1
Catatan ini sekedar sumbang pikir kiranya dapat dimanfaatkan dalam upaya pemberdayaan hakim tinggi
yang merupakan unsur utama PTA/MSA selaku kawal depan Mahkamah Agung dalam upaya mewujudkan
visi dan misi Mahkamah Agung. Sumbang pikir lain yang lebih bagus dan konprehensif sangat diharapkan.
2
WKPTA Ambon.
3
www.badila.net tanggal 13 Oktober 2012.
2
Menurut Tuada Uldilag, dengan tema itu bukan berarti warga peradilan agama lantas
meninggalkan masjid sebagai simbol akar sejarahnya. “Justru dengan tema itu, warga
Peradilan Agama dituntut untuk bisa berkiprah di kancah global dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai keislamannya dan tetap menjadikan para ulama sebagai
teladan, baik dalam melaksanakan pekerjaan di kantor maupun ketika berada di lingkungan
masyarakat,” tandasnya. Yang kedua, Tuada Uldilag berpesan agar peringatan 130 tahun
Peradilan Agama ini dijadikan sebagai momentum untuk mempertahankan dan
meningkatkan prestasi. Saat ini, ujar Tuada Uldilag, bila berbicara tentang teknologi
informasi di lembaga peradilan, orang-orang langsung teringat peradilan agama. Ini
membuktikan bahwa peradilan agama memang unggul dalam bidang ini. “Dengan
demikian, ke depan, imej atau label yang sudah tertanam kuat itu hendaknya terus
dipertahankan,” ia berpesan. Peradilan agama juga unggul dalam bidang pelayanan dan
transparansi publik, khususnya melalui website dan meja informasi. “Beberapa survei yang
dilakukan oleh pihak eksternal telah membuktikan itu. Tentu saja ini juga harus
dipertahankan, bahkan semampu-mampunya ditingkatkan,” kata Tuada. Di samping itu,
peradilan agama juga telah dengan sungguh-sungguh memberikan akses yang lebih luas
kepada masyarakat miskin untuk menggapai keadilan. “Di masa mendatang, program
justice for the poor yang terdiri dari layanan prodeo, sidang keliling dan pos bantuan
hukum harus terus digalakkan,” Tuada Uldilag mengingatkan. Satu lagi yang tidak kalah
penting, menurut Tuada Uldilag, kini makin banyak warga peradilan agama yang
meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya melalui berbagai pendidikan dan
pelatihan, baik di dalam maupun luar negeri. Ke depan, ini juga perlu ditingkatkan. Yang
ketiga, Tuada mengajak warga peradilan agama untuk senantiasa menjaga kekompakan.
Dari dahulu, warga peradilan agama terkenal dengan keguyuban dan kerukunannya. Warga
peradilan agama juga identik dengan perjuangan. “Mari kita bersatu padu untuk menjadikan
peradilan agama semakin maju. Sekaranglah era kebangkitan peradilan agama,” Tuada
Uldilag menegaskan.4
Sebelumnya, Dirjen Badilag, Yang Terhormat Drs. H. Wahyu Widiana, M.A.
mengatakan ada sepuluh catatan mengenai hakim tinggi PTA/MSA yang perlu menjadi
perhatian bersama. Sepuluh catatan itu dijadikan acuan Ditjen Badilag untuk menyusun
pola pemberdayaan hakim tinggi guna menjadikan pengadilan tingkat banding sebagai
kawal depan Mahkamah Agung. Pertama, tidak semua hakim tinggi direkrut berdasarkan
kapabilitas dan integritas,” kata Dirjen Badilag saat memberikan pengarahan dalam rapat
Kerja Daerah yang diselenggarakan PTA Kendari, Kamis (29/3/2012). Diakuinya, hal itu
merupakan salah Badilag sendiri. Kedua, tidak semua hakim tinggi mahir dalam hukum
4
www.badilag.net tanggal 14 Oktober 2012.
3
acara, hukum materi dan pola bindalmin. Mahir, dalam konteks ini, berarti memiliki
kemampuan jauh di atas rata-rata. Ketiga, sedikit hakim tinggi yang mau dan mampu
memanfaatkan komputer dan TI. Dirjen Badilag berharap agar para hakim tinggi tidak
sungkan belajar kepada yang lebih ahli mengenai hal ini. “Bagaimana bisa membina soal
SIADPA kalau tidak mengerti SIADPA.,” ujarnya. Keempat, sedikit hakim tinggi yang
menguasai administrasi umum seperti kepegawaian, keuangan dan sarana/prasarana. Juga
tidak sedikit hakim tinggi yang kurang menguasai manajemen pengaduan/pengawasan.
