Anda di halaman 1dari 3

Kepastian Hukum Sengketa Syariah

Oleh: Mustafa Kamal Rokan


(Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Mahasiswa Program Doktor FH UI)

Peradilan Agama sebagai satu-satunya peradilan sengketa ekonomi syariah akhirnya


menemukan kepastian hukum setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor
93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 lalu. Konflik kewenangan pengadilan sengketa ekonomi
Syariah dialami oleh Dadang Achmad sebagai salah satu nasabah Bank Muamalat cabang Bogor
yang merasa hak konstitusional “kepastian hukumnya” dirugikan. Kepastian hukum (legal
certainty) dimana sengketa ekonomi syariah diadili tidak diperolehnya disebabkan dualisme tempat
penyelesaian sengketa perbankan syariah, yakni Peradilan Agama dan Peradilan Umum.
Pada satu sisi, Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyebutkan
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infak, shadaqah, dan ekonomi Islam.” Dalam bagian penjelasan disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi Islam” termasuk didalamnya perbankan syariah.
Di sisi lain, sengketa perbankan syariah juga dapat diadili oleh Peradilan Umum
berdasarkan Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah (UU PS) yang mengatakan
“Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana
dimaksud dimaksud ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak bertentangan dengan prinsip
syariah. Yang menjadi persoalan utama adalah terletak pada penjelasan Pasal 55 yang menyatakan
penyelesaian sengketa dimungkinkan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum
sepanjang disepakati di dalam akad.
Kemestian sengketa ekonomi syariah berada di lingkungan Peradilan Agama harus digali
dari makna filosofi Islam sebagai sebuah sistem hidup. Sebagai sebuah sistem hidup penerapan
ajaran Islam harus dalam satu kesatuan yang utuh. Karenanya, persoalan sengketa (dispute) adalah
sesuatu yang inherent dari keberadaan ekonomi Islam itu sendiri. Penerapan perekonomian Islam
tidak boleh berjalan secara parsial ketika bagian darinya tidak menjadi kewenangan dari sistem
syariah itu sendiri, dalam konteks ini penyelesian sengketa dalam ekonomi Syariah.
Hal ini juga sejalan dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Hazairin berpendapat bahwa isi
ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bukan suatu fakta semata, tetapi di dalamnya
terkandung suatu norma (Hazairin, Demokrasi Pancasila, 1985). Menurut Hazairin, dalam Negara
RI, tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaedah-kaedah Islam umat
Islam dan umat lainnya. Negara wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam dengan
perantaraan kekuasaan Negara, dalam hal ini kekuasaan kehakiman.

