Anda di halaman 1dari 8

ARBITRASE SYARIAH

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Resume Mata Kuliah Arbitrase


Syariah Yang Di Ampu Oleh

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Hj. Umi Supraptiningsih, M.Hum

Disusun Oleh :
Kelompok 6

Eva Dwi Nur Cahyati ( 21383022138 )


Indah Roesmiati Dewi ( 21383022080 )

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

2023
ARBITRASE SEBAGAI SOLUSI PENYELESAIAN KONFLIK LEMBAGA
KEUANGAN SYARIAH

Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di


Indonesia semakin pesat. Pesatnya perkembangan perbankan dan lembaga
keuangan syariah berimplikasi pada semakin besarnya kemungkinan timbulnya
permasalahan atau sengketa antara pihak penyedia layanan dengan masyarakat
yang dilayani.

Untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya permasalahan atau sengketa


diperlukan adanya lembaga untuk menyelesaikan sengketa yang mempunyai
kredibilitas dan berkompeten sesuai bidangnya yaitu bidang ekonomi syariah
seperti lembaga peradilan ataupun lembaga non peradilan. Untuk menyelesaikan
sengketa dengan menggunakan lembaga non peradilan, maka terdapat beberapa
pilihan alternatif yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa ekonomi
syariah tersebut yaitu melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Jika
melalui arbitrase maka ada dua pilihan, yaitu memilih arbitrase ad hoc atau arbitrase
institusional seperti Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai
pengganti dari Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).1

Selain itu dalam menyelesaikan masalah diatur dalam hukum Islam sesuai
dengan firman Allah SWT pada surah Al-Anfal ayat 61 yang berbunyi :

‫س ِم ْي ُع الْعَ ِل ْي ُم‬ َ ‫س ْل ِم فَا ْجنَ ْح لَ َها َوت َ َو َّك ْل‬


ِ ‫علَى ه‬
َّ ‫ّٰللا ۗاِنَّهٗ هُ َو ال‬ َّ ‫َوا ِْن َجنَ ُح ْوا ِلل‬
Artinya : “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah
kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Anfal:61)[4] 2

Dalam hukum Islam, upaya perdamaian yang dilakukan oleh para pihak untuk
menyelesaiakn sengketa muamalah dikenal dengan al-shulhu. Al-shulhu sebagai

1
Yulkarnain Harahab, Kesiapan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Perkara Ekonomi
Syariah, Vol. 20 Nomor 1, ( journal : Mimbar Hukum, 2008 ), h.112
2
https://quran.kemenag.go.id/quran/per-ayat/surah/8?from=61&to=61, Diakses Pada Tanggal 15
Oktober 2023, Jam 21.18 Wib
sarana pewujudan perdamaian dapat diupayakan oleh pihak yang bersengketa atau
dari pihak ketiga yang berusaha membantu para pihak menyelesaikan sengketa
mereka. Keterlibatan pihak ketiga dapat bertindak sebagai mediator atau fasilitator
dalam proses al-shulhu. Pernerapan al-shulhu dalam hukum Islam sebenarnya
sangat luas tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan sengketa keluarga dan
politik.3

Dalam hal sengketa bidang Perbankan Syariah, Proses penyelesaian sengketa


perbankan syariah bisa diselesaikan melalui forum litigasi yaitu pengadilan agama
dan forum non ligitasi yaitu Badan Arbitrase Syariah Nasional. , dalam perjanjian
tertulis antara para pihak berlaku asas kebebasan berkontrak dalam memilih forum
yang dianggap lebih efektif. Prinsip penyelesaian sengketa melalui arbitrase
Syariah dalam kegiatan usaha ataupun penyelesaian sengketa merupakan unsur
kepatuhan Syariah (Syariah complianse) terdapat dalam anutan undang-undang
nomer 21 tahun 2018 tentang perbankan syariah. Segala hasil penyelesaian
sengketa baik melalui arbitrase ataupun alternatif penyelesaian sengketa harus
sesuai atau tidak boleh bertolak belakang dengan prinsip syariah, sehingga prinsip
syariah harus benar-benar diterapkan dalam kasus penyelesaian sengketa. Ruang
lingkup sengketa perbankan syariah yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
Syariah bergantung pada kesadaran hukum dari pihak pihak bersengketa yaitu
antara nasabah dan tim Bank Syariah. Arbitrase dalam hukum Islam disebut dengan
istilah tahkim. Tahkim adalah pengangkatan seorang wasit atau juru damai oleh
orang yang bersengketa guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan
secara damai.4

Dalam suatu permasalahan sengketa wajib diselesaikan dikarnakan telah


terjadi suatu kerugian yang dialami oleh salah satu dalam hal sengketa tersebut.
Dengan adanya penyelasaian kasus tersebut diharapkan telah selesai masalah
tersebut dengan menempuh jalur arbitrase. Menurut penjelasan umum undang-
undang arbitrase Syariah, landasan filosofis dibentuk undang-undang arbitrase
lembaga arbitrase mempunyai kelebihan, sebagai lembaga penyelesaian sengketa