“Karena itu, para hakim tinggi perlu melibatkan pejabat atau staf yang lebih tahu masalah
ini ketika melakukan pembinaan atau pengawasan,” tandas Dirjen Badilag. Kelima, banyak
pimpinan, pejabat dan staf PA tidak respek terhadap hakim tinggi. “Penyebabnya banyak.
Asalkan mau meningkatkan kualitas diri, insya Allah kondisi ini bisa berubah,” tandas
Dirjen. Keenam, ada kesan, pengawasan yang dilakukan hakim tinggi hanya mencari
kesalahan. Hal ini, menurut Dirjen Badilag, harus diperhatikan betul. Pengawasan
merupakan bagian dari pembinaan. Idealnya, pengawasan pun ditujukan untuk
memperbaiki kinerja sasaran pengawasan, bukan semata-mata mencari kesalahan. Ketujuh,
masih sering, masing-masing hakim tinggi tidak satu persepsi mengenai persoalan yang
sama. Akibatnya, PA sebagai objek pembinaan dan pengawasan mengalami kebingungan.
Kedelapan, hakim tinggi sering tidak diberdayakan atau difungsikan oleh pimpinan
PTA/MSA. “Sekarang tidak begitu lagi. Kita punya pola pemberdayaan hakim tinggi. Nanti
akan ada SK Dirjen untuk mengatur bagaimana teknisnya,” kata Dirjen Badilag.
Kesembilan, selama ini tidak ada upaya peningkatakan kualitas hakim tinggi. Mengingat
sekarang tidak ada lagi diklat untuk hakim senior, Badilag menyelenggarakan berbagai
bimbingan teknis yustisial yang para pesertanya adalah para hakim tinggi. Diharapkan,
mereka akan jadi mentor di wilayah masing-masing. Dan kesepuluh, hakim tinggi belum
diperlakukan dan difasilitasi sesuai dengan kedudukan dan tanggung jawabnya. “Hal ini
juga menjadi perhatian serius kami,” Dirjen Badilag menegaskan.5
5
Pengarahan Dirjen Badilag pada Pembukaan Bimbingan Teknis Kompetensi Hakim Pengadilan Agama di
PTA Kendari pada tanggal 17 September 2012.
4
bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
Mahkamah Agung sebagai salah satu Lembaga Penyelenggara Negara di bidang
Yudikatif, mengemban peran kenegaraan yang meliputi peran ideologis, politis, yuridis,
sosiologis, dan administratif sebagaimana Lembaga-lembaga penyelenggara negara yang
lainnya. Peran ini juga menjadi tugas yang harus dimainkan oleh badan-badan peradilan
yang berada di bawahnya secara proporsional. Peran ideologis merupakan tugas untuk
menggali dan merumuskan tugas-tugas kekuasaan kehakiman, peradilan dan nilai-nilai
hukum yang bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Peran
politis merupakan tugas untuk turut menentukan arah dan kebijakan (politik) hukum
nasional yang bersumber dari Pancasila dan UUD Tahun 1945, melindungi HAM, dan
memberi nasihat, keterangan, dan pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah apabila
diminta. Peran yuridis merupakan tugas partama dan utama lembaga peradilan, yakni
menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya. Peran sosiologis merupakan tugas menyelesaikan sengketa secara tuntas dan
final guna memulihkan hubungan sosial para pihak yang bersengketa. Peran administrasi
merupakan tugas menyelenggarakan rumah tangga pengadilan yang meliputi pembinaan
tenaga teknis dan non teknis, administrasi umum, keuangan, sarana dan prasarana
pengadilan, pembinaan dan pengawasan, penelitian dan pengembangan, dan pendidikan
dan pelatihan. Semua peran tersebut harus dimainkan secara optimal dan senantiasa
dilakukan pembaruan guna memenuhi perkembangan kebutuhan pelayanan hukum dan
keadilan.
Untuk menjalankan peran tersebut, Mahkamah Agung sebagai Lembaga Yudikatif,
yakni sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, di Indonesia telah menetapkan visinya ke
depan, yaitu:
“TERWUJUDNYA BADAN PERADILAN INDONESIA YANG AGUNG”
Selanjutnya, Mahkamah Agung juga telah menetapkan misinya untuk masa 2010 s/d
2035 dalam memainkan peran dan fungsinya sebagai Lembaga Yudikatif, yaitu:
1. Menjaga kemandirian badan peradilan.
2. Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan.
3. Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan.
4. Meningkatkan kredebilitas dan transparansi badan peradilan.6
Dalam rangka menyukseskan visi dan misi Mahkamah Agung Republik Indonesia
tersebut, serta untuk menjalankan lima peran tersebut secara proporsional pada setiap
6
Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Keadilan 2010 – 2015, mahkamah agung, 2010.