Penegasan yurisdiksi
Bagi penulis, keluarnya putusan MK tentang kepastian sengketa ekonomi syariah di
Peradilan Agama adalah penegasan yurisdiksi. Sebelumnya, konflik yurisdiksi sengketa ekonomi
syariah sebenarnya telah selesai secara normatif. Karenanya, putusan MK ini hanyalah penegasan
akan kepastian hukum sengketa ekonomi syariah. Walaupun masih debatable, bagi penulis paling
tidak ada tiga alasan normatif yang menyatakan Peradilan Agama-lah yang berhak mengadili
sengketa ekonomi syariah.
Pertama, menganalisis lebih jauh Pasal 55 UUPS, terutama pada klausula penjelasannya,
sudah terdapat kerancuan hukum di dalamnya, yakni dengan penempatan peradilan umum sebagai
tempat penyelesaian sengketa perbankan syariah pada “jenis non-litigasi”. Peradilan umum
ditempatkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa bersama dengan cara-cara (a) Musyawarah,
(b) Mediasi Perbankan, (c) Melalui Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas), atau lembaga arbitrase
lain. Penempatan Peradilan Umum di tempat barisan non-litigasi menunjukkan bahwa Peradilan
Umum hanya sebagai alternatif saja dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah, bukan yang
utama.
Kedua, Peradilan Agama adalah peradilan yang paling berhak dan mutlak sebagai tempat
penyelesaian sengketa litigasi perbankan syariah sebab Peradilan Agama memiliki kewenangan
absolut dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah sesuai dengan Undang-undang organik
yang mengaturnya. Amanah untuk menyelesaikan sengketa perbankan Syariah diatur oleh UU No.
3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang merupakan turunan dari Pasal 10 UU No. 4 Tahun
2004 sebagaimana diubah melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam
UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa ada empat lingkungan badan peradilan dan salah
satunya adalah peradilan agama yang harus melaksanakan fungsi kewenangan mengadili. Sifat
kompetensi peradilan agama bersifat absolut yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006 sebagai UU
organik Peradilan Agama. Dengan demikian jelas bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah
mutlak dimiliki Peradilan Agama.
Ketiga, analisis terhadap konflik hukum penyelesaian sengketa perbankan syariah juga
dapat dilihat dari ilmu perundang-undangan (science of legislation) yakni dengan melihat
penempatan klausula pada norma yang mengaturnya. Pemberian mandat penyelesaian sengketa
syariah kepada Peradilan Agama terletak pada Pasal (UU No. 3 tahun 2006), sedangkan pemberian
mandat penyelesaian sengketa pada Peradilan Umum pada penjelasan Pasal (UU PS). Dalam ilmu
perudang-undangan, Pasal merupakan materi pokok yang diatur pada batang tubuh peraturan
perundang-undangan. Sedangkan penjelasan adalah interpretasi autentik (resmi) dari pembentuk
peraturan perundang-undangan yang dapat membantu untuk mengetahui maksud/latarbelakang
pembentukan peraturan perudang-undangan. Walaupun satu rangkaian, dalam kedudukannya,
penjelasan hanya memuat uraian lebih lanjut dari norma yang diatur dalam batang tubuh, dan
karena itulah kedudukan penjelasan tidak sama dengan norma yang dijelaskannya, sehingga
penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut.

Dissenting opinion
Menarik menganalisis pendapat yang berbeda (dissenting opinión) oleh Hakim Konstitusi
Muhammad Alim yang menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU PS yang bertentangan dengan
Pasal 28D UUD 1945 hanyalah point d, bukanlah keseluruhannya. Sebab yang bertentangan
dengan prinsip kepastian hukum hanyalah menyangkut penyelesaian sengketa di lingkungan
Peradilan Umum, sedangkan penyelesaian sengketa secara (a) Musyawarah, (b) Mediasi Perbankan,
(c) Melalui Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas), atau lembaga arbitrase lain sebagaimana tersebut
dalam penjelasan adalah sebuah keniscayaan.
Pendapat ini penting diperkuat dengan alasan bahwa dalam teori sengketa dalam hukum
Islam menganut asas kedamaian (shulh). Penyelesaian sengketa dengan asas musyawarah (apakah
melalui mediasi, arbitrase) adalah sistem penyelesaian sengketa yang sangat prioritas dibanding
penyelesaian sengketa di pengadilan. Hukum Islam lebih menghendaki perdamaian dibanding
pengadilan yang lebih memungkinkan terjadinya permusuhan antar para pihak. Landasan filosofis
ini penting untuk diperhatikan oleh para hakim dimana asas-asas dan landasan filosofi hukum
Islam harus digali secara mendalam. Penghapusan penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU tentang
Perbankan Syariah adalah penghapusan sistem penyelesaian sengketa utama dalam ajaran Islam
itu sendiri.
Pemberian mandat kepada lembaga mediasi, arbitrase sebagai alternatif penyelesaian
sengketa ekonomi syariah menjadi sangat penting dicantumkan mengingat lembaga-lemmbaga
tersebut belum mempunyai landasan yuridis yang kuat dalam perundang-undangan di Indonesia.
Pada bidang arbitrase misalnya, arbitrase yang berlandaskan sistem syariah seperti Badan
Arbitrase Syariah Nasional belum terakomodir dalam landasan yuridis setingkat undang-undang,
demikian juga halnya dengan media yang berdasarkan syariah dan seterusnya. Oleh karena itu,
pemberian mandat terhadap lembaga mediasi, arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lain
yang berdasarkan syariah seyogyanya tetap terdapat dalam UU Perbankan Syariah. Wallahu’alam.

Anda mungkin juga menyukai