMUI dari yayasan menjadi badan yang berada dibawah MUI dan merupakan
perangkat organisasi MUI, Basyarnas dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai lembaga
hakam bersifat otonom dan independen, dan terakhir mengangkat pengurus Basyarnas.

2. Dasar Hukum Arbitrase Syariah

Adapun yang menjadi dasar arbitrase syariah yang pertama adalah anjuran al-Qur’an
tentang perlunya “perdamaian”, yaitu QS. al-Hujarat ayat 9 yang berbunyi:

Artinya:“Dan jika ada dua kelompok dari orang-orang mukmin bertikai maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka
tindaklah kelompok yang berbuat aniaya itu sehingga ia kembali kepada perintah Allah. Jika ia
telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Ayat di atas menjelaskan tentang perselisihan antara kaum muslimin yang antara lain
disebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas kebenarannya. Jika perselihan tersebut terjadi, maka
harus didamaikan dengan cara yang adil. Adapun kata ashlihu pada ayat di atas, diambil dari kata
ashlaha yang asalnya shaluha. Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan antonim
dari kata fasada yakni rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian, shuluha berarti
tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat, sedangkan ishlah adalah upaya
menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak
lagi.

Dalam konteks hubungan antar manusia, maka nilai-nilai itu tercermin dalam
keharmonisan hubungan. Jadi, apabila hubungan antar dua belah pihak retak atau terganggu,
maka terjadi kerusakan dan hilang atau paling tidak berkurang kemanfaatn yang dapat diperoleh
dari mereka. Dengan demikian, menuntut adanya ishlah yakni perbaikan agar keharmonisan
pulih, sehingga terpenuhi nilai-nilai bagi hubungan tersebut, dan dampaknya akan lahir aneka
manfaat dan kemaslahatan.

Dasar yang kedua adalah QS. an-Nisa ayat 35 yang berbunyi:

Artinya:“Dan jika kamu khawatir persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila ada dua pihak terjadi persengketaan, maka
hendaknya diantara kedua belah pihak yang bersengketa menunjuk seorang juru damai yang
bijaksana untuk menyelesaikan persengketaan keduanya dengan baik. Oleh karean itu, fungsi
utama hakam di sini adalah mendamaikan dan berhak menetapkan hukum sesuai dengan
kemaslahatan, baik disetujui oleh pasangan yang bertikai maupun tidak. Dengan demikian,
melihat tafsir ayat di atas, maka sangat memungkinkan dan relevan untuk dijadikan dasar terkait
dengan pembahasan arbitrase syariah yang sedang berkembang dewasa ini.

Dasar hukum arbitrase selanjutnya adalah al-Hadis, selain al-Qur’an dan al-Hadis juga
Ijmak (kesepakatan) ulama-ulama dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. atas keabsahan
praktek tahkim. Pada masa sahabat telah terjadi sengketa secara arbitrase dikalangan para
sahabat dan tak seorang pun yang menentangnya. Bahkan Umar bin Khattab telah memberikan
pengarahan dalam persoalan ini dengan menyatakan:

Artinya:”Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang


menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”.

Selain landasan ayat di atas, kita mengetahui bahwa pelaksanaan syariat Islam di
Indonesia didasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2, implementasi adanya
landasan konstitusional tersebut, beberapa perundang-undangan telah lahir yang berkaitan
dengan kedudukan Basyarnas yaitu:

a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang diubah dengan Undang-


Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan terakhir dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
b) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
c) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
d) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam undang-undang tersebut keberadaan Basyarnas dianggap sebagai alternatif


penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan (non ligitasi) yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa ketika melakukan akad
perjanjian. Dengan demikian, adanya Badan Arbitrase sangat dianjurkan dalam Islam guna
mencapai kesepakatan yang maslahah dalam penyelesaian suatu sengketa berbagai bidang
kehidupan termasuk sengketa-sengketa dalam bidang muamalah (perdata). Hal itu dimaksudkan
agar umat Islam terhindar dari perselisihan yang dapat memperlemah persatuan dan kesatuan
ukhuwah Islamiyah.

3. Bentuk-Bentuk Arbitrase

Arbitrase sebagai salah satu instrumen penyelesaian sengketa diluar peradilan resmi dan
sudah lama adanya, dalam praktek yang terjadi selama ini. Maka secara garis besar arbitrase
terdapat dua jenis Arbitrase, yaitu:

a) Arbitrase sementara (ad-hoc atau volunter arbitrase)


Arbitrase ad-hoc adalah arbitrase yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
setelah sengketa terjadi (akta kompromis), dimana arbiter yang dipilih adalah arbiter bukan dari
institusi arbitrase yang ada. Arbitrase ini tidak permanen / tidak melembaga, bersifat incidental
dan jangka waktunya tertentu sampai dengan sengketa diputuskan. Para pihak dapat mengatur
sendiri cara-cara bagaimana pelaksanaan pemilihan arbiter, tentang prosedur / proses beracara,
petugas administrative dan lai-lain. Dalam melaksanakannya, jenis ini sering mendapatkan
kesulitan diantaranya dalam melakukan negosiasi dan menetapkan aturan-aturan prosudural serta
menetapkan arbirternya. Dengan demikian, arbitrase ini keberadaannya hanya untuk
memutuskan dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai
diputus, maka keberadaan arbitrase ad-hoc inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
Namun, perlu ditekankan bahwa yang dijadikan patokan dalam pemilihan-pemilihan dan
penentuan arbiter tersebut tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang-
undang.

b) Arbitrase institusional (lembaga Arbitrase)

Arbitrase Institusional adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan
arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai
aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), badan-badan tersebut
mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri. Jadi, sifat permanen tersebut
merupakan salah satu pembeda dari arbitrase ad hoc. Arbitrase institusional ini sudah dan tetap
ada sebelum ada perselisihan maupun setelah perselisihan tersebut selesai diputus. Arbitrase ini
sudah memiliki aturan-aturan prosedur sebagai pedoman bagi para pihak, termasuk dalam hal
penentuan/pengangkatan para arbiternya. Di Indonesia, terdapat dua badan arbitrase institusional,
yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan oleh Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) tahun1977 dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang didirikan
serta menjadi perangkat organisasi dari Majelis Ulama Indonesia tahun 1993.

B. Kompetensi Basyarnas dalam Sengketa Ekonomi Syari’ah

Dalam Pasal 1 butir 1 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan: “Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Dari
pengertian tersebut dapat diketahui pula bahwa dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara
para pihak itu sendiri, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan
oleh para pihak mengikat mereka sebagai undang – undang.

Kompetensi absolut dari lembaga arbitrase ditentukan oleh ada tidaknya perjanjian yang
memuat klausula arbitrase baik berupa pactum de compromittendo ataupun akta kompromis.
Dalam pasal 11 UU No. 30 Tahun 1999 tentang alternatif penyelesaian sengketa menyatakan
bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya kepengadilan
Negeri. Oleh karena itu, berdasarkan aturan hukum yang berlaku kewenangan absolute seluruh
badan-badan peradilan negara, termasuk dalam hal ini lingkungan peradilan agama tidak dapat
menjangkau sengketa atau perkara yang timbul dari perjanjian yang didalamnya terdapat
klausula arbitrase.

Lembaga arbitrase dalam melaksanakan kompetensinya berdasarkan perjanjian arbitrase


terealisasikan berupa pemberian pendapat hukum yang mengikat (legal binding opinion) dan
pemberian putusan arbitrase karena adanya suatu sengketa tertentu. Bahwa tanpa adanya suatu
sengketa, lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam
suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat hukum yang mengikat mengenai suatu
persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.

Legitimasi penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah bahwa perjanjian berlaku
sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya dan bahwa hukum perjanjian
menganut sistem terbuka (open system). Oleh karena itu, terdapat kebebasan dari para pihak
dalam menentukan materi / isi perjanjian, pelaksanaan perjanjian, dan cara menyelesaikan
sengketa. Sehingga secara tegas dikatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa diluar
pengadilan umum yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian yang dibuat
sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) maupun sesudah terjadi sengketa (akta
kompromis).

Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 terdapat persyaratan terhadap


sengketa yang diselesaikan melalui mekanisme arbitrase, yang berbunyi:
1) sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan
dan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikusai sepenuhnya
oleh pihak yang bersengketa.
2) sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan dengan tidak dapat diadakan perdamain.

Namun, dalam praktiknya terdapat badan-badan arbitrase secara spesifik ditujukan untuk
menyelesaikan sengketa tertentu oleh pihak tertentu. Salah satunya adalah Basyarnas yang secara
khusus mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa sengketa muamalah yang dihadadpi
oleh umat Islam.

C. Prosedur dan Putusan Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah di Basyarnas

Penyelesaian sengketa bisnis melalui mekanisme ADR (Alternative Dispute Resolution)


dalam bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli atau melalui
mekanisme arbitrase, banyak dipilih oleh para pihak yang berselisih karena beberapa alasan,
diantaranya; kesukarelaan dalam proses, prosedur cepat, rahasia, hemat waktu, hemat biaya,
keputusan non yudisial, fleksibel dalam merancang syarat-syarat penyelesaian sengketa, win-win
solution, tetap terpeliharanya hubungan baik antar para pihak yang bersengketa. Para Arbirter
adalah orang-orang yang memiliki keahlian (expertise) dan putusan arbitrase bersifat final serta
mengikat para pihak. Selain itu, tidak ada kemungkinan banding dan kasasi terhadap putusan
arbitrase.

Terkait dengan prosedur, menurut Mertokusumo bahwa arbitrase adalah suatu prosedur
penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang
berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.
Sedangkan yang dimaksud dengan prosedur berperkara melalui badan arbitrase adalah
keseluruhan proses yang harus ditempuh sejak awal pendaftaran perkara dari segi administratif,
penunjukan arbiter/majelis arbiter, persidangan, pemeriksaan perkara, pembuktian dan
kesimpulan, kemudian diputuskan.

Berkaitan dengan prosedur dan proses penyelesaian sengketa lembaga keuangan syariah
melalui Basyarnas harus didasarkan pada UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Peraturan Prosedur Basyarnas (dulu BAMUI). Adapun ketentuan-ketentuan umum yang terkait
prosedur penyelesaian sengketa UU No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:

a) Pemeriksaan sengketa harus diajukan secara tertulis, namun demikian dapat juga secara
lisan apabila disetujui para pihak dan dianggap perlu oleh Arbiter atau Majelis Arbiter.
b) Arbirter atau Majelis Arbirter terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara pihak
yang bersengketa.
c) Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak
Arbiter atau Majelis Arbiter terbentuk, namun demikian dapat diperpanjang apabila
diperlukan dan disetujui para pihak.
d) Putusan Arbitrase harus memuat kepala putusan yang berbunyi “Demi keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” nama sengkat sengketa, uraian singkat
sengketa, pendirian cara pihak, nama lengkat dan alamat Arbiter atau Majelis Arbiter
mengenai keselurhan sengketa, pendapat masing-masing Arbiter dalam hal terdapat
perbedaan pendapat dalam Majelis Arbitrase, amar putusan, tempat dan tanggal putusan,
dan tanatangan Arbiter atau Majelis Arbiter.
e) Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan.
f) Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan harus ditutup dan ditetapkan
sidang mengucapkan putusan arbitrase dan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari
setelah pemeriksaan ditutup.
g) Dalam waktu paling lama 14 hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan
permohonan kepada Arbiter atau Majelis Arbiter untuk melakukan koreksi terhadap
kekeliruan administrasi dan atau menambah atau mengurangi seuatu tuntutan putusan.