5
jenjang pengadilan, maka Mahkamah Agung mengambil langkah strategis dengan memberi
tanggung jawab dan peran yang signifikan kepada Pengadilan Tingkat Banding dari semua
Lingkungan Peradilan sebagai “Kawal Depan” (voor post) Mahkamah Agung untuk
lingkungannya masing-masing di daerah hukumnya. Hal inilah yang menjadi tema
Rakernas Mahkamah Agung Tahun 2011 di Jakarta, yaitu:
“Meningkatkan Peran Pengadilan Tingkat Banding
Sebagai Kawal Depan Mahkamah Agung”
Sebagai kawal depan Mahkamah Agung, maka Pengadilan Tingkat Bnading
bertugas untuk melaksanakan misi Mahkamah Agung tersebut dengan sekaligus
menjadikan dirinya sebagai agen pemikir dan pelaku pembaruan peradilan. Tak terkecuali
di Lingkungan Peradilan Agama. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, maka Pengadilan
Tinggi Agama (PTA) dan Mahkamah Syar’iyah Aceh (MSA) juga memiliki peran dan
tanggung jawab sebagai Kawal Depan Mahkamah Agung.
Berdasarkan Undang-Undang Peradilan Agama (UU-PA), yakni UU Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah pertama dengan UU
Nomor 3 Tahun 2006 dan kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009, PTA dan MSA ini
bertugas dan berwenang:
1. Mengadili dalam tingkat banding atas semua perkara yang menjadi kewenangan PA
(Pasal 51 ayat (1) UU-PA).
2. Mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar-
pengadilan agama di daerah hukumnya (Pasal 51 ayat (2) UU-PA).
3. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi
pemerintah di daerahnya, apabila diminta (Pasal 52 ayat (1) UU-PA).
4. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim, panitera,
sekretaris, dan jurusita di daerah hukumnya (Pasal 52 ayat (1) UU-PA).
5. Melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat pengadilan agama dan
menjaga peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya (Pasal 53 ayat (2)
UU-PA).
6. Dalam melaksanakan pengawasan tersebut. PTA dapat memberi petunjuk, teguran, dan
peringatan, yang dipandang perlu (Pasal 53 ayat (3) UU-PA).
7. Dalam melakukan pengawasan tersebut, tidak boleh mengurangi kebebasan hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara (Pasal 53 ayat (4) UU-PA).
8. Selain itu, PTA dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-
undang (Pasal 52 ayat (2) UU-PA).
Semua tugas dan kewenangan tersebut tidak lepas dari lima peran pengadilan
sebagai salah satu penyelenggara negara. Dalam pengamatan penulis, semua tugas tersebut
6
dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) katagori, yaitu tugas yudisial, tugas struktural, dan
tugas konseptual.
1) Tugas yudisial dilakukan dengan memeriksa dan mengadili perkara, baik perkara
banding maupun perkara sengketa kewenangan mengadili antar pengadilan agama di
daerah hukumnya.
2) Tugas struktural dilakukan dalam bentuk pembinaan dan pengawasan. Sedang
3) Tugas konseptual dilakukan dalam bentuk pengembangan skill dan ilmu pengetahuan
yang meliputi bidang hukum, manajemen pengadilan, pelaksanaan reformasi birokrasi,
sistem pengendalian intern pengadilan, pemanfatan teknologi informasi, dan lain
sebagainya.
Semua tugas-tugas itu ditujukan untuk mewujudkan misi pengadilan dalam
memenuhi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, meningkatkan kualitas pelayanan
hukum dan keadilan, dan membangun Peradilan Agama yang berwibawa melekat di hati
rakyat menuju terwujudnya visi Peradilan Indonesia Yang Agung. Semua tugas tersebut
menjadi tanggung jawab Ketua PTA/MSA. Untuk melaksanakan semua tugas tersebut,
ketua PTA/MSA membagi dan mendelegasikan sebagian tugas-tugas tersebut kepada para
hakim tinggi sebagai organ utama pengadilan dengan dikoordinasikan oleh Wakil Ketua
PTA/MSA. Dengan demikian, maka hakim tinggilah yang pada hakikatnya menjadi pelaku
kawal depan Mahkamah Agung.
Sebagai kawal depan Mahkamah Agung, maka hakim tinggi mempunyai tugas
pokok dan fungsi sebagai pemeriksa perkara, pembina dan pengawas, dan pemikir dan
pelaku pembaruan. Tiga jenis tugas hakim tinggi selaku kawal depan Mahkamah Agung
tersebut dapat diistilahkan dengan “Trilogi Tugas Pokok Dan Fungsi Hakim Tinggi”,
yakni 3 (tiga) tugas pokok dan fungsi hakim tinggi dimana tugas-tugas itu satu sama lain
saling berpaut, saling bergantung dan saling menopang.7 Trilogi tugas pokok dan fungsi
hakim tinggi tersebut adalah: (1) hakim tinggi sebagai pemeriksa perkara, 8 (2) hakim tinggi
sebagai pembina dan pengawas,9 dan (3) hakim tinggi sebagai pemikir dan pelaku
pembaruan.10
7
Trilogi artinya tiga hal yang saling bertaut dan saling bergantung. Tiga jenis tugas pokok dan fungsi hakim
tinggi tersebut merupakan satu kesatuan yang saling bertaut dan saling bergantung satu sama lain.