3
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunna, Juzu’ 3 (Cairo : Dar al-Fath, 2000), h. 210
4
Ulfa Hasanah, Peran Arbitrase di Bank Syariah dalam Penyelesaian Sengketa, Vol. 4, ( Tawazun:
Journal of Sharia Economic Law, 2021), h. 197
jika dibandingkan dengan lembaga peradilan umum. Kelebihan arbitrase yaitu
kerahasiaan sengketa para pihak dijamin, dapat dihindari kelambatan yang
diakibatkan karena hal prosedur dan administrasi, para pihak memilih arbiter yang
menurut keyakinan mempunyai pengetahuan serta latar belakang yang cukup
mengenai masalah yang disengketakan jujur dan adil. Alternatif penyelesaian
sengketa telah banyak digunakan pada era modernisasi ini, terutama dalam bidang
perdagangan. Hal ini dikarenakan kompleksnya permasalahan dalam bidang
ekonomi dan semakin heterogennya pihak yang terlibat dalam lapangan usaha
tersebut salah satunya dalam bentuk lembaga alternatif penyelesaian sengketa
adalah lembaga arbitrase.

Arbitrase bisa menjadi solusi penyelesaian masalah terhadap ketidakpastian


sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda jenis sebabkan karena para pihak
yang bersengketa berasal dari yuridis hukum yang tidak sama, alasan dipilihnya
arbitrase juga disebabkan karena beberapa hal seperti adanya kebebasan,
kepercayaan dan keamanan keahlian cepat dan hemat biaya bersifat rahasia, bersifat
non presiden, kepekaan arbiter, pelaksanaan keputusan dan adanya kecenderungan
yang modern. Arbitrase merupakan solusi yang tepat terhadap penyelesaian
sengketa yang memberikan kekuatan dan dasarr hokum dalam pelakasanaan
putusan perkara.

Salah satu implementasi sebagai berikut :

Nasabah mengajukan permohonan terhadap Bank syariah dengan akad


Murabahah. Akhirnya, setelah melakukan pertimbangan dan survey, Bank Syariah
menyepakati untuk menyetujui permohonan pembiayaan tersebut. Bank syariah
dan nasabah bersepakat melakukan sebuah perrjanjian pembiayaan dengan akad
Murabahah. Namun suatu ketika, nasabah terlambat membayar, kemudian Bank
Syariah mengirimkan surat peringatan I, II dan III kepada nasabah, tetapi tidak ada
respon oleh nasabah. Kemudian, Bank Syariah menyelesaikan sengketa ini ke
lembaga litigasi (Pengadilan Agama). Sedangkan menurut fatwa DSN No. 4/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Murabahah, pada Fatwa kelima dijelaskan bahwa “apabila
nasabah dengan sengaja menunda pembayaran atau tidak melaksanakan
kewajibannya maka penyelesaian dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
setelah tidak tercapai kesepakatan musyawarah”.

Jika sengketa tidak kunjung selesai karena pihak bank syariah tidak membawa
kasus ke Basyarnas, sedangkan sengketa bank syariah baru bisa dibawa ke
Basyarnas kalau kedua belah pihak menyetujui. Maka pihak bank syariah memilih
untuk diselesaikan melalui Pengadilan Agama, tanpa adanya kesetujuan oleh pihak
nasabah.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun


2006 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa perkara ekonomi syariah
sudah menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Opsi mana yang dipilih
para pihak tergantung pada kesepakatan yang tertuang dalam akad sebelumnya. Jika
para pihak penyelesaian sengketa membuat klausul melalui lembaga atau badan
arbitrase, maka penyelesaian sengketa akan dibawa ke lembaga atau badan
arbitrase. Kesepakatan pemilihan lembaga arbitrase itu bisa dilakukan sebelum
timbul sengketa (pactum de compromittendo) maupun setelah timbul sengketa (acta
compromis).5

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah merupakan kompetensi dan


kewenangan Pengadilan Agama yang didasarkan pada Penjelasan point (1) Pasal
49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta ditegaskan kembali dalam
Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah yang menyatakan apabila terjadi sengketa dibidang Perbankan Syariah,
maka penyelesaian sengketa diajukan ke Pengadilan Agama. Dalam hal ini
Pengadilan Agama mempunyai hak dan wewenang untuk menerima, mengadili,
dan menyelesaikannya

Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara, Hakim selalu dituntut


untuk mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk mengetahui
substansinya. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal memeriksa perkara ekonomi
syariah khususnya perkara Perbankan Syariah, ada hal-hal yang harus diperhatikan,

5
Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, Cet.1, (Bogor
: Ghalia Indonesia, 2010), h. 43
yaitu : Pertama, pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian
yang mengandung klausula arbitrase. Kedua, Pelajari secara cermat perjanjian
(akad) yang mendasari kerjasama antar para pihak.

Dasar Hakim dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah adalah yang


pertama, Dasar hukum kewenangan mengadili menggunakan pasal Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan dengan Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 jo. Pasal 55 (1) UU No. 21 Tahun 2008 Perbankan Syariah. Yang
kedua, Hukum acara menggunakan KUHAPerdata dan Perma No.4 Tahun 2019
Tentang Perubahan Perma No.2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian
Gugatan Sederhana. Dan yang ketiga, Hukum materiil : KHES (Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah) dan kitab-kitab fiqh.6

A. Kelebihan Arbitrase Sebagai Solusi Penyelesaian Konflik Lembaga


Keuangan Syariah
1. Ketidak percayaan pihak pada pengadilan negeri.
Sebagaimana diketahui, penyelesaian sengketa dengan membuat
suatu gugatan melalui pengadilan, akan menghabiskan jangka waktu yang
relatif panjang.
2. Prosesnya cepat
Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbitrase sering kali
lebih cepat atau tidak terlalu formal, dan lebih murah dari pada proses
litigasi di pengadilan. Sesuai menurut pasal 48 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999.
3. Dilakukan secara rahasia
Suatu keuntungan bagi dunia bisnis untuk menyerahkan suatu
sengketa kepada badan atau majelis arbitrase adalah pemeriksaan maupun
pemutusan sengketa oleh suatu majelis arbitrase selalu dilakukan secara
tertutup sehingga tidak ada publikasi dan para pihak terjaga kerahasiaanya.
4. Bebas memilih arbiter

6
Mardani, Hukum Ekonomi Syari’ah Di Indonesia (Bandung: Refika aditama, 2011), h.110.
Para pihak yang bersengketa dapat bebas memilih arbiter yang akan
menyelesaikan persengketaan mereka. Sesuai dengan pasal 13 ayat (1)
UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999.
5. Diselesaikan oleh ahlinya (expert)
Menyelesaikan perselisihan dipengadilan kadangkala memerlukan
biaya tambahan. Hal ini dikarenakan sering kali dijumpai hakim kurang
mampu menangani kasus atau perselisihan yang bersifat teknis sehingga
memerlukan saksi ahli yang membutuhkan biaya.
6. Merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding)
Putusan arbitrase pada umunya dianggap final dan binding (tidak
ada upaya untuk banding). Namun, apabila ada hukum yang berlaku dalam
yurisdiksi yang bersangkutan menetapkan pelaksanaan putusan arbitrase
melalui pengadilan, pengadilan yang harus mengesahkanya dan tidak
berhak meninjau kembali persoalan (materi) dari putusan tersebut.
7. Biaya lebih murah
Biaya arbitrase biasanya terdiri dari biaya pendaftaran, biaya
adminstrasi dan biaya arbiter yang sudah ditentukan tarifnya. 7
8. Bebas memilih hukum yang diberlakukan
Para pihak dapat memilih hukum yang akan diberlakukan, yang
ditentukan oleh para pihak sendiri dalam perjanjian. Khusus yang dalam
kaitanya dengan para pihak yang berbeda kewarganegaraan, para pihak
yang bebas memilih hukum ini, berkaitan dengan teori pilihan hukum
dalam hukum perdata internasional (HPI). Hal ini karena masing-masing
Negara mempunyai HPI tersendiri.8

B. Kekurangan Arbitrase Sebagai Solusi Penyelesaian Konflik Lembaga


Keuangan Syariah
1. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk
memberikan keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan
para pihak.

7
Tim Dosen STISNU Nusantara, MODUL MATAKULIAH ALBITRASE PENYELESAIAN
SENGKETA, (Tangerang: PSP Nusantara Press, 2018), h. 13-18
8
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis, (Jakarta: PT. Raja grafindo persada, 2009), edisi revisi, h.213-214
2. Apabial pihak yang salah tidak mau mau melaksanakan putusan arbitrase,
maka diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas
putusan tersebut.
3. Pada prakteknya pengakuan dan pelaksanakan keputusan arbitrase asing
masaih menjadi hal yang sulit.
4. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah
perusahaan-perusahaan yang besar, oleh karena itu, untuk
memepertemukan kehendak para pihak yang bersenketa dan membawanya
ke arbitrase tidaklah mudah.
5. Lembaga arbitrase tidak mempunyai wewenang untuk mengeksekusi
perkara arbitrase.
6. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaiain yang
dicapai dalam arbitrase sehingga sering kali mengingkari dengan berbagai
cara.
7. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suati mekanisme
Ekstra Judicial, arbitrase hanya dapat bertumpu pada etika bisnis.9

9
Ibid, h. 21-22

Anda mungkin juga menyukai