Berdasarkan ketentuan-ketentuaun prosedur di atas, dimaksudkan untuk menjaga agar


jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase termasuk juga arbitrase syariah menjadi
berlarut-larut, sehingga dengan demikian dalam arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding,
kasasi maupun peninjauan kembali. Dengan demikian, putusan yang sudah tandatangani arbiter
bersifat final and binding artinya putusan Basyarnas mempunyai kekuatan mengikat dan padanya
tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.

Namun, di sini ada pengecualian apabila telah terjadi kekhilafan, atau penipuan di
dalamnya mengenai suatu fakta atau dengan adanya novum. Setelah putusan tersebut sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap, maka salinan otentik putusan diserahkan dan didaftarkan di
kepeniteraan PN (Pengadilan Negeri). Bilamana putusan tidak dilakukan secara sukarela, maka
dilaksanakan berdasarkan perintah ketua PN (Pengadilan Negeri). Berdasarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 perubahan No. 02 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan
Badan Arbitrase Syariah, disebutkan bahwa dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak
dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut berdasarkan perintah Pengadilan Agama.

1. Eksistensi dan Problematika Hukum BASYARNAS

Berdirinya Basyarnas berdasarkan Surat Keputusan Nomor: Kep-09/MUI XII/2003


tertanggal 24 Desember 2003, merupakan satu-satunya badan hukum yang otonom milik MUI,
yang bertujuan untuk menangani sengketa antara nasabah dan bank syariah. Arbitrase ini
dilakukan dengan menunjuk dan memberi kuasa kepada badan arbitrase untuk memberi keadilan
dan kepatutan berdasarkan syariat Islam dan prosedur hukum yang berlaku. Secara legalitas
keberadaan Basyarnas tak bisa begitu saja difungsikan. Hal ini disebabkan penyelesaian lewat
Basyarnas bisa dilakukan apabila dalam akad dibuat klausula mengenai penyelesaian sengketa
melalui Arbriter, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, proses


penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat melalui jalur non ligitasi, diantaranya melalui
Basyarnas. Namun, dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) point c Undang-Undang tersebut
mengandung kelemahan karena ada opsi arbitrase yang lain. Disinilah perlu sebuah ketegasan
bagi umat Islam apakah percaya dengan arbitrase syariah atau tidak sebagai alat implementasi
hukum Islam, meskipun ketentuan penjelasan Undang-Undang ini masih memberikan peluang
penyelesaian di luar Basyarnas.

Disisi lain, eksistensi arbitrase tidak sepenuhnya independen tanpa keikut sertaan
pengadilan negeri terhadap proses arbitrase. Jurisdiksi arbitrase berdasarkan UU No. 30 Tahun
1999 masih sangat bias dan berisi norma yang sangat ambivelen. Undang-Undang tersebut masih
sangat jelas memberikan kewenangan lebih terhadap pengadilan negeri dalam mencampuri
proses arbitrase. Oleh karena itu, jurisdiksi pengadilan negeri terhadap forum arbitrase dapat
dikatakan masih sangat kuat. Akibatnya putusan arbitrase yang disebutkan dalam Undang-
Undang itu sebagai putusan yang final dan mengikat para pihak pada dasarnya sama sekali tidak
memiliki titel eksekutorial tanpa keterlibatan jurisdiksi pengadilan.

Begitu juga halnya dengan eksistensi Basyarnas yang secara khusus merupakan sebuah
pilihan hukum bagi umat Islam dalam menyelesaikan sengketa bisnis syariah. Masalahanya
adalah apabila salah satu pihak tidak menjalankan putusan tersebut dengan sukarela maka dapat
dimintakan eksekusinya melalui Pengadilan Agama, berdasarkan pada Surat Edaran Mahkamah
Agung poin 4 (empat) No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah.
Tentunya hal ini bertolak belakang dengan UU No. 30 Tahun 1999, yang secara hirarki
perundang-undangan di Indonesia berada diatas Peraturan Pemerintah.
BAB III

HASIL ANALISA

Berdasarkan dari uraian pembahasan maka penulis mengambil hasil analisa dari penelitian ini
sebagai berikut:

Pada dasarnya proses penyelesaian sengketa melalui sulh (perdamaian), tahkim


(arbitrase) dan pengadilan, sudah ada sejak pra Islam itu sendiri. Namun, dalam perjalanan
panjang hingga saat ini, model tersebut mengalami perubahan dan kemajuan dengan terwujudnya
sistem kelembagaan yang mengikat.

Dengan perkembangan ekonomi dan bisnis syariah dewasa ini, tidak menutup
kemungkinan akan adanya kecendrungan masyarakat atau pihak-pihak yang bersengketa
memilih untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya di lemabaga non-litigasi baik itu Basyarnas
atau arbitrase lainnya, daripada proses litigasi (pengadilan) menunjukkan bahwa arbitrase lebih
mengedepankan asas cepat dan sederhana dalam proses beracara dengan tidak mengesampingkan
nilai-nilai keadilan subtantansial.

Oleh karena itu, seharusnya pemerintah bisa berlaku bijak dengan memposisikan
arbitrase sejajar dengan pengadilan serta bisa menjalankan putusannya sendiri tanpa
mendaftarkan putusannya pada pengadilan. Mengingat peran arbitrase sangatlah urgen ditengah-
tengah perkembangan ekonomi dan bisnis syariah dewasa ini. Begitupun, Eksistensi Basyarnas
haruslah diberikan payung hukum yang khusus, agar mencerminkan eksistensi hukum Islam
disamping sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas, tahkim sangat berguna dalam menyelesaikan sengketa


ekonomi syariah. Dalam menyelesaikan ekonomi syariah, sebaiknya ditunjuk individu yang ahli
di bidangnya sehingga penyelesaiannya lebih maksimal dan ditangani oleh individu yang
kompoten. Saat ini, di beberapa negara seperti Indonesia dan Malaysia telah menerapkan
arbitrase yang berdasarkan prinsip syariah guna menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Di
Indonesia arbitrase syariah (tahkim) dikenal dengan Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS), di Malaysia, dikenal dengan Kuala Lumpur Regional Centre for Arbitration
(KLRCA) juga telah mengeluarkan Islamic Banking and Finance Rules of KLRCA untuk
menyelesaikan sengketa perbankan dan keuangan syariah.

Peraturan tentang penyelesaian sengketa alternatif atau arbitrasi pada sebagian besar
prinsipnya mengadopsi UNCITRAL Model yang kemudian disesuaikan dengan prinsip-prinsip
syariah. Dengan perkembangan ekonomi syariah saat ini, maka dukungan terhadap lembaga
penyelesaian sengketa bisa menjadi pendukung dalam meningkatkan aktivitas ekonomi syariah.
Meski ada banyak kritik terhadap praktik penyelesaian sengketa melalui arbitrase karena
dianggap terlalu teknis, formal, mahal, dan memakan waktu yang lama. Tantangan di atas
seharusnya bisa dijawab oleh kelembagaan arbitrase syariah dengan menjalankan prinsip-prinsip
syariah secara konsisten. Harapannya di masa mendatang keberadaan arbitrase syariah benar-
benar mampu menunjang aktivitas ekonomi syariah.
DAFTAR PUSTAKA

Basir, Cik, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: Di Pengadilan Agama & Mahkamah
Syariah, cet. Ke-1, Jakarta: Kencana, 2009.

Burton Simataupang, Richard, Aspek Hukum Dalam Bisnis, edisi revisi, cet. Ke-2, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2003.

Djauhari, Ahmad, Arbitrase Syari’ah di Indonesia, Jakarta: Basyarnas, 2006.

https://business-law.binus.ac.id/2017/04/30/gratifikasi-versus-suap/

Anda mungkin juga menyukai