8
Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 93 UU-PA No.7 Tahun 1989.
9
SK Dirjen Badilag MA Nomor 127/DJA/HK.00.7./SK/VII/2012 Tanggal 26 Juli 2012 Tentang Pedoman
Pemberdayaan Hakim Tinggi Sebagai Kawal Depan Mahkamah Agung.
10
SE Dirjen Badilag MA Nomor 0289/DJA/H.M.00./II/2012 Tanggal 14 Februari 2012 Tentang Pemberdayaan
Hakim Tinggi sebagai Pemikir Dan Pelaku Pembaharuan.
7
Tetapi anehnya, setelah HTB membatalkan putusan HTP, HTB tidak memutus pokok
perkaranya. Hal ini tentu merugikan para pihak yang berperkara.
10. Semua ini dapat terjadi akibat dari persepsi HTB yang tidak tepat karena HTB
berpendapat bahwa HTB bertugas mengadili HTP, padahal tugas yang sebenarnya
adalah mengadili ulang pada tingkat banding atas perkara yang telah diperiksa,
dipertimbangkan dan diadili (diputus) oleh HTP.
Tugas yudisial ini merupakan pelaksanaan misi memberikan pelayanan hukum yang
berkeadilan kepada pencari keadilan dengan tetap menjaga kemandirian badan peradilan
yang merupakan tugas pertama dan utama pengadilan.
11
SK Dirjen Badilag MA Nomor 1207/DJA/HK.00.7./SK/VII/2012 Tanggal 26 Juli 2012 Tentang Pedoman
Pemberdayaan Hakim Tinggi Sebagai Kawal Depan Mahkamah Agung.
9
12
Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Keadilan 2010 – 2015, Mahkamah Agung, 2010.
13
www.badilag.net tanggal 5 Februari 2012.
10
4. Memberi tugas dan memonitor para hakim tinggi untuk melakukan pembinaan kepada
PA/MS dengan memanfaatkan dana dan teknologi informasi.
14
SE Dirjen Badilag MA Nomor 0289/DJA/H.M.00./II/2012 Tanggal 14 Februari 2012 Tentang Pemberdayaan
Hakim Tinggi sebagai Pemikir Dan Pelaku Pembaharuan.
11
sejarah, hakikat dan habitat hakim di Lingkungan Peradilan Agama. Hakim dan
seluruh unsur aparatur peradilan agama tidak boleh meninggalkan masjid dan umat
melainkan harus senantiasa terkait dan terikat dengan masjid dan selalu bersama
membimbing umat. Hal inilah yang dulu dikhawatirkan oleh sebagian tokoh-tokoh
Islam jika peradilan agama harus berpindah ke Mahkamah Agung dengan
meninggalkan Kementerian Agama maka akan jauh dari masjid dan umat, bahkan bisa
menjadi sekuler. Peradilan agama adalah simbol berlakunya hukum negara dan hukum
syariah Islam. Oleh sebab itu, hakim dan aparatur peradilan agama tidak dapat
melepaskan diri dari tugas-tugas negara maupun tugas-tugas agama. Mereka mengabdi
untuk negara dan agama.
Hasil-hasil kajian para hakim tinggi selaku pemikir dan pelaku pembaruan ini
mutiara-mutiara yang sangat bermanfaat, baik dalam menyelesaikan perkara maupun dalam
pembinaan dan pengawasan serta mempercepat terwujudnya cita-cita membentuk Peradilan
Indonesia Yang Agung. Oleh sebab itu di daerah-daerah yang perkanya sedikit, para hakim
tinggi akan lebih banyak memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan selaku pemikir
dan pelaku pembaruan. Dari mereka inilah akan muncul mutiara ilmu-ilmu hukum dan
peradilan. Fungsi inilah yang harus diperkuat sehingga para hakim tinggi tersebut akan
memiliki andil dan sumbangsih yang signifikan dalam memajukan peradilan agama pada
khususnya dan peradilan di Indonesia pada umumnya.
Pepnutup
Demikian sekedar secuplik pemikiran sebagai sumbangsih kepada dunia peradilan
di Indonesia pada umumnya dan peradilan agama pada khususnya. Semoga Allah SWT
senantiasa membimbing kita semua ke jalan yang benar dan diridloi serta mengangkat
derajat hamba-hamba-Nya yang beriman dan berilmu pengetahuan. Selamat bertugas dan
selamat beramal, semoga sukses selalu. Amin!
LAWAMENA HAULALA
Referensi: